Bab
9
(Flashback
Bag.4)
Air.
Musim panas. Hari yang indah, langit biru cerah dengan
awan putih yang mengepul... disini, aku bisa melihat dengan jelas kondisi cuaca
sekarang. Itu karena saat ini aku hanya bisa menatap jendela berteralis besi
tanpa kaca yang letaknya kurang lebih 3 meter diatas tempatku... berjongkok.
Jendela itu kurang lebih berukuran 1 meter x 60 cm, cukup buatku untuk melihat
awan, langit dan kawat tiang listrik. Dari jendela tersebutlah aku bisa
merasakan indahnya musim panas. Sayangnya udara di dalam sini kurang begitu
segar. Meski begitu, burung gereja yang bertengger di kawat tiang listrik itu
selalu bisa menghiburku dan... EEEUNGHMP.......!!!
Haaaaah... keluar juga, sudah hampir beberapa hari ini
aku mengalami sembelit. Dan melihat ampas makanan itu pergi dari tubuhku
rasanya sedikit melegakan. Temanku pernah mengatakan bahwa B.A.B adalah saat
yang tepat untuk berpikir... konon katanya I.Q manusia akan meningkat sebesar 1
persen ketika kita melakukannya, itu sebabnya banyak orang yang melakukan ini
seraya membaca buku, karena itu akan mengoptimalkan kemampuan berpikir. Temanku
sendiri mengetahui itu dari kakaknya yang kebetulan kuliah di jurusan
kedokteran. Apapun itu, aku tidak melakukan ini seraya membaca buku, karena di
toilet berukuran 6 x 4 meter ini cahaya matahari yang keluar dari jendela itu
terasa lebih menyejukan... tapi ngomong-ngomong kenapa burung gereja di kawat
tiang listrik itu terus melihat ke arahku ya? Aku kan bukan burung, jadi tidak
mungkin tatapan itu bisa membuatku ge-er,
lagipula disini kan tidak ada burung, yang ada hanya... ah sudahlah.
Siram. Siram lagi... fiuh. Dadah ampas makanan, pergilah
dan jangan kembali... kuselesaikan semua urusan dan aku pun keluar dari toilet.
Begitu sunyi. Sepi. Itu karena aku sendirian di rumah ini, orang tuaku tengah
pergi ke rumah saudara, kakakku pun sudah tak tinggal disini. Jadi hanya aku sendiri
disini, bersama kegalauan, keresahan dan kesepianku. Jujur, rasanya itu
sangat_______ menyenangkan.
Mau tahu hal apa yang menyenangkan ketika kita sendirian
di rumah? Banyak. Itu karena saat sendiri di rumah, tak ada siapapun selain
Tuhan yang tahu apa yang tengah kita lakukan disini. Sebagai contoh, karena aku
mahasiswa jurusan teater, maka ini adalah saat yang tepat untukku berlatih
akting, memainkan satu atau dua naskah drama dengan aku sendiri sebagai
pemerannya... dimulai dari tahap reading, blocking hingga pengadegan semua
kulakukan sendiri. Hanya Tuhan yang menjadi penontonnya. Lalu setelah semua itu
selesai aku sadar akan kesepian ini, lalu tiba-tiba aku ingin menari...
berdansa. Kuayunkan lengan dan kugerakan kakiku kesana kemari seolah aku
memiliki pasangan menari yang anggun. Capek. Kutolehkan mataku ke gitar, benar
juga. Karena aku sendirian sekarang, pasti tidak akan ada yang mengeluh jika
aku menyanyi dengan suara sekencang-kencangnya kan? Kupetik, kugenjring, menyanyikan lagu
kesukaanku... berteriak... menangis... tertawa, aku sudah tak perduli lagi. Di
kamar ini aku bisa menjadi diriku sendiri... lalu aku terdiam. Tak tahu lagi
harus berbuat apa...
Kosong. Pikiranku melayang entah kemana, aku begitu bebas
sekarang... penuh dengan waktu luang, tak ada beban... karena tak ada
tugas–tugas dari perkuliahan yang merepotkan. Bagaimanapun kehidupanku sebagai
mahasiswa tidaklah lancar, sehingga banyak mata kuliah yang kutinggalkan dan karena
itu aku tidak mendapatkan tugas-tugas rumah, tugas laporan dan sejenisnya.
Kemungkinan aku juga tidak akan mengikuti UAS atau ujian akhir semester. Dengan
begitu aku bisa menikmati hari ini. Di rumah, sendirian.
Kulirik handphone, sepi. Tak ada kehidupan. Aku sudah lama tak menghubungi
Indi, begitu juga sebaliknya. Apalagi Tisya, dia mungkin sudah pergi entah
kemana. Ada yang bilang kalau kesepian muncul ketika diri sendiri tak sanggup
lagi untuk menjadi teman. Lantas siapa yang bisa kuharapkan sekarang? Lalu aku
teringat akan sebuah nasehat bahwa ketika tak ada siapapun diantara kita dan
yang kita miliki hanyalah Tuhan, sesungguhnya itu sudah lebih dari cukup. Ya,
aku sadar Tuhan melihatku, Tuhan mengetahui apa yang kurasakan lantas apa yang
akan Ia lakukan mengetahui aku seperti ini? Sementara Ia berfirman bahwa tak
ada satu umat pun yang akan berubah kecuali jika umat itu sendiri yang
mengubahnya. Itu karena manusia memiliki kehendak bebas. Meski begitu aku tak
berdaya, mungkin karena aku begitu lemahnya menyadari kekuatan Tuhan yang
berada di sekitarku selama ini. Bukankah Ia memang berada lebih dekat dari urat
nadiku? Dan Ia berfirman bahwa ; “Aku sesuai prasangka hambaku, jika ia
berpikir bahwa Aku dekat dengannya maka sesungguhnya Aku memanglah dekat, jika
Ia berpikir bahwa Aku jauh darinya maka Aku telah menjauhinya... jika ia
mendekatiKu dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari, jika ia
mendekatiKu sedepa, Aku akan mengejarnya seribu depa”
Tiba-tiba air mataku seolah ingin menetes. Memikirkan
ayat itu hatiku tergetar rasanya, kurasa aku tak pantas mempertanyakan Tuhan. Aku tahu Dia melihatku, Dia melihatku.
“Bukan hanya Dia, tapi aku juga
melihatmu”
Apa? Siapa? Tiba-tiba sebuah bisikan muncul. Tidak.
Mungkin hatiku saja yang sedikit meracau. Biasanya memang selalu ada
bisikan-bisikan usil dalam hati ketika aku tidak fokus. Ada sisi gelap dalam
hati yang selalu berceloteh nakal. Menyebalkan, rasanya malu membiarkannya
berceloteh ketika sadar bahwa Tuhan berada dekat denganku, lebih dekat dari
urat nadiku.
“Padahal aku sendiri berada di pembuluh
darahmu”
Sejenak aku merinding. Emosiku tiba-tiba memuncak. Tapi
aku tak tahu ingin marah kepada siapa. Tiba-tiba muncul sebuah pergolakan
batin. Sangat kuat. Semakin aku mencoba melawan semakin kuat pula aku merasakan
perlawanan...
“Ayolah, kamu tahu apa yang bisa
dilakukan saat kamu sendirian...”
Mungkin inilah sebabnya hal ini disebut sebagai perang
terbesar dalam sejarah manusia. Perang melawan musuh abadi dalam diri. Sial,
harus kulawan... harus kulawan...
“Buka lemari itu... ada benda bagus
disana”
Tidak.
“Ayolah, kalau bukan sekarang, kapan lagi
saat yang tepat?”
Berisik!
“Tak ada yang melihat, tak ada siapapun
disini”
Tuhan melihatku!
“Jika ya, bukankah biasanya juga begitu?
Kita lihat apakah Dia bisa menghalangimu atau tidak...”
...
“Ayolah... kehendak bebas... ingat? Kamu
sendiri yang bilang”
...
“Mereka itu indah sekali, dan kamu belum
melihatnya...”
Sial. Riko sialan. Tiba-tiba aku ingin memaki teman
kuliahku itu. Tapi sudahlah ini juga salahku, semoga saja ini bisa dimaafkan.
Ah, kenapa? Tiba-tiba sebuah bayang masa lalu muncul dan menyakitiku. Alasan
mengapa aku sangat membenci Indi dan tidak bisa melakukan ini.
“Lupakan saja, itu masa lalu. Dengan
melihat benda itu kamu bisa move on...”
Tidak. Itu menyakitkan.
“Kalau begitu terus, kamu tidak bisa
menjadi lelaki normal”
Sial. Pintar sekali dia bicara. Setengah emosi kubuka
lemari tempat biasa aku menyimpan buku-bukuku. Diantara buku-buku itu ada satu
yang disimpan terpisah, dan jika kubuka di bagian tengahnya terselip sebuah
benda. Sebuah kaset DVD. Kudapatkan ini dari Riko, semula aku berniat meminjam,
tapi karena tidak pernah dapat kesempatan untuk melihatnya, aku menyimpannya
terus begitu lama. Maklum, dirumahku tak ada budaya mengetuk pintu. Meski aku
punya televisi dan DVD player di kamar sendiri, bukan berarti aku merasa bebas
untuk melihatnya. Aku masih takut kalau-kalau orang tuaku tiba-tiba masuk.
Japanese Love Shop. Sebuah judul yang aneh untuk ukuran
sebuah film dokumenter tentang keindahan makhluk ciptaan Tuhan. Disini
dituliskan bahwa pemerannya adalah Mari Fujisawa. Cantik juga. Memang sedikit
berbeda dengan gadis-gadis yang biasa kukenal... wajah oriental ini
mengingatkanku pada... ah tidak! Biar kubuang saja.
“Serius kamu?”
Ya. Benda terkutuk ini harus kubuang!
“Wah, padahal itu film favoritnya Riko...
sayang kalo dibuang.”
Ini racun generasi muda... harus kusingkirkan!!
“Biar begitu, Mari Fujisawa itu cute loh”
TETAP HARUS DIBUANG!!
“Mari Fujisawa... dengan mata innocent
itu... dan juga senyum cemerlang itu...”
Perlahan kutatap lagi kaset DVD itu. Sial. Tapi aku harus
membuangnya. Untuk hidupku yang lebih baik aku harus membuangnya. Ini adalah
komitmen. Harus kubuang!
“Slurp... Mari Fujisawa she’s really
delicious girl...”
Berisik! GUA BUANG SEKARANG!
“Your body is wonderland... your body is
wonderland in my head”
SETAN! MALAH NYANYI LAGU JOHN MAYER LAGI.
“Your body is wonderland...”
Ok. Menyanyilah sesukamu tapi aku akan tetap membuang ini.
“Kamulah makhluk Tuhan yang tercipta
tetap sexy, cuma kamu yang bisa membuatku terus menjerit aw aw aw...”
KUBUANG KE DALAM DVD PLAYER!!!! Ok. Ini dia, kumasukan
kaset DVD itu dan membiarkannya berputar untuk menginvasi mata dan pikiranku.
Televisi kupindahkan ke saluran AV, lalu suaranya aku mute, takut kalau-kalau ada orang yang mendengar dan... ini dia... adegan
dibuka dengan sakura yang berguguran. Lalu perempuan itu muncul... mengenakan
kimononya di samping sebuah sungai yang indah. Tiba-tiba perempuan itu menoleh,
kamera dengan jelas menangkap wajah manisnya. Perempuan itu menoleh ke arah
para ksatria samurai lengkap dengan pakaian perangnya yang tiba-tiba datang
dari arah belakang, para ksatria itu terlihat gagah. Dengan mengendarai kuda
hitam yang kekar mereka melaju dengan tombak dan pedang di tangan. Lantas para
ksatria itu berhenti dihadapan gadis itu. Ksatria yang paling depan, tampaknya
seorang jenderal, tersenyum picik menatap gadis itu. Sang gadis tampak
ketakutan, lalu dengan sigap jenderal itu menarik pedang dan...
“Assallamualaikum...!!”
“Wa... Wa... Wa... Walaikumsallam!!!”
Gawat. Ada yang datang... dengan kecepatan tinggi
kumatikan DVD playerku beserta televisinya. Segera kudatangi asal suara
penggangguku itu. Lalu kudapati wajah tanpa dosa dari balik pintu.
“Hai.”
“Hoo. Kalian rupanya.”
“Jiah. Kok kaya males gitu liat kita berdua? Kita ganggu
ya?”
“Hm... Lumayan.”
“Yes!!!”
Perkenalkan. Teman-teman penggangguku. Biawak nomor satu
namanya Egi. Lengkapnya Egi Ghiffary Noor. Ingat saat kukatakan bahwa B.A.B
bisa menaikan IQ sebesar satu persen? Aku mendengar hal itu dari orang ini yang
notabene mempunyai seorang kakak lulusan kedokteran. Biawak nomor dua namanya
Garlio, lengkapnya Garlio Muhammad Sutanto. Dulu sekali sebelum aku bisa
bermain gitar, orang inilah yang bersedia mengaransemen lagu-laguku. Dan mereka
berdua adalah... teman SMA-ku. Hanya teman SMA? Tidak juga, karena selulusnya
dari sana kita bertiga terlibat dalam satu komunitas hobi, yaitu komunitas
Komik Dan Manajemen. Di komunitas itulah aku bertemu dengan Tisya. Yah, kita
semua punya beberapa kesamaan dan salah satunya adalah kita senang menggambar.
Tanpa harus menunggu kupersilakan masuk, mereka langsung saja memasuki kamarku.
Meloncat ke kasur dan mengacak-acak setiap benda yang mereka lihat. Garlio
misalnya, layaknya serigala ia mulai membuka-buka lemari tempatku biasa menyimpan
makanan-makanan ringan.
“Aha! Ini dia!”
“Apa?”
“Mie instan special extra rare limited edition, rasa
eksklusif ayam bawang lengkap dengan minyak bawang dan bumbu didalamnya!”
“SEMUA MIE INSTAN JUGA BEGITU KALEEE!!!”
“Ok. Buatkan.”
“Roger.” Dengan terpaksa kupatuhi perintahnya. Tamu
adalah raja. Raja yang menyebalkan. Berbeda dengan Garlio, yang dilakukan Egi
hanya mengendus-endus tempat tidur begitu memasuki kamarku.
“Kenapa ‘Gi?” tanyaku penasaran.
“Ada yang menarik disini”
“Apa?”
“Kasur ini...”
“Iya. Apa?”
“Ada bau kamu di kasur ini...”
Euh. Mungkin ini saatnya aku memandang orang ini dengan
tatapan seperti saat kita melihat sosok yang tidak normal hidup di muka bumi
ini. Menatapnya selama lima detik lalu kembali ke dunia nyata. Kutinggalkan Egi
dan Garlio di kamarku sementara aku menyiapkan tiga bungkus mie instan untuk
kumasak. Sekembalinya aku ke kamar, kondisi kamarku sudah berubah. Majalah
berserakan, seprai yang tak beraturan, bantal-bantal yang entah bagaimana bisa
berada di tempat yang berbeda-beda dan salah satunya ada diatas lemari. Kulihat
Egi meraih gitar, ia petik setiap senar layaknya pemain pro. Sayangnya Egi
bukan. Egi bahkan tidak bisa bermain gitar. Tapi entah mengapa wajahnya bisa
setenang itu meski suara-suara mengerikan mulai keluar dari gitarku. Sementara
itu Garlio menumpahkan seluruh koleksi DVD-ku dari dalam kardus.
“Eh gimana kalo sekarang kita nonton DVD, kayanya filmnya
bagus-bagus nih...” seru Garlio.
“Setuju!!” jawab Egi antusias. Sementara aku mulai panik
karena didalam DVD playerku masih tersangkut sebuah kaset DVD terlarang.
“Euh... kawan-kawan, maaf tapi kayanya itu bukan ide yang
bagus deh.” Ujarku sedikit panik.
“Kenapa?”
“Iya, padahal cocok banget kan. Sore-sore nonton DVD
sambil makan mie.”
“Euh itu soalnya itu anu... euh DVD-nya bajakan!”
“Ah, DVD bajakan sekarang kan kualitasnya bagus-bagus
hasil download dari internet gitu loh...”
“Oh kalau yang ini enggak, dia bajaknya manual. Jadinya
agak gelap gulita”
“Ah, masa gelap semua, coba film yang ini deh. Ini film
Jason Statham yang baru... beuh pasti keren nih...”
Segera saja kuhalangi Garlio yang hendak memutar film
itu.
“Euh sory ‘Io, DVD player ane kondisinya lagi enggak
baik”
“Kenapa lagi...?”
“Ente tau kan, euh... teknologi plak ‘n play?”
“plug ‘n play kali...”
“Nah kalo punya ane ini beda, istilahnya plak ‘n play...
alias digeplak dulu baru play...”
Egi dan Garlio
hanya bisa memicingkan matanya, melihatku kosong. Tapi tampaknya mereka
mengerti, aku tidak mengijinkan mereka menonton DVD.
“Aneh banget, lu beli DVD di tukang tahu ya?” Ejek Egi.
“Pokoknya jangan sentuh DVD ane deh, bisa kesetrum...!”
“Eh kamu bukannya lagi masak mie tadi?” Garlio
mengingatkan.
“Waduh! Lupa aku!”
Segera kutinggalkan mereka dan mulai melanjutkan memasak
mie. Kulihat kuah mie berubah kuning, karena itu kuganti airnya dengan air
masak yang hangat. Kuiris bawang merah dan bawang daun, lalu kutumbuk pula
bawang putih dengan garam agar lebih mudah halus. Bumbu dan cabe bubuk dalam
mie kubuang, kuganti dengan garam, gula putih dan merica. Satu-satunya bumbu
asli yang kumasukan dalam mie hanyalah minyak bawangnya. Kuaduk mie beserta
irisan bawang merah, bawang daun dan bawang putih yang dihaluskan tadi. Memang
sedikit memakan waktu tapi demi kepuasan ini harus kulakukan. Karena
bagaimanapun, proses memasak tidak jauh berbeda dengan proses seni. Prosesnya
bagus hasilnya juga pastilah bagus. Meskipun yang kubuat ini hanyalah tiga
porsi mie instan. Segera saja kubawa tiga mangkuk mie itu ke dalam kamar.
“Taraaa... Mienya sudah jadi. Siap disantap! Loh...?”
“...”
“Kenapa kalian? Kok pada bengong begitu?”
“Mari Fujisawa... dia cute sekali...”
Kulihat televisi, dan itulah saatnya aku berteriak
histeris dalam hati. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRGGGGGGHHHH!!!!!!!!!
“Oh my... masa iya?”
“Pake pedang lagi... tujuh orang man... tujuh orang...”
“HALOOOW KAWAN-KAWANKU... kita enggak mungkin makan mie
sambil menonton ini kan?”
“Sebentar man, lagi seru. Tanggung...”
“Itu kuda apa monster? Kok gede banget...”
“Astaghfirullah... ampuni hambamu ini...”
Stop. Kumatikan televisiku. Dan kulihat mata Garlio dan
Egi yang memelototiku.
“Mienya sudah masak. Ayo kita makan.”
“Aah... Lukman enggak asik ah.”
“Iyah. ENGGAK ADA GANTENG-GANTENGNYA!” protes mereka.
Tapi tak ada yang bisa membantah, sekeren apapun film itu harus kuhentikan.
Karena menonton ‘itu’ bersama-sama rasanya cukup menyebalkan. Sambil melahap
mie yang kumasak, kedua sahabatku itu mulai berkoar sesukanya.
“Wih, Lukman... diam-diam ternyata suka juga...”
“Iya, pantes aja kita enggak boleh nonton DVD,
ternyata...”
“Ganti topik” jawabku.
“Tapi Mari Fujisawa kok mau ya?”
“Ya iyalah gajinya kan gede bray...”
“Ayo kita ganti topik” aku masih memaksa.
“Kalo di Jepang industri film seperti itu memang dilegalkan”
lanjut Egi.
“Yang hebat adalah sejak saat itu tingkat kriminalitas pada
perempuan justru semakin menurun”
Aku menghirup nafasku. Lalu kutatap lagi kedua temanku
itu.
“Sayangnya...” ujarku tertahan.
“Apa?” Egi penasaran.
“Sayangnya di negara kita hal itu justru semakin lama
semakin memprihatinkan... kalian tahu apa penyebabnya? Penyebabnya adalah
maraknya DVD porno bajakan yang dijual secara bebas... bahkan sekarang ini
melalui penelitian dikatakan bahwa jumlah siswi SMA yang masih perawan itu
hanya sekitar 25 persen!”
“Yah... aku pernah denger soal itu” Egi pun membenarkan.
“Sekarang kan sudah ada internet... banyak hal yang
dimudahkan, termasuk hehehe... yang begituan juga, kita enggak bisa apa-apa,
sekalipun kita blokir situsnya selama ada yang bisa upload maka akses untuk
mendapatkan hal itu masih ada” tambah Garlio.
“Bahkan jika pemerintah memblokirnya sekalipun akan
selalu ada orang yang mencari cara untuk membukanya”
“Ya itu bener banget!”
“Kok lu semangat banget ‘io? Udah pernah nyoba ya?”
Godaku.
“Hehe... gitu deh, kalau cuma diblokir situsnya sih aku
masih bisa buka” Garlio menjelaskan.
“Euh...”
“Yang jadi masalah adalah ok, ane percaya kita enggak
akan macem-macem sekalipun pernah melihat itu. Itu karena pola pikir kita
sebagai cowok dewasa yang enggak sedangkal itu dan enggak bisa ngapa-ngapain
kalau kita dipaksa menikah oleh pacar kita. Bagusnya adalah kita bertiga adalah
jomblo membosankan yang sama sekali enggak beresiko...” aku mencoba
menjelaskan.
“Haaah kasihan banget kita ya?”
“Tapi...”
“Apa?”
“Banyak juga teman kita yang juga jadi korban...”
Semua merenung. Menundukan kepala lalu mengalihkan
pandangan ke arah lain dan sejenak berhenti menyantap mie.
“Ya. Cowok emang brengsek!” tegas Garlio.
“Hush! Yang salah bukan cuma cowoknya kali, cewek juga
ngapain coba pake mau nerima cowok yang enggak-enggak”
“Maksud gua, cowok emang brengsek, makanya gua cuma mau
jadian sama cewek!”
“Oh”
“Mungkin bener juga. Mereka kadang melakukan itu karena
mereka menginginkan itu. Menikah setelah mengandung bayi. Dan kebanyakan dari
mereka memang pernah menonton film ‘begitu’ dan terjadilah. Pacaran usia muda,
menikah, putus sekolah dan selesai.”
“Ngeri banget sih, tapi...” ujar Egi seraya mengangkat
mangkuk dan meminum kuah mienya sampai habis.
“Tapi apa?”
“Kok gua serasa jadi munafik gitu ya, diskusiin ini
setelah menonton filmnya?”
“Yang penting kita jangan terjerumus ‘gi!” jawab Garlio.
“Hehehe itulah yang namanya silaturahmi!” tiba-tiba aku
ingin tertawa.
“Maksud lu ‘man?” Egi menatapku heran.
“Silaturahmi yang sebenarnya adalah hubungan yang membawa
pada kebaikan... coba kita pikir, dengan datangnya kalian kesini kalian udah
menghentikan saya berbuat dosa, yah, meskipun akhirnya kalian menonton juga,
ketidaknyamanan saya membuat saya harus matiin tv. Lagipula kita tidak bisa
menonton itu sambil makan mie yang dipesan oleh Garlio, dan dari kesalahan itu
kita bisa berdiskusi seperti sekarang ini kan?”
“Hehehe seolah semua ini sudah diatur ya...?” ujar
Garlio.
“Bukan seolah. Tapi memang ada yang mengatur...” jawabku.
“Maksud lo? Oh ok. Gua ngerti. Tapi nonton doang juga
udah keitung dosa kaleee” Egi menambahkan.
“Yah, kalo dipikir-pikir memang mencari perempuan
baik-baik sekarang itu susah sekali, tapi untuk mengubah diri ini sebaik
mungkin sampai menjadi lelaki yang pantas untuk perempuan baik-baik juga
susah.”
“Nobody’s perfect.
Tapi kita bisa belajar”
“Haruslah. Di zaman seperti ini kita bisa apa lagi selain
mencari yang terbaik dan menjadi yang terbaik?”
“Ane jadi inget...” ujarku seraya tersenyum kecil.
“Apa?”
“Dulu, waktu kita SMA, ane sempet berlaku kurang sopan terhadap
banyak perempuan...”
“Oh ya...? Kok gua enggak inget ya?”
“Dulu setiap ada perempuan yang deket pasti pernah ane
pegang...”
“Lu pegangin apanya ‘man? Seriusan?” Garlio tampak
antusias.
“Biasanya sih, dulu ane sering godain cewek, kalo ada
temen cewek yang deket, pertama ane lihat matanya dulu. Dalem banget. Abis itu
baru gua pegang tangannya. Gua cari respon. Kalau tiba-tiba cewek itu keliatan
kaget, ane senyum aja. Tapi kalau cewek itu cuek-cuek aja ane biasanya lanjutin
ke rambutnya...”
“Rambut...?”
“Ya rambutnya... lu tahu kan, rambut cewek itu lebih
halus dibandingkan rambut kita?” Aku mencoba menjelaskan.
“Oh... ok, terus terus...?” Garlio masih antusias.
“Kalau waktu rambutnya ane belai itu enggak masalah,
langsung aja ane taruh tangan ane di bahunya. Seperti itulah, mungkin si cewek
enggak berasa tapi buat ane sensasinya itu waw banget. Nah kalo udah di bahu,
biasanya tangan ane suka turun tuh...”
“Turun... turun kemana tuh?”
“Turun ke pinggang pastinya... tapi biasanya enggak semua
cewek bisa ane perlakuin begini, cuman cewek-cewek yang seneng digituin aja
yang ane giniin. Biasanya sih mereka juga suka bales colek ane, kayak kalo lagi
jalan tuh tiba-tiba pegang tangan ane, cipika-cipiki kalo mau pergi dan
jambak-jambak rambut kalo lagi marah... yang paling ane suka tuh ya waktu
mereka sedih mereka kaya nyaman gitu nangis-nangis di bahu ane...”
“Gila lu man... ternyata lu bisa gitu juga ya?”
“Kalo ane lagi bosen, kadang ane suka nyari cewek yang
lagi duduk sendirian abis itu bobo deh di pangkuan mereka... eh tahunya si
cewek malah pake belai-belai rambut ane lagi”
“Cewek itu... pacar lu kan?” Egi bertanya lagi.
“Itulah kerennya ane. Ane lakuin itu ke banyak cewek
tanpa status yang jelas. Bahkan kadang ane lakuin itu ke cewek yang udah punya
pacar, tapi ane woles aje, enggak terikat.”
“Tapi kok gua enggak percaya ya... lu kan agak pendiem
gitu sama cewek, malah kalo enggak salah lu pernah putus sama cewek karena kalian enggak pernah saling sapa setelah
jadian kan?”
“Mungkin karena dulu kita enggak pernah sekelas. Jadi
kalian enggak tahu banyak soal itu. Waktu itu kita deket cuma di klub gambar
doang kan? Jadi kalian enggak tahu setengil apa ane sebelum tobat...”
“Emang lu udah tobat ya?”
____________________*****_____________________
Masa SMA. Ada orang yang bilang bahwa masa SMA adalah
masa terindah, dimana pada masa itu persahabatan dan ketertarikan pada lawan
jenis merupakan sesuatu yang mulai disikapi dengan sedikit serius. Buatku, masa
SMA adalah masa dimana banyak sekali perubahan yang harus kulakukan untuk
mencari identitas atau banyak orang yang menyebut itu sebagai jati diri.
Setelah lulus dari SMP, aku meneruskan ke SMA, tadinya
aku sempat terpikir untuk melanjutkan sekolahku ke SMK dan memilih jurusan
Elektro, jurusan yang dulu kusukai karena aku punya sedikit keahlian di bidang
itu. Hanya saja yang kuinginkan saat itu adalah bisa satu sekolah dengan
perempuan yang kusuka yaitu Indi. Lalu kucoba untuk mendaftar ke sekolah SMA
negeri yang kebetulan Indi juga mendaftar kesitu. Sayangnya aku gagal. Untuk
kedua kalinya aku gagal bersekolah di sekolah negeri karena nilai NEM-ku kurang
dan tiba-tiba nilai persyaratan NEM sekolah itu melambung. Hanya saja kali ini
bukan hanya aku yang gagal, tapi Indi juga. Sayangnya sebelum aku mengetahui
dimana Indi selanjutnya akan bersekolah, orang tuaku sudah mendaftarkanku ke
sebuah sekolah swasta. Ya. Disini aku sekarang, SMA Tata Budaya. Sebuah sekolah
yang mungkin diantara sekolah swasta lainnya pun tidak begitu terkenal, tapi
percayalah... seburuk apapun sekolah ini memperlakukanku, aku tidak akan
menyesalinya karena ini adalah... sekolahku yang terbaik.
Shock. Kira-kira itu yang kurasakan ketika aku gagal
masuk SMA negeri dan harus masuk sekolah swasta yang tidak begitu populer.
Sempat juga aku meminta untuk pindah sekolah tapi tidak diijinkan orang tuaku,
itu karena biaya masuk sudah dibayarkan sebelumnya. Lalu kuputuskan untuk
menghubungi Indi. Kutelpon rumahnya, saat itu kakaknya yang mengangkat, lantas
kutanyakan dimana Indi berencana untuk sekolah. Dari situ aku mendapat kabar
bahwa Indi akan bersekolah di sebuah sekolah swasta yang terkenal kental dengan
ajaran islamnya. Saat itu juga kuminta orang tuaku untuk memindahkanku kesana.
Tapi orang tuaku menolak. Mereka bilang mereka sudah tidak punya biaya lagi
untuk ini. Dan akhirnya aku pasrah saja.
Hal pertama yang kupikirkan pada hari-hari pertama saat
memasuki sekolah baruku adalah... figur. Lebih tepatnya sebuah sosok yang akan
kuperagakan selama aku sekolah nanti. Karena di sekolah ini tak ada siapapun
yang begitu mengenalku, jadi kupikir mungkin ini kesempatanku untuk menjadi
pribadi yang berbeda dengan sewaktu aku sekolah di SMP dulu. Jujur, aku sangat
menyesal menghabiskan waktu di sekolah itu dengan menjadi anak baik yang tidak
aktif, tidak menarik, kikuk dan sangat apatis. Dan kini, aku tengah menginjak
tanah yang baru diantara orang-orang baru. So, kuubah cara berjalanku, lebih
angkuh. Bukan karena kesombongan, tapi karena rasa percaya diri yang kuat.
Hari pertama sekolah. Tidak ada satupun guru yang muncul
dari balik pintu. Padahal ini sudah jam 12.30. Ada apa ini? Mengapa sampai jam
segini tidak ada guru yang masuk...? Tiba-tiba para siswa yang tengah menunggu
di kelas dikagetkan oleh suara pintu yang didorong dengan sebuah dobrakan
keras...
Tidak. Itu bukan guru. Itu hanya sekelompok siswa sama
sepertiku... bedanya mereka semua menggunakan jas hitam almamater sekolah. Aku
tahu siapa mereka. Mereka adalah... anak-anak osis. Dan mereka adalah senior.
“BERDIRI SEMUANYA!!!” tiba-tiba seorang anggota osis yang
paling depan berteriak... serentak semua anak di kelas berdiri. Ternyata itu
pertanda bahwa razia dimulai. Tas setiap siswa digeledah. Termasuk tasku. Dan
segera saja anggota yang menggeledah tasku itu melotot ke arahku. Di tasku
ditemukan sebotol besar gel rambut, sebotol paket perawatan kulit mulai dari
pembersih dan pemutih muka, sebuah pelembab bibir, topi motif bebas dan
kacamata yang bukan minus ataupun plus. Semua anak osis menghampiriku, menatapku
ganas... sementara kubetulkan posisi rambut seraya tersenyum santai. Sekarang
aku tahu bagaimana caraku agar bisa terlihat eksis di sekolah ini.
___________________******_____________________
Kira-kira setahun sejak aku dirazia saat itu. Tepatnya
saat aku kelas 2 atau biasa disebut kelas 11. Semua mulai berubah menyenangkan.
Ah, masalah barang-barangku yang dirazia itu tidak perlu dikhawatirkan.
Mengapa? Karena aku sudah mendapatkannya kembali. Ya, kuputuskan untuk
menghadap ke ruang osis sendirian untuk memintanya kembali. Dan dengan beberapa
persyaratan akhirnya mereka mengembalikannya. Kini, semua itu sudah tidak perlu
lagi. Karena hukuman apapun akan selalu memihakku. Loh, bagaimana bisa? Itu
karena sekarang, di sekolah ini akulah ketua osisnya.
Ok. Ok. Ketua 2. Bukan ketua umum. Meski begitu aku
adalah satu-satunya laki-laki yang berada di jajaran para ketua. Ya, ketua umum
osis disini adalah seorang perempuan. Namanya Ina. Perempuan yang menyebalkan.
Entah apa alasannya tapi kurasa dia tidak menyukaiku berada di posisi ini.
Kuketahui dia seperti itu sejak kudengar dia mengusulkan perubahan jabatanku
pada pihak sekolah. Tentu saja itu ditolak. Itu karena para senior yang menegaskan
bahwa aku telah dipilih secara demokratis dan keputusan itu tidak bisa diganggu
gugat. Aku sih santai saja. Terlebih dia perempuan, aku tidak berani melawan karena
mereka bisa menangis, berkomplot dengan kawannya dan sangat menyeramkan ketika
pra menstruasi. Terserahlah. Jika aku boleh menebak, satu-satunya alasan ketua
osisku tidak menyukaiku itu semua karena aku tengah mempermainkan sahabat
baiknya yang juga adalah pacarku. Pacar? Ya. Disini aku punya pacar dan dia
bukan yang pertama. Mungkin aku memang salah telah menebar pesonaku secara
berlebihan. Tapi apa hubungannya dengan organisasi? Itulah, kenapa aku tidak
suka ketua perempuan. Terlebih jika hubungannya dengan pacarnya bermasalah maka
kita bawahannya harus bersabar menghadapinya. Tapi sudahlah. Disini, aku masih
tokoh utama. Selain ketua 2 osis aku juga menjabat sebagai sekretaris umum
LISES. Singkatan dari Lingkung Seni Sunda. Yah, aku juga aktif dalam berbagai
kegiatan kesenian. Khususnya teater. Dimana di setiap pentasnya aku selalu menjadi
tokoh utama. Segudang prestasi kudapatkan di sekolah ini. Masuk media dan
menjadi sorotan adalah hal yang biasa. Tiga kali aku menjadi cover boy sebuah majalah remaja lokal saat itu. Keren?
Tentu saja.
Tapi itu saja tidak cukup. Semua orang berpikir bahwa aku
hanyalah orang yang sok dan mau melakukan apapun demi popularitas. Pacarku
menganggapku sebagai orang yang dingin, karena tak pernah sekalipun menyapanya
sejak kita jadian dan ini sudah tiga bulan. Mereka semua salah mengerti. Karena
yang kulakukan sekarang tidak lain hanyalah akting semata. Sejak awal aku masuk
osis agar memiliki akses dalam semua kegiatan di sekolah termasuk juga
acara-acara di luar itu. Bergabung dalam ekstrakurikuler teater agar aku
terbiasa ketika menjadi pusat perhatian. Menggoda semua perempuan yang mendekat
agar aku tahu betul cara menghadapi perempuan. Pacarku? Sebut saja dia hanya
kesalahan teknis. Karena siapa yang tahu kalau Indi disana juga sudah memiliki
pacar bukan? Ya. Aku tidak berubah. Aku masih mengincarnya. Dan kulakukan semua
ini agar ia bisa menyadari kehadiranku
meskipun kita tak pernah saling bertemu. Hanya mengobrol dalam sebuah pesan
singkat SMS. Karena itu aku butuh popularitas sebesar-besarnya agar kabar
tentangku masih bisa ia dengar. Bahkan di masa depan sekalipun, aku sadar bahwa
aku setengah gila. Tapi harus kubilang ini tidak cukup. Aku sudah cukup kesal
dengan mengkerdilkan kemampuanku yang sebenarnya semasa SMP. Sayang, Indi tidak
berada disini... membuatku harus berusaha lebih keras untuk meraih kekagumannya.
Bukan perhatian. Karena jika hanya perhatian, harus kukatakan aku sudah
mendapatkan ini lebih dari cukup darinya. Jika itu hanya perkataan selamat
malam, selamat tidur, hati-hati di jalan, jangan lupa pakai jaket, sudah makan
belum, sudah mandi belum, ayo bangun... semuanya. Indi sudah memberikannya
padaku. Yang jadi masalah adalah aku tidak tahu sama sekali tentang arti
perhatiannya itu. Apakah dia menyukaiku? Apakah itu hanya perhatian pada teman
biasa? Atau apa? Jangan kira aku belum pernah menanyakan itu. Aku sudah menanyakan ini berkali-kali. Tapi
dia tak menjawab. Lebih dari itu, aku sudah menyatakan perasaanku padanya. Tapi
dia masih tak menjawab. Sedangkan perhatian itu masih ia berikan. Setiap hari.
Setiap pagi, siang, sore, malam, setiap saat. Pernah sekali aku tidak mempedulikannya...
tapi menahan semua perhatian yang tak pernah kurasakan sebelumnya dari
perempuan yang kusukai bukan hal yang mudah. Semakin lama dia memberikanku
harapan yang tak pasti, semakin banyak juga perempuan polos yang kujadikan
pelarian. Semua ini menyebalkan. Sampai akhirnya kutemukan perempuan lain,
dia... Syifana. Dari luar, aku sudah tahu dia memang berbeda. Tapi sekali ini
saja aku akan mencoba menaklukkannya. Aku tahu saat ini aku sudah memiliki
pacar. Namanya Melly. Tapi tidak ada salahnya mencari tahu sisi lain perempuan
seperti Syifana. Syifana adalah perempuan yang sopan dan anggun. Seorang
anggota rohis. Sebuah organisasi ekstrakurikuler yang fokus pada kegiatan
keagamaan di sekolah. Seperti anggota rohis lainnya, dia berhijab. Kerudungnya
cukup panjang dan menutupi hampir seluruh badannya. Sebelumnya kita hanya
saling bercanda biasa saja. Selera humorku cukup bagus, jadi ini mudah saja.
Dan hari ini akan kucoba responnya.
Dengan cepat aku menghampiri gadis itu. Ia tengah asik
membaca. Membaca novel buatanku. Kubuatkan itu untuk merayunya. Lalu dengan
dalih mengagetkannya, kutepuk bahunya seraya berteriak.
“Dar!”
“Eeh... Lukmaaaaaaaaaaan!!! Dasar... ih ngagetin aja.”
“Serius amat, udah nyampe mana bacanya?”
“Iya nih. Baru baca 3 bab. Lucu juga...”
“Oh ya...?”
“Kamu tuh dasar, bilang aja kalau novel kamu ini
curhat... hahaha...”
Dia terus tertawa. Ini dia, ini saat yang tepat. Aku membungkukan
badanku dan mengarahkan wajahku ke wajahnya. Dari buku novel itu, matanya
teralihkan langsung terpatri ke mataku. Disinilah jurusku kulancarkan...
“Lucunya sebelah
mana?”
Syifana terpaku sejenak. Sebelumnya telah kupastikan
bahwa wajahku dalam keadaan terbaiknya. Dari sinilah aku bisa mendapatkan
responnya...
“PLAAK!!”
Syifana menamparku. Begitu keras sampai wajahku
terpalingkan. Tidak sakit. Tapi suara tamparannya cukup keras, aku hanya
terpaku. Aku tidak pernah mendapatkan respon seperti ini sebelumnya.
“Itu... salah satu bagian dari zina...”
“Hah...?”
“Yang kamu lakuin itu... zina mata...”
“Hah...?”
Kemudian Syifana memasukan novel itu kembali ke dalam
tasnya. Lalu ia meninggalkanku, pergi memasuki mushalla sekolah. begitu saja.
Mulutku masih menganga. Rasanya aku malu, tapi malu karena apa? Tak ingin
berpikir macam-macam, aku pergi ke ruang osis. Disana ketua osisku Ina, tengah
mendekap seseorang. Ternyata Melly. Pacarku itu, tampaknya lagi-lagi dia
menangis dan mengadu padanya... haah
merepotkan saja.
Ina tampak marah dengan mata memerah. Tajam menatapku.
Dan aku yakin setelah ini ia akan mencari cara apapun untuk mengkritisi
kinerjaku di osis. Tak apa, terserah dia saja. Kubuka lemari osis. Kuambil
sebuah buku yang sejak keberadaannya disini tidak pernah ada satupun yang mau
membacanya. Itu adalah buku tentang “TATA TERTIB DAN PERILAKU UNTUK SISWA SMA.”
Aku tahu ini adalah buku yang membosankan. Tapi bukan
berarti tidak penting. Wakil kepala sekolah urusan kesiswaan yang
memberikannya. Dan aku yakin di buku ini ada petunjuk yang kulewatkan. Kalau
tidak salah... ah! Ini dia! “Tata Perilaku Yang Baik Seorang Siswa Laki-laki
Kepada Siswi Perempuan...” ini dia. Langsung saja kubaca dengan seksama.
1. Siswa
Hendaknya Menghargai Dan Menghormati Siswi Dalam Semua Hal, Tidak Berlaku
Jahil, Usil Atau Bersikap Kasar.
2. Siswa
Hendaknya Mau Membantu Jika Ada Hal Yang Tidak Bisa Dilakukan Oleh Siswi Di
Sekolah, Seperti Contoh ; Mengambilkan Barang Di Tempat Tinggi, Mengangkatkan
Barang-Barang Yang Terlalu Berat Sampai Memperbaiki Peralatan Yang Rusak.
3. Jika Hendak
Membantu Siswi Menyebrang Jalan, Hendaklah Siswa Berada Di Bagian Paling Luar/
Searah Dengan Arah Datangnya Kendaraan.
4. Siswa
Berlaku Sebagai Penjaga Dan Pelindung Untuk Teman-Teman Siswi Dari Hal-Hal Yang
Tidak Diinginkan.
Hanya empat poin yang kubaca, tapi rasanya ini sudah luar
biasa. Jika hal-hal kecil berkaitan dengan etika seorang siswa terhadap siswi
sudah ditanamkan dari awal, mengapa banyak sekali kejadian dimana anak lelaki
remaja tidak bersikap baik pada anak-anak perempuan sebayanya? Dan ironinya...
aku yang merupakan satu-satunya anak osis yang mau membaca buku ini, juga
merupakan salah satu contoh dari siswa beretika buruk terhadap siswi. Tadinya
aku merasa bahwa ini biasa saja karena tidak ada satupun anak perempuan yang
mengeluh... jika aku memegang lengannya, rambutnya, bahunya ataupun
pinggangnya... mungkin karena aku adalah anak lelaki yang populer... aktif di
berbagai organisasi, enerjik, humoris dan para guru mengenalku dengan performa
yang cukup bagus di kelas... yang jelas para anak perempuan itu sama sekali
tidak menolakku. Tapi sekarang aku tahu aku salah. Syifana telah menyadarkanku.
Dia dan tamparannya. Dan buku ini... kenapa buku sekeren ini tidak dikemas
dengan keren juga? Sekeren majalah-majalah remaja yang biasa kuisi dengan foto
wajahku?
Baru saja aku hendak memasukan buku itu kedalam tas untuk
kupelajari isinya di rumah, Ina si ketua osis itu sudah menarik lengan bajuku.
Sementara kulihat Melly kini mengatupkan kedua lengannya di meja staf inti
osis. Dan ia menangis disana.
“Lukmaaannn...!!!”
“Apa lagi sih ‘na...?”
“Ituuu... kamu tega apa biarin pacar kamu nangis kaya
gitu?”
“Ooh... disini ada Melly toh? Hei, kamu lagi ngapain
disitu?”
Melly terdiam. Hanya menundukan kepala ke meja lebih
dalam.
“Udah tahu lagi nangis! Sana samperin!”
“Samperin apa sih ‘na? Lagian ngapain juga dia pake
nangis coba?”
“Ya kamu tanya sendiri aja sana!”
“Terus aku musti gimana??”
“Ya gimana kek, kamu kan pacarnyaaaa!!!”
Dengan terpaksa kudekati meja itu. Memang benar, aku
tidak setega itu membiarkannya menangis di meja osis. Yang membuatku kurang
nyaman adalah kualitas tangisannya. Jika aku yang menjadi penyebab air mata
itu, rasanya semua itu tidak perlu. Kupikir, inilah aku. Jika kau menyukaiku
maka terimalah aku seperti ini adanya. Tapi tidak. Melly tidak akan mengerti.
“Hoi...”
“...”
“Hoi... Hoi...”
Melly masih tidak menjawab. Jadi kucolek saja lengan yang
tertelungkup itu...
“Hmm... ini apa ya? Tuk tuk.”
“...”
Melly tidak bergeming. Dia bahkan tidak mau tertawa. Meja
itu semakin basah saja. Kalau begini, percuma juga aku baca buku tentang tata
tertib dan perilaku. Anggap saja selera humorku sedang buruk sekarang. Jadi
biar kutarik saja rambut itu sampai kepalanya menengadah...
“Ting tong!! Appa yip yip!”
“AAAAWWW!!!”
Melly menjerit. Mau tidak mau ia harus menatapku
sekarang. Kulihat matanya sangat sembab karena menangis terlalu lama.
“Hm? Kamu kenapa?”
Melly masih tidak menjawab. Segera ia sapukan tangisnya
dan berlari meninggalkan ruang osis. Ina mengejarnya seraya menatapku marah.
Menatapku seolah aku yang bersalah. Sementara kuistirahatkan tubuhku di kursi
panjang, hujan turun dengan deras... perempuan memang makhluk yang ribet. Ya,
aku pacarnya. Apakah aku harus bertanggung jawab? Aku bertanggung jawab atas
apa? Apa aku harus berkomitmen? Komitmen atas apa? Status pacaran saja aku
tidak mengerti. Jika menurutnya pacaran itu haruslah duduk berduaan
membicarakan hal-hal yang tidak penting, berjalan berdua seraya bergenggaman
tangan itu adalah keharusan, maka caraku menghormatinya akan dengan mudah
disalah artikan. Aku memang tidak memperlakukannya seperti perempuan yang biasa
kugoda. Jangan salah paham, aku memang tidak menyukainya. Tapi bukan berarti
aku tidak menghormatinya. Itu karena dia terlalu baik untukku. Pernah suatu
ketika dikala aku tengah stress mengupayakan prestasiku dalam segala bidang,
aku berlari di hujan deras seperti sekarang. Dia mengejarku. Biasanya di
film-film romantis seorang pria akan mendekap perempuan yang tengah menangis...
tapi ini bukan film. Disini, akulah yang menangis... dan dia yang mendekapku.
Aku menangis karena... percayalah, menyakiti perasaan seseorang itu
menyakitkan. Memperjuangkan banyak hal untuk orang yang entah menganggapmu atau
tidak dan membiarkan orang lain yang lebih tulus itu tersakiti perasaannya
karena kamu tidak menganggapnya... seperti roda karma yang berkelanjutan...
tidak hanya itu, ketika sekolah melakukan acara kemping bersama misalnya, Melly
meminjamkan jaketnya padaku ketika aku menggigil kedinginan, Melly juga melihat
bagaimana saat wajahku tengah tertidur... intinya, Melly selalu berada
disampingku disaat-saat terpayahku. Lantas bagaimana mungkin aku bisa
menyakitinya lebih dari ini? Aku bukan pemberi harapan palsu. Jadi kuputuskan
untuk menunggu. Menunggu aku yang jatuh cinta kepadanya atau dia yang bosan
duluan... menunggu, diputuskan olehnya. Hujan semakin deras, jam sekolah sudah
lama usai, langit semakin bertambah gelap. Rupanya aku ketiduran di ruang osis...
lagi-lagi Ina membiarkanku bertanggung jawab dengan kunci ruangan ini. Ya
sudah, lebih baik aku pulang. Haaah. Adzan maghrib berkumandang, sekolah ini
tampak lebih menyeramkan saja jika lampunya dimatikan...
____________*****______________
Hari ini aku pergi ke sekolah lebih awal. Itu karena ini
adalah hari dimana aku harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Teater. Sebuah
ekskul yang tepat jika tujuannya adalah untuk mencari perhatian orang banyak,
dan buatku perhatian Indi adalah tujuannya... dengan harapan semoga ekskul
teater ini bisa tampil di suatu tempat dan Indi bisa melihatku disana...
sungguh obsesif. Meski kenyataannya terasa pahit karena sejauh ini, Indi tidak
pernah hadir dalam setiap pertunjukanku. Padahal jika ia benar peduli padaku, seharusnya
ia bisa menyempatkan untuk datang. Sayang yang kulihat disini bukan dia, disini
hanya ada seorang gadis bernama Tri. Dia teman sekelasku, dan entah apa yang
dia lakukan di ruang klub teater ini, yang jelas disini belum ada anggota lain
yang hadir.
“Eh, ngapain kamu disini?” aku bertanya.
“Kenapa? Emangnya aku enggak boleh dateng pagi apa?”
“Bukan begitu, tapi ini kan klub teater...”
“Jadi aku enggak boleh ikut gabung nih?”
“Oh kamu mau ikut juga? Boleh boleh... daftarnya ke
sekretaris aja ya... kamu tunggu aja, sebentar lagi mereka pasti datang”
“Lukman...”
“Ya?”
“Teater itu ngapain aja sih?”
“Ya... banyak. Karena pada dasarnya teater adalah
pertunjukan, jadi hampir semua kajian pertunjukan bisa digolongkan sebagai
teater... contohnya seperti drama, pantomim, membaca puisi, musikalisasi puisi,
dramatisasi puisi, sampai monolog...”
“Oh...” Tri hanya membulatkan bibirnya.
“Lukman...”
“Ya?”
Kusadari ada yang aneh dengan Tri pagi ini. Dia menatapku
tajam, seolah ada hal serius yang terjadi. Tapi aku tahu tatapan ini... ini
adalah tatapan yang sama dengan tatapanku ketika aku melancarkan jurus tatapan
maut untuk memancing respon perempuan yang kugoda. Sayangnya aku sudah tahu
reputasi Tri, dan ini tidak akan berhasil padaku.
“Assallamualaikum!”
“Wa... laikumsalam...”
Tiba-tiba Ina, Melly dan sekelompok anak perempuan
muncul, mereka semua adalah anggota dari
klub teater.
“Kalian cuma berdua disini?” tiba-tiba Ina bertanya.
“Ya gitu deh, yang lain belum dateng... oh iya na,
kenalin ini Tri, dia....”
Belum selesai aku bicara, Ina sudah bergegas meninggalkan
ruangan. Sementara pacarku itu, Melly, dia bersikap seolah tidak melihatku dan
membantingkan tasnya tepat di meja yang berada di hadapanku dan Tri. Semua
menjadi terlihat canggung, Tri tampak kaget sementara Melly masih bersikap
ketus. Berusaha memperbaiki keadaan, kucoba untuk memperkenalkan mereka berdua.
“Oh iya Tri... ini Melly, dia... dia... pacar... saya...”
“Pacar?” wajah terkejut Tri yang mudah ditebak itu
tampaknya semakin membuat emosi Melly meluap... untungnya yang Melly lakukan
tidak terlalu mencolok, ia hanya mengikat rambutnya, memperbaiki tali sepatu
lalu bergegas pergi seraya... membanting pintu sekencangnya. Ok, dia marah
sekarang.
“Jadi kamu sudah punya pacar?” Tri bertanya lagi.
“Kita memang jarang terlihat jalan bareng atau mengobrol,
jadi hanya sedikit orang yang tahu kalau kita pacaran, tapi jika kamu bertanya
apakah Melly itu pacar saya, ya. Dia pacar saya.”
Tri hanya termenung, dalam hati sejak awal aku sudah tahu
rencana busuknya, akhir-akhir ini bahkan di kelas, Tri bersikap sok akrab dan
mulai menanyakan tentang organisasi apa saja yang kuikuti. Tapi seperti yang
kubilang, aku tahu reputasi orang ini dan aku tidak bersimpati atas itu. Tak
berapa lama, anggota teater yang lain pun bermunculan, hanya saja kali ini
mereka laki-laki.
“Wess... Lukman sudah ada disini, rajin betul. Coba tebak
siapa cowok yang lagi seneng sekarang?” ujar Bambang. Selain di klub teater, Dia
juga temanku di osis, menjabat sebagai sekretaris osis sekaligus ketua paskibra
di sekolah.
“Oh... siapa? Aku enggak tahu, aku jarang liat gosip
sekolah soalnya... Hahaha” jawabku.
“Si Sugih! Dia baru jadian kemaren! Nembak via sms!
Hahaha...”
“Ah... biasa aja. Jangan begitu...” Sugih menimpali,
Sugih juga temanku di osis dan dia anggota paskibra,teater juga rohis.
“Oh ya? Jadian sama siapa?”
“Teman sekelas, anak IPA-1, namanya Julia Fatmawati, tahu
kan?”
“Julia? Julia yang rambutnya panjang itu ya?”
“Ya. Di kelasku cuma ada satu Julia... ya Julia yang
cantik itu”
“Oh...”
Aku tertegun sejenak. Apapun menurut temanku Sugih. Aku
yakin dia tidak mengenalnya dengan baik. Julia yang kukenal adalah Julia yang
pahanya selalu kugunakan sebagai bantal disaat aku mulai merasa penat. Dan jari
jemarinya yang pintar mempermainkan rambut ikalku, entah apa tanggapan Sugih
jika ia tahu tentang itu. Mungkin akan lebih baik kalau aku sedikit menjauhi Julia
sekarang, Sugih adalah temanku dan aku lebih memilihnya. Sayangnya, meski aku
bisa melakukan itu, Sugih juga tidak tahu kalau Julia belum putus dari
pacarnya. Pacarnya memang berasal dari luar sekolah, jadi ia mungkin tidak
tahu, tapi jelas kalau Sugih tengah dipermainkan.
“Cewek samping kau itu sokap? kenalin dong bro...”
tiba-tiba temanku Uki bertanya. Seolah disadarkan, segera kukenalkan Tri kepada
mereka.
“Oh iya, kawan-kawan... ini Tri, mulai hari ini Tri akan
bergabung dengan klub teater kita... jadi mohon kerjasamanya ya...”
Semua anak laki-laki tersenyum kegirangan. Sebenarnya Tri
tidak begitu cantik, dia hanya... tidak jelek. Tapi entah mengapa semua
teman-temanku tampak antusias. Sementara Tri hanya mengumbar senyum palsunya,
seluruh anggota teater pun memasuki ruangan disusul dengan pelatih kita yang
bernama Iha Lesmana. Di sekolah ini ia dikenal sebagai Chuck Norris. Karena
baik jambang, kumis dan jenggotnya itu tampak serupa dengannya. Latihan
dimulai, topeng pun aku buka. Dalam akting, kutunjukan seperti apa aku yang
sesungguhnya. Tapi tetap saja. Aktingku jelek.
_________________________________
Keesokan harinya,
langit tampak mendung. Tampaknya nanti akan turun hujan, pikirku. Siang ini,
aku harus menghadap pihak tata usaha sebelum memasuki kelas. Masalahnya? Ya,
seperti biasa, baik di SMP atau SMA aku masih saja menunggak biaya spp... hanya
saja mungkin aku diperlakukan sedikit berbeda disini.
“Kamu yang namanya Lukman?”
“Ya pak...”
“Jadi... Lukman, begini, dari data yang ada di bapak,
kamu belum bayar spp selama 4 bulan ini ya?”
“Ya pak...”
“Kira-kira bisa diberesinnya kapan ya?”
“Kalau masalah kapannya saya kurang tahu pasti pak, saya
harus bertanya kepada orang tua saya tentunya...”
Bapak bagian tata usaha itu bernama Kusnadi. Pak Kusnadi
menatapku dalam...
“Yah, bapak harap tolong dikonfirmasikan secepatnya
ya...”
“Ya pak!”
“Tapi inget satu hal...”
“Ya pak?”
“Kamu harus tetap rajin sekolah, enggak perduli seberapa
banyak tunggakan kamu. Jangan sampai ini membebani kamu... meski begitu kamu
harus tetap mengabari orang tua kamu karena ini tanggung jawabnya... tapi diluar
dari itu, kamu harus fokus sama pendidikan kamu, ok? Jangan patah semangat!”
“Siap pak!”
“Ya sudah... masuk kelas sana”
Baru kali ini aku keluar dari ruang tata usaha dengan
perasaan sesejuk ini. Dulu sewaktu SMP aku harus menerima hukuman fisik hanya
karena masalah ekonomi, tapi sekarang tidak lagi. Terlebih menurutku menunggak
4 bulan spp sudah cukup baik... (biasanya lebih) tapi baru beberapa langkah aku
meninggalkan ruang tata usaha, pak Kusnadi sudah memanggilku lagi.
“Lukman!”
“Ya pak?”
“Begini, bapak lupa kalau bulan ini dinas pendidikan tengah
mengupayakan beasiswa khusus untuk siswa-siswa berprestasi... terus bapak lihat
prestasi kamu di sekolah cukup bagus, jadi bagaimana kalau bapak merekomendasikan
kamu saja yang menerimanya? Tentu saja itu pun kalau kamu mau mengurusnya ke
dinas pendidikan. Bagaimana?”
“Wah. Tentu saja mau pak. Mau sekali!”
Sudah kubilang. Seperti apapun sekolah ini. Ini adalah
sekolahku yang terbaik... ah. Hari yang indah. Kumasuki kelasku, baru saja aku
terduduk, temanku Tri sudah berada disampingku.
“Lukman...”
“Ya?”
“Bambang itu orangnya kaya gimana sih?”
“Dia... baik. Eh... kok tumben, kenapa? Kamu suka dia
ya?”
“Aku baru aja kirimi dia surat...”
“Surat?”
“Surat cinta... barusan aku nembak dia”
Pffftt!!! Rasanya aku ingin tertawa. Dasar Tri. Bisa-bisanya
dia menyatakan cintanya kepada orang yang tidak dikenalnya... tapi dalam hal
ini yang kucemaskan justru adalah temanku Bambang. Tahukah mengapa sering
kukatakan bahwa reputasi Tri itu sangat buruk dalam hal ini? Berbeda denganku
yang lebih senang menggoda perempuan tanpa status yang pasti, di bulan ini saja
Tri sudah memacari 3 pria di kelas, memang tidak secara sekaligus... tapi jika
kita lihat seperti apa kualitas dari mantan-mantannya... aku harus bilang kalau
itu parah. Mereka bukan tipe pria-pria tampan, kaya, baik ataupun pintar... dan
keputusan Tri untuk memilih pria-pria ini semakin membuat penilaianku buruk
tentangnya, begitu pula cara Tri meninggalkan mereka. Sangat buruk. Tapi
Bambang lain... dia temanku, dia tidak lebih pintar dariku tapi dia menonjol di
kelasnya, sosok yang bersih dan orang baik. Dan jika Tri memang bermaksud
menjadikan Bambang sebagai ‘kudapan’ baru... dia harus kuingatkan.
“Bambang... dia teman saya. Dan dia orang baik. Jangan
main-main dengan orang ini...”
Tiba-tiba Tri menatapku lain. Ia tampak marah. Mata itu,
dia tidak bisa berbohong dengan mata itu. Tapi aku tahu maksudnya. Dan aku
tidak akan mengindahkannya. Dengan segera Tri meninggalkan bangku disampingku
dan membiarkan pemilik aslinya untuk duduk. Dia teman sebangkuku. Namanya Gia
Gilang.
“Hei... Pengen curhat lah...” Gia memulai pembicaraan.
“Euh... apa bisa pilih waktu lain aja Gi?”
“Enggak bisa. Musti sekarang...” Gia memaksa.
“Sok atuh.
Cerita ada apa...”
“Gini, kemarin saya nyatain ke si Risma osis, tahu kan?”
“Euh... soal cinta lagi ini teh? Ah sudahlah!”
“Eh dengerin dulu, kamu mau tahu enggak jawabannya
gimana?”
“Enggak peduli!”
“Dia jawab begini... kak Gia, Risma itu sayang sama kak
Gia sebagai teman, jadi gimana kalau kita jadi kakak-adik aja?”
“Fiuh... anggap aja itu awal yang bagus... biasanya respect atau rasa hormat jauh lebih
sulit didapat ketimbang hasrat...”
“Tapi Lukman... kamu tahu enggak sesuatu yang lebih buruk
dari itu...?”
“Enggak tahu dan enggak mau tahu jadi jangan kasih
tahu...”
“Masa iya dong, si Risma malah nembak cowok lain...
selang 5 menit setelah aku nyatain...”
“Ya bagus. Jadi kamu tahu seberapa baik dia buat kamu...”
“Bukannya gitu, tapi kamu tahu enggak sih, siapa yang dia
tembak?”
“Pastinya cowok itu mati, iya kan? Peluru kaliber berapa
yang si Risma pake?”
“Aku serius!”
“Ok. Ok. Siapa?”
“Felix.”
Sejenak aku terdiam. Felix adalah teman sekelasku juga,
dan dia tahu betul kalau Gia menyukai Risma.
“Menurut kamu nih man, keren mana aku dibanding Felix?”
“Si Felix lah... rambutnya aja mohawk, jauh banget sama kamu yang punya rambut seperti Nobita...”
Gia Gilang membeku. Awan mendung disertai petir bukan
hanya terlihat di luar jendela kelas, tapi juga di wajahnya. Dan seolah tahu
bahwa ia tengah diperbincangkan, Felix berjalan mendekat ke arah meja kami
berdua.
“Yo brother!
Gua punya berita bagus buat kalian berdua!”
“Apa? Cerita dong cerita...” ujarku. Yang meskipun aku
tahu apa yang akan diceritakan Felix akan membuat telinga Gia memanas, tapi aku
sendiri sudah punya rencana dengan ini.
“Gua baru jadian brother! Sama si Risma, gebetan si Gia!
Hahaha... sory loh Gi, tapi dia lebih milih gua tuh... hahahaha”
Wajah Gia merah padam, kulihat dia berusaha untuk
tersenyum tapi kutahu ini senyum yang menyakitkan untuknya.
“Wih, keren. Kira-kira apa yang pertama kalian lakuin
waktu jadian?” tanyaku, mencoba antusias. Dan sekali lagi, jawaban Felix pasti
akan menyakitkan buat Gia.
“Tentu saja gua bawa ke tempat spesial. Dimana gua bisa
pesen minuman beralkohol dengan bebas... dan lu tahu enggak Gi, berapa botol
yang bisa dihabisin sama si Risma?”
Gia hanya tersenyum getir.
“Tujuh botol! Ya! Tujuh botol sekaligus! Hebat kan cewek
gue?”
“Keren. Coba kamu nyobain juga, bisa collapse tuh...” aku pun menimpali. Sebenarnya aku hanya menyindir
kebohongan Felix yang berlebih, yang sayangnya mungkin dipercayai oleh Gia.
“Lu sendiri man, gue denger-denger lu udah jadian sama si
Melly ya?” Felix bertanya.
“Jadian apa? Ah gosip itu. Lagian nih ya, aku enggak bisa
bersaing sama kamu yang notabene paling keren di sekolah ini kan? Urusan cewek
beneran deh, juragan Felix ahlinya...” aku menjilat.
“Hahahaha... biasa aja” ujar Felix melambung.
“Eh, aku serius, para anak cewek kelas 10 disini banyak
yang ngomongin kamu Fel!”
“Wah serius kamu?” Felix semakin penasaran. Sementara
Gia, entah seperti apa perasaannya sekarang.
“Iya. Wah kalau nasehatku sih, cerita jadiannya kamu sama
si Risma ini jangan sampai tersebar, bisa patah hati mereka nanti...”
“Oh ya? Bisa kaya si Gia sekarang dong ya? Hahaha... ya
sudah thank you infonya man! Gue suka gaya lo hari ini!” jawab Felix seraya
kembali ke bangkunya dengan senyum penuh percaya diri. Sementara itu, wajah Gia
tampak masam. Aku tahu dia juga sedikit menaruh kekesalannya padaku. Sebelum
itu berkembang, kucoba untuk menenangkannya sejenak.
“Kamu percaya semua yang dia bilang?”
“Hm?”
Gia masih terdiam.
“Aku enggak nyangka Risma bisa kayak gitu...” jawabnya
pelan.
“Jadi kamu percaya cerita bohong itu?”
“Hm? Enggak tahu deh... Pusing aku.”
“Heh. Kamu enggak nyadar kalo si Felix bohong ke kamu
supaya kamu bisa ilfeel sama si
Risma? Aku tahu Risma. Dia bawahan saya di osis. Dan percaya deh, dia bukan
perempuan yang seperti Felix bilang... karena kalau iya benar dia seperti itu,
aku sendiri yang bakal pecat dia. Tertulis atau tidak tertulis!” ujarku tegas.
“Jadi menurutmu aku ini musti gimana? Ngeliat cewek yang
aku suka jalan bareng sama cowok macam Felix? Diem aja gitu? Sementara kamu
sendiri lebih dukung Felix dalam hal ini...”
“Hush! Siapa bilang aku dukung kecoak kampret macam dia?
Enak aja... yang kulakuin tadi juga buat kau... mumpung si Felix itu ngerasa
diatas angin, makanya, satu-satunya cara menjatuhkannya adalah membuat dia
terbang lebih tinggi dari itu... karena semakin tinggi orang terbang...”
“Semakin sakit dia jatuh...!” Gia meneruskan.
“Nah itu kamu tahu. Yang perlu kamu lakuin sekarang cukup
mengikhlaskan Risma, dan percaya deh cepat atau lambat Risma akan sadar bahwa
ia salah memilih cowok. Dan Felix... kupikir tanpa provokasi dari saya pun dia
pasti akan memilih untuk mendua.”
Gia hanya mengangguk. Aku sendiri memang kurang menyukai
Felix karena kupikir gayanya itu sangat norak. Rambutnya, parfumnya, gaya
berjalannya, semuanya... tapi entah mengapa Risma bisa menyukainya. Mungkin
selera anak perempuan disini sangat rendah, mengingat lokasi sekolahku yang
dekat dengan pegunungan dan pedesaan. Tapi kuharap Gia tidak menaruh harap
terlalu besar pada Risma. Karena, aku sendiri tahu bagaimana rasanya digantung
oleh harapan palsu Indi. Dan disini aku tengah berusaha melupakan semua itu
dengan menyukai perempuan lain... tapi tidak ada. Tidak ada yang sanggup
melakukannya... yang bisa kulakukan hanya berusaha memperbanyak kiprahku di sekolah
sampai suatu hari aku bisa bertemu Indi dalam keadaan yang membanggakan. Dan
aku berdoa agar dia memilihku.
Kelas dimulai. Guru masuk ruangan dan suasana riuh di
kelas mulai memudar. Kucoba untuk fokus, mendapatkan nilai terbaik setiap hari.
Karena disini, aku tidak perlu lari 35 putaran lagi atau lompat kodok menuruni
tangga hanya karena belum melunasi buku. Hebatnya lagi, jika ada satu guru saja
yang berceloteh bahwa ia akan menunda nilai siswanya karena belum melunasi
buku, dia akan segera dipecat. Itu benar. Hal itu pernah terjadi ketika salah
seorang guru mengancam temanku yang belum melunasi bukunya. Dan esok harinya
guru itu sudah menghilang, disusul oleh pemberitahuan dari kepala sekolah yang
memecatnya. Padahal, menurutku guru itu masih jauh lebih baik ketimbang guruku
sewaktu SMP. Setidaknya dia tidak menghukum temanku dengan rentetan hukuman
fisik, atau mempermalukan siswanya didepan umum dengan cacian-cacian yang
merendahkan seperti apa yang dilakukan guruku yang terdahulu. Semoga saja orang
itu baik-baik saja sekarang. Semoga.
Jam 5 sore. Kelas bubar. Di persimpangan lorong kelas,
pak Iha, pelatih teater, memanggilku dan Gia Gilang yang kebetulan seharian ini
bersamaku.
“Lukman... untuk pentas nanti judulnya ‘Caleg Elan’ kamu
jadi tokoh utamanya ya?”
“Oh. Siap pak!”
“Oh ya, lawan main kamu nantinya itu Tri ya?”
“Hah? Tri?”
“Iya. Tri. Nanti ceritanya kamu jadi calon anggota
legislatif partai politik nih, nah Tri itu nantinya bakalan jadi sekretaris
kamu...”
“Oh...”
“Terus saya jadi apa pak?” tanya Gia.
“Kamu jadi ketua tim suksesnya Lukman”
“Oh... ok, siap pak.”
“Ok ya... nanti latihan harus datang semua”
Di gerbang sekolah, aku berpisah jalan dengan Gia. Aku
mulai cemas, jika Tri yang menjadi lawan mainku, aku takut jiwa cemburu monster
Melly kumat. Ah, tapi tidak. Bukankah Tri sudah jadi pacar Bambang? Kalau
begitu tidak ada yang harus dicemaskan... dan benar saja, baru saja aku
memikirkannya, Melly dan Tri muncul seraya bergenggaman tangan... tampaknya
mereka sudah menjadi teman baik. Dasar perempuan, mudah sekali berubah.
“Hai... kompak bener, mau pada kemana nih...?” kucoba
untuk menyapa.
“Mau pulanglah...”
Sementara kulihat temanku Bambang pun muncul mendekati
Tri, Pacarku itu, Melly, kali ini dia tersenyum. Meraih tanganku dan menciumnya.
Meski ini bukan yang pertama, aku masih merasa risih... kutarik lenganku
cepat-cepat...
“Kenapa?” Melly bertanya.
“Enggak enak ah...”
“Enggak enak kenapa?”
“Soalnya kamu kelahiran tahun 89, sedangkan saya
kelahiran 90, jadi kamu yang lebih tua dari saya...”
“Ya biarin kamu kan cowok aku...”
“Hahahaha”
Tiba-tiba Bambang yang melihatku pun mulai menggoda;
“Cie cie dua sejoli nih ye...” ujarnya.
“Cie cie yang baru jadian...” balasku.
“Ahay...”
“Ok, Mell... hati-hati ya...” ujarku pada Melly.
“Iya kamu juga.”
Tiba-tiba entah datang dari mana si ketua osis yang super
jutek itu menabrak bahuku dengan sengaja.
“Kamu pacarnya anterin dong...”
Inilah yang tidak membuatku nyaman bersama Melly,
disekitarnya selalu saja ada pengganggu yang mencampuri urusanku. Jika saja
mereka mengerti apa yang tengah kuusahakan. Jika saja.
“Enggak apa-apa kok. Aku bisa pulang sendiri” jawab
Melly.
“Kamu beneran enggak apa-apa?”
“Yaaaa Lukman... aku bisa jaga diri, percaya deh”
“Ok, kalau begitu. Hati-hati. Kamu pulang bareng sama Tri
dan Bambang aja, kebetulan mereka arahnya satu jalur”
“Ya Mell, kamu bareng kita aja ok?” seru Bambang.
Melly hanya tersenyum, sementara awan mendung mulai
menunjukan sikapnya. Hujan turun. Petir menggelegar, hanya dalam hitungan detik
gerimis berubah menjadi hujan lebat... Melly menarik lengan bajuku mengajakku
untuk berteduh, tapi aku segera menepis tangan itu...
“Kamu aja yang berteduh... aku enggak apa-apa disini!”
seruku.
“Kenapa begitu? Ini kan hujan gede Lukmaan?” Tanya Melly
“Karena aku suka hujan! Lagian hanya basah sedikit di
baju enggak akan bikin cinta aku ke kamu itu luntur kan?!”
Kukatakan itu dengan setengah berteriak, takut kalau
suaraku tersamarkan deras air... Melly hanya tersipu, lalu Tri menarik
lengannya... membuatnya meninggalkanku kehujanan dan membiarkannya berteduh di
kantin sekolah. Sementara aku sendiri ditarik oleh lengan asing yang menarik
lenganku dan memasukanku ke sebuah ruangan... pos satpam.
“Jangan hujan-hujanan. Nanti kamu sakit.” ujar orang itu.
Kucoba untuk fokus, mencoba mengenali suara itu. Itu
bukan suara pak satpam. Itu suara perempuan dan dia... berwajah cantik.
“Kamu enggak apa-apa? Baju kamu basah begitu...”
“Hehe... enggak apa-apa kok teh... udah biasa...”
Kupanggil dia teteh,
karena dia adalah kakak kelasku. Namanya Tia. Tia Octavia. Awal perjumpaanku
dengannya yaitu ketika aku masih menginjak kelas 10, saat itu kelasku berada di
lantai dua. Dan dari jendela kelas itu aku bisa keluar dan memanjat dinding
seraya membawa bunga yang biasa digunakan sebagai pajangan penghias meja guru.
Dengan bunga itulah aku menggoda setiap anak perempuan yang lewat... dan salah
satu yang kugoda adalah Tia... waktu itu dia mengenakan seragam batik, dan
karena aku hanya siswa baru, aku tidak sadar kalau seragam batik yang ia
kenakan itu adalah seragam batik sekolahku. Sejak itulah Tia mulai mendekatiku.
Hal baiknya adalah... Tia memiliki paras yang cantik, bahkan harus kuakui ia lebih
cantik dari Indi. Selain itu ia tinggal di jalan Supratman, tidak jauh dari
rumahku. Tubuhnya juga terlihat sempurna, tidak terlalu pendek dan tidak
terlihat gemuk. Sejujurnya, aku punya banyak sekali kesempatan untuk menjadi
pacarnya. Tapi keraguanku yang paling mendasar pun muncul... keraguanku bahwa
dia gadis yang baik muncul ketika melihat gayanya berpakaian... seragam itu...
menurutku seragam itu terlalu ketat. Roknya pun masih terlalu pendek.
Sebenarnya aku tidak bermasalah dengan ini, karena perempuan yang biasa kugoda
pun biasanya bukan kalangan perempuan yang baik. Tapi untuk menjadi pacar...
tunggu dulu. Setidaknya Melly masih lebih baik. Tapi seperti yang biasa
kubilang, Melly adalah kesalahan teknis... aku bahkan tidak mengenalnya sebelum
ini. Aku tidak mengincarnya. Dia yang mengincarku...
“Hei. Kok malah melamun?” Tia menyadarkanku.
“Oh enggak hehehe...”
“Hari ini kita pulang bareng lagi ya?”
“Emm... gimana ya teh?”
“Kenapa? Kamu enggak bisa?”
“Lebih tepatnya tidak bisa hari ini”
“Akhir-akhir ini kita jarang jalan bareng lagi, apa
jangan-jangan kamu sudah punya pacar?”
“Emm... kalaupun saya sudah punya pacar, itu bukan
halangan buat saya jalan bareng teteh...
hehehe”
“Terus kenapa? Oh iya, rumah kamu tuh yang di jalan
Supratman kan? Deket rumah aku kan?”
“Ya sekitar situ lah...”
Kujawab sekitar situ. Dulu aku mengaku padanya bahwa
rumahku dekat dengannya, dekat dari Supratman. Jalan Supratman sendiri identik
dengan jajaran rumah-rumah besar dan penghuninya yang kaya raya. Tentu saja Tia
tidak tahu kalau sebenarnya aku anak yang tinggal di belakang jalan tersebut.
Yaitu jalan Cikaso Barat. Sebuah tempat dengan gang-gang yang panjang dan gelap
di kala malam. Cikaso. Sebuah tempat yang jika orang mendengar namanya saja
akan langsung bergidik. Konon, pada masa permulaan orde baru, banyak preman
yang dibantai dan hilang secara misterius disana. Tapi tentu saja itu tidak
sepenuhnya benar, toh aku baik-baik saja tinggal disana, lagipula tempatnya
strategis karena berada di pusat kota.
5 menit berlalu. Akhirnya, aku melihatnya. Setelah hanya
terduduk berdua dengan Tia di pos, orang yang kutunggu-tunggu pun muncul. Dia
adalah Syifana, dengan setengah berlari
dia menggunakan kedua tangannya untuk melindungi kepalanya yang ditutupi
kerudung. Aku tersenyum dan bangkit, segera saja aku berpamitan dengan Tia.
“Teh, maaf hari
ini saya ada janji, teteh bisa pulang
sendiri kan?” ujarku berbohong.
Tia Octavia hanya melihatku beku. Seolah ia masih ingin
aku disini dan tak rela melepasku begitu saja.
“Janji? Oh...” Tia hanya mengangguk kaku dan menatapku
kosong. Aku hanya tersenyum. Kuusahakan agar senyum itu terlihat tulus, lalu
kuremas jemari tangannya, kali ini sedikit lebih keras. Agar ia bisa mengingatku.
Lalu kutinggalkan ruangan itu. Kubuka tasku, kukeluarkan sebuah benda
didalamnya. Dan itu adalah sebuah payung lipat. Segera saja kukejar Syifana
sebelum ia mencapai tempat berteduh. Kukembangkan payung dan segera berdiri
dihadapannya.
“Mau ikut teduhan?” sapaku.
Syifana tertawa, dia hanya menganggukan kepala tanda ia
setuju. Akhirnya, konsep “gentleman
attitude” berhasil kupraktekkan.
“Kenapa ketawa?”
“Kamu itu lucu...”
“Lucu kenapa?”
“Lucu aja, masa iya cowok bawa payung ke sekolah...”
“Oh ini. Asik tahu, serasa jalan-jalan di Eropa...”
“Hahahahaha....”
Sementara Syifana terus tertawa, aku pun menghentikan
langkahku sejenak.
“Lagipula...”
“Lagipula kenapa?” Syifana menghentikan tawanya.
“Lagipula saya laki-laki yang enggak suka basah dan
karena itu saya enggak bisa biarin air hujan ini ganggu kamu biarpun cuma
setetes... jadi kalau payung ini bisa menghalau sedikit saja air hujan ini dari
kamu saya sudah cukup senang...”
Syifana malah tertawa lebih keras dan mengataiku dengan
sebutan ‘gombal’, sayangnya di balik tawa itu aku harus melihat tatapan amarah
dari tempat lain. Aku lupa bahwa Tri, Ina, Bambang dan Melly masih berteduh di
kantin, melihatku tajam. Sedang Tia hanya memainkan tombol handphonenya dengan
wajah cemberut. Tak ingin ambil pusing, segera kuajak Syifana untuk bergegas, menyebrangi
jalan. Dan persis seperti yang tertera di buku “Tata Tertib dan Perilaku” aku
menyebrangi jalan raya dengan posisiku yang berada di bagian paling luar atau
berhadapan searah dengan laju kendaraan. Dengan kata lain, melindungi Syifana.
Karena jalan didepan sekolahku memiliki dua jalur, aku pun bergerak
menyesuaikan arah datangnya kendaraan, dari samping kanan Syifana lalu
berpindah ke sebelah kirinya. Syifana yang mengerti maksudku hanya tersenyum.
Senyum tersipu. Misi berhasil. Setidaknya untuk hari ini.
___________________________________________
Waktu menjelang malam. Radio memperdengarkan sebuah lagu
dari sebuah band pendatang baru, Nidji dengan single “Hapus Aku” yang membuatku
termenung karena mendalami liriknya, sementara kutatap handphone kakakku yang
kini resmi menjadi milikku setelah ia berikan---------menunjukan
sebuah pesan singkat dari sosok yang lama kukenal... atau bisa disebut juga
sosok yang sudah lama tidak kukenal. Indi.
Luukmmann!!! Sore
tadi hujan gede ya?
Kamu enggak
hujan-hujanan kan?
Jangan lupa
jaketnya!! Pokonya Indi enggak
mau, enggak mau
banget, kalo kamu sakit.
Jadi jangan
bandel!!!
Pengirim : Indi
Indriani.
23/10/2007
20;32;34
Ayolah, yang benar saja. Aku bukan anak kecil lagi... aku
tidak membutuhkan semua perhatian ini. Yang kubutuhkan hanya kepastiannya,
bagaimana jawabannya, apa perasaannya. Lantas bisakah ia mengerti aku barang
sedikit saja? Jika memang ia tidak menyukaiku, katakan saja... aku tidak
keberatan meskipun mungkin aku akan melakukan pembelaan jika perasaanku
dikritisi. Dan harus aku akui bahwa yang pertama kali memberikan perhatian
lebih melalui sms adalah aku... tapi hey... aku melakukan itu karena aku
memang menyukainya... tapi apa ini? Yang
dia berikan ini? Hanya harapan-harapan tidak jelas, bukankah sudah kukatakan
padanya : “Indi. Saya enggak tahu harus mulai dari mana mungkin kamu sudah
dengar ini dari teman-teman saya, tapi harus saya katakan bahwa semua itu
benar, kalau saya suka kamu dari dulu dan yang perlu saya ketahui sekarang cuma
satu dan tolong kamu jawab bagaimana perasaan kamu pada saya...” sebagai pria
kukatakan itu dengan tegas dan lugas tapi apa jawaban Indi? Tidak ada. Dia
tidak memberikan jawaban apapun. Selama 3 hari Indi bersikap diam padaku. 3
hari. Itu waktu yang cukup lama untuknya berpikir. Membuatku harus berdalih
padanya dan berkata : “Maaf Indi. Ini benar-benar kesalahan saya. Anggap saja
saya tidak pernah berkata apapun...” saat itu kupikir ini saatnya. Aku akan
mencoba lepas dari Indi dan menjalani kehidupan terbaikku di sma... tadinya aku
sudah cukup pasrah dan ikhlas. Tapi apa yang terjadi? Indi kembali dengan
segala sikap posesif tidak pentingnya. Dan sekali lagi kutanyakan padanya :
“Indi, sebenarnya posisi saya dalam hidup kamu itu apa sih?” lalu Indi pun
menjawab : “Ada aja!”
Ah. Jawaban apa itu? Apa dia mengira perasaanku ini
mengada-ngada juga? Setiap perhatian itu terus ia berikan meskipun aku mencoba
untuk tidak peduli. Setiap perhatian itu terus ia berikan sementara di sekolah
popularitasku meningkat dan para perempuan melihatku seperti properti yang
menggiurkan. Melly misalnya. Tahukah bagaimana cara dia bisa menjadi pacarku?
Jujur saja, tidak seperti anak perempuan yang lain yang begitu agresif, Melly
tidak pernah mendekatiku dengan godaan yang norak. Disini ia mengandalkan
teman-temannya... sebut saja Ina si ketua osis, Rini si petugas mading, Rudi
dan Wahyu yang seorang senior sekaligus anggota tim sukses Melly yang paling
gencar dan sekelompok anak perempuan lainnya yang dalam sekejap mengerubungiku
dalam lingkaran makcomblang... aku? Saat itu aku tengah mengincar Syifana
sebagai pelarianku dari Indi. Celakanya Syifana dan Melly juga merupakan teman
baik... bayangkan saja, jika aku menjadi pacar seorang Syifana, maka hubungan
Melly dan Syifana akan hancur dan ini tidak baik buat Syifana... celakanya
lagi, bagaimana jika Syifana menolakku? Yang akan terjadi adalah Melly pun
tidak akan tertarik lagi padaku... dan ini pun tidak menguntungkan. Maka
terjadilah, kita berdua resmi pacaran. Pacaran dengan cara yang sangat
garing... karena Melly adalah seorang pendiam dan aku tidak bisa mengusahakan
perasaanku untuk tumbuh karena sifat diamnya. Aku tidak mau memulai apapun karena
yang memulai bukan aku. Dalam hati aku berharap Melly bisa bersikap layaknya
perempuan lain, bisa bersikap manja, marah jika tak kuperhatikan, atau
memintaku untuk mengantarnya. Tapi tidak. Yang bisa Melly lakukan hanya
menangis. Dan belakangan diketahui bahwa ternyata Wahyu seniorku yang
mendukungku untuk jadian dengan Melly diam-diam juga mengincar Syifana. Pantas
saja.
Lalu jelasnya bagaimana posisi perasaanku saat ini? Saat
ini aku masih menunggu kepastian Indi. Dan selama menunggu aku akan berlatih
mengenal perempuan. Melly? Bagaimanapun juga dia harus memutuskanku lebih dulu.
Aku tidak berani mengatakan perasaanku yang sebenarnya padanya. Setidaknya aku
masih mengejar Syifana karena perempuan seanggun dia bisa sedikit membuatku
lupa dengan Indi. Selain itu ada teh Tia dan banyak perempuan lainnya sebagai
cadangan. Apakah aku cukup kejam? Kupikir tidak juga, karena ini hanya ada di
pikiranku dan belum bisa terjadi selama aku belum single.
Oh iya, bukankah sebentar lagi aku akan tampil bermain
teater sebagai tokoh utama? Mengapa tidak kuajak Indi untuk menyaksikan itu?
dengan segera kuraih handphone dan mengabarinya.
_________________________________
Latihan Teater. Semua telah mendapatkan perannya
masing-masing. Beberapa siswa ada yang menjadi seksi artistik, sedang Melly
sibuk mengurus bagian konsumsi. Pada mulanya semua berjalan normal-normal saja
sampai bagian dimana adeganku ketika harus menggoda Tri yang entah bagaimana
menjadi lawan mainku. Ruang latihan menjadi riuh... hey, hey, ada apa dengan
mereka? Tri itu pacarnya Bambang dan aku pun sudah punya pacar... tenang saja
ok, ini ada di naskah. Tapi tidak dengan Melly... tampaknya dia sama
sekali tak tertarik untuk melihat ini.
Latihan berlangsung selama 80 menit. Dan akhirnya saatnya
untuk istirahat. Syifana tiba-tiba melintas dari luar ruangan. Aku pun bangkit
dan mengejarnya. Para anak perempuan terutama para simpatisan Melly meracau...
aku tak peduli. Aku hanya menyapa Syifana
untuk menanyakan novelku dan kembali ke dalam ruang latihan. Dan disana
aku langsung menghadapi persidangan. Hakimnya... siapa lagi? Ina si ketua osis.
“Jadi sekarang Syifana?” Ujar Ina menginterogasi.
“Maksud kamu?”
“Jadi kamu suka sama Syifana?” Tambah Ina lagi.
“Emmm... sebetulnya aku sukanya sama orang yang namanya
Ina, tapi dia nyadar enggak yah?”
Tampaknya Ina tidak siap dengan jawabanku sehingga
wajahnya dengan cepat memerah... lalu sambil berusaha tenang ia menghardikku
lagi...
“Serius!! Kamu itu ada urusan apa sama Syifana? Liat
pacar kamu... kasihan dia disana!!”
Ina membentakku dengan keras sehingga semua anak
mendengarnya. Semua berubah hening. Beruntung pak pelatih tidak ada disini...
ini sedikit memalukan. Melly pun tampaknya kaget karena menjadi bahan
pembicaraan. Kucoba untuk menarik nafas untuk menenangkan diri.
“Jadi kamu sudah merasa seperti jadi mertua saya begitu?”
ujarku.
“Apa?” Ina hanya memicingkan matanya.
“Lihat Melly, dia baik-baik saja. Urusan saya dengan
Syifana hanya mengenai buku novel yang saya pinjamkan... tidak lebih.”
“Kamu tuh ya...”
Bambang mendekat untuk menengahi dan semua menjadi terasa
menyebalkan. Apa salahku? Dasar mereka ini ikut campur saja. Tapi begitulah,
terkadang memiliki pacar juga bukan hal yang menyenangkan. Terutama jika alasan
kita berpacaran hanya karena provokasi teman. Tak lama dari kejadian itu
ruangan pun kembali hening. Pak Iha pun akhirnya masuk ruangan kembali. Dengan
tenang beliau menjelaskan bahwa pertunjukan akan siap diselenggarakan
dalam dua bulan lagi.
“Bagaimana dengan tempat kita tampil nanti pak? Apa sudah
ada konfirmasi dari pihak pengelola Baranang Siang?” aku bertanya.
“Ya. Kebetulan bapak sudah berbicara mengenai itu, dan pihak
pengelola gedung mengatakan bahwa jadwal pertunjukan nanti akan cukup padat...
jadi selain kita nantinya akan ada kelompok lain yang juga akan tampil” jawab
pak Iha.
“Wah. Itu kesempatan bagus pak! Karena bisa menarik
penonton lebih banyak lagi”
“Ya. Bapak juga berharap begitu. Oh ya, kalau tidak salah
nama kelompok yang akan tampil setelah kita pentas itu namanya Kabaret
Senyum...”
Kabaret Senyum? Pak Iha berkata bahwa yang akan tampil
nanti adalah Kabaret Senyum? Entah mengapa aku merasa tidak asing dengan nama
kelompok itu. Lalu kucoba untuk mengingat. Benar juga. Kabaret Senyum... kalau
tidak salah semasa SMP dulu ada semacam ekstrakurikuler sekolah bernama Kabaret
Senyum... meski di sekolah itu sudah menjadi ekstrakurikuler, tapi organisasi
itu terus berkembang sampai diluar sekolah. Dan memang anggota dari kelompok
itu kebanyakan berasal dari sekolahku yang dulu. Chandri Kirana... itu artinya
akan ada banyak alumni SMP-ku yang akan datang menonton, karena pemain-pemain
dari Kabaret Senyum kebanyakan adalah teman-temanku semasa SMP. Mungkinkah?
Mungkinkah kali ini Indi bisa datang? Dulu... sewaktu aku pertama kali masuk
Klub Teater ini, Indi tidak pernah muncul... Indi tidak pernah ada di bangku
penonton. Tadinya kupikir Indi tidak bisa datang karena ia tak punya teman
untuk menemaninya melihatku. Meskipun aku juga berharap bahwa Indi bisa
mengajak orang tuanya, tapi kupikir Indi tidak suka teater. Dan dengan
munculnya Kabaret Senyum yang notabene anggotanya adalah teman-temannya di
kelas 3A, kemungkinan besar dia bisa mengusahakan untuk datang... ah. Rasanya
aku bersemangat. Hampir 2 tahun lebih aku tidak melihat Indi. Ini pasti
menyenangkan.
______________________
Malam menjemput. Hatiku kalut. Layaknya cenayang, aku
merasa sudah tahu apa yang akan terjadi beberapa saat lagi. Bagaimana bisa
begitu? Tentu saja karena hampir setiap malamku diisi dengan sebuah kejadian
yang sama... dan malam ini pun pasti tidak akan ada bedanya. Handphone
berdering, tebakanku salah. Kali ini Indi tidak mengirimiku SMS melainkan
menelponku secara langsung. Yah tapi intinya sih sama saja. Indi menghubungiku.
“Halo... Assallamu’alaikum” kuusahakan agar suaraku
terdengar lembut dan ramah ketika mengangkatnya.
“Walaikumsallam... Lukman?”
“Ya Indi?”
“Masalah kamu pentas nanti itu...”
“Oh iya ada kabar baru lagi nih, katanya setelah saya
pentas nanti Zae temen kamu waktu SMP itu juga bakalan tampil di panggung yang
sama bareng aku lho!”
“Zae? Anak Kabaret Senyum?”
“Iya... Kabaret Senyum! Temen-temen kita waktu SMP juga
kayanya bakalan dateng juga deh...”
“Lukman... mengenai itu... kayanya...”
“Ya?”
“Aku enggak bisa dateng liat kamu...”
Akhirnya. Untuk kesekian kalinya kata itu terucap lagi.
Aku menarik nafas. Bahuku terasa berat dan dadaku pun terasa sesak... sangat sesak.
Lenganku bergetar menahan handphone agar tetap di posisinya... kuusahakan agar
bisa tetap tenang.
“Oh. K-kenapa? Kenapa kamu enggak bisa...?”
“Kata mama aku enggak boleh main terlalu malam...”
Haah.
Rupanya itu alasannya. Aku merasa sedikit lega.
“Oh itu... tenang aja, jadwal pertunjukan aku tuh
mulainya jam 2 sore, paling sekitar sejam dua jam juga pasti udah beres...
gimana? Bisa kan ya? Bisa ya bisa ya? Please...”
“Gimana ya? Ya deh nanti Indi usahain...”
“Ya dong... harus itu, hehehe... kalau kamu enggak dateng
aku mau pundung terus marahan gak mau
baekan lagi...”
“Iiih kok gitu? Ya deh ya, Indi usahain biar bisa liat
Lukman main teater!”
“Hehehe... gitu dong”
“Indi usahain... tapi Indi enggak janji lho ya...”
“Enggak mau tahu. Pokoknya kamu harus dateng... hehehe”
“Ya udah. Sekarang Indi mau tutup handphonenya. Kamu
cepet bobo jangan suka tidur terlalu malem... nanti bangunnya kesiangan lagi”
“Iya iya...”
“Jangan lupa mimpiin Indi!”
Tuut. Tuut. Tuut. Ia menutupnya. Aku tersenyum, meski
dalam hati sejujurnya aku ragu Indi bisa datang. Entah apa yang akan terjadi
nanti tapi aku benar-benar mengharapkannya. Kali ini saja. Kuharap kali ini ia
bisa ada untukku.
_______________
2 bulan berlalu. Saatnya pertunjukan. Semua properti
sudah terpasang di panggung. Semua penonton telah memasuki gedung. Tirai
tertutup rapat, moderator mulai mempersiapkan sambutan. Di belakang panggung,
aku tengah menggigil bersama temanku. Gia Gilang...
“Ini bukan pertama kali, tapi kayaknya aku demam panggung
gi...” ujarku.
“Sama. Aku juga, rasanya tegang banget...”
“Musti maksimal gi! Musti maksimal!”
“Iyah. Ayo kita edan-kan
akting kita!”
Pak Iha menghampiri kami semua, mengajak kami untuk
membuat sebuah lingkaran. Kami berdoa. Dan ditutup dengan teriakan sekencang-kencangnya,
maksudnya agar bisa menghilangkan ketegangan sekaligus pemanasan vocal. Dan
moderator pun mulai membuka sambutannya.
“Kita sambut Teater Kawani dari SMA Tata Budaya
Bandung... dengan judul... Caleg Elan... Selamat Menyaksikan...!”
Tirai panggung dibuka. Aku masuk panggung membuka adegan
dengan sebuah monolog yang cukup panjang. Semua lampu menyorotiku. Aku tidak
tahu dan tidak peduli berapa banyak pasang mata yang melihatku sekarang...
karena ketika naskah kumainkan, entah mengapa panggung terasa gelap seolah
hanya ada aku sendiri disini...
_____________
Akhirnya. Selesai juga. Tepuk tangan penonton mengakhiri
permainan kami. Semua berjalan sukses, meski tidak bisa dihindari kesalahan
teknis selalu ada tapi kami bisa melalui itu. Semua pemain, kru, termasuk
sutradara sekaligus pelatih kita pak Iha muncul untuk memberikan penghormatan
penutup. Semua tersenyum puas... sedangkan mataku hanya bisa menyapu seluruh
barisan tempat duduk penonton... dia. Indi. Sudah kuduga dia tidak akan datang.
Tak ada satu penonton pun yang bangkit
dari tempat duduknya untuk menemuiku. Tidak ada. Dan aku merasa aneh, teman-temanku memelukku,
menjabat tanganku, tertawa penuh keriangan sedang aku harus memaksakan senyum
karena kekecewaan. Apa ini? Sejauh ini Indi memang tidak pernah ada bukan?
Mengapa aku harus sesedih ini? Mengapa aku harus mengharapkan orang yang tak
pernah ada? Sementara Melly menggenggam tanganku, membuatku semakin merasa tak
karuan. Kubuka resleting tasku, kuaktifkan handphone. Sebuah SMS...
Lukman... maaf hari
ini enggak bisa kesana
seharian ini indi
demam, enggak bisa kemana-mana
Pengirim : Indi
Indriani
15/12/2007
13;47;32
Apapun alasannya. Sejujurnya aku sudah tidak peduli...
apakah itu kebohongan ataupun kejujuran. Sudah tidak ada bedanya. Intinya, dia
tak ada disini. Ya sudahlah. Kubereskan semua peralatan di panggung dan juga
make-up yang masih menempel di wajah. Tak berapa lama, Tri menghampiriku.
“Lukmaaan...”
“Ya?” sahutku seraya berusaha terus menyibukan diri
“Kamu mau maafin Tri enggak?”
“Maafin kenapa...?”
“Selama ini tiap kali latihan Tri cuma bisa bikin Melly
marah...”
“Itu biasa. Enggak usah dipikirin”
“Tapi ini beneran Lukman!”
Aku tak menggubrisnya. Tak mau aku menggubrisnya,
pikiranku runyam. Aku lebih memilih untuk membuat tubuhku ini sedikit berguna
dengan membereskan properti. Tri hanya terdiam melihatku lalu kemudian ia pergi
ke belakang panggung.
“Woy! Tinggalin dulu itu properti, kita makan dulu sini!”
Seru Gia. Aku hanya mengangguk. Saat makan, semua larut
dalam tawa, dan aku pun berusaha keras untuk mengikuti arus keceriaannya. Tapi
tetap saja, ada yang mengganjal. Meski begitu aku bersyukur karena membaca SMS
Indi pada saat pertunjukan usai, sehingga tidak mengganggu konsentrasiku
bermain. Selesai dengan sedikit evaluasi, makanan, properti, kostum dan make-up
kita pun akhirnya bergegas keluar gedung. Beberapa teman dan guru dari pihak
sekolah rupanya telah menunggu di luar gedung. Mereka menyalami kami, seraya
berkata “Selamat ya...” aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Tubuhku
lunglai. Hingga akhirnya semua itu sedikit terhapus ketika aku melihat sosok
itu... seorang perempuan. Perempuan yang lama tak kutemui selama 2 tahun ini.
Temanku semasa SMP... dia tampak celingukan memperhatikan poster-poster jadwal pertunjukan.
Lalu aku menghampirinya... ia melihatku... melihatku dengan tatapan penuh
pemikiran hingga akhirnya ia tersenyum...
“Lukman kan?”
“Dameyanti!”
“Ini beneran Lukman? Kok tinggi banget? Apa kabar?”
“Aku baik. Kamu sendiri gimana? Masih sering bareng Ajeng
and The geng?”
“Wah sekarang udah pada lost contact sih. Kamu sendiri ngapain ada disini?”
Rupanya
kehadiran Dame disini pun bukan untuk melihatku...
“Loh, kamu enggak tahu? Tadi kan aku baru aja beres
tampil, tuh posternya, kamu enggak liat apa?”
“Oh itu poster kamu toh...”
“Terus kamu sendiri disini ada urusan apa?”
“Ya? Oh, iya nih... aku kan dikasih tahu... katanya
Kabaret Senyum, tahu kan? Mau pentas hari ini... tahunya aku salah jadwal...”
“Lho kok bisa?”
“Iya kirain mainnya jam 3 tahunya disini disebutin pukul
19.00”
“Ha ha ha. Kasian banget. Oh iya, boleh minta nomor
ponselmu?”
“Boleh. Nih... coba kamu miscall...”
Setelah bertukar nomor, bercanda ria, membicarakan
hal-hal nostalgia---------------juga memberikan klarifikasi tentang
siapa Dame kepada siapapun teman yang bertanya. Hingga akhirnya aku berjalan
pulang, berpisah dengan teman-teman.
_______________
Dengan rasa
pegal disana-sini, aku mulai menghayati malam. Sejujurnya, aku masih menunggu
SMS dari Indi. Meski aku tidak tahu apa yang akan dia bicarakan... yah, minimal
berkata selamat malam atau apapun itu. Tapi hingga saat ini handphone sama
sekali sepi. Malam terasa begitu hening. Saking heningnya ruangan sampai terasa
mengeluarkan bunyi siiiiiing...
Handphone
berbunyi. Ah ini dia. Eh? Tapi ini...
“Dameyanti?”
“Halo Lukman,
hei aku baru aja abis nonton Zae tadi”
“Oh ya?”
“Kamu kok enggak
dateng? Padahal banyak loh temen-temen kita yang ikut nonton...”
“Ah, aku kan
udah sering liat Zae waktu SMP”
Dan Zae tidak menarik buatku.
“Yee... ini kan
beda, Zae yang sekarang lebih ganteng dari yang dulu...”
“Begitukah?
Rupanya kamu naksir dia ya? Oh iya memangnya siapa aja yang dateng?”
“Banyak. Ada
Ella, Widya, Arby, Puput, kebanyakan sih alumni Chandri Kirana sama itu...
temen-temen Zae dari kelas 3A dulu...”
Kelas 3A?
“Euh... Dam,
kamu tahu yang namanya Indi enggak?”
“Indi? Indi itu
anak kelas 3A juga kan?”
“I... iya...
euh... apa tadi juga kamu liat dia hadir disana?”
“Tadi sih dia
ada... kenapa gitu?”
Dia ada. Indi datang kesana. Indi datang dan dia datang
bukan untukku. Indi... waktu itu dia bilang dia tidak diizinkan untuk keluar
rumah di malam hari... dan tadi dia bilang dia tengah demam tinggi. Selama
ini... berapa banyak kebohongan yang sudah dia buat?
“...” Aku
terdiam. Nafasku tersengal.
“Halo? Lukman?”
“...”
“Halo...? Halo
Lukman...?”
“...”
“Hei... Lukman?
Kok enggak ada suaranya?”
“...”
“Lukman?
Lukman? Iih...”
“...”
Tuut. Tuut.
Tuut. Kubiarkan Dame menutup handphonenya begitu saja. Dengan jari-jemari yang
bergetar aku berusaha mengetik sebuah SMS pada Indi...
Bagaimana pertunjukan
tadi? Zae pasti
seneng karena
kamu mau datang. Oh iya,
tadi aku cari
kamu. Kamu enggak ada.
Seperti biasa.
Kamu enggak ada. Mungkin
akan lebih baik
kaya gitu. JANGAN HUBUNGI
SAYA LAGI.
JANGAN GANGGU SAYA DENGAN SMS
ENGGAK PENTING
KAMU LAGI. MENGHILANGLAH.
Aku tidak yakin
seberapa marahnya aku saat itu. Tak lama Indi menghubungiku, mencoba untuk
meminta maaf. Aku meledak. Semakin dia berusaha menjelaskan, aku meledak.
Kukatakan seberapa besar aku berharap. Kukatakan seberapa pentingnya dia
untukku. Kukatakan seberapa hebat dan seberapa hancur aku sekarang karena dia.
Hanya maaf. Hanya maaf yang dia katakan.
____________
Siang yang
cerah dan apa yang tengah kulakukan? Di sekolah ini? Aku telah mendapatkan apa
yang aku mau, popularitas, jabatan, beasiswa, teman-teman, pacar... jujur aku
tidak bisa mengenal semua anak yang sekolah disini... tapi akan sangat mustahil
jika ada salah satu dari mereka yang tidak mengenalku. Bahkan pedagang
gorengan, pak satpam, penjaga warung fotocopy, guru, kepala sekolah, penjaga
sekolah, istri kepala sekolah, anak kepala sekolah, kucing, burung, semut... semua yang ada di sekolah ini... mereka
mengenalku. Hanya aku. Hanya aku yang tidak mengenal diriku sendiri... tadinya
aku melakukan ini semua hanya agar Indi tertarik padaku. Dan jika semua ini
tidak ada pengaruh apapun baginya, untuk apa semua ini? Dengan bahasa tubuh
yang tidak gagah kumasuki ruang osis. Dan disana, aku melihat sebuah benda yang
tak asing bagiku.
Sebuah tas. Itu
tas Melly. Mungkin tadi dia dari sini. Jiwa penasaranku mencoba menginterogasi.
Dari dalam tas menyembul sebuah buku.
Aku tahu buku apa itu. Itu buku hariannya, selama ini dia selalu merebut buku
ini dan menyembunyikannya jika aku hendak melihatnya. Ah, kulihat tak ada
siapapun disini. Aku kan pacarnya, tentu tidak apa-apa melihat isi buku ini
sebentar saja kan...?
Kubuka lembar
pertama buku itu. Busyet, huruf apa
ini? Sejak kapan Melly bisa menulis huruf kanji? Oh ternyata ini masih huruf
alphabet. Huruf alphabet yang mirip kanji... kubaca;
Hari Senin.
Hari ini Lukman
sama kaya hari-hari sebelumnya. Masih jutek.
Dia menulis tentangku...
Hari Selasa.
Latihan Teater.
Ternyata Lukman ganteng banget kalo pake kacamata.
Tentu saja aku ganteng, dengan kacamata atau tanpa
kacamata...
Sama kaya Gia Gilang... dia juga ganteng...
Woy... woy... apa ini? Kenapa harus memuji pria lain juga
sih?
Hari Rabu.
Hari ini enggak
sengaja liat Lukman jalan berdua sama perempuan.
Hari kamis.
Lukman suka
cemburu enggak sih kalo aku deket sama cowok? Kayanya sih enggak.
Hari Jumat
Aku liat Lukman
pegang tangan cewek itu. Bete banget.
Hari Sabtu
Kenapa harus
ada si Tri sih?
Hari Minggu.
Hari ini aku
sms Lukman. Taunya Lukman malah balas sms pake marah-marah...
Hari Senin.
Aku liat Lukman
deketin Syifana lagi. Ugh.
Hari Selasa.
Ada acara di
Rohis. Aku pake jilbab, tapi respon Lukman biasa aja.
Hari Rabu.
Lukman senyum
sama aku dan itu senyum yang aku suka.
Hari Kamis.
Bisa ngobrol
lumayan lama sama Lukman.
Hari Jumat
Lagi-lagi...
pasti deh, kalau aku mau cium tangan, Lukman suka menghindar...
Hari Sabtu.
Lukman enggak
ada. Hari ini enggak liat Lukman sama sekali...
Hari Minggu.
Tadi malem
mimpiin Lukman,di mimpi Lukman pegang tangan aku sambil bilang tolong lepasin
aku sekarang... aku enggak mau, aku cuma bisa nangis...
apa ini? Kenapa seperti ini? Kenapa aku harus sekejam
itu? Perasaan apa ini? Apa yang telah kulakukan? Mengapa aku sebodoh ini?
Rasanya cukup
menyedihkan mengetahui bagaimana cara dia melihatku. Kututup buku itu,
kukembalikan kedalam tas... dan dia pun muncul... ia muncul tanpa ekspresi kaget
di wajahnya, seolah tahu aku telah berada disini.
“Lukman? Bisa kita
bicara sebentar?”
“Eh... Melly?
Ya, ya... euh ya... euh... gimana?”
Mendadak aku
merasa sangat canggung. Lalu Melly mengajakku ke sebuah ruangan. Sebuah kelas
yang sudah tak terpakai... dia menatapku dalam... jantungku tidak karuan...
“Kita enggak
bisa begini terus...”
“Maksud... kamu
Mell...?”
“Kita enggak
bisa lanjutin ini...”
“...” aku
terdiam.
“Mungkin lebih
baik kita udahan. Sampai disini saja...”
“Ya?”
“Kita putus”
“Kenapa?”
“Ya kita udah
enggak bisa lanjutin ini... kita mau ngapain lagi coba?”
“Aku enggak
tahu, mungkin kita bisa mengulang semuanya dari awal...”
“Kamu udah
ngomong tentang itu sebelumnya, tapi awal yang mana lagi yang kamu mau...?”
“Saya...
saya... tapi...”
“Lukman maunya kita
cuman jadi temen biasa aja kan?”
Aku mengangguk.
Melly berhasil membaca pikiranku, kupasang tatapan memelas.
“Ya udah...”
Melly menjabat
tanganku. Sebenarnya aku juga tahu kalau ini bukan hal mudah baginya. Ini
terasa menyebalkan.
“Makasih ya...”
ujarnya lagi.
“Maafin aku
Mel...”
“Enggak...
terima kasih.”
_______________
Akhirnya. Aku
single sekarang. Tadinya aku sempat menyesali ini, tapi setelah kupikir-pikir
mungkin ini memang yang terbaik... untukku... untuk Melly. Dan tidak seperti
berita saat aku berpacaran, kabar tentang aku yang putus dari Melly jauh lebih
cepat tersebar. Aku sendiri merasa sedikit lega karena sekarang aku bisa
leluasa mengejar Syifana. Dan saat pulang sekolah, kuputuskan untuk kembali ke
jalurku... mengejarnya.
“Syi... fa...
naaaa...”
Syifana
menoleh. Ia tersenyum lembut lalu kembali berjalan.
“Apa lagi sih
Lukmaaan?”
“Judes
banget... udah males ketemu aku ya?”
“Sedikit.
Hahahaha”
“Syifana jahat”
“Hahahaha...
mana payung kamu?”
“Aku sudah tahu
kalau sore ini akan cerah, jadi aku sengaja enggak bawa payung hari ini supaya
bisa menikmati sore bersama Syifanaaaa...”
“Dasar.
Gombal... pantas aja kamu diputusin...”
“Putus enggak
putus gombalanku ini tetap cuma buat Syifanaaa...”
Tiba-tiba tetes
demi tetes air hujan turun dari langit... membuat prediksi cuacaku tadi
terbantahkan.
“Loh... kok...
gerimis?”
“Tuh kan...
coba tadi kamu bawa payung...”
Tiba-tiba air
hujan turun lebih deras... aku dan Syifana menepi di sebuah kios kecil yang
sudah ditinggalkan pemiliknya. Kami hanya bisa mengandalkan atap kecilnya untuk
berteduh...
“Waduh...
kayaknya hujannya makin gede deh na...”
“Lukman sih...
enggak bawa payung...”
“Yee... kok
jadi salahin aku sih? Syifana juga harusnya inisiatif dong... bawa payung
sendiri... jangan cuma bergantung sama payung aku...”
Tiba-tiba
sebuah mobil melintas dengan begitu kencang, membuat serangan gelombang
genangan air ke arah kami layaknya sebuah tsunami dadakan...
“Tuh kan...?
Lukman sih!! Jadi basah semua deh...”
Lagi-lagi
Syifana menggerutu. Lagipula kenapa dia menyalahkanku? Maksudku yang kebasahan
kan bukan hanya dia saja... kulihat arah kanan kiriku... tidak ada tempat lain
yang lebih strategis untuk berteduh... sementara angin kencang juga membuat
arah air hujan tidak beraturan... ah, berteduh disini juga percuma sekarang.
“Syifana!”
“Apa?”
“Ini bukan
hujan! Ini badai!”
“Maksud kamu?”
“Kita enggak
bisa diem disini terus... air hujan masuk kesini juga...!”
“Terus musti
gimana?”
“Didepan sana
Gang Setia, kita lari kesana dulu... abis itu kita teduhan di wartel depan...”
“Gimana bisa
lari? Ini kan hujan gede? Percuma aja kita teduhan kalau kita udah kebasahan
duluan kan?”
Kubuka
resleting jaketku... kukembangkan jaket itu diatas kepalanya... kulakukan itu
seperti di film-film... yang aku tidak tahu adalah ternyata membuka jaket
disaat seperti ini bisa membuatku menggigil kedinginan...
“Brrr... ok.
Siap?”
Syifana
mengangguk penuh kecemasan...
“1... 2... 3...
sekarang! Lari...!!!”
Kita memutuskan
untuk lari secepatnya dari tempat itu. Dan tak lama aku baru sadar bahwa
Syifana tidak ada disampingku... rupanya dia tertinggal di belakang... ternyata
yang kulakukan hanyalah menyelamatkan diriku sendiri... aku lupa bahwa seragam
yang dikenakan Syifana adalah busana muslim, tentu akan sulit untuknya
mengejarku dengan rok panjang yang ia kenakan... dan sekarang ia kehujanan.
Tapi dia sama sekali tidak marah kali ini. Syifana malah tertawa... ditengah
hujan ia tertawa lepas begitu saja. Ya, kita pasti terlihat bodoh tadi-----------lebih tepatnya aku yang terlihat bodoh. Bagaimana bisa
aku mengajaknya berlindung dibalik jaket sedang aku meninggalkannya? Aku pun
berhenti mengangkat jaketku. Jika Syifana sampai kehujanan begini sih rasanya
aku sudah tidak perduli lagi dengan jaket dan hujan. Lagipula jaketku berbahan
kain yang bisa menyerap air. Jadi semua ini percuma. Kita berdua tertawa dalam
hujan, ya sudah. Begini saja. Toh momen ‘berhujan-hujanan’ kupikir jauh lebih
manis ketimbang berteduh di balik jaket. Setelah sampai di wartel dengan kondisi pakaian, jaket dan tas basah akhirnya hujan
pun berhenti. Seolah Tuhan menurunkan hujan tadi untuk mendekatkan kita berdua.
Entahlah, tapi dengan berhentinya hujan secara cepat tadi membuat kita berdua
tampak seperti sepasang remaja yang tercebur ke sungai... seraya berjalan, berpura-pura
acuh dengan kondisi sekitar, aku mencoba menyatakan perasaanku padanya.
“Na...”
“Ya?”
“Euh... dulu
aku inget aku pernah ditampar sama kamu...”
“Hehehe... maaf
ya... sakit?”
“Enggak
apa-apa, gara-gara tamparan kamu itu aku berhenti perlakuin cewek seenaknya,
enggak pernah mau godain cewek lagi”
Hohoho. Terus apa yang sedang kamu lakukan sekarang
Lukman?
“Oh ya?
Baguslah...” Syifana menjawab pendek.
“Tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi kalau
pegang tangan kamu boleh ga ‘na?”
“ENGGAK BOLEH!”
tiba-tiba Syifana menghardik.
“Kenapa begitu?
Kita kan udah deket...”
“Kita bukan
muhrim!”
“Ya takutnya
kalo aku enggak pegang tangan kamu, aku enggak bisa bawa kamu lari bareng kayak
tadi... kamu pasti ketinggalan...”
“Tetep enggak boleh, laki-laki enggak
boleh pegang tangan perempuan yang bukan muhrimnya. Lagian harusnya tadi kamu
nungguin aku, bukannya lari duluan gitu aja...”
“Kenapa gitu ‘na?”
“Itu yang Rasul
kita ajarin...”
“Jadi aku
enggak boleh nih... pegang tangan kamu?”
“Ada hadistnya.
Lebih hina seseorang yang memegang yang bukan muhrimnya, ketimbang orang yang
ditusuk kepalanya dengan pedang...”
“Maksudnya?”
“Pikirin aja
sendiri”
“Kalau aku jadi
muhrim kamu bisa enggak?”
Syifana
tersenyum, lalu memukul bahuku dengan keras.
“Eit, enggak
boleh pegang-pegang! Belum muhrim...” candaku.
“Abisnya...
kamu tuh ya...”
“Aku serius...”
“Apa?”
“Aku... apa
yang harus aku lakuin... kalau aku pengen jadi muhrim kamu?” Syifana terdiam. Jawablah... sebelum menikah kita pacaran
dulu saja... ayo jawab seperti itu...
“Kamu harus
menikahi saya”
“Kalau begitu
sebelum kita nikah, bagaimana kalau kita...”
“Tapi saya
pasti menolak kamu.”
“...”
“Saya enggak
bisa pacaran sama Lukman, atau punya perasaan sama Lukman...”
“K-Kenapa?”
“Karena saya
enggak punya perasaan apa-apa sama Lukman...”
Jleb! Aku ditolak. Jleb! Aku ditolak...!!! tidaaaak!!!
Mama...!!!
“Ya... tapi...
tapi...”
Aku tak tahu
lagi harus berkata apa.
“Tapi saya
menghargai Lukman. Kejujuran Lukman. Sejujurnya Lukman sudah terlampau baik
untuk menjadi pacar...”
“Tapi ‘na aku
ini...”
“Lukman sudah
saya anggap sebagai sahabat paling penting buat saya, dan saya enggak mau
hubungan itu rusak...”
Aku terdiam.
Cukup jauh kita berjalan. Lama sekali. Syifana juga tidak berkata apapun. Kita
berdua hanya berjalan tanpa obrolan... menciptakan sebuah ruang untukku
berpikir.
“Baiklah!” ujarku.
“Apa?”
“Akhir-akhir
ini saya mengalami banyak pengalaman buruk dengan perempuan... bahkan hari ini
saya juga baru diputusin Melly. Tapi sejujurnya, baru kamu saja perempuan yang
dengan tegas menolak saya. Dan saya hargai itu juga. Jadi Syifana, mungkin
benar kata kamu. Kita lebih baik jadi sahabat saja. Dan saya akan ingat semua
kata-kata kamu ini agar bisa menjaga saya dari perempuan... sekarang, saya akan
benar-benar menjaga diri.”
Syifana tersenyum.
Sejak saat itulah kehidupanku berubah. Pola pikirku berubah. Cara pandangku. Mengingat
ini sebagai pemicu agar aku menjadi lebih baik. Karena kupikir, wanita yang
baik hanya pantas bagi lelaki yang baik juga. Perasaan mungkin muncul sebagai
hasrat tak terduga, nafsu batiniah dan lahiriyah yang sangat manusiawi. Tak
perlu disalahkan. Namun, alangkah baiknya jika dalam perasaan, kita menaruh
rasa hormat, saling menghargai dan mengikuti apa yang ditentukan oleh Tuhan.
Mungkin tadinya aku mencari popularitas di sekolah karena seorang perempuan
bernama Indi, tapi mungkin dibalik itu Tuhan memang berencana agar aku bisa
terlihat hebat. Mungkin aku memang terlahir untuk ini. Untuk seni. Untuk
menjadi aktor. Untuk menjadi komikus. Untuk menjadi penulis. Untuk menjadi entertainer... Atau mungkin lebih dari
sekedar itu. Aku tidak tahu.
_______________
Setahun sejak
hari itu... aku pun berhasil naik ke kelas 12. Saat itu aku sudah memulai
banyak perubahan pada diriku. Tak lagi menggoda Syifana atau anak perempuan
lainnya disaat senggang. Sejak saat itu, para anak perempuan pun tak ada yang
berani menggodaku, memegang rambutku atau mencariku sebagai sandaran ketika
mereka menangis... tak ada lagi cipika-cipiki.
Kuhentikan seluruh pemakaian parfum, gel rambut, deodorant, pembersih
wajah, pemutih wajah dan sebagainya. Kupikir daripada menggunakan uang jajanku
untuk membeli benda-benda itu akan lebih bijak jika kugunakan uang itu untuk
membantu orang tuaku melunasi spp. Dan sekarang, aku merasa lebih bebas. Kini semua
orang tahu kondisi rambutku yang kering kemerahan dan sedikit beruban... aroma
tubuhku yang sebenarnya ketika bermain bola... dan wajahku yang tampan apa
adanya.
Lantas bagaimana
hubunganku dengan Indi, Melly dan Syifana? Semua baik-baik saja. Syifana teman
baikku sekarang, Melly juga, meski terkadang suasana canggung itu masih sering
terjadi. Indi... aku mencoba untuk tidak terlalu menanggapi perhatiannya dengan
serius. Jika dia tidak bisa datang untuk melihatku, itu adalah haknya. Jika dia
tidak menyukaiku, itupun adalah haknya. Yang bisa kuberikan hanyalah sebuah
rasa hormat dan terima kasih.
Dulu kukatakan
bahwa aku tidak mengenal semua anak yang bersekolah disini, maka kini aku
mencoba untuk bisa lebih dekat dengan mereka, mencoba mengerti dan mengenal
masing-masing dari mereka. Lagipula aku adalah staf inti di osis, ibaratnya
seorang pejabat daerah, akupun harus mengerti keadaan rakyatku.
Ya, itu benar.
Rasa narsis itu masih ada. Dan aku berusaha total dalam kebanggaan ini. Dengan
cara apa? Dengan menunjukan kemampuanku yang sebaik-baiknya. Bukan untuk
dikenal orang, tapi untuk kehormatan. Kehormatan karena telah diciptakan
sebagai manusia. Kita tentu tidak pernah berpikir apa jadinya jika kita
terlahir sebagai makhluk yang lain bukan? So,
buatku sekarang menjadi hebat bukanlah terlihat dari seberapa besar ia
dikenal... tapi seberapa besar dia sanggup mengenal dirinya. Dan menjadi hebat
dengan cara itu adalah salah satu caraku bersyukur.
Berkat
pemikiranku itu, aku bisa dekat dengan seorang anak laki-laki bernama Jaja. Di
kelasku yang baru, aku memilih dia sebagai teman sebangkuku. Jaja bukanlah anak
yang menonjol di kelas. Wajahnya terlihat seperti orang tua dan rambutnya
dipotong bob ala Bruce Lee. Aku
mendekatinya karena jarang ada yang mau berteman dengannya. Orang akan dengan
mudah menyebutnya culun, aneh dan dia sama sekali tidak akan peduli. Jaja bukan
bagian dari barisan anak nakal di sekolah, tapi aku bisa melihat bagaimana dia
tersisihkan dari sistem. Tak ada guru yang menegurnya, tak ada perempuan yang
menggodanya, tak ada yang mau bergaul dengannya. Ya, Jaja mirip sekali dengan
seseorang. Dia mirip denganku sewaktu SMP.
Tapi Jaja kelas
12 SMA. Hanya sedikit sekali waktu yang tersedia untuknya menikmati masa-masa
indah SMA. Jadi inilah saatnya untuk memberikan hidupnya sedikit warna.
Perlahan-lahan kucairkan sifat kakunya dengan canda gurau, membuatnya
memberanikan diri untuk bertanya tentang pelajaran apapun padaku dan jika aku
pun tidak mengerti tentang apa yang ia tanyakan, tentu saja bertanya kepada
guru adalah saran yang baik tapi selebihnya aku akan berusaha menemaninya dalam
kebingungan dan berkata padanya bahwa nilai jelek bukanlah hal yang menakutkan.
Yang paling penting adalah kita tahu kelemahan dan kelebihan kita dan Jaja
berkata bahwa dulu ia sempat menjuarai lomba adzan tingkat SMP. Jadi... kuajak
Jaja untuk bergabung dengan klub rohis.
Klub rohis,
sama seperti yang Syifana ikuti, merupakan ekstrakurikuler keagamaan dimana
mereka biasa berkumpul di mushalla, dan Jaja akan dengan mudah diterima disana.
Hingga kemudian Jaja menjadi muadzin yang aktif, akhirnya ia semakin terbuka. Para
anak perempuan memanggilnya dengan sebutan ‘Jaja Wong’ sebuah plesetan dari
nama artis Baim Wong. Setiap Jaja memasuki kelas, anak-anak disekitarnya
menyanyikan sebuah lagu mars yang diciptakan untuknya. Hingga akhirnya aku
mengajaknya untuk bernyanyi bersamaku dan disini aku bisa melihat ekspresinya
yang tulus dan lepas ketika ia bernyanyi. Sebuah pelajaran lain untukku bahwa
untuk menjadi diri sendiri kita tidak perlu menutup diri... siapapun bisa
menjadi yang ia mau. Dan siapapun tidak butuh alasan untuk itu.
Selain Jaja,
aku juga mengenal sosok yang tak kalah unik seperti Garlio, bocah hiperaktif
yang katanya berambisi untuk menjadi ninja. Sering aku meminta bantuan “Sang Ninja”
untuk mengaransemen lagu-lagu yang kuciptakan dengan gitarnya. Juga ada Egi si
pemberontak. Yang berkata bahwa kita telah dibodohi oleh sistem-sistem yang
telah diatur oleh para penguasa dan dia mencetuskan bahwa buang air besar bisa
meningkatkan I.Q... juga ada Witono dan Ryan. Dua sahabat penggemar film
ksatria baja hitam. Rizky si penggoda wanita... Aris si kingkong...
Banyak hal
menyenangkan yang terjadi di SMA, seperti saat ketika kita mendirikan komunitas
gambar bernama “Citrakara” yang kemudian sempat ditentang guru yang tidak
menyukaiku karena dikhawatirkan hanya akan menghabiskan dana sekolah. Tapi aku
menampiknya. Dengan berkata bahwa komunitas ini akan terus berjalan dengan atau
tanpa bantuan sekolah. Dan perjuangan kita sebagai pioneer membuahkan hasil, karena saat kami meninggalkan sekolah,
komunitas itu telah dijalankan oleh para junior dan resmi menjadi sebuah
organisasi ekstrakurikuler bernama “Momiji.”
Ah masa SMA
memang masa yang menyenangkan. Sebuah kenangan yang membuatku selalu ingat
bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin. Karena jika kupikir keajaiban itu tidak
ada, maka aku akan melihat kebelakang dan berkata bahwa begitu banyak keajaiban
yang telah terjadi dalam hidupku. Jadi, akan kuciptakan keajaiban lainnya.
________________
16 oktober
2010.
Egi dan Garlio
menatapku dingin. Seolah apa yang kuceritakan tidak istimewa. Ya, ini kan masa
laluku, memangnya cerita apa yang kalian harapkan dari sebuah curhatan tentang
masa lalu?
“Jadi...”
“Ya?”
“Syifana yang
udah berjasa mengubah pola pikir lu tentang perempuan?” Egi bertanya.
“Gitu deh...
ane kan waktu itu masih belajar ngertiin cewek... maksud ane, ngertiin apa yang
baik buat cewek” jawabku.
“Dasar pengkhianat!”
Garlio tiba-tiba menatapku tajam.
“Pengkhianat
apa?”
“Kalo lu pernah
berpikir untuk menghormati perempuan dan tidak macam-macam dengan perempuan,
terus ngapain lu disini, di dalam kamar, sendirian, nonton Mari Fujisawa hah?”
“Udah deh ‘io,
kenapa dibahas lagi sih?”
“Iya Gar,
biarin aja, dosa dosa si Lukman ini...”
“Tapi ini
enggak bisa dibiarin ‘Gi! Gua sebagai temennya mustinya bisa ngingetin, jadi
untuk itu sementara kaset DVD Mari Fujisawa ini gua pinjem! Sesama teman
harusnya bisa saling berbagi”
“Aaaah... modus juga lu ah!”
“Hahahahaha”
“Terus gimana
kabar Syifana sekarang?” Egi bertanya lagi.
“Dia... dia baik-baik
aja... kayaknya sih...” jawabku.
“Ya udah
deketin aja lagi, supaya lu bisa tobat lagi hahahaha...” Garlio menimpali.
“Iya si Lukman
tobat, lu yang jadi stress. Dasar hentai!”
ujar Egi.
“Syifana...”
“Ya...?”
“Dia udah
nikah. Kalau tidak salah sekarang lagi hamil 3 bulan...” jawabku dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar