Bab
10
(Flashback Bag. 5)
Angin.
Senja dengan langit jingga seolah
membiarkanku melepaskan emosi masa lalu yang meledak-ledak. Egi dan Garlio
hanya terbaring di lantai. Ini musim panas. Dengan langit seindah ini
seharusnya kita bermain diluar, menghabiskan uang untuk bermain game, menonton
bioskop atau mencuci mata kita dengan memandangi hotpants gadis-gadis cantik yang tengah berlari jogging di kawasan Taman Lansia.
Tapi tidak. Yang kita lakukan hanya berbaring di lantai
beralaskan tikar plastik seraya memandangi langit-langit kamar. Ini
menyedihkan. Garlio, tampaknya dia sudah cukup kesal hingga ia harus
mengacak-acak rambutnya sendiri dan menatapku marah.
“Guys! Ayolah,
kita enggak bisa tidur-tiduran disaat segenting ini!” lalu dia menarik lenganku
dan memaksaku untuk bangkit. “Lu juga ‘gi! jangan tiduran mulu! Cepetan
bangun!”
Dengan malas Egi pun ikut bangkit. “Genting apaan sih
io?” ujarnya. Garlio memicingkan matanya. “Kalian tahu ini hari apa?”
“Ini hari Sabtu... emang ada apaan?” tanyaku.
“Iya, emang ada apaan di hari Sabtu? Pertemuan para
alienkah? Rapat PBB? Perburuan panda di Zimbabwe? Atau apa?” Egi pun
menambahkan.
“Panda itu dari Cina ‘gi...”
“Iya. Aku juga tau, panda dari Cina, naga dari Cina,
burung hong dari Cina nih handphone gua juga buatan Cina!” tegas Egi. Sementara
Garlio hanya menatap kami dengan senyum kemenangan yang meremehkan.
“Come on, guys...
look at me... just look at me...!” Garlio mencoba meyakinkan kami dengan
gayanya. Garlio berpose layaknya seorang binaragawan. Membuatku dan Egi harus
menatapnya dari ujung rambut hingga bawah kakinya. Dan kami berdua hanya
menggeleng.
“Ayolah masa kalian enggak bisa liat sesuatu sih?”
“Liat apa?”
“Liat dong... nih...” Garlio memutar-mutar badannya,
membengkokan lengannya dan memperlihatkan otot bisepnya yang sama sekali tak
terlihat. “Garlio yang sekarang udah bukan Garlio yang dulu, dengan otot keren
ini, semua cewek pasti mau jadi pacar seorang Garlio” ujarnya penuh percaya
diri. Aku dan Egi hanya memicingkan mata.
“Gi...”
“Ya ‘man?”
“Lu tahu si Joni yang dulu suka dagang pangsit enggak?”
“Iya. Kenapa? Apa menurut lu mereka berdua mirip?”
“Enggak. Si Joni sama sekali enggak mirip Garlio...”
“Terus si Garlio mirip apa dong?”
“Si Garlio mirip pangsitnya!”
“Hahahahahaha...”
Garlio hanya mengernyitkan dahi, mencoba meyakinkanku dan
Egi. “Woy. Ayolah. Ini hari Sabtu, hari dimana para pemuda bisa bertemu pemudi
dan melepaskan jiwa masa muda mereka...” aku dan Egi memicingkan mata kami
lagi. “Lu ngomong apaan sih ‘io?”
“Ini hari Sabtu. Dan kita bertiga, tiga orang pemuda,
penuh dengan testosterone, seharusnya
kita enggak begini! Enggak tidur-tiduran liat langit-langit begini! Mustinya
kita keluar rumah... menikmati masa muda...”
“Ngapain?” Egi bertanya lagi.
“Berburu hotpants!”
tiba-tiba aku keceplosan, mungkin termotivasi. Garlio mengacungkan telunjuknya
padaku, seolah kata-kataku terkoneksi dengan apa yang ada di pikirannya. Aku
hanya membuang muka karena sedikit menyesal, sama sekali tidak merasa bangga
dengan kalimatku. Sementara Garlio masih bergelora. Matanya menyala-nyala.
“Ya! Bener kata si Lukman... hotpants, legging dan pakaian ketat... semua itu hanya bisa kita
lihat diluar rumah... disaat para gadis menunjukan pesona mereka di malam
minggu ini...!”
“Terus setelah kita ketemu cewek-cewek, kita mau
ngapain?”
Pertanyaan Egi tadi langsung menghujam semangat Garlio.
Suasana kamar berubah hening. Tampaknya untuk sekejap Garlio sedikit lupa akan dirinya.
Lupa bahwa kita bertiga adalah tiga pemuda dengan muatan testosterone, yang jomblo dan membosankan... setidaknya aku sendiri
sudah tidak merasakan masa-masa kejayaan dimana aku bisa menggoda siapa saja
dengan frontal tanpa sebuah respon penolakan. Garlio terduduk lemas.
“Terus kita ngapain dong... Masa cuman tiduran begini... Lakuin
sesuatu yang seru kek, apa gitu...” ujar Garlio. “Aku tahu” ujarku seraya
mengacungkan tangan. “Bagaimana kalau kita main game?”
“Ogah ah. Boring!”
tolak Garlio.
“Kalo nonton film?” usul Egi.
“Mari Fujisawa?” Garlio memperlihatkan wajah berbinarnya.
“Yang lain dong...” ujarku.
“Ogah...”
“Dasar. Film Mari Fujisawa aja lu mau... eh sebentar, aku
jadi inget sesuatu...” Egi tiba-tiba menatapku aneh. “Kenapa ‘gi?” tanyaku
penasaran. “Ngomong-ngomong soal Mari Fujisawa...” Egi menatapku lagi,
membuatku sedikit canggung.
“Kenapa? Kenapa Mari Fujisawa? Lu koleksi filmnya juga?”
Tiba-tiba Garlio kembali antusias. Lalu Egi pun mengambil kaset DVD Mari
Fujisawa itu dari dalam DVD player dan...
KRAK!
Egi. Tampak dengan sengaja mematahkan kaset DVD itu
hingga terbelah dua. membuatku dan Garlio mengalami serangan panik saat itu
juga...
“TIDAAAAAAAAAAKKKK!!! MARI!!!” Garlio berteriak histeris.
Sedang aku... aku tidak tahu harus bagaimana... aku hanya bisa menjambak
rambutku sendiri seraya membiarkan mulutku menganga dengan lebar... aku belum
sempat melihat keseluruhan film ini dan terlebih DVD itu bukan punyaku... ya.
Aku pun panik sekarang...
“RIKO...!!!!!! MAAFIN ANE... ANE ‘GAK BISA MELINDUNGI HARIM
ENTE...!!!” sesalku seraya meratapi dua patahan keping DVD yang kuambil dengan
lengan gemetar...
“Loh... Riko? Siapa Riko...?” dengan tenang Egi bertanya.
“Riko... dia temen kampus ane... dia yang punya kaset DVD
ini... why Egi why...?? kenapa enggak hati cewek aja yang lu patahin... jangan
Mari...” ujarku sedikit kesal. Egi hanya mengangkat bahu.
“Ya sory deh... tapi kayaknya gara-gara film itu otak
kalian berdua jadi agak korslet. Lihat Garlio, dari tadi yang dia omongin cuma
cewek seksi aja... dan itu enggak bagus. Enggak ganteng. Dosa, melemahkan dan
mengotori pikiran... lagian...” ujar Egi terhenti.
“Lagian apa?!” Tanyaku dengan sedikit menghardik.
“Lagian... lu. Lukman... bukannya dulu lu bilang... film
seperti itu bikin lu trauma?”
Jleb. Egi menancapkan panah tepat pada masalah. Aku hanya
bisa menatapnya kaku... Garlio yang tidak mengerti masalahnya sama seperti
pembaca hanya bisa terdiam... dan kemudian Garlio menyeringai skeptis... meraba-raba
masalah yang terungkit...
“Maksud lu apa ‘gi? Kenapa... kenapa si Lukman bisa
trauma sama yang begituan?” Garlio bertanya, menatapku aneh. Dan Egi tidak
menjawab. Aku menghirup nafasku dalam...
“Ane... ane enggak trauma ‘gi... yang bener aja, ane kan
cowok... mana ada cowok yang enggak suka Mari Fujisawa?” dalihku.
“Bukan Mari Fujisawa nya... tapi filmnya...” Egi
mendesak.
“Filmnya... biasa aja. Ya memang agak bikin risih tapi
enggak nyampe bikin trauma kali...” aku terus beralasan.
“Oh ya? Kejadian waktu itu apa enggak bikin lu trauma tuh?”
“Kejadian apa?”
“Masalah lu sama cewek waktu itu... hm... siapa namanya?”
“Cewek yang mana...? ngarang aja ente...”
“In.. di... kalau enggak salah... namanya Indi kan?”
“Indi? Siapa Indi? Indi itu kan masa lalu... sekarang
ane... ane kan lagi suka-sukanya sama Tisya...”
“Tisya ya? Lu sendiri pernah bilang kalo lu suka Tisya
karena menurut lu dia agak sedikit mirip sama...”
“Enggak lah ‘gi... Tisya itu beda. Tolong jangan samain
mereka berdua...” Garlio termenung, seolah hendak mengingat sesuatu. “Indi?
Indi itu cewek yang dulu lu suka itu kan ‘man? Kenapa dia? Jangan-jangan lu
trauma gara-gara...”
“Enggak ‘io! Indi itu... dia... dia itu cewek baik-baik...
kawan-kawan... ayolah, please...”
Please
jangan ungkit-ungkit masalah ini lagi... please...
Egi mendekat ke arahku seraya tersenyum. “Apa Indi memang
sebaik itu? Sebaik itukah sampai dia musti pake jebak lu supaya lu yakin kalo
dia ternyata enggak sebaik itu?”
Aku tak tahan lagi. Kutarik kerah baju Egi... Garlio
menahanku. Egi terdiam layaknya sebuah benteng lapis baja yang kokoh. Tak ada
kemarahan dimatanya. Dia menatapku penuh kepedulian...
“Cepet sadar ‘man...” ujar Egi.
Ya. Aku mengingatnya. Saat kejadian itu, Egi juga berada
disana. Menemaniku menghadapi situasi yang sangat memalukan sekaligus
menyebalkan. Kejadian yang akhirnya membuatku mengerti mengapa sewaktu SMP dulu
aku mudah merasa sakit hati setiap kali aku melihat Indi...
_____*_____
Seingatku itu bulan September. 2008
Saat itu aku baru lulus dari SMA, saat dimana aku
mendapatkan kebebasan untuk memilih jalan hidup. Beberapa teman ada yang
memilih untuk bekerja, kuliah dan ada juga yang memutuskan untuk segera
menikah. Aku sendiri saat ini lebih fokus pada bagaimana menikmati apa yang
sudah ada. Terlibat dalam sebuah komunitas hobi bernama “Komunitas Komik Dan Manajemen”
hingga membongkar uang tabungan yang kudapatkan dari sisa uang ongkos dan uang
jajan sewaktu SMA. Kugunakan itu untuk membeli gitar. Gitar pertamaku. Betapa
bangga aku memilikinya saat itu, mengingat dulu aku lebih memilih
berhujan-hujanan dan berjalan kaki empat kilometer dari sekolah menuju rumah
hanya untuk mengumpulkan uang recehan dan membelinya. Sayangnya saat itu aku
sama sekali tidak bisa bermain gitar. Aku hanya tidak ingin terlalu
mengandalkan Garlio untuk mengaransemen lagu-laguku. Jadi aku akan mencoba
mempelajarinya. Kutengok ayah. Aku ingat ayah pernah bercerita bahwa dulu
beliau adalah seorang gitaris sebuah band. Dan semasa awal orde baru ayahku dan
teman-temannya sempat diburu oleh para polisi karena sering membawakan
lagu-lagu The Beatles dan mereka semua berambut gondrong. Sesuatu yang cukup
tabu pada saat itu. Padahal ayahnya, kakekku, adalah seorang tentara berbintang
empat yang pernah tergabung dalam pasukan PETA, singkatan dari pembela tanah
air. Tapi ayah tidak pernah bisa menjadi tentara. Ada bekas tindikan di
telinganya. Lalu kira-kira apa yang akan dia ucapkan ketika aku memintanya
mengajariku bermain gitar? Pertama, ayah menatap gitarku, mengambilnya dan
memainkannya untuk beberapa saat. Setelah itu dia berkata; “Belajar gitar itu
susah, bapak yakin kamu enggak bisa, butuh waktu bertahun-tahun untuk
mempelajarinya” ujarnya. Menyebalkan. Ayah macam apa itu? Padahal, temanku
semasa SMP, si Yadi, diajari bermain gitar oleh ayahnya. Gia Gilang, teman SMA-ku
itu saja, dipaksa ayahnya untuk bisa menguasai gitar. Aku? Haaah. Padahal, aku
membeli ini dengan susah payah, ayahku bahkan tidak tahu bahwa aku sudah banyak
menciptakan lagu. Ya sudah, kuhubungi teman-teman, meminta mereka untuk
mengajariku. Dan setelah itu aku tahu bahwa ayahku berbohong. Karena ternyata
aku menguasai ini hanya dalam waktu satu minggu saja.
Sekarang aku lega. Setelah aku menguasai beberapa teknik
dasar dari gitar ini, aku bisa menghubungi Indi setiap malam dan menyanyikannya
lagu-lagu ciptaanku. Biasanya Indi akan bersikap antusias atau setidaknya berpura-pura
antusias... Indi mendengarkan laguku setiap malam, mendengarkan senar gitar
yang kupetik. Ya, akhir-akhir ini aku mendekatinya dengan cukup agresif. Semua
ini berawal ketika aku sadar bahwa Indi layak diperjuangkan. Tadinya aku ragu
karena ia tak pernah ada setiap aku tampil di suatu tempat. Tapi kupikir, dalam
sebuah hubungan, semua tidak selalu tentang aku dan aku. Jadi jika ia tak bisa
ada untukku, mengapa tidak aku saja yang ada untuknya? Sejak itu aku lebih
sering datang ke rumahnya. Kutemukan alamat rumahnya di album kenangan SMP dan
setelah lama tersesat, bertanya kepada para tetangganya, dibentak-bentak pak
RT, meninggalkan kesan aneh bagi para warga disana, akhirnya aku bisa menemukan
rumah Indi. Aku sering datang memberinya hal-hal kecil yang tak berarti. Komik-komik
buatanku, poster anime atau apalah.
Sesuatu yang tidak penting. Sampai aku ingat bahwa sebentar lagi Indi akan
berulang tahun. Aku akan menyiapkan sesuatu yang spesial, pikirku. Lagipula
Indi tak pernah sekalipun melupakan ulang tahunku, meskipun hanya memberikan ucapan
selamat . Jadi begini saja. Aku akan membelikannya sesuatu yang sedikit manis.
Lalu aku mulai mencarinya. Benda yang pertama kubeli
adalah sebuah hiasan kaca berisi miniatur rumah dan cairan minyak berwarna yang
apabila kuguncang tampak seperti ada hujan salju di sekitar rumah itu. Tidak
mahal, tapi terlihat manis. Lalu aku membelinya. Aku membelinya dan karena
kegembiraanku yang berlebih atau entah apa benda itu terlepas dari lenganku
lalu terjatuh begitu saja dan saat kubuka pembungkusnya, benda itu sudah pecah.
Ah, ceroboh sekali aku ini. Lalu aku terpikir untuk membeli benda lain, sebuah resin figure. Satu lagi benda yang tidak
berguna. Disebut resin figure karena
memang berbahan resin. Itu adalah sebuah figur pajangan berbentuk karakter
seorang samurai bernama Kenshi Himura dari serial animasi Samurai X. Itu adalah
film kartun favorit Indi. Tingginya hanya sekitar lima cm saja. Dengan kepala
yang besar dan bentuk yang imut-imut begini Indi pasti menyukainya. Sayangnya
harga yang dibandrol untuk pajangan bodoh itu cukup membuatku kejang-kejang.
Keesokan harinya, aku meminta saran kepada teman-temanku. Kebanyakan dari
mereka menyarankanku untuk memberi hal-hal biasa yang tidak kusuka.
Membelikannya bunga, cokelat dan boneka babi. Ayolah, seekor babi berwarna
pink? Yang benar saja.
Lalu aku terpikir sebuah ide jenius. Sesuatu yang pantas
diberikan untuk seorang perempuan yang kusukai harusnya bukanlah sesuatu yang
bisa diberikan oleh pria lain... biarpun itu sesuatu yang kecil, tidak berharga
tapi hanya aku saja yang bisa memberikannya... dan tidak bisa dibeli oleh
siapapun. Sesuatu yang original dan sangat murni... dan jawabannya adalah...
karya.
Tentu saja. Bukankah aku memang memiliki banyak lagu yang
sengaja kuciptakan untuknya? Jadi begini saja, aku akan memperdengarkan lagu
ciptaanku saja. Akan kunyanyikan di ulang tahunnya. Itupun harus dilakukan
tengah malam, tepat pada saat usianya bertambah. Kalau begitu, artinya aku
hanya bisa melakukannya melalui telepon seluler. Tapi aku tidak mungkin hanya
menyanyi begitu saja, harus ada yang mengiringi laguku. Tapi bagaimana? Aku
tidak mungkin meminta Garlio di tengah malam buta untuk mengiringiku bernyanyi
bukan? Kecuali... jika aku bisa memainkan gitarku sendiri. Ya, sebuah gitar. Aku
akan membelinya. Dan begitulah, gitar itu pun kubeli, memang uangku habis semua tapi setidaknya gitar itu
bisa terus kugunakan. Dan tak perduli bagaimana ayahku terus mengejek
permainanku, menciutkan mentalku dengan berkata bahwa aku tidak bisa
melakukannya, aku terus berlatih setiap hari, setiap hari hingga kulit jariku terkelupas
dan terasa sakit. Dan aku menguasainya hanya dalam satu minggu. Ayahku tak
pernah berkomentar. Kupikir itu bukan karena bakat, itu lebih karena batas
waktu ulang tahun Indi yang semakin dekat... dan pada malam tepat di hari ulang
tahun Indi, aku pun menyanyikannya. Lagu tentang dirinya. Terus seperti itu
setiap malam. Entah dia menyukainya atau tidak. Yang jelas aku hanya berusaha
memberikan totalitas... agar dia yakin bahwa aku adalah pria yang cukup baik
untuknya. Tapi semua terhenti di suatu hari. Hari itu...
Tadinya kupikir pagi di hari itu hanya akan menjadi pagi
yang biasa saja, shalat shubuh, menyalakan tv, hingga sebuah sms muncul. Hm,
dari nomor yang tak kukenal... kubaca...
Maaf mengganggu,
saya cuma mau mengingatkan kamu
tolong kamu jauhi
perempuan berinisial “i” itu, dan lupain dia.
terima kasih atas
perhatian kamu sama dia selama
ini... maaf
ganggu...
Pengirim :
08565653849
02/10/2008
04;55;09
Apa ini? Siapa ini? Orang tidak jelas ini? Seenaknya saja
berkata sok mengingatkan... tidak tahu apa kalau yang dia ingatkan adalah
seseorang yang berasal dari Cikaso yang notabene punya teman satu kompi
angkatan darat? Lagipula apa ini? Menjauhi perempuan berinisial I? Itu sudah
pasti Indi kan? Aku tidak ingat pernah mendekati perempuan bernama Inem, Ijah,
Imas atau Indro atau siapapun perempuan yang kudekati yang berinisial I selain
Indi... dan dengan emosi yang tak stabil, segera kuketik sms balasan pada orang
itu...
Kalo yang lu maksud
itu jauhin indi...
inget ini
baik-baik... GUA GAK BAKALAN LAKUIN ITU!!
WHAT THE F*CK R YOU
TALK’IN ABOUT AND WHO THE F*CK YOU ARE.......?!
Tak berapa lama orang itu
kembali membalas smsku...
Lu tuh ngeyel ya?
Gimana gua bisa ngertiin lu coba
kalo lu masih enggak
mau ngertiin orang lain?
sadar dong... Indi
itu cuma mainin kamu doang, enggak lebih...
Tunggu. Apa dia bilang tadi? Mengerti aku? Aku termenung.
Jangan-jangan orang ini adalah orang baik. Jangan-jangan dia memang sengaja
hendak mengingatkanku dari bahaya seorang perempuan bernama Indi. Ya, aku tahu
Indi memang tipikal perempuan penggoda dan mungkin saja orang ini adalah salah
satu korbannya juga... ah aku tidak boleh membiarkan emosi menguasaiku. Kucoba
untuk lebih tenang dan kembali membalas sms itu...
maaf, akhir-akhir
ini saya memang kurang tidur...
lagipula sms dadakan
begini memang kadang bisa bikin emosi.
mungkin bener, indi mainin
saya, saya sendiri pernah denger
kalau indi sudah
punya pacar, tapi saya enggak bisa mastiin.
karena itu saya
enggak bisa menyerah dan berhenti gitu aja.
makasih sudah
khawatir, tapi saya bakal perjuangin ini terus...
maaf tapi ini siapa
ya?
Cukup lama aku menunggu
balasan dari smsku itu, kira-kira 2 jam lamanya sms balasan itu pun muncul...
Gua pacarnya. gua
pacar indi.
Apa? Apa ini? Pacar? Pacar Indi? Tiba-tiba emosiku
kembali memuncak... lagipula lelaki macam apa dia ini? Dia tahu bahwa Indi tengah
mempermainkanku dan dengan tenangnya dia bilang bahwa dia mengingatkanku. Hey.
Bukan aku yang harusnya kau ingatkan! Perempuan aneh itulah yang harusnya kau
tegur! Kau awasi dia baik-baik! Sial. Mengapa begini? Mengapa kacau begini?
Padahal aku baru saja menginginkan sebuah hubungan yang serius dengannya...
Indi... apa yang kau lakukan ini...? Aku tahu bahwa semua perubahan yang
kulakukan untuknya selama ini memang tidak berarti apapun baginya... tapi
mengapa... mengapa baru sekarang? Mengapa tidak pada saat aku SMP atau SMA dulu
saja? Mengapa tidak pada saat berkali-kali aku berusaha memintanya untuk
menjauhiku? Mengapa? Lalu aku coba untuk memulai perang sms dengan orang yang
telah mengusik pagiku itu. Kuketik...
Saya enggak peduli siapa kamu sebenernya. tapi
kelak pasti saya tahu. dan kelak saya akan memburu kamu,
melempari rumahmu dengan molotov atau mencicipi rebusan
otak kamu. saya pasti datang. tunggu disana.
Dengan emosi yang tak karuan aku mencoba mengancamnya.
Bagaimanapun aku adalah lelaki keras kepala yang punya harga diri. Tentu tidak
akan kubiarkan siapapun mengganggu hubunganku dengan orang yang kusukai. Lalu
tak lama, hanya satu menit. Orang itu kembali membalas smsku...
Silahkan....
Silahkan? Dia bilang silahkan? Ok, jika itu maunya. Biar
kubunuh saja dia, kucincang, kubakar, kurusak wajahnya, kucincang lagi, kubakar
lagi, kucincang lagi, ku... haaaahh. Ini menyakitkan. Aku hanya tahu bahwa ini
menyakitkan. Telah lama aku merasa bahwa aku selalu terhubung dengan Indi, apa
yang dia pikirkan, apa yang Indi rasakan, seolah aku mengerti semua
tentangnya... tapi terkadang aku merasa bahwa aku selalu dijauhkan...
dipisahkan darinya, begitu eksplisit gambaran-gambaran
masa lalu itu muncul... bahwa rasa sakit dan sesak yang kurasakan di dadaku
saat ini sama sekali tidak berbeda dengan rasa sakit setiap kali aku
melihatnya... bahkan saat aku melihatnya pertama kali. Aku telah merasa bahwa
aku pernah menjadi musuhnya untuk waktu yang sangat lama. Seolah dia pernah
menyakitiku jauh sebelum ini. Oh God.
Betapa aku membencinya.
Aku terduduk lemah, lalu berdiri, berjalan-jalan, duduk
lagi, berdiri lagi, menjambak-jambak rambutku, mengambil handphone, mencoba
menghubungi Indi. Tidak diangkat. Kulempar handphone itu. kuambil lagi, mencoba
menghubunginya lagi, tetap tak diangkat. Menyebalkan. Tampaknya ini memang
sudah direncanakan. Kucoba untuk berjalan keluar rumah, melihat langit.
Setengah jam aku berputar-putar di sekitar rumahku karena lupa arah pulang.
Tampaknya aku benar-benar sakit. Seperti orang sakit.
Hingga akhirnya siang dengan panas surya yang terik
menjemputku. Ya, aku pasti sakit jiwa. Mengapa aku bisa seperti ini? Lalu
handphoneku berbunyi. Orang itu menghubungiku lagi. Kali ini tidak melalui
sms... dia menelponku.
“Halo” ujarku memulai sapaan seraya memasuki rumah yang
akhirnya kutemukan.
“Halo... Lukman...” suara perempuan. Ini pasti Indi.
“Indi?”
“Maaf Lukman...”
“Yang tadi itu siapa?” tanyaku ketus.
“Dia Rubi. Pacar... pacar Indi...” jawab Indi. Aku
menarik nafas.
“Hm... Rubi ya? Kenapa baru sekarang? Kenapa baru
sekarang kamu semenyebalkan ini? Selama ini saya sering suruh kamu jauhin
aku... kenapa kamu enggak mau? Kenapa nunggu saya bener-bener sayang sama kamu
dulu baru kamu bikin plot kaya gini?” tanyaku lagi.
“Maafin aku Lukman... aku... aku enggak enak kamu udah
lakuin banyak hal buat aku tapi...”
“Banyak hal apa?!”
“Kamu udah kasih banyak karya kamu, komik kamu, lagu-lagu
kamu...”
“Oh ya? Kok saya ngerasa kalo semua itu enggak penting
yah? Yang bikin saya bingung sekarang adalah apa maksud kamu mengadukan saya ke
pacar kamu yang saya sama sekali enggak tahu? Apa maksud kamu menjadikan saya sebagai
orang ketiga?” aku mulai marah dan menghardiknya.
“Maafin aku Lukman...”
“Just shut your
mouth! Indi, kasih handphone ini ke Rubi. Aku mau ngomong sama dia.”
Lalu tak lama kemudian kudengar handphone itu tampaknya
tengah berpindah tangan.
“Halo?” suara lelaki. Tampaknya ini suara Rubi.
“Halo Rubi?!”
Tuut. Tuut. Tuut. Sialan. Dia menutupnya. Bocah sialan.
Biar kuhubungi balik... ini dia. Akhirnya dia mengangkatnya.
“Halo... Rubi...!?”
Tak ada jawaban. Aku hanya mendengar berbagai bisikan
disana. Entah apa yang mereka bicarakan.
“Halo... woy! Halo...”
Tuut. Tuut. Tuut. Dia menutupnya lagi. Kampret! Kuhubungi lagi... dan mereka
mengangkatnya lagi.
“Halo?” ujarku untuk kesekian kalinya.
“Aaaah... aaah... jangan... aaah...”
“Halo...?”
“Aaaah... aaah...”
“...”
“Aaaah...”
Segera kututup handphone itu.
Suara apa barusan? Suara tadi? Itu seperti suara desahan
perempuan. Itu pasti ide konyol Indi... meski terdengar bodoh tapi cukup
membuatku shock. Membuat pikiranku runyam. Sedang apa mereka? Tadinya, kupikir
aku mengenalnya. Aku menghormatinya. Aku menghormatinya sebagai seorang wanita.
Tapi apa yang dia lakukan? Dengan memperdengarkan suara semacam itu bukankah dia
telah merendahkan martabatnya? Menghinakan dirinya sendiri, merusak semua yang
dititipkan Tuhan kepadanya... hanya untuk apa? Hanya untuk membuatku ilfeel? Aku tidak peduli apakah yang tengah
mereka lakukan tadi itu benar-benar sebuah perbuatan zina atau bukan... tapi temanku
Syifana pernah menegaskan padaku bahwa suara desahan perempuan merupakan sebuah
aurat juga. Dan bahwa itu juga merupakan bagian dari zina suara. Tidak. Bahkan
jika ini hanya konspirasi penuh kebohongan sekalipun. Bukan ilfeel yang
kurasakan, melainkan kesedihan dan kekecewaan yang mendalam. Kusempurnakan ia
lewat pandangan. Kuhormati dirinya melalui pemikiran. Kupelajari dirinya dengan
tindakan. Dan segala rasa untuknya yang kusempurnakan dalam karya. Semua ini
menjadi sangat percuma. Aku yang salah. Aku yang salah karena telah
menyukainya... seharusnya ini tidak perlu terjadi, seandainya aku benar-benar
bisa menjauhinya sewaktu SMA... tapi saat itu Indi selalu berkata bahwa
memutuskan tali silaturahmi merupakan sebuah perbuatan dosa. Terus aku harus
bagaimana? Bukankah yang telah dilakukan oleh Indi hanyalah merusak hubungan
itu? Ya, Aku merasa jijik padanya, tapi tahukah kamu bagaimana rasanya merasa
jijik kepada seseorang yang kamu cintai? Itu bukan ilfeel, itu menyakitkan. Aku
yang salah karena mengiyakan kata-kata para penyair bahwa cinta itu buta. Tidak
bisakah mereka berpikir? Jika cinta itu haruslah buta, haruskah hati kita ikut
buta karenanya? Lantas lagu-lagu dengan sejuta rayu mengatakan bahwa cinta tak
harus memiliki... hey. Apa mereka tidak tahu betapa sakitnya ini? Omong kosong
jika aku berniat untuk bertahan setelah merasakan ini. Omong kosong jika aku
bisa bersikap “biasa” setelah diperlakukan seperti ini... perasaan, hasrat,
reaksi kimia, rasa sayang, kepedulian atau apapun namanya harusnya bisa
dipertanggungjawabkan. Jika memang pantas diperjuangkan ya perjuangkan, jika
memang bukan takdir kita ya lepaskan saja... karena cinta yang indah adalah
cinta yang berkesinambungan. Saling memberi...
bukan menyiksa diri. Cinta itu memiliki. Simpel bukan? Begitu simpelnya sampai
aku tak tahu bagaimana cara melakukannya. Kujambak-jambak rambutku lagi.
Mengapa begini? Pasti ada konsep yang telah kulewatkan... konsep yang benar
tentang perasaan...
Dulu sekali aku berpikir bahwa jatuh cinta adalah hal
yang biasa saja. Muncul ketika hasrat meletup-letup, dunia menjadi indah,
segala hal yang menyenangkan, saling menyayangi satu sama lain, berbagi
kepedulian. Kubuat teori tentang arti cinta yang sebenarnya... bahwa cinta
merupakan gabungan dari hasrat, nafsu, ketertarikan yang bercampur dengan kasih
sayang. Ketika kita merasa senang hanya dengan melihatnya... itu adalah bagian
dari hasrat, namun ketika kita merasa peduli dan memberikan perhatian padanya itulah
bagian dari kasih sayang. Mengapa perasaan itu terasa begitu campur aduk? Tidak
bisa dimengerti, aneh dan membingungkan? Itu karena hasrat dan kasih sayang
adalah dua hal yang bertolak belakang dan dalam kasus ini, cinta justru
menyatukan dua hal unik tersebut. Terasa berlebihan? Tentu. Karena setelah
kejadian ini, harus kuakui ada rongga kosong dalam teoriku itu, konsep ini
belum sempurna. Ada yang lebih tinggi dari sekedar itu semua... tapi apa? Aku
belum tahu. Yang kutahu sekarang hanya rasa sakit... dadaku terasa sesak tanpa
sebab medis yang logis.
Kuputuskan untuk mengambil bantal dan tidur saja.
Kupejamkan mataku selama beberapa menit dan akhirnya aku bangkit lagi dari
tempat tidur. Mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, berharap
dengan begitu aku bisa sedikit melupakan semuanya. Tapi tidak. Sekarang semua makanan
yang kusukai pun terasa tidak enak. Lalu kupandangi tumisan pare yang tak
kusentuh itu. Seumur hidup aku tidak pernah menyukai pare. Sayur pare rasanya
terlalu pahit. Tapi kupikir apa yang lebih pahit dari apa yang kurasakan
sekarang? Jadi kuputuskan untuk melahapnya. Kukunyah dengan perlahan. Pahit.
Tapi harus kutahan...
“Hayati pahitnya kawan...”
Ya. Aku bisa menahannya. Pahitnya pare belum seberapa
buatku.
“Lebih pahit cinta ketimbang pare”
Itu benar.
“Berikan apresiasi pada setiap
gigitan...”
Aku tidak apa-apa. Ini lezat sekali.
Lalu ibuku muncul. Ibu
melihatku begitu lama dengan cara yang aneh. Aku hanya bisa berpura-pura tidak
peduli.
“Lukman?”
“Ya ‘mah?”
“Sejak kapan kamu suka pare...?”
“Sejak hari ini ‘mah...”
“Oh...” ibuku mengeluarkan tatapan bingungnya.
“Kenapa ‘mah?” ujarku. Lalu ibu mengerutkan bibirnya
seraya mengangguk-angguk menunjukan wajah penuh keyakinan yang tampak
dipaksakan.
“Enggak... itu bagus... kamu suka pare, ya itu bagus...”
jawabnya.
“Bagusnya?” tanyaku.
“Pare itu, biarpun rasanya pahit, tapi dipercaya memiliki
banyak khasiat... ya, contohnya bisa dijadikan obat untuk sakit malaria...”
“Kamu dengar itu Lukman? Jangan-jangan
pare bisa menyembuhkan patah hati juga...”
Mungkin saja.
“Kalo gitu tiap hari masaknya pare aja ‘mah...”
___**___
Satu minggu berlalu. Aku tidak pernah bisa tidur dengan
nyenyak, sejak saat itu aku tidak pernah
lagi mendapatkan sms dari Indi dan lidahku pun semakin terbiasa dengan pahitnya
pare. Kuhabiskan waktu pagiku untuk berolahraga, berlari sebanyak 20 keliling
di lapangan Gasibu, melakukan push-up
dan sit-up sebanyak-banyaknya di
halaman Gedung Sate. Sepulang dari sana aku langsung mengkonsumsi teh rosella. Teh yang terbuat dari bunga
rosella yang warnanya merah pekat ketika diseduh. Teh itu rasanya sangat asam,
sengaja aku meminum ini karena selain mengandung anti-oksidan tinggi, rasa
asamnya ini cukup getir jika diresapi ketika patah hati. Selain itu rasa asam
dipercaya bisa menguruskan badan. Ya, aku tengah melakukan diet. Karena
meskipun badanku tidak terlalu gemuk... dengan berat 70 kg dan tinggi hanya
169cm, kupikir aku dan badan besarku ini harus diolah. Siapa tahu saja kan, suatu
ketika disaat aku tengah bermain basket penuh keringat, tiba-tiba Indi muncul
dan melihat keseksian tubuhku dengan otot perut sixpack... dan setidaknya dia akan terpesona. Kutengok cermin.
Kubuka bagian bawah kaosku, dan kucoba meregangkan otot perutku. Hm... itu
bukan sixpack, tapi lumayan... itu
berbentuk seperti fourpack. Ya, empat
kotak besar ada di perutku. Tapi tidak. Itu bukan empat kotak, itu lebih mirip
dua kotak diatas dan dua kotak samar-samar dibawahnya. Dan jika kulemaskan
perutku begitu saja... ok, jadi selama ini hanya ada... satu kotak polos.
Haaah. Lagipula buat apa juga aku harus berharap bahwa
Indi bisa melihatku? Keberadaannya di jalan Cikutra itu saja sudah cukup
membuatku phobia. Yang jelas, mulai
saat ini aku menginginkan sebuah perubahan... perubahan penampilan, perubahan
gaya hidup dan perubahan pola pikir... seolah aku ingin membalas dendam kepada
Indi dengan merubah diriku sekeren mungkin. Aku ingin dia bisa terus melihatku,
dari kejauhan, sedang aku tak bisa melihatnya. Aku ingin menjadi orang hebat,
terkenal, diliput media dan dia hanya mampu melihatku dari layar kaca. Haaah. Setiap
orang yang tengah patah hati pasti ingin seperti itu. Padahal, kalau semua itu
terwujud, dendam seperti apapun pasti dengan mudah terlupakan dan dengan mudah
aku bisa memaafkan Indi. Hey, itu juga bukan ide buruk.
Menjadi hebat, membalas dendam kepadanya, bukan karena
ingin pamer saja tapi lebih kepada pembelajaran dan pembuktian. Dengan
membuktikan bahwa aku baik-baik saja, mungkin, mungkin saja dengan begitu aku
bisa memaafkan semuanya. Tapi aku tidak ingin melupakan ini, bukan hanya karena
ini memang sulit tapi kupikir semua ini lebih baik kuingat dengan baik agar
kelak di masa depan aku bisa mentertawakannya. Mengingatnya sebagai sesuatu hal
yang ringan, hanya sebagai pengalaman yang unik.
Lalu bagaimana dengan sekarang? Aku tidak bisa terus
merasa paranoid seperti ini. Cikutra tidak terlalu jauh dari rumah. Lagipula
memangnya ada apa di jalan Cikutra? Hanya ada pemakaman umum dan juga taman
makam pahlawan. Tidak ada yang penting yang mengharuskan aku memasuki wilayah
itu, kecuali fakta bahwa kakek nenekku dimakamkan disana. Itu artinya setiap
kali aku dan keluargaku hendak berziarah akan ada kemungkinan aku bertemu
dengan Indi secara tidak sengaja. Memang hanya kemungkinan kecil, tapi akan
sangat menyebalkan jika itu terjadi. Jadi begini saja. Biar kudatangi rumahnya
sekali lagi. Kudatangi dia, berharap bisa mendapat penjelasan yang lebih
melegakan. Tapi, aku tidak bisa pergi kesana sendiri. Aku harus ditemani
seorang teman. Egi. Anak aneh itu saja, dia pasti mau menemaniku nanti. Bukan
karena aku takut, tapi lebih karena aku tidak mau keluarga Indi berpikir yang
tidak-tidak tentangku jika aku datang sendiri, bagaimanapun aku masih
menghormati Indi yang seorang perempuan. Terlebih pembawaan Egi yang tenang
bisa sedikit menahanku dari emosi tak terkendali.
Hari Minggu.
Biasanya hari ini aku dan teman-temanku berkumpul di kawasan Daarut Tauhid
Bandung, untuk belajar di sebuah komunitas menggambar komik. Namun sebelum
kesana aku yang ditemani Egi akan mengunjungi Indi terlebih dahulu.
“Nanti begitu sampai disana, tolong jangan emosi dulu ya
man” Egi mengingatkan. “Ya iyalah, makanya ane bawa ente supaya ente bisa cegah
ane kalau ane mengamuk dan berubah jadi monster” jawabku.
“Jadi si Indi ini... dia...” ujar Egi terhenti.
“Ya?”
“Jadi kita mau apain si Indi?”
“Ya enggak diapa-apain juga kali... gimana sih? Katanya ane
musti tenang ngadepin tuh harim”
“Gua becanda. Pokoknya jangan malu-maluin ya man, lu
musti bisa jelasin kalo lu enggak bisa disalahin...”
“Itu. Itu yang mau ane lakuin sekarang. Tapi...”
“Tapi apa...?”
“Tapi ane enggak bisa jamin itu kalau Rubi juga ada
disana.”
“Rubi... itu... monyetnya?”
“Ya. Dia kingkongnya... waktu kita kesana ane yakin si
Indi bakalan menghubungi si Rubi dan bikin kita jadi tersangka utama.”
“Kita? Lo aja kali... gua kagak ikut-ikut”
“Ya itu maksud ane. Jadi...?”
“Kita berangkat sekarang?”
“Capcay...!”
Dan motor matic
Egi pun melaju. Memasuki wilayah Cikutra, monumen taman pahlawan menjulang
tinggi menyambut hari. Diantara kepadatan kendaraan dan pangkalan ojek,
akhirnya kita menyusuri sebuah gang di kawasan Cukang Kawung. Hingga kemudian
kita pun sampai. Setelah bersalaman dengan ibunya, Indi pun muncul dan
menyambut kami dengan basa-basi busuknya. Aku dan Egi hanya bisa membalas
keramahan itu dengan senyum yang tak kalah busuk pula.
Ini sudah hampir lima menit. Aku dan Egi terdiam duduk
berhadapan dengan Indi. Hanya basa-basi yang kita ceritakan. Tidak ada yang
mencoba memulai mengungkit kejadian seminggu kemarin. Indi pun sesekali hanya
menggaruk-garuk kepalanya seraya tersenyum garing. Senyum yang jelas-jelas
dipaksakan. Kuhirup nafasku, aku harus tenang, pikirku. Biar aku saja yang
memulai ini...
“Jadi Indi, waktu itu...”
“Eh sebentar...” tiba-tiba Indi memotong perkataanku lalu
bergegas meninggalkan kami pergi ke ruangan lain, lalu terdengar ia tengah
seperti berbicara melalui telpon dan berkata; “Ya! Orangnya datang kesini!
Makanya kamu kesini sekarang juga...” haaaaah. Aku sudah bisa menduganya, orang
yang tengah bicara dengannya di telpon itu pastilah Rubi. Dan Indi pasti
menyuruhnya datang kesini. Ini pasti runyam. Padahal yang kubutuhkan hanya
klarifikasi dari Indi saja. Aku sama sekali tidak punya kepentingan apapun
dengan Rubi. Lagipula, lelaki itu... dia tidak tahu sama sekali masalah ini
seperti apa... paling yang dia tahu hanya sedikit cerita yang dibuat oleh Indi
saja. Mungkin disini, dia hanya tampak seperti aksesoris Indi. Dan aku barang
usangnya.
Tak berapa lama, sesosok pria muncul. Rupanya dia inilah
yang bernama Rubi. Bagus. Biar kuceritakan saja semua ini padanya. Akan kubuat
mata pria ini sedikit terbuka. Sementara kualihkan pandangan pada temanku,
Egi... entah mengapa aku melihat wajah Egi tampak seperti menahan kemarahan.
Tulang rahangnya tampak menonjol keluar dari pipinya yang chubby. Tenanglah Egi... aku membutuhkan dirimu yang tenang...
ujarku dalam hati.
Rubi pun muncul dengan pembawaan yang tenang namun bisa
kulihat bahwa matanya tampak menyala, berbeda denganku yang mulai panik dengan
memainkan helm yang kugenggam. Ingin rasanya aku mengirimkan tinjuku begitu
saja seperti pada saat SMP dulu. Tapi aku tidak bisa, itu karena disini akulah
yang jadi penjahatnya. Disini, akulah si pengganggu. Dan segala kecanggungan
ini membuat setiap obrolan kami tidak berarti.
“Hai...”
“Yo...”
“Oh ya kenalin ini Egi... dia anak DKV, dia jago gambar
dan jago bikin animasi...” ujarku kepada Rubi, mencoba meyakinkan bahwa teman
yang kubawa ini bukanlah bodyguard-ku,
temanku dari Cikaso, ahli karate atau sejenisnya.
“Pulang kerja, kuliah atau...?” ujarku mencoba ramah.
“Enggak, aku dari rumah...” jawab Rubi.
“Oh...”
Pertanyaan macam apa itu Lukman? Tentu
saja dia dari rumah,
ini kan hari Minggu... dasar jenius.
Rubi pun duduk di sebelah Indi, posisinya berhadapan
dengan Egi. Ini membuatku semakin canggung. Seperti dua lawan dua... aku
melawan Indi dan Rubi melawan Egi. Kita berempat hanya dipisahkan oleh sebuah
meja besar... dan posisi ini mengingatkanku pada sebuah adegan film berjudul
“God Of The Gambler” dimana para dewa judi duduk saling berhadapan dan
mengeluarkan kartunya masing-masing... lalu kurasakan ruang menjadi gelap dan
lampu hanya menyoroti kami berempat. Tiba-tiba saja pakaianku, Egi dan Rubi
berubah menjadi setelan tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu sedang Indi hanya
mengenakan balutan longdress hitam dengan selendang bulu rubah. Ah apa yang
terjadi... dimana ini?
“Aku punya satu as...” tiba-tiba Indi pun mengeluarkan
kartunya. Kuperhatikan lenganku. Ada kartu disana. Aku hanya tersenyum.
Kutunjukan kartu yang kugenggam.
“Saya punya dua as... saya yang menang...” ujarku.
“Tunggu dulu...” tiba-tiba Egi menampik pernyataanku.
“Gua punya... tiga as!” ujar Egi seraya tersenyum
bangga...
“Apa? Bagaimana bisa kamu melakukan itu?” ujarku
keheranan.
Egi hanya tersenyum angkuh. “Ini adalah pertarungan kartu
dewa judi, dan gua adalah mahasiswa DKV, tentu saja kartu-kartu ini bisa kuubah
semauku dengan menggunakan ilmu halusinasi desain komunikasi visual...
hahahaha...”
Tiba-tiba tawa Egi itu tertutupi oleh tawa yang lain...
sebuah tawa yang jahat mengisi ruangan... kulihat Rubi dipenuhi aura
kegelapan... matanya menyala terang kemerahan dan dia tertawa congkak seraya
menunjukan kartu-kartunya...
“HAHAHAHA GUA PUNYA................... LIMA AS!!!
HAHAHAHA”
“APA? LIMA AS? TIDAAAAAAK!!!” aku berteriak histeris
seraya jatuh terpental dari bangku.
“Tadinya gua pikir kartu as hanya tercipta empat buah...
gua salah perhitungan...!!!” Egi pun menangis frustasi. Hanya Indi yang
tersenyum angkuh seraya mendekap Rubi. Ini pemandangan yang aneh... ini...
ini.... “HAHAHAHAHAHAHA... GUA YANG MENANG SEKARANG... HAHAHAHA” kian lama tawa
congkak itu semakin menjadi dan tiba-tiba aku tersadarkan dari khayalku.
“Lukman... Lukman... hey...” Egi mencolek-colek bahuku
dan membawaku kembali ke dunia nyata. Tidak ada lima as disini.
“Oh ya... kenapa?” tanyaku.
“Bengong aja lu.” Ujar Egi.
“So...” Rubi menatapku aneh... “Apa yang mau kamu
bicarakan?”
Ledakkan semuanya Lukman...
“Euh... enggak kok kita kesini cuma... cuma kebetulan
lewat” jawabku sekenanya. Egi melotot ke arahku, aku menjadi semakin kikuk, tak
tahu harus memulai dari mana...
“Jadi...” ujarku
“Jadi?” lanjut Rubi.
“Jadi sejak kapan kalian... jadi... jadian?” aku
bertanya.
“Jadi-jadian?” Rubi dan Indi menatapku lagi dengan aneh.
“Euh maksud saya... jadi...euh...
jadi........................... yan...”
“Oh jadian...”
“Kelas dua SMA...” jawab Indi.
“Kelas satu ah...” jawab Rubi.
“Kelas dua...” Indi menegaskan.
“Kelas satu sayang...” Rubi meyakinkan
“Kelas dua ayang... masa ayang lupa sih?” Indi
menambahkan lagi.
Melihat kemesraan mereka aku hanya bisa tersenyum, hanya
helmku saja yang terus kupukuli di kolong meja.
Lagipula kapanpun itu Indi pasti tahu
kalau aku lebih dulu menyukainya.
“Jadi ada keperluan apa kamu datang kesini?” Rubi
bertanya lagi.
Tunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya
Lukman... marahlah, lagipula ini bukan rumahnya, tunjukkan seberapa besar kamu
mencintai Indi...
“Saya kesini... saya mau... mau minta maaf” ujarku.
“Oh. Dimaafkan” ujar Rubi
“Maksud saya...” kutatap Indi. Kutatap dia sebeku
mungkin.
“Aku minta maaf... Lukman, maafin aku” ujar Indi.
“Enggak, enggak apa-apa. Saya yang salah...” jawabku.
Rubi hanya terdiam. Bagian ini mungkin dia tidak mengerti.
“Kamu ingat, berapa kali saya menyuruh kamu menjauhi
saya?” tanyaku lagi. Indi membeku... matanya hanya menatap meja.
“Waktu SMP, pertama kali kamu tahu siapa saya, saya
pernah menyarankan kamu agar kita tidak saling kenal...” ujarku lagi.
“Maafin aku Lukman...”
“Kamu selalu bilang saya akan masuk neraka jika
memutuskan tali silaturahmi dengan kamu...”
Lalu Rubi menatapku. “Yah, kalau jadi teman saja sih
enggak apa-apa. Its ok, buatku.”
“Enggak Rubi. Terima kasih, semoga ini yang terakhir”
Ini pasti sulit Lukman, karena setiap
kali kamu berusaha menjauhi Indi, dia akan mengejar kamu seolah kamu adalah
miliknya dan kamu akan terjatuh ke lubang yang sama lagi...
Anggap saja itu sebagai proses...
Proses yang menyebalkan...
Ya, siapa yang bilang kalau ini menyenangkan. Semoga
Tuhan punya rencana lain...
Kuharap kamu tidak terjebak dengan
keadaan ini, ada bedanya antara memutuskan tali silaturahmi dengan menjauhi
keburukan...
Kehidupan ini bukan keahlianku. Jadi kuserahkan pada
ahlinya, baik atau buruk Dia lebih tahu.
“Waktu itu... apa kamu marah sama Indi?” Indi bertanya.
“Saya... saya tidak marah... saya hanya malu...” jawabku.
“Malu?” Indi bertanya lagi.
“Orang yang tahu bahwa saya suka sama kamu itu banyak,
waktu SMP saja saya sering digodain temen-temen kamu kan? Saya sering gadang
nama kamu ke temen-temen. Jadi kalo udah begini saya pasti malu...”
Mencintaimu itu memalukan
“Maafin aku Lukman...”
“Enggak, enggak apa-apa, pokoknya setelah ini, jika saya
punya hutang, janji atau apapun yang belum saya tuntaskan... tolong kamu anggap
lunas saja...”
Dulu aku berjanji untuk selalu ada
untuknya...
Indi hanya terdiam. Aku sama sekali tidak peduli apa yang
dia pikirkan, karena aku yakin dalam hatinya dia gembira bisa membuangku begitu
saja. Berapa kali dia berbohong padaku dengan mata itu? Karena aku pun telah
memberikan banyak kebohongan dengan datang kemari. Aku sama sekali tidak
mengenalnya, begitupun sebaliknya. Dia tidak pernah tahu seperti apa caraku
menyukainya.
“Tapi kita masih bisa temenan kan?” ujar Indi.
“Apa?”
“Kita... masih temenan kan...?” ujarnya lagi.
Rubi menatap Indi dengan dalam. Aku hanya tersenyum.
“Saya tidak berharap kamu menanyakan hal itu...” ujarku
“Kita... kita semua adalah teman... semua yang ada disini
kan udah jadi teman Indi...”
“Saya... saya enggak tahu...” jawabku seraya
mengernyitkan dahi.
Jangan terjebak Lukman... dia bahkan
mengatakan itu dihadapan pacarnya...
“Saya... saya enggak bisa, apapun itu harus kita akhiri
sampai disini...” ujarku lagi.
Kamu tidak pernah memperlakukanku sebagai
teman
“Indi enggak mau Lukman marah... Indi enggak mau kamu
benci Indi...”
Aku sudah membencimu dari awal aku
melihatmu
“Saya... saya enggak marah kok... hahaha”
Indi menatapku lagi.
“Semua ini salah paham Lukman...”
“Saya enggak marah, saya biasa aja kok jadi kamu tenang
aja...” aku menoleh pada Egi. “Gi, kita pergi sekarang?” ajakku padanya. Egi
hanya menatap Indi.
“Sebentar...” ujar Egi.
“Apa lagi...?”
“Saya mau minta ijin sama kalian bertiga...” ujarnya lagi.
Segera kutampik kata-kata itu sebelum melebar ke arah lain...
“Jangan gi... enggak usah...” ujarku sambil
memelototinya.
“Oh... jadi enggak usah?” ujarnya. Aku hanya menggeleng.
Sementara Indi dan Rubi hanya terlihat keheranan karena tidak mengerti apa yang
tengah kami bicarakan... tentu saja, sebelum ini... saat aku menceritakan semua
ini pada Egi, Egi mengusulkan agar ceritaku ini disisipkan dalam novel yang dia
tulis. Tadinya aku mengijinkannya. Tapi melihat bagaimana caraku dipermalukan
seperti ini aku harus membuatnya menghentikan rencana itu. Lagipula akan
seperti apa novel itu jadinya? Hanya menceritakan tentang kisah percintaanku
yang gagal yang kemudian dikemas dalam sudut pandangnya? Tidak Egi, itu bukan
ide bagus...
Akhirnya aku dan Egi bangkit, kami pun bersalaman dengan
Indi dan Rubi... tentu saja dulu Syifana telah mengajariku bagaimana cara
bersalaman dengan perempuan, jadi kujaga jarak lenganku 30 cm dari lengan Indi.
Barulah aku bersalaman dengan Rubi. Rubi menatapku dalam.
“Marah enggak marah sebenernya Tuhan lebih tahu” ujar
Rubi.
Aku hanya tersenyum sinis.
Tentu saja kamu tahu betul kemarahanku,
dan benar
bahwa Tuhanku tahu aku tengah marah
sekarang... tapi justru karena Tuhanku tahu... aku ingin hari ini Tuhanku
melihatku sebagai pemenang atas kemarahanku ini.
Lalu Egi pun menjabat lengan Rubi. Egi menjabat tangan
Rubi seraya tersenyum sinis dan bertanya
“Kamu anak mana?” tanya Egi.
“Gi... cepetan, kita udah telat...!” seruku. Aku tidak
ingin Egi sahabatku itu menunjukkan intimidasi bahkan pada orang yang tidak
kusukai. Itu karena dalam hal ini aku tidak terlalu menyalahkan Rubi.
Akhirnya kami meninggalkan tempat itu. Tempat yang tak
ingin kudatangi lagi. Bergegas menuju Daarut Tauhid. Sebuah tempat yang sejuk
dan menenangkan. Selama perjalanan, Egi terus mengingatkan bahwa sebaiknya aku
menjauhi Indi sebisa mungkin. Semua kepahitan itu harus kutelan bulat-bulat
layaknya sayur pare. Karena terkadang dalam kepahitan, terkandung khasiat yang
menyembuhkan.
“Lukman...”
“Ya gi?”
“Gua enggak suka sama cewek tadi...”
“Oh ya? Enggak sukanya kenapa?”
“Lu liat enggak cara dia natap gue? Itu bukan tatapan
cewek baik man...”
“Haha...”
Aku hanya bisa sedikit tertawa ketika Egi berkata seperti
itu, itu karena dulu pun aku merasakan hal demikian. Ditambah lagi, sebenarnya
wajah Egi memiliki sedikit kemiripan dengan Rubi, bahkan mungkin Egi terlihat
sedikit lebih tampan. Jadi tidak menutup kemungkinan kalau Indi sedikit
tertarik padanya.
“Terus cowoknya itu man... siapa namanya?”
“Rubi?”
“Iya... wajahnya songong banget... geuleuh gua...”
“Udah... udah... ente lupa apa... tadi itu dia begitu
karena ngeliat gua sebagai penjahatnya. Gua juga bakalan kayak gitu kalo gua
ada di posisinya... lagian kan yang mustinya bete itu kan ane, kenapa jadi ente
yang sewot...”
“Yeee. Gua kan temen lu man...”
“Iyeh. Thank you udah tenggang rasa ma ane.”
Akhirnya kita pun sampai di Daarut Tauhid, wilayah Gegerkalong
Bandung. Komunitas kami biasa berkumpul di bagian paling ujung dari komplek
pesantren tersebut. Wilayah ini terasa menyenangkan, seperti kota santri. Para pria
mengenakan peci hilir mudik dengan pakaian takwa bertuliskan “SSG” singkatan
dari ‘santri siap guna’ dan para perempuan pun tak luput mengenakan hijab
panjang yang menambah keanggunan mereka. Sedikit membuat kekalutanku akan Indi
terhapuskan. Lalu secara kebetulan kami melihat ustadz yang lebih dikenal Aa
Gym tengah mengenakan sepeda melintasi kami.
“Eh... gi... itu... Aa Gym kan?”
“Yee biasa aja kali... tinggalnya kan memang daerah
sini...”
“Oh...”
Aku dan Egi pun akhirnya berhenti. Di hadapan kami tampak
sebuah gazebo beratap bambu dan disana tengah berkumpul teman-temanku dari
komunitas komik dan manajemen. Tutornya, atau instruktur yang biasa mengajari
kami namanya Dovi, sarjana ekonomi yang juga sempat berkuliah di jurusan DKV,
yang mengajari kami tentang teknik-teknik pemasaran. Lalu ada Om Gus, pria
berkepala botak yang biasa dipanggil om ini sebenarnya bernama Gusnadi dan
usianya sekitar 29 tahun. Seorang sarjana DKV yang juga teman seangkatan Dovi.
Lalu ada Ahmad, yang ini seorang webmaster, biasanya Ahmad mengajari kami
tentang ilmu publikasi melalui bantuan media online. Selain mereka bertiga
sebagai tutor, ada juga anggota lainnya seperti Garlio dan Rizky yang merupakan
teman SMA-ku. Indri, perempuan cantik bermata sipit dari Cimahi. Uly, sepupu
Indri yang sedikit hiperaktif dan sering tertawa disaat tidak ada yang lucu.
Ada juga Nara, sepupu mereka berdua yang memiliki kembaran berbeda jenis
kelamin, yang kita sendiri tidak tahu yang mana yang laki-laki dan mana yang
perempuan, lalu ada Berta, mahasiswa seni rupa, Chuky yang wajahnya seperti
boneka Chuky, Tiara, gadis kecil yang menyukai cosplay yang membuatnya selalu berganti kostum tokoh-tokoh
kesukaannya, Rangga dan Julian sepasang adik-kakak dan terakhir... ah siapa
itu?
Tampaknya ada anggota baru... seorang perempuan... berhijab,
berkacamata dan memiliki wajah yang tampak bercahaya... Subhanallah... kupegangi dadaku lagi... apa aku ini mengidap platonis
sindrom atau apa? Bagaimana mungkin... aku seolah bisa melihat sedikit
kemiripan Indi di wajahnya. Tapi ini berbeda, rasa sakit yang kurasakan bukan
didasari kebencian seperti saat aku melihat Indi... perempuan ini lebih
indah... rasa sakit ini pasti berasal dari hasratku yang sesungguhnya... ini...
ini pesona yang murni... tapi tidak. Aku baru saja selesai dicampakan... baru
saja. Lagipula aku menyukai Indi selama enam tahun lamanya... mustahil aku bisa
jatuh cinta semudah ini...
Kamu pikir yang mengendalikan hati
kamu itu siapa?
Anggap saja kamu mendapat hadiah
dari Tuhan...
Mungkin benar. Perempuan yang seperti Indi itu kan
banyak, bahkan yang lebih cantik sekalipun... juga lebih baik... tapi tak ada
yang bisa membuatku tertarik seperti ini... ini pasti hadiah dari Tuhan, lalu
kupegangi dadaku lagi. Rasanya seperti ada yang memukuli dadaku dengan palu...
ah, aku tak kuasa. Aku merasa begitu lemah menatapnya... aku tidak mungkin bisa
mendapatkannya. Kecantikannya menyakitkan. Melihatku yang tampak kikuk, Dovi
langsung mengambil tindakan.
“Oh ya, Egi, Lukman, kenalin... ini anggota baru, namanya
Tisya... Tisya ini ahlinya bikin komik anak-anak dan tehnik colouring-nya ini
bagus banget...”
Aku terdiam, Tisya melirik dan jantung ini semakin tak
karuan. Ayolah, cobalah untuk bersikap
ramah Lukman... kediamanku ini hanya akan membuatku tampak angkuh... tapi
senyuman tak sanggup kuberikan dengan perasaan campur aduk seperti ini, aku
baru saja bertarung melawan perasaanku terhadap Indi... aku baru saja ingin
melupakan Indi... melupakan seleraku tentang wanita sepertinya... wanita
berwajah tirus, dengan hidung yang lurus dan mata yang bulat. Mungkin Indi
masih terlalu kurus, jadi andai ia sedikit berisi saja atau jika kulitnya itu cukup
putih seperti salju, dengan kacamata, dengan hijab yang selalu menutupi
rambutnya... memberikan kesan teteh-teteh
yang anggun dan kharismatik... Indi pasti... Indi pasti... bisa secantik Tisya.
Secantik Tisya? Aku baru sadar kalau sejauh ini yang
kusukai dari Indi mungkin hanya bentuk fisiknya saja yang ajaibnya Indi juga
bukan sosok yang bisa dibilang menarik dan entah bagaimana aku melupakan hal
lainnya. Jika hanya kecantikan yang kucari, sosok yang berada dihadapanku
inilah jawabannya. Inilah kecantikan yang kuinginkan. Definisi dari keindahan
yang kucari ada pada Tisya. Aku tahu ini bukan cinta. Ini pasti bukan cinta,
cinta pada pandangan pertama itu hanya mitos. Ini hanya reaksi kimia... ini
hanya... aaaargh. Sudahlah. Tisya hanyalah stranger,
orang asing yang tak kukenal, dan tak mengenalku juga, jadi sudahlah.
Kubiarkan waktu berlalu begitu saja. Hingga akhirnya
pertemuan itu pun diakhiri. Semua anggota pun bergegas membubarkan diri, pulang
ke rumahnya masing-masing... dan... sakit di dadaku itu semakin menjadi tatkala
sosok bernama Tisya itu pun melangkah pergi. Tidak! Jangan pergi! Jangan pergi
sekarang! Tunggu disini! Aku masih... aaah... Egi, Rizky dan Garlio menggandeng
bahuku. “Jadi... sekarang kita main kemana lagi?”
“Main?” ujarku sedikit heran.
“Iya. Main. Emangnya kita bakalan biarin lu sendirian
setelah patah hati porak poranda gitu aja... setidaknya kita harus nikmati hari
ini sebagai jomblo yang bahagia damai sentosa” jawab Egi.
“Lah gua gimana? Gua kan punya pacar...” ujar Rizky.
“Udah, sehari ini aja lu nemenin kita jadi jomblo
lagi...” ujar Egi
“Eh, emang si Lukman lagi patah hati ya? Dahsyatnya...”
Garlio tampak antusias.
“Euh... sebenarnya...” aku mencoba bergumam
“Hm?”
“Cewek yang tadi itu... dia...” sambungku lagi.
“Si Tisya?” Egi menatapku dalam.
“Euh... yah. Tisya... kalau kulihat dia agak sedikit
mirip sama...”
“Cie... cie... ada yang cinlok nih... cinta lokasi di Daarut Tauhid... witwiw...
hehehehe...” goda Rizky. Aku terdiam. “Lupain” jawab Egi. “Kalo lu beneran suka
sama Tisya... which is yang baru lu
temuin sekitar 3 jam yang lalu... lu musti suka dia dari hati. Bukan karena lu
pikir dia mirip si Indi atau siapapun itu...” ujar Egi lagi.
“Sebentar, gua gagal paham nih. Jadi si Lukman ini lagi
patah hati atau lagi jatuh cinta sih sebenarnya...?” Garlio bertanya lagi.
“Lebih tepatnya, si Lukman temen lu ini lagi ngalamin yang
namanya runaway shock therapy syndrome...”
jawab Egi.
“Run... runaway apa barusan?” ujarku.
“Runaway shock therapy syndrome!”
“Maksud ente ane abis lari-lari terus disetrum sambil
diterapi... gitu?” aku mulai merasa bahwa Egi mulai mengada-ngada.
“Maksud gue, lu lagi ngalamin yang namanya lari dari
kenyataan... dalam hati kecil lu, lu masih pengen deket sama si Indi, cuman
karena nurani lu berkata enggak bisa, akhirnya otak lu menstimulus
motivasi-motivasi yang sayangnya bisa membuat lu ngeliat perempuan yang sedikit
cantik tampak mirip dengan perempuan yang lu suka...” Egi mencoba menjelaskan.
“Hoo... jadi yang seperti itu benar-benar bisa terjadi
ya?” gumamku sesaat setelah mengagumi buah pemikiran Egi.
“Enggak juga. Gua baru ngarang itu barusan.” Jawab Egi
lagi.
“Haaah... terserah ente deh gi. Tapi by the way, ente enggak pernah apa, rasain suka sama cewek secara
tiba-tiba dan semangat ente seolah meluap-luap, begitu?” tanyaku. Egi
memalingkan mukanya. “Enggak. Gua enggak pernah.” “Seumur hidup ente udah
ngerasain pacaran berapa kali emang?” tanyaku lagi. “Enggak. Gua enggak pernah
pacaran...”
“Huwat? Tampang Chow Yun Fat begini belum pernah
pacaran?” Garlio dan Rizky pun ikut terheran-heran.
“Jadi dari tadi ente nasehatin ane tentang cewek dan ente
enggak pernah pacaran?” ujarku merasa sedikit kecewa.
“Gua hanya enggak merasa bahwa dengan mendekati perempuan
gua bisa termotivasi untuk melakukan segala sesuatu lebih baik, yang ada hanya
membuang-buang waktu saja”
“Huwat?”
“Menyingkir teman-teman, kita tinggalkan orang ini dengan
kelainannya...” tiba-tiba Rizky menggandeng bahuku dan Garlio, meninggalkan Egi
dibelakang. Disusul dengan sebuah tendangan sidekick yang juga diluncurkan Egi.
“Guah cowok normal woy!!” hardik Egi.
Akhirnya kami berempat memasuki lahan parkir, mengambil
motor dan membiarkan setiap lingkar roda itu berputar. Senja berwarna keemasan
pun menyambut kami di kawasan Setiabudi Bandung. Kami berempat mengendarai
motor seraya sesekali menyanyikan sebuah lagu yang romantis.
“Seluruh kota... merupakan tempat bermain yang asyik...
oh senangnya... aku senang sekali...” aku mencoba bernyanyi
“Kalau begini... aku pun jadi sibuk... berusaha...
mengejar-ngejar dia... matahari menyinari semua perasaan cinta, tapi mengapa
hanya aku yang dimarahi...” sambung Garlio
“Sang gajah terkena flu, pilek tiada henti-hentinya...
sang beruang tidur dan...”
“Gandeng woy!”
rupanya suara cempreng Rizky kurang begitu disukai di jalanan. Semua orang melihatnya
dengan tatapan kebencian, lalu kami berempat berhenti di sebuah setopan lampu
merah, dan dengan begitu kami bisa memulai obrolan kami lagi.
“Jadi apa rencana lu sekarang?” Egi bertanya padaku
“Ngelupain Indi si...” ucapku terhenti, memikirkan sebuah
nama yang pantas sebagai ejekan.
“Indi si...?”
“Ngelupain Indi si... si... bango tong-tong! Dan
berpaling pada Tisya!”
“Hmph. Bango tong-tong... jadi menurut lu si Indi itu
satwa langka yang harus dilindungi? Itu sih artinya lu masih ngarep coy! Fiuh.
Tapi lu serius mau ngejar si Tisya?” ujar Egi lagi.
“Serius lah...” jawabku sekenanya.
“Oke kalo gitu, gua dukung. Ky, io. Kalian tadi ketemu
Tisya lebih dulu ketimbang kita kan? Apa ada informasi lebih detail tentang
Tisya saat kalian kenalan?” tanya Egi pada Rizky dan Garlio.
“Kalau enggak salah dia bilang dia tinggal di sekitar
jalan Cibaduyut” jawab Rizky.
“Dia mahasiswa tingkat dua, jurusan hukum dan dia kuliah
di UNPARAS!” sambung Garlio
“Jurusan hukum... tapi suka gambar... hm, UNPARAS ya?
Gimana kalo kita menyusup ke kampusnya nanti malam?” usul Egi.
“Menyusup? Menyusup apaan? Gila lo. Emangnya mau ngapain
ane musti ke kampusnya?”
“Di setiap kampus pasti ada ruang rektorat. Di ruang
itulah kita bisa menemukan data seluruh mahasiswa yang kuliah disana, memang
kebanyakan hanya data nilai dan kehadiran saja, tapi dari sana kita bisa tahu
alamat rumahnya, tempat tanggal lahirnya, zodiaknya dan juga seberapa hebat dia
di kampusnya...” Egi menjelaskan.
“Hoo... tapi itu sama aja dengan stalker! Enggak, ane enggak mau. Ane bukan penguntit!” ujarku
tegas.
“Stalker... wih keren, itu pasti seru. Woy, man! Lu musti
ikut, semua ini kan buat lu!” Garlio ikut mendesak.
“Gimana ya? Ya udah deh ane ikut. Tapi ada syaratnya, ane
pengen nama kelompok kita ini diubah jadi the night stalker alias si penguntit
malam... gimana?” usulku.
“Wah. Bagus juga tuh, mirip judul game apaa gitu. Setuju.
Gua ikut!” jawab Garlio.
“Kalau gitu gua enggak. Gua terlalu normal buat ikut
kegiatan kalian!” ujar Rizky.
“Oh ya? Ini memang terlalu berbahaya buat orang
normal...” Egi menegaskan
“Dadah normal, silahkan kembali ke dunia ente yang
membosankan, enggak seru dan... ehm. Normal.” Ujarku seolah normal bukanlah kata
yang baik bagiku, Egi dan juga Garlio.
“Ya normal... pergilah ke rumah dan tidurlah jam 8 malam
ini. Karena ehm. Itu jam tidur orang normal” Garlio menambahkan.
“Haaah... terserah kalian deh...” Rizky menghela
nafasnya, lampu hijau menyala dan Rizky mengencangkan laju sepeda motornya
tanpa menoleh. Lalu Egi pun berteriak:
“Ya sudah. Nanti kita susun rencana di rumah si Lukman
aja ya...!”
“Ok!”
“Capcay!”
________________
Petang itu pula, sekitar bada maghrib, kami bertiga
memulai rencana di rumahku.
“Harus ada yang jadi pimpinan di operasi ini, diantara
kalian berdua, Lukman, Garlio... siapa yang mau jadi ketua?” Egi membuka
pembicaraan.
“Gue aja gue... gue mau jadi pimpinan” Garlio langsung
antusias.
“Lu yakin ‘io? Kenapa gak ente aja ‘gi? Ini kan ide ente...”
ujarku seolah tak mengindahkan kepercayaan diri Garlio.
“Gua enggak bisa jadi ketua, gua ini punya sindrom yang
mana suka bikin badan gua gatel-gatel ketika dibebani tanggung jawab!” Egi
beralasan.
“Yaelah gatel-gatel, ente kata alergi apa? Ya udah gimana
ketua Garlio, apa ada rencana buat operasi malam ini?” tanyaku pada Garlio.
“Ehm. Ok, Jadi kita mulai dari kampus Unparas! Ada yang
tahu bagaimana detail dari kampus tersebut?”
“Setahuku Unparas adalah singkatan dari universitas para
sanghyang... atau bisa diterjemahkan sebagai kampusnya para dewa... cukup
populer bahkan untuk ukuran universitas swasta di Bandung, meski biaya masuknya
cukup mahal, tapi banyak juga yang rela mengutamakan berkuliah disana.” Egi
menjelaskan.
“Kampusnya para dewa? Hm, sekarang aku mengerti kenapa
Tisya tampak seperti dewi di mataku...” gumamku.
“Itu cuma perumpamaan Lukman. Tapi bisa gitu juga sih...
lokasi tepatnya dimana ‘gi?” Garlio bertanya lagi.
“Ok. Kampus Unparas terletak di jalan Ciumbuleuit
Bandung, kordinatnya sekitar sektor 93.007 ke arah utara.”
“tadi si Rizky sempet bilang Tisya tinggal di sekitar
Cibaduyut kan? Itu artinya dewiku itu harus lintas dunia dari rumahnya menuju
kampus...”
“Begitulah, meskipun kita tahu Tisya tinggal di kawasan
Cibaduyut, kita belum tahu alamat pasti rumahnya, bagaimanapun Cibaduyut itu
luas dan beberapa titik disana tidak tercantum di peta kota Bandung. Nah lewat
operasi ini kita bakalan tahu alamat pastinya.”
“Hm. Bagus, Egi, lu mahasiswa DKV kan? Karena lu kenal baik
kampus itu, lu gue tugaskan untuk membuat blue print denah kampus itu!” seru
Garlio.
“Siap!”
“Lukman! Karena lu anak teater, dan lu mau ikutan tes
masuk kampus seni jurusan teater, lu bertanggung jawab sebagai make-up artist!”
“Make-up artist?”
“Iyah, make-up artist, untuk memasuki wilayah kampus
Unparas, kita harus menyamar...”
“Oh ok ane ngerti kalo gitu. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi kalo ane yang notabene anak teater menjadi seorang
make-up artist, dan si Egi mahasiswa DKV yang bikin blue print, lah, ente yang
mahasiswa pertanian ngapain? Jaga kebon?” aku bertanya pada Garlio dan sontak
pertanyaan itu membuat Egi ikut termenung tapi Garlio hanya tersenyum.
“Ok ok, gua mahasiswa pertanian, tapi apa kalian lupa julukanku waktu masih SMA
dulu?” Garlio bertanya seraya tersenyum sinis.
“Oh... itu... ok. Sekarang ane ngerti kenapa ente pengen
jadi ketua! Haha... begitu ya...” jawabku
“Garlio... julukan lu waktu SMA adalah... si ninja
bayangan... lu ahli dalam teknik menyusup, bersembunyi di mushalla ketika dikejar
pak Eli, juga menyusup masuk ke kelas tanpa diketahui biarpun lu udah telat
masuk dua jam!” Egi menambahkan.
“So, bisa kita mulai operasinya?” ujar Garlio sedikit
angkuh.
“Ok, Gua udah selesai dengan blue print. Coba lihat
semuanya!” seru Egi.
“Cepet amat ente gambar, mana coba ane liat...” ujarku.
“Busyet. Gambar apaan nih?” seru Garlio menghakimi peta
sederhana yang dibuat oleh Egi. “Ini sih bukan blue print, ini... ini apaan
gi?” Tanyaku setelah melihat karya Egi yang cukup abstrak.
“Sory, sory, gua enggak punya banyak waktu buat gambar
ini, operasi ini dilaksanakan malam ini juga, ingat? Anggap saja peta simpelnya
begini” jawab Egi.
“Ane pikir ente gambar apaan di laptop, pake software apa
nih? Photoshop?” Tanyaku.
“Bukan”
“Corel Draw?”
“Bukan”
“Adobe ilustrator? Maya? 3D studios? Microsoft Paint?”
“Sama sekali gua enggak pake program begituan.” Jawab
Egi.
“Terus?”
“Gua gambar pake program Drawing for Children”
“Oh. __________ Huwat?”
Lalu Egi pun mulai mempresentasikan pola strategis kampus
Unparas, layaknya seorang profesor ia menunjukan jalur apa saja yang aman untuk
ditempuh melalui peta yang ia buat.
“Jadi kita akan menempuh titik bahaya satu. Yaitu gerbang
Unparas yang dijaga pihak keamanan... disana kita akan menggunakan alat penyamaran
yang dibuat Lukman agar kita tampak seperti dosen ataupun staf kampus. Titik
bahaya kedua terletak di pertengahan bagian dalam kampus dimana disitu ada
pusat kegiatan mahasiswa seperti UKM dan HMJ, usahakan jangan menarik perhatian
apalagi berniat menggoda mahasiswi disana, titik bahaya ketiga ada di gedung
jurusan, agar bisa melewati rintangan dengan cepat kita akan melompat dari
gedung jurusan satu lantai enam ke gedung jurusan dua lantai tiga menggunakan
alat “Flying Fox” gua yakin alat-alat pendakian gunung macam itu dimiliki oleh
ketua kita, Garlio. Dan dari sana kita bisa langsung menembus jalur ke gedung
rektorat.” Ujar Egi panjang lebar.
“Wih keren. Bisa kita siap-siap sekarang?” seru Garlio.
“Capcay!” aku dan Egi menjawab serentak.
________________
Malam itu angin berhembus cukup kencang... kami bertiga,
The Night Stalker, mulai memasuki kawasan Ciumbuleuit menuju kampus Unparas.
Kukenakan kacamata, blus hitam yang cukup panjang seraya membawa tas koper
coklat tua yang cukup usang, sedang Garlio dan Egi tampak seperti mahasiswa dan
dosennya, lengkap dengan kacamata berbingkai kuningan, wig beruban dan kumis
palsu, penyamaran kami tampak sempurna. Dan tampaknya semua usaha ini
berlebihan karena ternyata pihak keamanan kampus terlihat begitu cuek dan tidak
peduli. Kami bisa masuk begitu saja. Bahkan meskipun ini malam hari kami tidak
menyangka bahwa kampus Unparas bisa seramai ini, para mahasiswa hilir mudik
kesana kemari.
“Oke. Hambatan pertama, penjaga keamanan sudah kita
lewati. Jaga terus penyamaran kalian!” seru Garlio.
“Siap bos!” ujarku.
“Tapi ini sedikit aneh, terlalu ramai untuk ukuran jam
segini, apa sedang ada kegiatan UKM ya?” Egi mulai menaruh curiga.
Dan kecurigaan Egi itu pun terjawab ketika kita memasuki
bagian dalam kampus, dimana disana kami bertiga melihat sebuah spanduk besar
bertuliskan :
“SELAMAT BERJUANG DALAM PELATIHAN BELA DIRI BERSAMA UKM
JUDO SE-BANDUNG RAYA”
Sontak tulisan di spanduk tersebut membuat kami menelan
ludah, keberanian pun mulai menciut.
“U... UKM judo? Se... sebandung raya?” Garlio bergidik.
“Judo itu yang kaya Bruce Lee itu kan bray?” ujarku.
“Jangan panik. Tetap tenang, kita enggak punya urusan
sama mereka. Anggap ga ada kejadian apa-apa, lagipula Bruce Lee itu aliran bela
dirinya Jet-Kundo, bukan Judo. Ayo terus maju” Egi mencoba menenangkan, dan
kami pun bergegas melanjutkan perjalanan.
“Gi, kita enggak bisa pake flying fox disini, itu bakal
mengundang perhatian... lebih baik kita langsung menuju ruang rektorat” Garlio
mengusulkan.
“Ide bagus. Mungkin kita bisa memanfaatkan keramaian ini
untuk membaur dan langsung menuju tujuan” jawab Egi. Hingga tak lama setelah
kami memastikan keamanan disana akhirnya kami menemukan gedung rektorat
Unparas.
“Ini dia ruangannya. Ayo masuk!” seru Garlio.
“Tunggu bos, kita enggak tahu kalau ruangan ini...”
ujarku terhenti sesaat ketika aku mencoba membuka pintu ruangan tersebut. Dan
benar saja...
“Terkunci...” sambung Egi. Lalu Garlio pun tersenyum.
“Boys.
Thats why iam here...” ujar Garlio seraya membuka kacamatanya
yang berbingkai kuningan. Dengan gagang kacamatanya yang tipis dan pipih ia
merogoh lubang kunci pintu ruangan itu. Tak lama pintu ruang rektorat pun
terbuka.
“Gatcha!
Akhirnya!” ujarku kegirangan. Akhirnya kami pun memasuki ruangan. Tanpa
menyalakan lampu terlebih dulu, kami langsung berjalan menuju beberapa
perangkat komputer. Dari sana Egi mulai beraksi, ia nyalakan tombol power
dan...
“Sial! Rese nih. Musti pake password...!”
“Hm. Password ya? Coba masukin kata Unparas keren atau
Kampus para dewa” ujar Garlio.
“Enggak berhasil!” jawab Egi.
“Kalo gitu coba lagi kata i love you wo ai ni ai shiteru
sarang heyo ih libedih!” Garlio mengusulkan.
“Gagal!”
“Coba masukin tanggal lahir lu, nama bapak lu atau nama
makanan kesukaan lu” usul Garlio lagi.
“Please deh ‘io!” Egi
pun mulai memeloti Garlio. Garlio hanya tersenyum cengengesan.
“Kalo gitu coba 123!” aku pun ikut mengusulkan. Egi
menatapku sebentar dan ia mulai mengetik.
“Berhasil! Lu jenius Lukman!” seru Egi, membuatku sedikit
merasa berjasa. Lalu Egi mulai mengotak-atik file-file yang terdapat didalam
komputer tersebut.
“Ini dia. Sistem informasi akademik mahasiswa. Hm, coba
kita lihat... jurusan hukum... namanya... Tisya” Egi mulai mengetik.
“Gimana ‘gi, ada?” tanyaku dengan sedikit antusias.
“Ada 25 orang yang bernama Tisya di jurusan hukum dari
semua angkatan hingga saat ini... yang mana?”
“Cari yang alamatnya di Cibaduyut!” seru Garlio.
“Ok. Ini dia. Ada satu orang, namanya Tisya Noviandinny!”
“Coba coba, ane mau lihat...” aku mulai antusias.
Kulihat fotonya terpampang di komputer. Paras itu,
membuatku merasa melayang dalam hasrat yang menggebu yang begitu kuat namun
juga melemahkan jiwa. Tisya Noviandinny. Jadi itu nama lengkapnya... sementara
Egi mulai menganalisa apa yang ia temukan.
“Hm... Tisya Noviandinny. Kelahiran 13 November 1988 itu
berarti...”
“Berarti apa gi? Ya emang sih dua tahun lebih tua dari
ane, tapi cinta itu tidak mengenal usia gi...” ujarku.
“Maksud gue... dia kelahiran November 1988. Artinya dia
bershio naga” jawab Egi lagi.
“So what? Emangnya ane percaya feng-shui...” ujarku
“Masalahnya lu itu kelahiran Februari 1990... artinya
shio lu itu kuda dan lu tahu apa ramalan bagi cinta sosok kuda dan sosok naga?”
“Apa?”
“Itu adalah hubungan yang penuh dengan hasrat... sexual desire... ketika lu deket dengan cewek ini, lu pasti
ngerasa melayang dalam hasrat yang menggebu dan begitu kuat namun juga
melemahkan jiwa lu... begitu kan?” Egi mulai menganalisa.
“Kok lu tahu ‘gi?” aku mulai merasa heran.
“Kata feng-shui sih gitu. Kuda akan selalu memuja naga.
Seperti apapun dia, dia akan terlihat super di mata lu...”
“Heh, jangan ngaco deh, kalo iya begitu kenapa gua enggak
ngerasain apapun waktu ngeliat si Tisya?” Garlio mulai ikut-ikutan.
“Garlio, lu dan gue itu kelahiran Juni 1989... jadi shio
kita itu uler... uler cuma sodaraan aja sama naga... ngerti ga sih lu?” Egi
terus berkutat dengan teorinya.
“Pokoknya gua enggak percaya, mo uler kek, mo naga kek,
kuda laut kek, pokoknya gua ini manusia... gua...”
“Udah... udah kita jangan ribut soal feng...” tiba-tiba
suaraku tertahan karena kami dikejutkan dengan terbukanya pintu ruangan itu oleh
seorang pria berpakaian judo lengkap dengan sabuk hitam yang mengikat
pinggangnya.
“Siapa itu yang nyalain komputer?!” orang itu berteriak
pada kami bertiga, kondisi ruangan yang masih gelap menjadikan layar komputer
sebagai satu-satunya sumber cahaya. Dan dari cahaya itulah pria yang berpakaian
judo itu bisa melihat wajah kami. Kalau sudah begini, terpaksa. Karena aku
adalah orang yang berpengalaman dalam berkelahi, aku pun maju. Dalam remang
kegelapan kudekati pria itu, kutatap dia dengan dalam. Kuperhatikan lengannya
dan dari sikap tubuhnya aku bisa membaca bahwa dalam 0.3 detik lengan itu akan
menyerang bagian dadaku dan saat itu aku akan menepisnya dengan jurus capitan
gunting, pada detik ke 2.7 kuluncurkan dua jariku yang lain untuk mencolok
matanya, lalu pria itu pasti panik, berniat menutupi matanya dengan kedua
lengannya namun lengan itu akan kutarik lebih dulu, memitingnya lalu
melumpuhkannya dengan jurus patah hati di musim semi...
Kuperkirakan semua adegan itu hanya memakan waktu tujuh
detik saja dan aku pun tersenyum puas memikirkannya, tapi tidak. Aku tidak
melakukannya. Pria ini masih tidak bergeming, dia masih tertegun seolah masih
ingin tahu apa yang hendak kulakukan... sementara Egi dan Garlio mungkin tengah
menahan nafas, mereka tampak pucat dan pasrah... hingga...
“Oh... pak Markus rupanya...”
Eh? Pak Markus? Siapa pak Markus? Tampaknya karena gelap
orang ini jadi salah mengira kalau aku ini adalah orang yang dikenalnya bernama
pak Markus. Kulihat Garlio dan Egi tersenyum lega. Dan sebagai aktor teater,
ini kesempatanku untuk berimprovisasi...
“Yah biasa de. Lembur...” ujarku sok kenal dengan suara
yang dibuat seolah serupa dengan suara seorang bapak-bapak.
“Wah pak Markus ini rajin ya... itu yang disana
temen-temen bapak?” ujar pria itu seraya menunjuk ke arah Egi dan Garlio.
“Oh itu... lah iya. Itu si pak Sobar sama bang Udin...
abis nginstall ulang komputer... maklum komputer disini banyak virusnya...
hayoh pak Sobar! Bang Udin... udah beres belum? Saya mau pulang ini...”
“I... iya pak... kita udah be... beres kok...” jawab Egi
sedikit terbata-bata. “Cepetan dong, saya sudah ditunggu istri saya ini...”
ujarku lagi... aku bahkan tak tahu orang bernama Markus itu sudah menikah atau
belum... “Iya pak... hayo ‘din, matiin komputernya!” ujar Garlio pada Egi yang
tampaknya tidak rela namanya diganti begitu saja.
“Hati-hati jangan ada yang ketinggalan...!” ujarku pada
Egi dan Garlio.
“Enggak ada pak... enggak ada yang ketinggalan...” jawab
Egi
“Saya nyalain lampunya dulu deh biar kalian bisa lihat
jelas, takutnya beneran ada yang ketinggalan kan repot...” ujar pria judo tadi.
Dan plap! Lampu menyala. Semua terang benderang... keringat dingin membanjiri
tubuh... si lelaki judo itu menatapku penuh tanda tanya.
“Kalian...? siapa ya?”
“Loh katanya saya pak Markus?”
“Katanya? Woy! Kalian kesini pasti mau maling ya? Hayo
ngaku!”
“Garlio...! Egi....!!!”
“KABUUUUURRRRRRRRRRR.............!!!!!”
“Woy! Jangan lari!!” pria judo itu pun berteriak seraya
terus mengejar kami keluar ruangan rektorat. Kegaduhan itu pun menarik
perhatian para peserta pelatihan judo, ditambah lagi seruan yang menuduh kita
sebagai maling membuat para ahli bela diri itu ikut memburu kami. Sontak jurus
langkah seribu pun dilancarkan kami bertiga.
“Gawat! Mereka pada ngejar kita nih, Lukman! Lu ada ide
gak?” seru Garlio padaku.
“Yaelah bos, ane kan udah pake jurus akting seribu wajah
tadi!” jawabku.
“Di depan sana ada tangga! Sekarang kita naik saja kelantai
atas!” usul Egi.
Akhirnya kami memutuskan untuk menaiki anak tangga dan
pergi ke lantai paling tinggi. Di bawah, anggota UKM judo sebandung raya tengah
mengepung gedung dan mulai memburu kami menuju lantai atas... dengan segera
saja kuangkat sebuah tong sampah dari salah satu kelas dan menggelindingkannya
ke bawah. Beberapa anggota UKM judo yang terkena tong sampah itu pun mulai
kehilangan keseimbangan dan karena kepanikannya, mereka semua terjatuh dengan
efek domino dan ikut menggelinding ke bawah menuruni anak tangga.
“Beres” ujarku puas seraya menyapukan kedua telapak
tanganku dari debu. “Good job Lukman!” ujar Garlio mengacungkan jempolnya.
Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama, karena ternyata sekitar 15 meter
dari kami ada sebuah pintu lift yang kemudian terbuka, dan didalamnya berdiri
sekumpulan pemuda judo bersabuk hitam menatap kami dengan lapar. “Sekarang
musti gimana lagi nih?” kebingungan tampaknya kembali muncul di benak Garlio.
“Grappling hook!” tiba-tiba Egi berseru.
“Oh betul juga!” Garlio kembali bersemangat. Dibukalah
tasnya, dan dari situ ia mengeluarkan sejenis tambang dengan kait diujungnya.
Dan dengan kemahirannya sebagai ninja
wanna be, tali itu ia kaitkan pada cabang pohon yang letaknya berada cukup
jauh. Kami pun mengencangkan ikatannya pada tiang gedung dan dengan peralatan
pendakian gunung yang seadanya itu kami pun mulai mencoba menuruni gedung
dengan cepat. Para pemuda judo yang sadar bahwa kami akan melarikan diri
kembali mengejar seraya berseru; “Lepaaaaas talinyaaaa!!!!” kami yang mendengar
seruan itu hanya bisa pasrah terlebih kami tengah meluncur di atas tambang
dengan kecepatan 43 km/jam... dan benar saja, tali tambang yang kami ikat
kencang pada tiang itu pun mereka lepas dengan mudahnya, membuat kami bertiga
terayun dengan kencang ke bawah.
“KAWWABANGGA!!!” seru Egi.
“LONCAT NO JUTSU!!!” Garlio ikut berteriak.
“ANE BELOM KAWWIINNN!!” ujar... ah sudahlah.
Beruntung kami hanya menabrak pohon dan tersangkut di
beberapa cabangnya. Kami pun melompat turun dan mulai berlari ke bagian tengah
kampus.
“Ane udah gak kuat lari lagi... ane mau nyerah aja...”
ujarku.
“Tunggu... Lukman kita harus bertahan... terus lari!!”
seru Garlio.
“Betul Lukman, kita gak boleh menyerah sekarang, lagipula
misi ini dijalankan buat lu... lu gak bisa mundur sekarang...” Egi menimpali
“Ini bukan misi ane, ini misi yang ente berdua bikin, ane
udah cape... ane udah enggak kuat... ane mau nyerahin diri aja...” aku sudah
benar-benar kelelahan.
“Baiklah, mungkin lu bener, mungkin ada baiknya kita
musti berhenti dulu...” ujar Egi seraya menghentikan derap langkahnya.
“Maksud lu gi?” Garlio pun ikut berhenti dan menatap Egi
serius.
“Ini saatnya gua yang beraksi!” ujar Egi dengan tatapan
berbinar. Aku dan Garlio pun ikut tersenyum mendengarnya. Tampaknya Egi telah
mendapatkan sebuah ide. Dari kejauhan para anggota judo tampak berkumpul dari
segala arah seolah membentuk gulungan awan putih yang mencoba menelan kami
bertiga.
“Sekarang gua butuh kertas dan spidol hitam!! Cepat!!”
seru Egi. Kukeluarkan spidol dan secarik kertas HVS dari dalam koper. “Nih!”
Egi pun langsung mengambil kertas dan mencoretinya.
“JURUS... ILUSI... DESAIN KOMUNIKASI VISUAL!!!”
___________________________________________
Pada akhirnya jurus ilusi desain komunikasi visual atau
apalah itu yang dilancarkan oleh Egi, berhasil membuat kami bertiga tampak
tersembunyi. Tidak ditemukan. Setidaknya untuk saat ini. Akhirnya aku bisa
bernafas lega dan sedikit beristirahat disini. Disini. Di toilet. Yang Egi
lakukan tadi hanya menulis di kertas HVS yang bunyinya; DILARANG MASUK, TOILET SEDANG
DALAM PERBAIKAN SERIUS. Egi menempelkan kertas itu di pintu toilet menggunakan
lem yang telah kugunakan untuk membuat kumis palsu.
Sudah hampir 10 menit kami bersembunyi disini, keluar
sekarang terlalu beresiko. Dari luar, suara dan perintah untuk segera menemukan
kami terdengar, membuat kami terdiam kaku begitu saja.
“Thank you gi. Karena ide ente ini ane ga jadi nyerah
gitu aja” ujarku berterima kasih pada Egi.
“Its ok Bray, gua juga pengen minta maaf”
“Gapapa kok gi, ini pengalaman yang seru. Ane ga nyesel
kenal kalian berdua...”
“Euh gua minta maaf bukan buat itu sih...”
“Oh. Terus?”
“Gua minta maaf karena... kayaknya abis lari-lari tadi
gua jadi masuk angin...”
Awalnya aku dan Garlio hanya bisa menatap Egi dengan tatapan
bingung, setelah aku dan Garlio mulai mengendus aroma yang tidak menyenangkan,
barulah kami sadar.
“Busyet dah, gua bilang juga lu musti berhenti makan junk food!! Kentut lu bau sampah!!”
Garlio pun mengamuk.
“Paru-paru ane tercemar gas kentut ente!! tidaaaakkk”
“Maafkan aku kawan-kawan. Bersabarlah. Setidaknya sampai
fajar tiba. Setelah itu kita pasti bisa pulang dengan aman”
Dua menit. Tiga menit. Kita pun bergegas keluar, rasanya
rindu sekali pada oksigen. “Sampai fajar endasmu!!” Garlio masih meracau. Kegaduhan
itu sekali lagi membuat para anggota judo menemukan kami dan kembali mengejar.
“Di depan sana gerbang keluar! Yang perlu kita lakuin
sekarang keluar dari sini dan cari angkot secepatnya!!” ujar Garlio.
“Kenapa musti angkot sih? Kenapa tadi motor musti
disimpan dirumah coba?” protesku.
“Gua takut kalo motor gua taro disini dan kejadiannya
kaya sekarang, motor kita udah disita duluan sebelum distarter...!” Garlio
menjelaskan.
“Sekarang ga ada waktu untuk ribut. Pokoknya kita musti
keluar secepatnya! Kita musti... euunghmp... aduh Gusti...” Tiba-tiba Egi berhenti berlari dan memegangi
perutnya.
“Kenapa lu gi?”
“Sakit perut gua... mules...”
“Sekarang kita lagi dikejar anggota UKM judo se-Bandung
raya dan dari sekian banyak waktu yang kita lalui bersama, ente memilih saat
ini untuk sakit perut? Sungguuuh???” ujarku seraya melotot. Egi pun menghirup
nafasnya dalam. Keringat dingin mulai deras membanjiri wajahnya, tampak sekali
ia berusaha menahan sakit perutnya. Lalu dengan senyum yang dipaksakan dan gaya
berjalan yang sangat aneh, Egi pun mengacungkan jempolnya.
“Gua... gua baik-baik aja kok... ayo kita pergi dari sini”
Aku mengangguk. Tak tega rasanya aku mengomentari aroma
aneh yang mulai menyebar di udara.
“Woy! Itu disana, mereka mau kabur! Ayo kita kejar!” ujar
salah seorang anggota judo. Kami semakin panik.
“Egi!” aku langsung saja membopong Egi yang kesulitan
untuk berlari lebih cepat, kutaruh sebelah lengannya di pundakku layaknya
menolong seorang kawan yang cedera tertembak di film-film action.
Baru saja aku mencoba untuk menolong Egi berlari, suara
dentuman seperti letusan pistol terdengar... dari pantat Egi. Egi tak berdaya,
aku masih membopongnya.
“Aarrrgghh” Egi mengerang, ia berjalan
terpincang-pincang.
“Egi, bertahanlah!!!” ujarku seraya terus membopongnya
keluar gerbang dan menutup hidungku. Namun tak lama, langkahku pun terhenti
ketika aku sadar Garlio tak ikut berlari bersama kami.
“Garlioooo!!!!” aku menoleh ke belakang dan aku hanya
bisa melihat punggungnya saja. Garlio hanya berdiri disana, menatap ribuan
orang berpakaian judo yang dengan beringas hendak memburunya. Namun yang ia
lakukan hanya membuka kacamatanya yang berbingkai kuningan. Dan dengan dingin
ia sedikit menolehkan wajahnya...
“Kalian harus lanjutkan ini tanpa aku...” ujar Garlio.
“Tidak Garlio... kita... kita udah sejauh ini... kita
night stalker... kita harus terus bertiga apapun yang terjadi...” jawabku.
“Lukman... rawatlah Egi baik-baik”
“Garliooo!!!” Egi pun berteriak
“Cepat pergi!”
“Tidak. Garlio! Lu musti ikut!”
“Cepat pergi! Ini perintah!!” seru Garlio seraya melotot
ke arah kami. Suasana mengharu-biru. Kami harus melepas Garlio, dan dengan
sangat heroik dan begitu kolosal dan sangat epik, Garlio menghadang ribuan
anggota ukm judo se-Bandung raya hanya seorang diri.
“GAARRRLLLIIIOOOOO!!!” aku dan Egi tak kuasa menahan
haru... dalam gaduh, aku mendengar secara samar Garlio berkata...
“Gua senang bisa kenal kalian berdua...”
Meski berat, kupaksa Egi untuk meninggalkan kampus dan
meninggalkan Garlio yang sudah tak terlihat karena tertelan ombak manusia yang
tak lain adalah para anggota Judo. Garlio, kami akan selalu mengingat jasamu.
Pikirku dalam hati. Namun, hambatan lain mulai terbayang, di malam selarut ini,
mana ada angkot di Ciumbuleuit? Aku tak mau berpikir pusing, sudah bisa keluar
pun sudah cukup beruntung. Lalu sebuah mobil Avanza terhenti melintas di
hadapanku dan Egi. Kaca jendela terbuka...
“Butuh tumpangan?” Rizky menampakkan wajahnya. Siapa
lagi. tentu saja, ah rasanya harapan baru muncul. Kubuka pintu mobil, kubantu
Egi masuk mobil terlebih dulu. Dan begitu masuk barulah aku melihat bahwa Rizky
tidak sendirian, disampingnya seorang gadis cantik tengah memegang kemudi
mobil.
“Oh ya kawan, kenalin ini Sasa, pacar gue” ujar Rizky.
“Ah... Lukman” ujarku memperkenalkan diri.
“Sasa”
“Eg... Eg...” dan pret! Egi yang kembali buang gas, tak
jadi memperkenalkan diri. Kami bertiga hanya bisa protes dan menutup hidung.
Mobil itu pun perlahan mulai memutar rodanya.
“Oh... ya... mana Garlio?” Rizky pun akhirnya menyadari
bahwa ada seseorang yang hilang diantara kami.
“Garlio... Garlio... dia...” sejenak kata-kata itu tertahan,
kupalingkan wajahku ke arah kampus. Garlio, entah bagaimana nasibnya sekarang.
Samar namun terdengar, kegaduhan itu masih ada didalam sana, disusul kemunculan
sosok pria kurus yang berlari diantara kegelapan.
“Tungguin gue!!!!” itu dia. Dengan pakaian yang sudah
compang-camping berlari ke arah kami.
“Itu Garlio! Cepat hentikan mobilnya!!” aku berteriak.
Tak lama Garlio berhasil sampai dan langsung memasuki
mobil.
“Lu baik-baik aja?” Egi bertanya.
“Gua baik-baik aja. Alhamdulillah.”
“Tapi gimana caranya ente bisa selamat tadi?” tanyaku
penasaran.
“Itu semua karena gue ninja. Badan gue yang ramping cukup
lincah untuk menghindari pukulan dan tendangan, jadi waktu dikeroyok tadi gua
udah lolos duluan meskipun jas gue musti ditinggal di dalem...”
“Lah, tapi kok enggak ada yang ngejar ente?”
“Tadi waktu dikeroyok, secepat kilat gua makein jas gua
itu ke salah satu anggota judo. Sewaktu gua lari pun mereka masih sibuk sendiri
dan ga sadar kalo gua udah pergi”
Mendengar itu sesaat rasa iba kami harus tertumpah pada
orang yang sekarang tengah mengenakan jas Garlio. Entah seperti apa bentuknya
sekarang, mungkin sudah jadi perkedel atau apalah itu. tapi intinya kami semua
selamat, meski informasi tentang Tisya tidak kami dapatkan dengan detail, tapi
berkat ini kami telah mendapatkan cerita yang cukup menarik. Siapa sangka bahwa
dua tahun setelah kejadian itu, Om Gus salah satu pengurus klub komik,
memberikan semua data anggota klub padaku. Dan dari situ aku bisa mengetahui
alamat e-mail Tisya, nomor handphonenya, alamat rumahnya, semuanya. Yang
menarik adalah selalu ada angka 13 dalam setiap data yang dia miliki. Angka
13... bukankah itu angka yang buruk? Tidak, jika Tisya yang memilikinya pasti
maknanya indah. Sejak saat itulah aku mencoba untuk membuka ruang dalam hati
dan berkomunikasi dengannya.
_____________________________
16 oktober 2010.
Egi dan Garlio tak sanggup menahan tawa ketika
kuceritakan kembali pengalaman waktu itu. seolah semua itu baru terjadi
kemarin, kami tertawa mengingat masa lalu yang entah apakah harus kukatakan
bahwa itu indah, sekaligus empati kami memaksa untuk merasakan sakit yang sama
yang kurasakan waktu dicampakkan Indi dulu. Semua kenangan, entah apa itu masa
lalu, masa kini atau masa depan. Ketika kita membahasnya semua seolah berada
dalam satu ruang yang sama. Egi pun menghentikan tawanya dan mulai menatapku
hangat.
“Ya ya soal kentut gua itu jangan dibahas lah. Yang
namanya kentut mana ada sih yang baunya wangi, baunya kan masih gitu-gitu aja,
kenapa musti parno coba?” Egi bergumam.
“Masalahnya kentut lu dangkal... antara aroma kentut sama
ampasnya udah identik...” jawabku.
“Eit, jangan lupa B.A.B bisa meningkatkan I.Q dan
menambah inspirasi, mungkin karena itu juga ide-ide gua jadi cemerlang kan?”
“Dan gara-gara ide menyusup lu itu gua hampir dihakimi
masa!” tukas Garlio. Kami tertawa kembali hingga akhirnya tawa benar-benar
terhenti. Benar-benar senyap.
“Jadi gimana kabar si Indi sekarang?” tiba-tiba Egi
mengalihkan pembicaraan.
“Udah ga pernah sms ane lagi sih, tapi kalo dia
menghubungi pun isi smsnya cuma hey dan minta maaf.” Jawabku.
“Yaelah gua kira kalian udah beneran finish” ujar Egi lagi.
“Mutusin silaturahmi maksud lo? Enggak, ane bilang ane
bisa maafin dia dengan mudah tapi enggak bisa lupain semuanya gitu aja dan
semua pastinya udah enggak akan sama lagi, bodo amat lah, ane kan lagi fokus
sama Tisya”
“Tapi... Tisya itu, sekarang dia udah punya pacar kan?”
Garlio ikut bertanya seraya menatapku serius.
“Ya ya. Dan ane gak peduli”
“Mulai deh...”
“Ane bukannya mau ngeyel, tapi kita enggak tau kan
cowoknya kaya gimana... siapa tau...”
“Siapa tau apa?”
“Siapa tau ane masih punya harapan”
“Jiah... harapan. Kita semua tahu yang namanya juara
harapan ga akan dipanggil buat naik podium.” Egi kembali menegaskan.
“Tapi ane serius gi... sejauh ini kita sering ngobrol,
sering curhat, Tisya bahkan jelasin ke ane filosofinya soal angka 13 angka
favoritnya, Tisya juga ceritain mantannya yang kuliah di Jepang... dan mereka
harus putus karena Tisya ga sanggup jalanin hubungan long distance”
“Nah, mantannya aja kuliah di Jepang. Lu? Realistis dong.
Dari semua cowok yang suka sama dia, kira-kira lu ada di peringkat keberapa?”
“Ane peringkat pertama!”
“Huwat?”
“Iya. Beneran, ane fansnya peringkat pertama menurut
aplikasi facebook. Tisya sendiri yang catut nama ane disitu”
“Fans?Aplikasi facebook? Ayolah... kalo lu ada di peringkat
pertama, cowoknya itu ada di peringkat keberapa?”
“Cowoknya enggak masuk urutan”
“Karena...?”
“Katanya cowoknya itu sudah menempati satu posisi di
hatinya yang tak bisa disaingi siapapun”
“Nah!”
Aku mulai merasa tak nyaman. Memangnya kenapa sih? Aku suka
Tisya, memang kenapa? Selama Tisya belum menikah aku masih ingin berusaha,
meskipun aku tahu bahwa rasanya hampir sama seperti aku adalah sesuatu yang
buruk dan tak berarti yang untuk pertama kalinya menemukan definisi dari
keindahan. Aku ibarat monster yang keluar dari rawa yang baru saja menemukan
peradaban canggih diluar sana. Ibarat katak yang ingin melompati bulan.
“Tapi... tapi... tapi ane...” ujarku tertahan karena
tiba-tiba saja handphoneku berbunyi.
Lukmaaan... maaf ini
nmor hp tisya yng bru
smentara, pkenya
nmor ini dlu, coz hp yg lma
lgi dibnerin. Jdi
nomor yg itu ga bsa dhubungin.
Thx b4.
Pengirim : Tisya
Noviandinny
16/10/2010
17;40;34
Apa? Apa ini benar? Tisya! Tisya menghubungiku lagi!
Segera saja kuperlihatkan pada Garlio dan Egi. Dalam pesan itu, Tisya
mengungkapkan bahwa nomor handphonenya yang dulu sudah lama tak ia gunakan, dan
itu cukup menjelaskan mengapa sms ku tempo hari gagal terkirim... Tisya
menghubungiku... Tisya menghubungiku lagi... dengan begini malam-malamku tidak
lagi membosankan.
“Seneng banget lu dapet sms gitu doang”
“Iya. Padahal smsnya kan biasa aja...”
“Udaaah kalian berdua enggak bakalan paham!”
“Yee gua cuma ngingetin, jangan sampai kejadian lu sama
si bango tong-tong lu itu kejadian lagi! lu musti belajar dari pengalaman...”
“Kalo buat ukuran si Lukman sih gi, kayanya dia emang
musti dikasih pelajarannya dua kali biar afdol.” Garlio ikut menimpali.
Aku tak perduli dengan apa yang mereka berdua bicarakan.
Yang kutahu adalah Tisya menghubungiku dan aku masih punya kesempatan. Karena
dalam hatiku aku percaya bahwa hati ini bukanlah kendaliku saja. Betapa mudah
hati ini terbolak-balik seperti angin, sama halnya saat aku bisa melupakan Indi
sedikit demi sedikit dan mulai tertarik pada Tisya, dengan perasaan yang sama
besarnya. Meski hingga saat ini aku tidak tahu hakekat dari perasaanku. Yang
kutahu hanya bahwa rasa ini adalah gabungan dari hasrat dan kasih sayang, dua
hal yang bertentangan namun menyatu dalam satu situasi dan karena pertentangan
sifat itu pula rasanya begitu membingungkan dan campur aduk. Dan jika Tisya
adalah orang yang disiapkan untukku, maka Tuhan sendiri yang akan mengubah arah
hatinya... namun apabila semua itu tidak terjadi maka kisahku dengannya tak
jauh berbeda dengan kisah kingkong... seekor monster gorila raksasa dari
pedalaman hutan yang jatuh cinta pada gadis manusia yang cantik dan juga sudah
memiliki tunangan. Kisah kingkong sendiri berakhir saat akhirnya kingkong
dilumpuhkan oleh para tentara dan terjatuh dari puncak gedung pencakar langit
dengan ketinggian ratusan meter... dan orang mulai berkata bahwa bukan tentara
yang berhasil mengalahkan kingkong, namun kecantikanlah yang telah membunuhnya.
Tak ingin larut memikirkan semua itu, kuputar sebuah lagu
dari James Blunt berjudul “You’re Beautiful” namun yang terjadi malah menambah
galauku saja. Mungkin ya, mungkin aku hanyalah kingkong dalam cerita Tisya.
“Haah malam minggu yang membosankan” Garlio pun kembali
mengeluh. “Di luar sana anginnya kencang...” celotehku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar