Bab
6
(Flashback Bag.1)
Bumi.
Aku pulang. Kubanting tasku, merebahkan
setengah badanku di ranjang, dan membiarkan setiap tetes peluh membasahi
seluruh tubuhku begitu saja sambil menatap langit-langit
kamar. Kamar ini. Akhirnya aku kembali ke kamar ini… kamar yang begitu beku dan
sepi, begitu membisu. Kunyalakan televisi dan isinya hanyalah keresahan
manusia, sulit rasanya menemukan sesuatu yang berkualitas di dalamnya. Kadang
aku merasa bahwa apa yang tersiar didalamnya adalah suatu konspirasi penuh
propaganda dari dunia luar terhadapku… mungkin suatu ancaman. Aku tidak tahu.
Aku berpikir jangan-jangan di dunia ini aku adalah satu-satunya makhluk asing
dimana manusia lainnya yang lebih normal mencoba untuk mencekoki pikiranku
dengan politik, budaya, sosial, ekonomi, matematika, fisika, kimia dan sejumlah
pelajaran yang disuapkan begitu saja padaku sejak kecil… dan lihatlah
realitanya, begitu banyak keresahan yang bisa disaksikan di tv, dan kita
menikmati itu layaknya menyantap cemilan dan makanan ringan… tidak ada yang
peduli… tidak ada yang bertanya mengapa… nasionalisme hanya diciptakan sebagai
rasa memiliki dan membela satu negara lalu apa sebutan ‘isme’ untuk kita
sebagai manusia… sebagai khalifah dan pemimpin di bumi? Terlalu banyak kesemuan
di dunia ini… terlalu banyak hal fana yang diperjuangkan oleh manusia… jika
politik sudah tidak bisa diandalkan untuk melakukan perubahan… jika hukum
begitu tumpul dan telah kehilangan kepercayaannya… jika seni yang penuh idealis
namun menenangkan itu justru telah kehilangan identitasnya… lantas apa yang
bisa diharapkan mampu merubah manusia kembali kepada hakekatnya sebagai
manusia? Mungkin hanya satu jawabannya; agama. Lantas bagaimana jika agama yang
memiliki nilai luhur dewasa ini justru dipandang secara subjektif? Apa tujuan
dari semua ini… bukankah kita semua adalah anak dari satu orang pria dan satu
orang wanita yang sama? Bukankah kita manusia adalah makhluk sosial? Bukankah
setiap manusia adalah tanggung jawab manusia lainnya? Bukankah kita selalu bisa
merasa sakit ketika ada yang merasa sakit pula? Kemana perginya harta manusia
yang bernama empati? Mengapa manusia masih saja berbuat kejahatan dan kerusakan
sedang kita tahu bahwa semua itu adalah hal yang buruk…? Tuhan… apa yang harus
kuperbuat kini? Haruskah aku menjadi robot-robot rakus layaknya orang-orang
diluar sana? Haruskah aku menjadi tuli atas semua keresahan itu? Menjadi buta?
Menjadi bisu? Menjadi mayat berjalan? Manusia kini tampak seperti serigala bagi
manusia lainnya, hidup saling sikut, mendapatkan kesenangan dari kepedihan
orang lain… dan berjalan mengikuti sistem… individualistis. Tidak. Lebih baik
kumatikan kotak berlayar 14 inch itu, dunia luar… terlalu menakutkan, lebih
baik aku disini saja, di kamar ini saja. Lebih aman.
Kuraih gitarku, mencoba berpikir lebih
tenang, kupetik beberapa senar dan kunyanyikan beberapa lagu ciptaanku tentang
manusia, tentang cinta, tentang wanita… tentang diriku. Musik. Setidaknya musik
bisa membuatku lupa tentang siapa diriku dan seperti apa duniaku. Bagiku, musik
adalah lawan dari duniaku yang lain, yaitu teater. Jujur aku memang tidak
terlalu baik dalam akting di panggung, terlebih karena aku sering mendapatkan
teguran dari seorang sutradara karena aktingku yang terkadang ‘berlebih’ tapi
dibalik itu semua aku sudah berakting jauh sebelum kakiku menginjak panggung…
ya. Aku memang ahlinya. Menyembunyikan kekesalan dan kesedihan dibalik
senyuman. Terkadang jika ada seseorang yang mencoba mengejekku aku akan
membalasnya dengan tatapan kosong hingga mereka kehabisan kata-kata. Mereka
bilang aku aneh. Mereka bilang aku seperti zombie, karena terlalu sering
menghemat kata. Aku tak pernah perduli. Terlebih dengan julukan ‘si ganteng
kalem’ yang juga kuterima. Setiap kali ada yang mencoba merendahkanku aku akan
tersenyum, hatiku saja yang selalu berkata ‘aku sudah keren sejak lahir… dan
cacing busuk seperti kalian mencoba untuk mengejekku… hohoho,
tidak pernahkah kalian sadari kekonyolan kalian sendiri?’ yah, mungkin saja aku
seorang narsis. Maksudku narsis yang sebenar-benarnya. Sebuah sindrom. Penyakit
kejiwaan yang membuatku tidak pernah rendah diri, penyakit kejiwaan yang selalu
membuatku kuat untuk berlari, penyakit kejiwaan yang mampu menjadikan orang
lain iri… tidak, apakah itu cukup arogan? Setidaknya itu cukup untuk menjalani
berbagai mimpi. Oleh karena itu aku benci untuk putus asa… akupun benci jika
orang disekitarku merasakannya. Manusia tidak selayaknya merasakan itu. Manusia
tidak bisa dan tidak boleh berhenti dalam melangkah begitu saja, karena manusia
adalah aktor… manusia tinggal menjalani naskah dan skenario yang disediakan dan
meski terkadang naskah itu terasa pahit, tapi jika kita mampu membuka hati,
membuka pikiran, sebenarnya bukankah kisah kita terlihat jadi lebih dramatis?
Dan seperti film-film drama, kita tidak boleh membiarkan tokoh utama mati putus
asa dan bunuh diri. Kita harus bisa menjadikan segala kepahitan itu sebagai
penguat bagi langkah kita, bahwa hey! Aku sudah kebal sekarang. Dengan
kesabaran, keikhlasan kita sebagai aktor, dan rasa syukur atas setiap nafas
yang terhembus dan setiap detik yang kita jalani, bukankah masalah bisa
membesarkan hati seorang manusia? Kita akan lebih terhormat di mata Tuhan
sebagai sutradara. Karena mampu menjalani semua itu. Akting bukan sekedar
permainan. Akting bukan sekedar kepura-puraan. Akting adalah permainan
kesadaran. Menyadari bahwa ketampananku adalah pemberianNya, menyadari bahwa
aku tengah disaksikan, menyadari bahwa aku hanyalah makhluk dengan kelemahan.
Melakukan kesalahan kala berakting jauh lebih terhormat ketimbang menggunakan
narkoba dan alat bantu percaya diri lainnya agar mampu berakting total. Tidak
itu bukan total. Itu pengecut. Sebagai bintang aku harus menjadi diri sendiri,
tidak bisa membiarkan narkoba dan sejenisnya membuat kesadaranku melayang
begitu saja. Membiarkan semuanya bergantung pada kegilaan? Jangan konyol.
Akting adalah sadar. Semua emosi yang kupendam, semua rasa kekesalan yang
kutahan dengan senyum, semua dendam yang kututup dengan maaf, semua tangis yang
kutahan agar tidak ada orang yang tahu, semua pedih dan kecewa, semua yang
kubungkus dalam ekspresi ini. Kuledakan semuanya di panggung teater. Jangan
tanya seberapa total aku berakting. Sebagai ironi bahwa aku baru bisa merasa
menjadi diri sendiri justru ketika aku berakting memerankan kisah orang lain.
Dan jika masih ada orang yang mencoba untuk mengejekku, rasanya itu
menjadi sangat lucu. Mungkin benar bahwa orang yang selalu diam adalah orang
yang sangat berbahaya. Aku adalah tokoh utama, itulah mengapa aku merasa bahwa
aku sangat tampan.
Lalu mengapa kukatakan bahwa musik
adalah sisi lain dari itu semua? Ya, jika akting mampu membuatku sadar, musik
justru mampu membuatku lupa. Kuulangi kata-kataku, musik membuatku tidak
perduli akan siapa diriku, musik membuatku tidak mengenal diriku sendiri, tidak
perlu narkoba untuk membuatku gila, musik bisa melakukannya. Begitu senar gitar
kupetik dan lirik-lirik itu kususun, aku akan melupakan segala kesulitan,
menghapus segala kekesalan, menghapus segala jenis dendam, menghapus segala
kesedihan. Aku hanya bisa berkata bahwa menyanyikan lagu yang baru kita
ciptakan sendiri rasanya sangat luar biasa, rasanya begitu indah. Tubuh ini, jiwa ini,
suara yang terlontar dari mulutku dan gemerincingnya setiap petikan senar
menyatu dalam keharmonisan… membuatku lupa, membuatku gila, seakan aku berada
dalam dimensi diantara manusia dan Tuhan, membuatku seolah mengerti akan suatu
hakekat yang tidak bisa terjabarkan definisinya. Jika teater adalah tubuh dan
pikiran, musik bagiku adalah hati dan perasaannya, jika teater kukatakan
sebagai hidupku, maka musik adalah nafasnya. Jika teater membuatku sadar akan
aku sebagai manusia, musik… aku hanya bisa bilang bahwa itu adalah salah satu
caraku untuk berdzikir, karena di
kamar ini, diruang berukuran 5x4 meter ini, dengan setiap jeritan hati, setiap curhat, setiap kebahagiaan dan kesedihan
yang kuubah menjadi lirik di kamar ini, menjadikan Tuhan sebagai pendengar
pertama menjadikanku sadar bahwa aku dan Tuhanku adalah lagu dan nadanya. Tidak
jarang aku menangis dalam laguku layaknya tengah berdoa… dan tubuhku akan
bergerak setiap musik terdengar, aku akan menari layaknya bumi yang selalu
berotasi, layaknya bumi yang mengantarkanku pada matahari, menghadapkanku pada
siang ataupun malam.
Musik dan akting adalah dua hal yang
berbeda namun berdampingan, setidaknya itu bagiku. Setiap orang pastilah
memiliki cara tersendiri dalam mengemukakan kesenangannya bukan? Jadi aku tidak
berkata bahwa setiap manusia harus bisa akting ataupun bermusik meskipun aku
yakin bahwa tidak ada manusia di bumi yang bisa bicara dan tidak pernah
bersenandung dalam hidupnya. Hanya saja manusia haruslah kembali sebagai
hakekatnya sebagai manusia, menjadikan hidupnya berarti dan bukan hedonis yang
egois. Tapi ah, sudahlah jika aku terus berpikir tentang hal ini mungkin hanya
akan terlihat seperti omong kosong saja. Lebih baik kupetik terus gitarku ini,
dari kunci C7, kupindah ke Dm7 lalu ke E minor… ah ini dia, sebuah lagu yang…
Tiba-tiba sebuah dering sms menghentikan
petikan gitarku, kuraih handphone dan kulihat sebuah sms dari… ah, orang ini
lagi… mengapa bukan Tisya saja yang sms aku? Ah sudahlah, perlahan kubuka sms
itu dan kudapati sebuah kata singkat yang minim makna namun multitafsir…
Heii…
Pengirim : Bango
Tong-tong
16/09/2010
14;12;13
Apa ini? Cuma hei? Hei
apa? Ah… sebenarnya apa sih yang orang ini pikirkan? Apa dia merindukanku?
Mengingatku? Atau sekedar ingin mengobrol saja atau memang benar-benar cuma
HEEEIII?? Ah mengapa orang ini tidak menghilang saja sih? Ah, tapi memutuskan silaturahmi
adalah perbuatan dosa… lalu bagaimana aku harus bersikap pada orang ini? Orang
yang menyebalkan, orang yang bagaikan bakteri mengikutiku kesana kemari… orang
yang tidak pernah mengerti perasaanku sebagai seorang laki-laki. Orang yang
dulu pernah kusukai… ah. Mau bagaimana lagi, memang benar kan? Aku pernah
menyukainya. Dia… seorang wanita. Aku bukan homo. Sangat kusesalkan karena ia
berkata hei melalui sms, membuatku tidak mengetahui bagaimana intonasi dari
kata hei ini diucapkan… apakah ini adalah kata hei yang ia ucapkan dengan
ceria, layaknya ‘hei’ seseorang yang baru pulang dari luar negeri dan membawa
banyak cenderamata untuk dipamerkan? Atau hei penuh kemarahan seperti ‘hei’
orang yang sedang makan besar lalu ada orang di depannya yang duduk
membelakanginya tiba-tiba buang gas begitu saja? (lalu orang yang buang gas itu
dianiaya… namun diluar dugaan orang itu ternyata adalah alien yang menyamar dan
ia baru menghabiskan sekarung ubi bakar… ah sudahlah itu cerita lain.) atau
‘hei’ penuh kesedihan karena sebuah rasa bersalah yang sangat dalam, dimana ia
ingin meminta maaf namun takut kalau kehadirannya justru akan melukai? Aku
tidak tahu… kemajuan dunia informasi dan teknologi justru membuat hubungan
tatap muka menjadi terlupakan, padahal itu jelas lebih penting, tanpa hubungan
tatap muka kita tidak bisa mengetahui emosi lawan bicara kita… terlebih aku
tidak bisa membaca matanya, apakah sebuah kebohongan ataukah kejujuran… tapi
mau bagaimana lagi, toh aku juga pengguna teknologi ini, bukankah dari pagi tadi aku resah
karena smsku pada Tisya belum juga terkirim? Dan betapa hancur rasanya ketika
sms itu ternyata hasilnya gagal terkirim? Bukankah aku sendiri yang berkata
bahwa jarak tidak masalah selama ada komitmen dan kecocokan? Tapi ini lain…
bukan itu masalahnya, yang jadi masalah disini, dia hanya mengatakan hei!
Hei. Hanya hei yang ia katakan dan itu
sudah cukup untuk membuat perasaanku campur aduk… dasar gadis menyebalkan…
arrgghh!!! Kuremas dan kujambak-jambak rambutku sendiri jika memikirkannya.
Haahh… aku tidak merindukannya, siapa bilang aku merindukannya? Aku hanya kesal
ketika orang ini tiba-tiba mengirimiku pesan dan membuatku ingin bertemu
dengannya secara langsung. Itu saja. Bango tongtong, begitu aku menyebutnya,
sebenarnya namanya adalah Indi. Indi Indriani. Aku mulai memanggilnya begitu
ketika kita sempat mengalami konflik, dan ketika kulihat jajaran hewan langka
yang dilindungi di atlas, aku langsung mengingatnya. Bango Tong-tong, kupikir
itu cocok untuknya. Dulu memang ada hubungan yang cukup aneh diantara kita
berdua, setidaknya kupikir kita berdua adalah orang aneh. Dan memang aku pernah
menyukainya, entah berapa banyak lagu yang pernah kuciptakan untuknya, bisa
dibilang jauh berkali-kali lipat lebih banyak dari yang kuciptakan untuk Tisya,
memang jumlah laguku sudah tak terhitung pula jadi… bukan berarti aku lebih
menyukainya…
hanya saja, apa ya? Mungkin sekarang perasaan itu terasa lebih absurd karena baik Tisya maupun Indi
adalah karakter yang berbeda, dan aku tidak tahu lagi harus berkata lebih
menyukai siapa karena keduanya bukan pacarku dan keduanya sudah memiliki pacar…
lantas kenapa aku selalu berada di tengah? Aaarrrgghh… lagi-lagi, mungkin aku
hanya penghibur saat mereka sedih, dan setelah itu aku tidak lebih dari sekedar
orang lewat… ah, sudahlah itu tidak penting, yang jelas Indi adalah sosok yang
bisa kubilang sangat berpengaruh besar dalam setiap langkahku hingga sampai ke
tahap ini…
Masa SMP, kira-kira semua dimulai dari
sana. Sebenarnya apa yang pernah kuingat saat itu, hm… saat itu aku hanya
seorang anak laki-laki yang tidak memiliki keberanian untuk tampil di depan
panggung seperti sekarang, apalagi sampai mencoba untuk bermain musik, saat itu
kupikir aku tidak punya bakat dalam hal semacam itu, jadi… yang menjadi kesenanganku
saat itu hanyalah menggambar… terutama menggambar komik, karena bagiku kegiatan
menggambar itu adalah kegiatan untuk mengekspresikan diri seseorang terhadap
apa yang… ah, sudahlah panjang lagi nanti. Sebenarnya aku tidak pernah berpikir
untuk mendekati gadis ini, bahkan aku cenderung tidak menyukainya berada
disekitarku… di sekolah ini, aku hanyalah seorang bocah pendiam yang tidak
senang bergaul dan melihat gadis itu tengah asyik mengobrol dengan beberapa
temanku membuatku sedikit… apa ya? Mungkin iri. Aku tidak begitu yakin. Yang
jelas aku tidak menyukainya, anak perempuan yang begitu ceria, begitu supel dan
memiliki banyak teman. Setiap kali aku melihatnya rasanya ada perasaan benci
yang entah datang dari mana, seolah kita pernah bertemu sebelumnya dan kita
pernah menjadi musuh untuk waktu yang sangat lama. Seolah aku tahu bahwa kelak
dia akan menyakitiku…
Ya. Sejak awal aku memang tidak pernah
menyukai Indi, pertama kali melihatnya dia tengah mengobrol dengan temanku
Nadine, dan itu terasa sangat mengganggu, meskipun aku tak mengenalnya… aku
selalu merasa tidak nyaman ketika dia ada. Apakah dia cantik? Tidak juga, tapi
jelas kalau wajahnya itu sedikit membuatku risih… entah mengapa aku tidak tahan
melihat wajah itu lebih dari tiga detik, meski begitu aku selalu melakukannya
berulang-ulang. Melihat matanya yang bulat bening, hidung yang lurus dan kecil
atau bibirnya yang tipis serta rambut yang panjang… cantik? Lupakan, percayalah
aku tahu tipeku seperti apa… wanita tipeku adalah wanita berkulit putih, mata
sedikit oriental, mungkin sedikit berkantung, tinggi, bahkan lebih tinggi
dariku, memiliki wajah seperti Utada Hikaru dan bernama Melda. Ah siapa itu
Melda? Tampaknya aku terlalu detail menjelaskan tipeku seperti apa. Tapi lihat
Indi, kulitnya tidak terlalu putih, matanya cenderung belo, dan wajah yang
kurus… hmm… lebih menyerupai seorang wanita Jawa, mungkin seorang putri Jawa…
begitu manis dan anggun, aku juga suka putri… tidak. Aku tidak menyukainya. Aku
tidak akan pernah menyukai Indi… tidak! Haaah… mengapa aku tidak suka mengakui
kalau dia itu cantik ya?
Duduk sendiri di kelas. Kugerakan penaku
kesana kemari, kugambar dua buah gunung lancip dengan matahari di tengah yang
memiliki wajah tersenyum, dibawahnya kugambar berpetak-petak sawah yang subur
disamping sebuah jalan raya yang digambar dengan perspektif yang detail, lalu
kulipat kertas itu menjadi enam bagian, kulipat kesana kemari dan kudapati
corat-coret gambar tadi berubah menjadi sebuah wajah dari Monalisa… tidak tidak
tidak. Aku bercanda, aku tidak sejenius itu. Saat itu, aku tengah menggambar
sebuah komik berjudul; Lukman Di Luar Angkasa… bercerita tentang diriku yang
berpetualang melawan monster-monster dari planet SMP kejahatan, dan
menyelamatkan putri cantik anak seorang Raja yang bernama Bapak Guru… tapi, ah
apakah itu benar-benar gambar seorang putri cantik? Mengapa wajahnya seperti
Incredible Hulk? Ah, sudahlah saat itu, mungkin itu sudah paling cantik yang
bisa kugambar. Tiba-tiba kurasakan seseorang mendekatiku lalu berkata;
“Iiih… lucuuu banget… kamu sendiri yang
gambar?”
Dari
suaranya itu suara anak perempuan, dan aku paling anti untuk menjawab
pertanyaan dari mereka. Jadi tanpa harus melihat wajahnya, kubiarkan pikiranku
untuk tetap fokus menggambar… tapi tampaknya anak perempuan tadi tidak mau
menjauh dan berhenti menggangguku, layaknya seorang editor ia memperhatikan
gambarku dengan serius lalu ia mulai meraih tanpa izin kertas-kertas HVS yang
kugambari dan mulai berkomentar;
“Hmmm…
jadi ini jagoannya ya? Namanya Lukman…”
Tampaknya
dia cukup antusias. Aku pun tersenyum ketika mendengar namaku disebut sebagai
tokoh jagoan dalam komik itu…
“Tapi
kok putrinya kaya Grandong?”
Gubrak.
Grandong[1]
bahkan lebih buruk dari Hulk. Mendengar itu aku langsung putus asa… kuputuskan
untuk meremas semua kertas yang kugambar, mengubahnya jadi bola-bola kertas
lalu kurebut pula kertas yang tengah digenggam perempuan itu. Perempuan itu
kaget dan dari sinilah aku melihat wajahnya. Entah anak dari kelas mana, aku
tidak pernah melihatnya. Wajah yang cute. Sayang, dia berambut pendek. Lalu
kulempar semua kertas itu ke tong sampah.
“Kok
dibuang?” gadis itu bertanya.
“Cuma
sampah.”
Gadis
itu terdiam. Memperhatikan tong sampah itu begitu lama lalu menghilang. Ini
adalah jam istirahat, dan aku lebih suka berdiam di kelas. Haah… sendiri
seperti ini, melamun… menunggu jam masuk pelajaran… memang sedikit mengesalkan…
tapi aku lebih suka seperti ini, menghemat uangku karena tidak perlu jajan dan
tidak akan ada yang menggangguku. Namun tiba-tiba sekelompok anak perempuan
datang membawa berbagai makanan yang mereka beli. Jujur, ini sedikit membuatku
risih, jadi lebih baik aku keluar saja… tapi kenapa aku harus melihat orang ini
diluar? Dia itu kan…
“Inddiiii!!”
tiba-tiba kudengar ada seseorang memanggilnya. Orang itu bernama Nadine, dulu
Nadine adalah temanku sewaktu masih SD, tapi entah kenapa begitu kita menginjak
SMP, seakan ada jarak, terlebih karena kita berada di kelas yang berbeda. Lalu
kuperhatikan gadis itu, masih ceria seperti biasanya… jadi namanya Indi. Tidak
menarik. Sama sekali tidak menarik. Tapi jaket yang dia kenakan… lucu juga.
Lalu seseorang menyolek bahuku, membuatku terpaksa berhenti mengamati dan
menoleh...
“Boleh
aku minta ini?”
“Hah?”
Tiba-tiba
orang itu muncul lagi, orang yang berlagak seperti editor dan berkomentar bahwa
putri yang kugambar berwajah seperti Grandong. (jika tidak tahu apa itu Grandong,
coba simak film “Mak Lampir”, kalau tidak salah itu sejenis hantu atau monster)
“Boleh
aku minta komik buatan kamu ini?” tiba-tiba dia menunjukan kertas-kertas yang
tadi sempat kuremas dan kubuang ke tong sampah…
“Itu
cuma sampah, aku gak butuh”
“Jadi
boleh buat aku?”
“Terserah
kamu”
“Makasih!!”
“…”
“Oh
ya…”
“…”
“Aku
Farah. Dari kelas 2D…”
“Aku
gak…”
“Aku
masuk kelas dulu ya… dadaaa”
Lalu
gadis itu pergi. Gadis aneh. Siapa perduli dia anak kelas mana? Dan dia bilang
siapa namanya? Ah sudahlah. Cuma kabut yang melintas di pagi hari. Tidak
penting. Tapi ngomong-ngomong kemana Indi dan Nadine? Ah sudahlah, itu juga
tidak penting. Lebih baik aku kembali masuk ke kelas saja… tapi baru dua
langkah aku memasuki kelas, seseorang yang lain menghadangku. Orang itu
menatapku seakan aku adalah seseorang dari pengungsian bencana alam. Dia
menghampiriku sambil membawa satu cup spagheti. Dia Nina, biasanya dia membawa
spagheti ke sekolah untuk dijual ke teman-teman dan mungkin kali ini dia hendak
menawarkannya padaku.
“Buat
kamu…”
“Aku
gak…”
“Kamu
gak perlu beli, yang ini gratis…”
“Ehm.
Aku… aku udah kenyang Na, makasih kamu simpan aja…”
“…”
Kulihat
Nina sedikit kikuk ketika mencoba membawa kembali spagheti itu, yah, aku memang
kenyang. Kenyang dengan kebohongan dan kehampaan yang kubuat… tentu saja aku
lapar! Dan aku sangat menginginkan spagheti itu, terlebih itu adalah buatan
rumah… tapi sudahlah. Aku yang bodoh. Kududukkan tubuhku di
bangku, menyenderkan pipiku ke meja kayu. Aku ingin pulang. Cepatlah berbunyi
duhai bel sekolah… tiba-tiba mataku terasa berat dan…
Bel
pulang berbunyi. Aku terbangun, kuhapus liur dari wajahku. Tubuhku terasa begitu
lemah, ah kapan terakhir kali aku makan? Ah, apa itu makan? Apakah itu kegiatan
yang menyenangkan? Duh… coba tidak kutolak pemberian Nina tadi, pasti aku tak
selapar ini… dengan langkah lemah aku berjalan, mencari sebuah angkutan kota
atau biasa disebut angkot untuk mengantarku pulang. Yah, aku kan seorang
pahlawan super dari planet SMP, harus ada seseorang yang mengantarku pulang…
duh apa sih? Tampaknya lapar membuat pikiranku sedikit terganggu. Lalu
kurasakan pantatku mulai mati rasa…
Ternyata
bukan mati rasa, itu temanku, Mulyadi namanya. Menendang pantatku sekeras yang
bisa ia lakukan sepanjang hidupnya dan membuatku tersungkur begitu saja.
Tadinya Mulyadi melakukan itu sambil tertawa, namun setelah kuputuskan untuk
tidak bangkit lagi setelah terjatuh, dia malah panik. Berkali-kali ia memanggil
namaku.
“Lukman
maafin aku Lukman!! Kamu gak apa-apa?”
Dia
membalikan badanku, dan kubiarkan mataku membelalak kosong layaknya orang yang
sudah mati.
“Lukman!!
Jangan tinggalin aku Lukman!!”
“…KRRRKK…”
“Lukman!!
Please jangan mati dulu!!”
“…”
“LUKMAAANN!!!”
“Aku
lapar…”
Ok.
Stop aktingnya, ini seperti adegan Tokusatsu[2],
pembasmi kejahatan dari Jepang, entah bagaimana aku menirunya. Dan aku tidak
percaya Mulyadi benar-benar menangis untuku. Terlebih setelah kubalas dia
dengan serangan jurus roket membelah bulan ke pantatnya. (tentang bagaimana
gerakan jurus itu, bayangkan saja sendiri) Mulyadi. Biasa dipanggil Yadi atau
Mul kadang dia juga dipanggil Bekti... lho kok Bekti? Tak tahulah namanya juga
anak SMP. Dia juga temanku sewaktu SD, kebetulan saja kita sekolah di SMP yang
sama dan kali ini dia berjalan dengan cara yang sangat aneh…
“Sakit
banget tahu…!! Kenapa sih pantat aku musti digituin?” Mulyadi berusaha untuk
protes.
“Siapa
coba yang nendang aku duluan?”
“Tapi
mustinya kan kamu balas nendang, bukannya nusukin… ah… ah… sakit banget
sumpah…”
“Paling
juga ambeyen, nyantei aja lagi…”
“Enteng
banget sih ngomongnya? Kalo aku sampai dioperasi kamu musti tanggung jawab…aw.”
Tiba-tiba
langkahku terhenti. Lagi-lagi gadis itu. Indi, tengah berjalan sambil tertawa,
mengapa dia bisa begitu ceria seperti itu ya? Ah Nadine ada disitu juga. Kenapa
dengan para anak perempuan ini? Apa mereka salah minum obat? Tidak sadar apa
kalau tertawanya itu mengundang perhatian…? Dasar anak-anak hiperaktif… ah tapi
mengapa juga aku harus perduli sih?
“Woy
man! Ngeliatin apa sih? Si Indi? Kenapa dia?” tiba-tiba Mulyadi menyadarkanku.
“Oh…
gak… Indi… siapa? Eh, bukannya itu si Nadine yah?” jawabku mengalihkan.
“Iya
itu si Nadine…”
“Rasanya
kok dia agak berbeda yah?”
“Beda
gimana? Wah, jangan-jangan kamu naksir ya?”
“Hush!
Liat-liat dong, masa aku naksir sama bolu kukus!”
“Bolu
kukus? Aku bilangin lho… wey Nadine…!!”
Mendengar
Mulyadi memanggilnya, Nadine menoleh… ini gawat, kalau sampai Mulyadi bertindak
bodoh dengan mengadukan perkataanku pada Nadine, aku akan tamat. Nadine memang
tidak sebesar Kingkong, tapi bukan berarti bahwa dia tidak menakutkan ketika
dia marah. Pasti akan terjadi penganiayaan yang sangat keji terhadap bocah lucu
sepertiku… dan Indi berada disana, pastilah ia akan merekam semua kejadian dan
menyebarkannya ke seluruh media massa… gadis seperti dia pasti memanfaatkan
kejadian itu untuk mendapatkan uang… dan dari uang itu dia akan… dia akan…
“Ada
apa?” Nadine bertanya.
“Ini
nih… tadi si Lukman bilang kalau kamu itu bo…”
“JURUS
MEGA SUPER DUPER MIGHTY POWER ENERGIZER MAXIMUM SUBLIME!!!”
Tentu
saja sebelum itu terjadi, aku sudah menganiaya Mulyadi terlebih dulu,
setidaknya Mulyadi akan diam untuk sementara. Sayup-sayup kudengar Indi
bertanya pada Nadine.
“Kenapa
‘Din?”
“Enggak.
Enggak apa-apa… cuma dua orang bodoh…”
bbb
Matahari
pagi terasa begitu bersahabat saat itu. Kususuri lorong-lorong kelas pagi ini.
Saat itu mungkin sekitar pukul 06.10, bel masuk belum berbunyi. Bahkan tidak
ada satu orang anakpun yang terlihat batang hidungnya… aku memang suka seperti
ini. Datang lebih pagi dari anak lainnya, entah mengapa aku senang dengan
suasana sekolah yang dingin, membeku dan begitu kosong seperti sekarang.
Rasanya aku berada di sebuah bangunan luas yang kosong dan boleh kumasuki
sesuka hatiku. Lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatianku di lorong.
Itu adalah… mading. Biasanya aku tidak pernah tertarik untuk melihat mading
sekolah, tapi kali ini apa yang terpampang di dalamnya benar-benar membuatku
shock…
Serangkaian
kertas HVS yang sudah cukup ringsek, dengan corat-coret di sana sini…
corat-coret yang kubuat sendiri… dan bertuliskan; Lukman Di Luar Angkasa… ah.
Karya gagalku. Sudah pasti orang itu. Orang aneh yang mengatai gambar
karakterku seperti Grandong… pasti dia. Pasti dia yang bertanggung jawab atas
semua ini. Tapi mengapa? Ah, dia pasti ingin mempermalukanku dengan menunjukan
komik penuh imajinasiku pada semua anak-anak. Ternyata… dibalik keramahannya,
dia seseorang yang kejam… pertanyaannya sekarang, bagaimana aku bisa mengambil
komik-komik itu kembali? Sementara mading itu tertutup kaca dan kaca itu
terkunci… ah, begini saja. Biar kupecahkan kaca itu dengan bangku. Tapi tidak,
meski saat ini belum ada satupun anak yang muncul, suara pecahan kaca pasti
sudah cukup untuk menarik perhatian penjaga sekolah… dan aku akan benar-benar
berada dalam masalah… dan selain itu aku juga takut untuk melakukannya. Jadi
bagaimana sekarang? Haruskah kubiarkan komik itu berada disana dan menjadi
bahan olokan orang banyak? Lagipula mengapa aku sampai memberinya judul Lukman
Di Luar Angkasa? Itu judul yang sangat konyol! Bahkan untuk anak kelas dua SMP
sepertiku… ah, gadis itu… siapa nama gadis itu? Ah sial aku lupa. Lebih baik
sekarang aku diam di kelas dan tidak kemana-mana. Hari ini pasti akan menjadi
hari yang penuh dengan ejekan… arrrggghhh.
Sejak
itu kubiarkan pikiranku berjalan secara ‘Auto-pilot’ aku menyebutnya begitu
karena saat itu aku sama sekali malas untuk berpikir. Kubiarkan kata-kata guruku
melintas sekenanya. Dan aku sama sekali tidak berniat menjawab teguran macam
apapun dari temanku… terlebih aku takut jika mereka akan mempertanyakan komik
yang ada di mading dan mulai mengejeku… akan seperti inikah? Akan seperti
inikah kehidupanku di SMP ini? Waktu terus berjalan hingga bel tanda istirahat
pun berbunyi. Hah? Secepat itukah? Bagaimana dengan pelajaran? Tentu saja semua
pelajaran tadi tidak ada yang benar-benar bisa kuserap. Terlebih pelajaran
sekolah memang tidak seru untuk diceritakan. Lantas sampai kapan aku akan
berdiam diri di kelas ini? Apakah aku harus terdiam disini selamanya agar aku
selamat dari perasaan malu? Tidak. Tunggu dulu, kalau tidak salah, gadis itu
pernah memberitahuku kalau dia adalah salah satu murid dari kelas 2D… itu tidak
jauh dari kelasku, kelas 2F… akan lebih baik jika aku pergi kesana. Memarahinya
secara terang-terangan. Ya. Aku akan keluar dari kelas ini dan menemuinya…
Kususuri
lorong itu lagi, kuperhatikan setiap orang yang tersenyum dan tertawa ketika
mereka melihatku. Aku tahu, mereka tengah mentertawaiku sekarang, dan semua itu
karena ulah gadis itu… langsung saja aku masuk ke kelas itu. Kelas 2D. yah, dia
memang berada disana. Dan seolah tidak merasa berdosa ia tersenyum polos ketika
melihatku. Dan aku tengah meledak-ledak. Nafasku tersengal karena emosi. Dan
dia hanya tersenyum sambil berkata;
“Gimana?
Udah liat komik kamu yang kupajang di mading? Susah banget lho ngerapiin
kertas-kertas itu. Tapi akhirnya kupajang juga… hihi..”
“BEERRIISSIIKK!!!”
Kukatakan
itu sekuat tenaga. Membuat seluruh perhatian anak dari kelas itu tertuju
padaku. Gadis itu terdiam, matanya terbelalak. Dia tampak sangat kaget. Kutarik
nafas, kuusahakan agar aku bisa membentaknya tanpa suara yang terlalu keras…
“Ka…
kamu… kamu gak punya hak… memajang karya aku kayak gitu…” ucapku sedikit bergetar.
“Tapi…
bukannya kamu sendiri yang bilang kalau komik itu boleh aku ambil?” orang itu
masih sempat untuk menjawab.
“Jadi…
jadi begitu? Jadi gitu cara kamu berterima kasih atas pemberian aku? Dengan
nunjukin ke semua orang kalau karya aku itu jelek… gagal… dan bodoh? Iya? Aku
ga nyangka ya… kamu…”
“Tapi
maksud aku gak…”
“Itu
cuma sampah!! Dan biar itu cuma jadi sampah!!”
“Aku…
aku enggak…huu”
Anak
perempuan itu menangis. Dasar anak SMP. Mengapa dia begitu cengeng? Ya
sudahlah. Setidaknya aku sedikit lega karena bisa memarahinya. Sejenak suasana
di kelas tampak tegang. Beberapa preman kelas tampak terusik. Beberapa diantara
mereka mencoba menghadangku.
“Mau
kemana?” ujar salah satu dari mereka.
“Tolong
jangan menghalangi” jawabku.
“Cepet
minta maaf…!!” ujar yang lainnya lagi.
“Jangan
ikut campur…” jawabku seperti sebuah dialog dalam film laga. Kutatap mereka
satu persatu. Kulantangkan suaraku dan berkata;
“Udah
pernah ada yang ngeliat bagaimana cara aku berantem? Jadi jangan halangi aku!!”
Kulihat
salah satu dari mereka menepuk bahu seorang preman kelas… lalu dia
menggelengkan kepala, tanda bahwa itu tidak baik. Barulah mereka memberiku
jalan untuk kembali ke kelasku… dari belakang kudengar suara orang yang
membicarakanku…
“Jangan
macam-macam sama si Lukman, kemarin aku ngeliat dia nyiksa orang dengan
menyerang pantat!”
“APA?!”
jelas itu suara kaget salah seorang preman kelas tadi. Entah apa yang mereka
bicarakan, tapi tampaknya bagi mereka aku cukup menakutkan…
Terdiam.
Di kelas itu lagi. Aku sadar bahwa apa yang kulakukan tidak menyelesaikan
apapun, semua orang sudah terlanjur tahu tentang komik itu. Komik gagal itu.
Haaahh… aku harus bagaimana sekarang? Rasanya melihat wajah itu menangis, aku
kasihan juga… apa benar semua ini adalah salahnya? Ah, sudahlah tentu saja itu
salahnya… kalau saja dia tidak mempublikasikan komik itu di mading, pasti tidak
akan ada yang menertawaiku sekarang. Lalu kurasakan seseorang mendekat ke arah
mejaku. Pikiranku masih belum fokus ketika orang itu justru muncul disini. Di
kelasku. Bukankah dia sedang menangis tadi? Di tangannya kulihat beberapa
lembar kertas HVS… ah itu pasti komiku.
“Biarpun
kamu lebih suka karya kamu ini menjadi sampah… tapi aku enggak bisa buang ini
gitu aja… ini… aku kembaliin ini ke kamu. Terserah mau kamu apain. Aku udah
‘gak mau tahu.”
Kuperhatikan
gadis itu. Aku tahu dia mencoba untuk tegar, itu terdengar dari bagaimana ia
bicara dengan nafas yang tertahan… lalu setelah menyimpan setiap bagian komik
itu di mejaku, dia pun bergegas pergi. Aku merasa bersalah. Kucoba untuk
menghentikannya meski hanya dengan sebuah panggilan
“Hey…!!”
Lalu
gadis itu menoleh. Menatapku kosong.
“Yang
kamu panggil hey ini punya nama. Namanya Farah…”
Farah…
bagaimana bisa aku bisa lupa. Farah… nama gadis itu Farah, sementara dia terus
melangkah pergi, aku hanya bisa terdiam… kembali ke kelas dengan perasaan
campur aduk. Baiklah Lukman, mau apa kamu sekarang…? Haaah… kutatap komik itu
lagi, yah, memang wajah putri di komik itu sedikit aneh… seperti monster. Tapi
bukan berarti bahwa komik yang kubuat ini tidak menarik. Ah, apa ini? Mengapa
aku semakin merasa bersalah karena telah memarahi Farah? Tiba-tiba sekelompok
anak muncul mengagetkanku yang tengah merenungi komik tadi. Mereka tidak lain
dan tidak bukan adalah : Ajeng and The Geng. Mereka disebut seperti itu karena…
tidak karena apa-apa, supaya lebih simpel saja. Mereka terdiri dari enam orang
perempuan, bisa dibilang mereka adalah orang-orang yang mau dekat denganku.
Perempuan pertama tentu saja Ajeng, dia adalah orang yang paling dikenal
disini, hobinya meminjamkan uang pada yang membutuhkan, anak yang baik bukan?
Dan Ajeng menerapkan bunga pinjamannya sepuluh persen. Yang kedua Livi, yang
ini… ah sudahlah yang ini figuran. Hanya selalu ada dan selalu ikut kemana
mereka pergi. Yang ketiga namanya Dameyanti, setidaknya dia sedikit mendekati
tipeku, dia seorang yang baik dan sangat tampak seperti wanita (maksudnya?).
Yang keempat namanya Nurhayati, yang ini favoritku. Wajahnya cantik, berjilbab,
sedikit pendiam dan jujur aku sempat menyukainya. Yang kelima namanya Lia
Julianeu, yang ini juga sangat super pendiam tapi kita paling nyambung kalo
lagi ngomongin liga Italia. Yap, cewek yang satu ini memang gemar menonton
sepakbola… yang terakhir… Iyam. Kalo yang ini sedikit bengkak. Tidak, bukan
sedikit… dia adalah definisi dari kata besar… matanya sipit, rambutnya dikepang
dua… dan dia… sangat lucu… mungkin dia adalah salah satu makhluk yang paling
lucu yang pernah diciptakan…
Keenam
perempuan itu menatapku dengan penuh maksud. Ajeng melingkarkan tangannya di
leherku. Sementara Livi duduk di sampingku, Dame duduk diatas mejaku, dan Iyam…
tampaknya dia mencoba untuk duduk di pangkuanku tapi arrrggghh… beratnya
seperti sebuah tanggung jawab. Dan kedua pendiam sisanya hanya mengerubungiku.
Kusadari ketampananku membuat wanita ingin selalu berada di sekitarku… lalu
kucoba untuk menyingkirkan lengan Ajeng dari leherku. Rasanya sedikit aneh
untukku ketika dipegang oleh tangan perempuan…
“Plis
‘jeng, jangan gini… aku gak enak sama temen-temen..”
Namun
bukannya menurut pada ucapanku, Ajeng malah melingkarkan tangannya di leherku
lebih kuat, kali ini dengan dua tangan… ah, ini sih mencekik namanya…
“Hutang
bayar!! udah jatuh tempo nih!!!” serunya sambil melotot.
“Iya…
iya… ampun nanti dibayar… pasti kok, lepasin dulu dong…”
“Jangan
lupa bunganya!!” tambahnya lagi.
“Iya…
iya… ampun, uhuk!!”
Lalu
Dame melipat kakinya diatas mejaku, sekilas aku bisa melihat
celana dalamnya dari sini. Ups, aku berdosa. Sesaat sebelum akhirnya dia
memperhatikan sesuatu…
“Loh
apaan nih?”
Itu
komikku. Dame meraih komikku dan
memperhatikan gambarnya seolah mengingat sesuatu… aku sudah bisa menduganya,
Dame pasti teringat film Mak Lampir ketika melihat karakter putri di komik itu,
ingin sekali aku merebut semua kertas HVS itu dari tangannya, tapi seekor
beruang madu tengah menduduki pahaku sekarang… membuatku tidak berkutik di
bangku ini…
“Eh,
Dam… jangan diliat…!! Tolong… siniin!” seruku pada Dame.
“Tunggu…
rasanya aku pernah liat… ini kan…”
“Itu
bukan apa-apa cepet siniin…!! Ugh, Iyam? bisa berdiri dulu ‘gak sih?” ujarku
sedikit memaksa, lalu Iyam pun menurut, ia bangkit dari pangkuan pria tampan
ini… ia berdiri lalu bersama dengan perempuan yang lainnya mereka berkumpul
untuk melihat komik gagalku itu. Kuusahakan semua daya untuk merebutnya, tapi
wanita-wanita itu begitu lincah… setidaknya Iyam sanggup menggelinding kesana
kemari… dan dari kertas HVS yang jumlahnya 6 lembar… mereka membaginya rata
hingga setiap anak mendapat satu lembar… Ah, tidak… mengapa harus begini? Tak
lama kemudian mereka menyadari sesuatu dari apa yang dipegangnya…
“Ah…!!”
Tiba-tiba Ajeng tersentak…
“Ini
kan…” Dame meneruskan…
“Komik
yang…” dilanjut oleh Livi…
“Dipajang
di mading!!” Nurhayati ikut menambahkan…
“Lukman
Di Luar Angkasa… perang antar galaksi… penyelamatan putri kodok…” bagian Iyam
yang berkata ini… seolah tidak mau kalah, Lia Julianeu yang pendiam itu juga
ikut berkomentar…
“Susunan
dramatisnya hampir sama kayak waktu AS Roma melawan AC Milan…!!”
“EEEEHHHH?!”
nah yang ini bagian kita semua untuk kaget.
Aku
pasrah… mau dibilang putri kodok kek, Grandong, Hulk, Siluman Oncom… aku sudah
tidak perduli kritikan itu… mau apa lagi? Aku memang payah dalam menggambar
wajah perempuan… jadi silahkan tertawakan aku sekarang, aku tidak perduli… tapi
mengapa mereka menatap komiku seserius itu? Mengapa pula Ajeng menatapku seolah
keheranan…?
“Jadi
kamu yang bikin komik ini?” Ajeng bertanya…
“Ya.
Aku yang bikin… kenapa? Kamu mau ketawain, gitu…?”
“Aku
selalu pengen ketawa kalau liat ini…” Dame memulai sebuah ejekan…
“Ok…ok
aku memang ‘gak berbakat, puas?” ujarku kesal.
“Gak
berbakat? Tapi ini lucu banget… aku malah suka…”
Suka?
Nurhayati suka? Nurhayati bilang dia suka…? Aku masih tidak percaya…
“Kamu…
beneran… suka?” tanyaku berbinar-berbinar…
“Aku
suka komiknya… kalau suka sama kamu… aku pikir-pikir deh…”
“Aku
gak nyangka kamu bisa bikin cerita parodi sejenius ini…” Tiba-tiba ajeng
melingkarkan tangannya lagi di leherku…
“Tapi
itu… aku ‘gak…” ujarku tertahan.
“Aku
paling suka waktu bagian Lukman jatuh dari pesawat yang meledak… lalu terbang
naik upil raksasa… abis itu melawan alien dari planet
SMP kejahatan…” Livi memotong
“Atau
waktu Lukman mau nolongin putri cantik anak seorang raja yang bernama Bapak Guru… hm… ada kemungkinan
si putri cantik kena radiasi nuklir sampai wajahnya bisa kayak gitu…”
“Bagian
dramatisnya adalah waktu bala bantuan dateng, dan pesawat-pesawat membentuk
formasi 4-4-2!!”
Sudah.
Entah apa yang mereka katakan, apakah itu pujian atau hinaan… yang jelas itu
membuat telingaku cukup panas mendengarnya. Kutatap mata mereka satu persatu…
“Teman-teman…
asal kalian tahu… komik ini… BUKANLAH KOMIK PARODI…!! KOMIK ITU ADALAH KOMIK
FIKSI ILMIAH YANG DIGABUNG DENGAN ACTION!!”
Mendengar
itu mereka semua terdiam, hening. Sampai akhirnya Dame menutup mulutnya menahan
tawa…
“Ppff..!
Kamu bercanda kan? masa…?
Kutatap
mata Dame. Tidak ada canda di mataku.
“Serius…?”
Kuanggukan
kepalaku dan mereka benar-benar membeku.
“Aku
enggak ngerti cara kamu berpikir… maksud aku, liat ini… para alien yang menaiki
piring terbang ini… kamu bahkan menggambar piring yang benar-benar bisa
terbang!! Dan alien-alien itu bisa naik diatasnya! Bukannya itu lucu…?” Ajeng
menambahkan.
“Itu
sama sekali tidak lucu… pesawat itu dirancang demikian agar lebih efektif
mengendarainya, tanpa pintu… tanpa atap… sangat aerodinamis…!” jawabku
menjelaskan. Kulihat Ajeng menghisap nafas…
“Ok.
Anggap aja itu serius. Yang jelas yang ngurus mading itu pasti berpikir kalau
karya kamu itu sangat lucu dan menarik sampai dia mau masukin itu ke mading…
meskipun jika ia tahu bahwa itu adalah cerita non-parodi, mungkin dia akan
berpikir kalau imajinasimu sedikit… aneh. kalau gitu, ya sudah kita pergi… kita
bakalan temui kamu lagi, kalau kamu sudah punya uang buat bayar hutang… ayo
kawan-kawan, kita caw.”
Layaknya
perintah dari seorang komandan pasukan, mereka menurut dan mengikuti Ajeng
keluar kelas… meninggalkanku dan lembaran kertas komik miliku. Meski sekejap,
aku mulai terpikir dengan kata-kata Ajeng, bagaimana jika apa yang dia ucapkan
itu benar? Bagaimana jika sejak awal Farah memang berniat baik? Bukankah dia
adalah anak yang memang menghargai karyaku? Mengapa aku harus berpikir buruk
tentang niatnya? Jangan-jangan selama ini memang aku yang salah… aku yang
berpikir negatif terhadap niatnya… terlebih lagi aku berpikiran negatif
terhadap karyaku sendiri… TIDAAAK!!! Dari tadi aku berpikir bahwa Farah
memajang komik ini di mading dengan tujuan menjatuhkanku… merusak nama baikku sebagai seorang
komikus muda, menunjukan kelemahanku pada semua orang tentang aku yang tidak bisa
menggambar wajah perempuan… padahal… jangan-jangan karyaku ini memang sebuah
karya jenius! Dan Farah ingin agar semua orang tahu tentang kejeniusanku… oh
tentu saja… seseorang sepertiku pasti memiliki bakat terpendam dalam hal
menggambar… dan Farah menyadarinya… HAHAHAHAHAHA… aku juga memang sudah merasa
kalau aku adalah seorang seniman yang jenius! Mungkin mading hanyalah awal,
setelah ini mungkin komikku akan dikontrak oleh penerbit, lalu diterbitkan
dan menjadi sebuah serial, terbit setiap bulan… dan karena begitu banyak
penggemar ceritaku, maka kisah komik itu akan diangkat ke layar lebar dalam
bentuk film animasi… tapi itu tidak cukup, jadi munculah versi live-actionnya!
Dan dalam hal ini aktor yang paling tepat untuk memerankan tokoh Lukman adalah
aku sendiri, setelah itu industri memaksa untuk mengangkatnya ke dalam bentuk
sinetron kejar tayang… lalu aku semakin sibuk dan namaku menjadi semakin
terkenal… terkenal sampai ke mancanegara…!! Hohohoho semua mata akan tertuju
padaku saat itu… dan aku juga akan sangat sibuk mengerjakan kisah petualangan lainnya…
Lukman Di Gua Tengkorak, Lukman Dan Keong Sakti, Lukman Dan Upil Raksasa… dan
masih banyak lagi… baik. Sudah kuputuskan… mulai saat ini aku akan menjadi
seorang komikus!
Bodoh.
Semakin aku menyadari bahwa tidak ada yang buruk dari sebuah karya… semakin aku
sadar bahwa aku telah melakukan kesalahan… mengapa aku harus marah kepada Farah
jika dia memang tidak pernah melakukan kesalahan? Terlebih bukankah aku sendiri
yang memberikan komik itu untuknya? Dan Farah hanya ingin mempublikasikannya di
mading sekolah… apakah itu salah? Mengapa aku begitu kasar dan emosional?
Mengapa aku begitu kaku? Mengapa aku harus menutup diriku terlalu banyak?
Mengapa aku tidak bisa memiliki banyak teman…? Aku hanya… aku hanya… orang
bodoh… meski kutahu bahwa tidak ada satupun pelajaran di sekolah ini yang bisa
menyulitkanku… tapi aku merasa bahwa aku orang bodoh… aku hanya dianggap sebagai
teman jika musim ujian telah tiba, dan meski aku bukan sosok yang benar-benar
menonjol di kelas… maksudku, lihat tempatku berdiri sekarang… kelas 2F… di
tempat ini orang yang benar-benar pandai seharusnya diam di kelas 2A atau 2B,
karena memang kedua kelas itu terdiri dari anak-anak dengan ranking 1-10 dalam
mata pelajaran, diluar itu semua anak-anak akan ditempatkan dalam kelas yang
acak… dan aku cukup senang mendapat ranking 11… sejauh ini aku hanya mau maju
ke depan jika guruku memang menyuruhnya, aku juga tidak pernah merasa iri
ketika melihat orang lain memiliki prestasi… bagiku, aku tidak membutuhkannya.
Aku bisa lebih hebat dari saat ini jika aku mau, tapi semua itu tidak menarik.
Aku tidak butuh pengakuan siapapun, tidak mengharapkan pujian, tidak ingin
lebih baik dari ini, aku sudah cukup puas… bahkan tanpa belajar, aku sudah
cukup cerdas. Tapi… mengapa? Aku merasa bahwa ada yang salah, disini aku hanya
memiliki satu teman baik dan itu adalah Mulyadi… itu pun karena Mulyadi adalah
anak yang sangat aktif mengajaku berbicara, selain itu dia juga temanku semasa
SD. Tidak ada alasan mengapa kita tidak berteman… Ajeng and The Geng? Tentu aku
tidak akan mengenal mereka jika aku tidak pernah meminjam uang pada Ajeng.
Nadine? Meski dia temanku semasa SD dia tidak bernah menyapaku sejak kita masuk
SMP. Jadi sejauh ini aku selalu sendirian… membuat benteng untukku sendiri agar
tidak dikenali, merasa risih ketika bertemu orang baru, menolak setiap ajakan,
menampik semua tawaran, tak ada yang ingin berteman denganku… dan sekarang…
Farah tidak mungkin memaafkanku…
Aku
akan pergi. Setelah bel pulang berbunyi aku berniat untuk segera pergi meminta
maaf. Meski mungkin sikapku tadi menyebalkan… dan meski aku tidak tahu apakah
Farah akan memaafkanku atau tidak, tapi… aku akan tetap meminta maaf. Itu
harus. Hanya itu yang bisa kulakukan. Setidaknya aku akan mengakui bahwa aku
telah berbuat salah… jadi aku akan melakukannya.
Bel
pulang berbunyi, segera saja aku beranjak dari mejaku dan keluar kelas meskipun
saat itu guruku masih berada di dalam dan ketua kelas belum sempat memimpin doa
sebelum pulang… aku langsung pergi, berlari secepat yang bisa kulakukan… menuju
kelas 2D… aku berlari seperti kesetanan. Dan ah, itu disana. Kelas 2D. tampaknya
pelajaran di kelasnya pun baru berakhir tadi. Aku langsung mencari Farah, lalu
kudapati dia sedang berkumpul bersama teman-temannya, tanpa pikir panjang aku
langsung berlutut dihadapannya. Ya, aku benar-benar berlutut. Aku tidak pernah
tahu bagaimana cara meminta maaf sebelumnya, yang kutahu ini terjadi dalam
setiap drama-drama Jepang… mereka berlutut untuk meminta maaf. Dan aku pun
melakukannya. Kuturunkan pandanganku kebawah menundukan kepala dan berlutut di
hadapannya. Sekejap suasana ramai menjelang pulang sekolah berubah sepi. Semua
orang terpaku pada apa yang kulakukan ini, aku tak perduli. Meminta maaf
bukanlah hal yang memalukan… jadi segera saja kuucapkan dengan lantang;
“TOLONG…!!
Tolong maafkan perbuatan saya tadi…!! Saya mengaku salah… jadi tolong maafkan…!”
Hening.
Tak ada satu patah katapun terdengar. Kira-kira 10 detik. Mengapa Farah tidak
merespon? Aku terus menundukan kepalaku. Rasanya ingin berlari lalu pulang
begitu saja. Tapi tidak, apapun yang terjadi aku harus meminta maaf padanya,
kutarik nafas dan kucoba sekali lagi dengan kata-kata yang lebih tegas;
“TO…
TOLONG… MAAFKAN!! SAYA… SAYA… AH… TOLONG TERIMA SAYA SEBAGAI TEMAN…!!!”
Akhirnya
aku mendengar sebuah tarikan nafas… Farah mungkin akan menjawabnya kali ini.
Kunaikan wajahku, mencoba melihat matanya secara langsung
__________________________CELAKA.
Ini
gawat… wajahku memanas menahan malu… dia berdiri di hadapanku. Tampak tersipu
sekaligus bingung… dia… dia bukan Farah… itu Indi. Ternyata yang kudatangi itu
Indi dan sekelompok temannya… kelas 2A… lalu dari balik kerumunan muncul Nadine
melihatku dengan posisi masih berlutut… ingin rasanya aku meledak dan terbang
seperti roket… lalu Nadine menyapaku dengan heran…
“Eh…
Lukman? Lagi ngapain?”
Hening.
Seluruh tubuhku membeku rasanya. Entah dimana Farah sekarang, yang jelas dia
tidak disini dan membiarkan aku terjebak diantara kesalahpahaman dan kebodohan
yang kubuat…
“A…A…
SSSSSAAA… SSSSASASASSA_______ SSSSAAYYYA SALAH ORANG… MAAPH!!” bodohnya aku
mengatakan ini dengan gaya bicara seperti seorang samurai… setelah itu aku
pergi layaknya seorang ninja. Segera saja kupacu langkahku seperti kuda yang
terbakar… apa ini? Mengapa aku harus bertemu Indi dan mengucapkan kata-kata
konyol…? Aku masih berlari, tanpa perduli apa yang berada di hadapanku aku
menerjang semuanya begitu saja, yang paling penting adalah keluar dari sekolah
ini secepatnya… namun mendadak aku kehilangan kendaliku berlari dan BRUKH!!!
“Awwwhhh…”
“Eh,
kamu gak apa-apa? Maaf aku sedikit terburu-buru tadi… lho?”
“Lukman…?”
“Fa…
Farah?”
Akhirnya
aku menemukannya, meski dalam kondisi yang seperti ini, yah, kita mengalami
tabrakan keras tadi. Lalu apa? Aku harus berbuat apa sekarang…? Tidak, kali ini
aku tidak ingin berlutut lagi untuk meminta maaf, melakukannya dua kali akan
membuatku tampak bodoh…
“Ka…
kamu gak apa-apa? Sini aku bantu…” ujarku.
“Gak
apa-apa, aku bisa sendiri kok…” Farah pun bangkit sambil mencoba menyapukan
debu pada roknya,
tampaknya Farah masih risih setelah kejadian tadi siang…
“Oh
ya… Fa… Farah…?”
“Hmm…?”
“Ini…
aku pikir… aku…”
“Apa?”
“Aku
pikir ini… punya… kamu…”
Kukeluarkan
semua lembaran komik itu dari tas… Farah masih menatap seolah
itu semua tidak berarti… tapi melihat matanya berkedip tidak stabil, aku tahu
bahwa sebenarnya dia menginginkannya…
“Kenapa?
Bukannya itu udah aku kembaliin ke kamu? Aku bilang aku gak akan peduli
sekalipun kamu mau buang itu lagi…” jawabnya.
“Maaf!
Aku yang salah! Enggak seharusnya aku bicara kayak gitu di kelas tadi… tapi…
aku pengen kamu terima ini… sejak awal aku udah kasiin ini ke kamu… jadi…
seharusnya adalah hak kamu untuk memajangnya di mading atau apapun itu…”
“Ga.
Kamu yang bener, sekalipun waktu itu kamu kasih ini ke aku, seharusnya aku
minta ijin dulu ke kamu waktu aku mau publikasikan…”
“Jadi…”
“Hmmm…”
“Baekan…?”
“Kenapa
kamu pikir aku mau baekan sama kamu?”
“Eeh?”
“Aku
bercanda. Sejak awal aku gak ada niat buat bikin masalah sama Lukman…”
“Kalo
gitu maafin aku… karena udah bentak-bentak kamu tadi… sekarang, kamu mau terima
ini?”
“Hmm…
ok, aku terima, tapi awas! Sekali lagi kamu hina karya kamu sendiri seperti
sampah… aku bakalan bakar karya beserta kamu sendiri hidup-hidup…!!”
“Ah…
ma… makasih…!”
Farah
pun berlalu. Sejak saat itu aku selalu mengingat kata-katanya, bahwa seburuk
apapun karya yang kubuat, apapun itu… aku tidak akan menghakiminya dengan kata
yang buruk karena bagiku mungkin karya yang bagus sekalipun akan menjadi
sepotong sampah jika kita tidak menghargainya, tidak perduli bagaimana cara
orang lain memandangnya… karena setiap pandangan adalah berbeda, tapi tidak
akan ada yang bisa berbohong dengan perasaan… dari sini aku belajar bahwa ketika
kita melakukan segala sesuatu dengan senang dan perasaan suka cita, maka
meskipun itu hanya sekedar coretan di kertas putih… semua itu adalah milik kita
bukan? Dari upaya tangan kita sendiri… meski orang melihat itu sebagai lelucon…
kita lebih tahu tentang apa yang kita kerjakan… apa yang kita rasakan saat kita
mengerjakannya. Jadi setelah kejadian itu aku berjanji bahwa setiap saran dan
kritik saja atau bahkan cibiran sekalipun tidak akan membuatku berhenti dan
membuang semuanya ke tong sampah… sebaliknya itu akan membantuku untuk lebih
berkembang… mengembangkan sayap. Terima kasih… Farah.
cccc
Indi
indi indi. Mengapa orang itu selalu ada di sekitarku ya? Apa? Tidak. Bagiku
alasan bahwa dia satu SMP denganku bukanlah alasan yang tepat mengapa kita selalu
bertemu di sekolah... kupikir ada takdir yang mengikat kita berdua. Lho, iya
kan? Bukankah setiap butir kehidupan kita semua telah ditulis dalam takdir?
Jadi kupikir meskipun kita satu SMP sekalipun, jika takdir tidak menuliskan
bahwa kita akan selalu bertemu di sekolah, mungkin sampai sekarang aku tidak
akan melihatnya bukan? Terlebih lagi setiap kali melihatnya aku selalu
merasakan sesuatu yang tidak jelas, sesuatu yang campur aduk dan sulit untuk
dijelaskan… kupikir hanya satu kata yang bisa menjelaskan itu semua ; itu
adalah… KEBENCIANKU PADANYA!
Aku
membencinya. Sangat membencinya. Aku membenci gaya bicaranya, aku benci cara
dia berjalan, aku benci segala kecentilannya,
aku benci untuk melihatnya berada disekitarku. Tapi entah mengapa aku tidak pernah
bosan, bahkan cenderung kecanduan… rasanya aku ingin terus melihatnya, meskipun
aku benci. Rasanya aku ingin terus berada di sekitarnya dan terus membencinya…
apa ini? Perasaan ini? Jangan melawak. Tentu aku tidak menyukainya. Maksudku,
orang dewasa selalu berkata bahwa apa yang dirasakan bocah sepertiku adalah
sebuah cinta monyet. Tapi memang apa bedanya perasaan cinta yang dimiliki orang
dewasa dengan cinta monyet? Bukankah hakekatnya sama saja? Suka. Dulu juga aku
pernah menyukai anak perempuan… sejak aku SD malah… tapi tunggu, SD? Bukannya
aku juga pernah mencium seorang anak perempuan tetangga pada usiaku masih 3
tahun ya? Tunggu… mungkin aku memang tidak bisa menjelaskan berapa kali dan
sejak kapan aku menyukai anak perempuan… tapi aku pernah benar-benar suka pada
seorang anak perempuan ketika aku masih SD, namanya Melda. Kulitnya putih,
tinggi, paling tinggi untuk anak seusianya, wajahnya seperti penyanyi Jepang
favoritku… Utada Hikaru. Dan aku tidak
akan menampik jika aku menyukainya, aku berani untuk mengakui itu
padanya, meski saat itu aku hanya bisa menulis secarik surat. Tapi aku
benar-benar menyukainya, itu baru kusebut rasa suka. Tapi Indi? Yang benar
saja, meski aku tidak pernah bertemu Melda semenjak aku SMP, aku masih merasa
bahwa aku masih menyukainya dan jika harus kubandingkan Melda dan Indi itu sama
saja dengan membandingkan martabak telor dengan pizza. Tentu saja aku lebih
memilih martabak telor! Itu lebih enak di lidahku karena tidak mudah membuatku
kenyang, tapi mengapa… meski aku tahu Indi tidak secantik Melda… mengapa… dia
tampak menarik ya? Gaya bicaranya yang menyebalkan, seolah semua yang ada
adalah miliknya… bagaimana cara dia membawa diri seolah ingin diperhatikan
orang dan merasa dirinya paling cantik… dia murid kelas 2A, tentu saja aku
tidak percaya bahwa semua anak kelas 2A adalah anak yang pintar apalagi jika
harus dikatakan lebih pintar dariku. Itu konyol. Tapi jika benar demikian,
bukankah hal yang wajar saja jika aku menyukainya? Tidak. Bukankah sudah
kubilang tadi aku membencinya? Aku benci orang yang berlagak. Jika hanya sebuah
kelas, hanya untuk masuk kelas A saja itu adalah hal yang mudah. Hanya perlu
jadi ranking 1-5 bukan? Sebetulnya itu bukan hal yang sulit, yang paling
penting adalah bisa mendekati guru dan mulai aktif di kelas… memiliki otak
cerdas tidak begitu penting, yang paling penting adalah bagaimana kita bisa
menunjukannya. Baiklah, sekarang aku akan berusaha agar di kelas 3 nanti, aku
bisa masuk kelas 3A!
Waktu
ujian telah berlalu, banyak anak yang tiba-tiba berubah baik ketika itu, tapi
kali ini aku sudah belajar, aku percaya hasilnya akan lebih baik. Dan sekarang
adalah saatnya pengumuman kenaikan kelas, aku penasaran akan ada di kelas mana
namaku nanti. Kuyakin semua anak di sekolah juga begitu. Di sekolah ini setiap
anak akan diperbolehkan masuk kelas sesuai
dengan nama kelas yang tertera pada kertas pengumuman setelah ujian akhir
sekolah itu berakhir. Baik! Segera kuterjang kerumunan anak-anak yang masih
berdesakan di depan papan pengumuman. Meski tubuhku ini cukup besar, ini tidak
menyulitkanku, karena justru dengan tubuh besar ini aku memiliki tenaga yang
cukup besar pula untuk menyingkirkan anak-anak yang menghalangi pandanganku
dari papan pengumuman. Baiklah, Lukman… kira-kira akan ditempatkan dimana kamu
ini? Hhmmm… kuawali untuk melihat jajaran nama di kelas 3B… hm… tidak ada.
Tidak ada. Tidak ada. Tapi lho apa ini?
Ajeng? Ajeng masuk kelas 3B? Iyam juga? Lia juga? Sebenarnya aku tidak
keberatan jika Lia dan Iyam masuk kelas 3B, mereka kan memang lumayan pintar,
tapi Ajeng? Tentu aku ingat sewaktu kelasku, 2F, dan kelas Ajeng, 2G, itu
disatukan secara silang ketika ujian. Dan Ajeng, dia teman sebangkuku. Mungkin
guru-guru berpikir bahwa dengan menyilang teman sebangku pria dan wanita itu akan
mengurangi kejadian menyontek di kelas. Tapi itu salah. Dengan Ajeng yang
menjadi teman sebangkuku, aku bagaikan sapi perah contekan… terlebih aku memang
tidak bisa menolak untuknya, aku punya hutang yang belum kubayar… ingat? Tapi
jika seorang Ajeng yang menyontek padaku saja ada di kelas 3B, bukan mustahil
jika aku berada di kelas 3A, ya, aku yakin seperti itu. Baiklah setelah kuamati
memang tidak ada namaku di kelas 3B. langsung saja aku beranjak ke jajaran nama
kelas 3A. Hmmm… 3A… 3A… 3A… ah! Itu dia! Indi… dia masuk kelas A lagi, ah!
Nadine juga! Mereka berdua… memang benar-benar… tapi… dimana namaku ya…hmm…
biar kulihat dulu… hmmm… ya… ya… ya… YA?
Tidak. Ini tidak mungkin. Pasti ada kesalahan. Kenapa namaku tidak ada? Mungkin
terlewat, biar kulihat lagi… tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. TIDAK
ADAA!! Kenapa? Kenapa tidak ada? Padahal… padahal… ah. Sial. Lalu ditempatkan
dimana aku ini? Kulihat jajaran nama kelas 3C… Tidak ada… jajaran nama kelas
3D… tidak ada juga… kelas 3E… disini juga tidak ada…!! 3F… tidak ada namaku
disini!… 3G… juga tidak ada…!! Lalu pasti ada di 3H… TIDAAAKKK ADAAA!! Tunggu…
3I? bukankah itu kelas terakhir? Jika namaku tidak ada di kelas itu, itu
artinya aku tidak naik kelas bukan? Baiklah… 3I… 3I… ah! Ada! Namaku ada! Fiuh
syukurlah akhirnya namaku ada juga… HEEEEE__________EEEEHHHH?? 3I? aku ada di
kelas 3I dan bukan kelas 3A?!! apa ini… biar kulihat… ah, benar dugaanku… kelas
ini… kelas ini… adalah kelas kumpulan para preman, kumpulan anak-anak yang
sering dihukum dan dipanggil ke ruang BP… kenapa… kenapa… aku bisa masuk kelas
ini? TIDAAAAAKKK!!!
Entah
apa yang menyebabkanku ditempatkan di kelas 3I, mungkin aku akan menanyakannya
pada wali kelasku yang baru nanti. Fiuh, rasanya jadi menyebalkan juga, mungkin
sejak awal urusan pembagian kelas ini hanyalah omong kosong. Manusia tidak akan
bisa berkembang dengan pola pendidikan yang seperti ini… Haaahh… mengapa
kehidupanku di SMP ini terasa lebih menyebalkan lagi ya? Setelah kupikir-pikir,
memang selama aku sekolah disini, tidak ada yang menarik yang bisa kudapatkan…
sehari-hari hanya mempelajari hal-hal yang monoton, dihukum oleh guruku karena
tidak mampu membayar buku, ditampar, keliling lapangan 20 putaran, jalan bebek
sepanjang lorong… hanya karena alasan materi… jika bukan karena Ajeng yang
selalu meminjamkan aku uang, mungkin sampai saat ini hukuman semacam itu masih
kurasakan. Hukuman yang tidak sepantasnya sekolah ini beri untuk anak didiknya,
itulah kenapa aku benci belajar di sekolah ini. Aku tidak tertarik untuk tampil
menonjol di tempat ini. Hanya mengikuti arus, belajar. Jika bukan karena orang
tuaku yang menginginkannya, aku lebih baik berhenti dan membunuh satu persatu
guru yang ada disini dan berkata bahwa mereka tidak pantas mengajar untuku.
Mereka terlalu bodoh. Hah. Emosi mematikan, lebih baik kukubur saja semua itu
sampai… lho? Itu… bukannya itu Indi? Lagi-lagi bersama Nadine, tapi mengapa
kali ini wajahnya tampak murung ya? Entah apa yang menjadi masalah baginya. Aku
hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Sudahlah lebih baik aku pulang saja,
mencari sedikit ketenangan dan tidur di rumah.
Kalapa
Caheum-Aceh. Begitulah kira-kira tulisan yang tertera pada angkot yang nantinya
mengantarku pulang. Tapi sampai detik ini aku tidak melihat angkot itu muncul… ya
sudahlah aku akan menunggu. Sial. Lama juga. Sebenarnya selain angkot yang tadi
kusebutkan, masih ada satu angkot yang bisa mengantarku pulang… kalau tidak
salah itu jurusan Stasiun-Sadang Serang… tapi angkot itu memiliki jalur trek
yang lebih jauh… dan tentu saja jarak akan berpengaruh pada ongkos… ah masa
bodoh, yang penting aku pulang… dan begitu angkot jurusan Stasiun-Sadang Serang
muncul, aku langsung naik… tidak berapa lama langkah-langkah kecil menghentikan
angkot itu pula, seseorang naik… ah. Itu Indi. Lagi-lagi, mengapa disaat aku
sekesal ini aku justru harus melihat wajahnya lebih dekat… aku membencinya,
sangat membencinya… entah perasaan benci itu muncul darimana, tapi aku bisa
merasakannya… mungkin kelak di masa depan nanti, aku bisa mengerti mengapa aku
harus membencinya…
ccccc
Suara
dering sms. Menghentikan lamunan tentang arogansiku semasa aku masih bersekolah
dulu, semua itu hanya masa lalu sekarang. Kuraih handphone. Kudapati sebuah
pesan, pesan yang menghubungkanku kembali dengan masa lalu… pesan dari orang
yang mampu membangkitkan kenangan pahit meski aku tengah bahagia sekalipun.
Maafin aku.
Pengirim
: Bango Tong-tong
16/09/2010
14;32;25
Bango
Tong-tong. Tidak, lebih baik kupanggil dia Indi. Tidak sepantasnya aku
memanggilnya dengan sebutan hewan, meskipun itu adalah hewan langka yang
dilindungi… hm, mengingat masa-masa SMP-ku dulu rasanya sedikit
lucu, mungkin saat itu begitu banyak kebencian yang kurasakan, tapi jujur saja
tanpa adanya orang-orang menyebalkan di masa lalu, aku pastilah tidak akan
seperti sekarang, tidak akan sekuat ini. Tidak akan pernah takut untuk
bermimpi. Kupikir memang tidak ada balas dendam yang paling baik selain
memaafkan, jikalau memang sulit untuk melupakannya, mengapa tidak kita mengingat itu semua
sebagai kenangan yang indah saja? Meskipun kita tahu bahwa apa yang terjadi
tidak seindah itu, tapi setidaknya aku tahu bahwa aku telah mengalami banyak
perkembangan sekarang… mungkin tidak cukup untuk membuatku puas… aku butuh
lebih dari ini, agar orang-orang yang selalu kuanggap menyebalkan di masa lalu
itu tidak sia-sia untuk hadir membesarkan hati seorang aku.
Kunyalakan
televisiku, berharap ada sedikit perubahan pada dunia luar… tiba-tiba aku
tertarik pada sebuah berita tentang pendidikan, sebuah berita yang menyiarkan
tentang sebuah kasus kekerasan pada siswa oleh gurunya di sebuah sekolah,
kejadian tersebut diketahui ketika salah satu saksi yang merupakan siswa
merekam kejadian tersebut melalui kamera handphone dan menyebarkannya sehingga
pada akhirnya banyak yang datang ke sekolah untuk menuntut, pada saat itu
sebenarnya siswa itu telah melakukan kesalahan karena ribut di kelas. Aku
terdiam melihat berita itu, sungguh malang sang guru. Jika kulihat masa laluku,
mungkin aku bisa berpendapat bahwa generasi muda saat ini begitu lemah
sampai-sampai sebuah tamparan harus diketahui orang banyak. Atau bisa kukatakan
bahwa dengan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, para pelajar
mampu menggunakan otak mereka dan pandai untuk membalas dendam… Hahahaha, aku
hanya tertawa di atas ironi, ya aku tahu rasanya. Mungkin seperti itulah dunia
luar sekarang, mungkin seperti itulah wajah pendidikan di negeri ini, seperti
itulah generasi konsumer, selamat datang dunia nyata… selamat datang
kapitalisme.
Kumatikan
televisi itu lagi. Terlalu banyak keresahan yang harus kutanggung hanya karena
melihatnya. Akan seperti apa hari esok? Aku tak tahu. Kamar ini menjanjikanku
ketenangan. Di kamar ini aku buta, di kamar ini aku tuli, di kamar ini aku
membisu. Mungkin benar dunia luar terlalu menakutkan. Kutatap handphoneku.
Indi, sedang apa kau sekarang? Benarkah kau akan mengingatku seperti aku
mengingatmu kini? Di bumi ini langkahku terasa begitu berat berjuang sendiri.
Meski kutahu aku tidak mungkin berpaling untuk meraihmu. Lantas akan kemana
bumi berputar membawaku? Akankah sesejuk pagi, secerah siang, seindah sore atau
segelap malam? Kamarku. Kamar ini. Kamar ini merupakan bumi kedua bagiku,
berpenghuni seorang lelaki dan bayangan seorang wanita. Diantara beribu keresahan
di dunia… aku merasakan detak jantungnya.