Translate

Senin, 16 Juli 2012

Serial Alam Lukman Yellowsky Bab 6

Bab 6

(Flashback Bag.1)
Bumi.

        Aku pulang. Kubanting tasku, merebahkan setengah badanku di ranjang, dan membiarkan setiap tetes peluh membasahi seluruh tubuhku begitu saja sambil menatap langit-langit kamar. Kamar ini. Akhirnya aku kembali ke kamar ini… kamar yang begitu beku dan sepi, begitu membisu. Kunyalakan televisi dan isinya hanyalah keresahan manusia, sulit rasanya menemukan sesuatu yang berkualitas di dalamnya. Kadang aku merasa bahwa apa yang tersiar didalamnya adalah suatu konspirasi penuh propaganda dari dunia luar terhadapku… mungkin suatu ancaman. Aku tidak tahu. Aku berpikir jangan-jangan di dunia ini aku adalah satu-satunya makhluk asing dimana manusia lainnya yang lebih normal mencoba untuk mencekoki pikiranku dengan politik, budaya, sosial, ekonomi, matematika, fisika, kimia dan sejumlah pelajaran yang disuapkan begitu saja padaku sejak kecil… dan lihatlah realitanya, begitu banyak keresahan yang bisa disaksikan di tv, dan kita menikmati itu layaknya menyantap cemilan dan makanan ringan… tidak ada yang peduli… tidak ada yang bertanya mengapa… nasionalisme hanya diciptakan sebagai rasa memiliki dan membela satu negara lalu apa sebutan ‘isme’ untuk kita sebagai manusia… sebagai khalifah dan pemimpin di bumi? Terlalu banyak kesemuan di dunia ini… terlalu banyak hal fana yang diperjuangkan oleh manusia… jika politik sudah tidak bisa diandalkan untuk melakukan perubahan… jika hukum begitu tumpul dan telah kehilangan kepercayaannya… jika seni yang penuh idealis namun menenangkan itu justru telah kehilangan identitasnya… lantas apa yang bisa diharapkan mampu merubah manusia kembali kepada hakekatnya sebagai manusia? Mungkin hanya satu jawabannya; agama. Lantas bagaimana jika agama yang memiliki nilai luhur dewasa ini justru dipandang secara subjektif? Apa tujuan dari semua ini… bukankah kita semua adalah anak dari satu orang pria dan satu orang wanita yang sama? Bukankah kita manusia adalah makhluk sosial? Bukankah setiap manusia adalah tanggung jawab manusia lainnya? Bukankah kita selalu bisa merasa sakit ketika ada yang merasa sakit pula? Kemana perginya harta manusia yang bernama empati? Mengapa manusia masih saja berbuat kejahatan dan kerusakan sedang kita tahu bahwa semua itu adalah hal yang buruk…? Tuhan… apa yang harus kuperbuat kini? Haruskah aku menjadi robot-robot rakus layaknya orang-orang diluar sana? Haruskah aku menjadi tuli atas semua keresahan itu? Menjadi buta? Menjadi bisu? Menjadi mayat berjalan? Manusia kini tampak seperti serigala bagi manusia lainnya, hidup saling sikut, mendapatkan kesenangan dari kepedihan orang lain… dan berjalan mengikuti sistem… individualistis. Tidak. Lebih baik kumatikan kotak berlayar 14 inch itu, dunia luar… terlalu menakutkan, lebih baik aku disini saja, di kamar ini saja. Lebih aman.
        Kuraih gitarku, mencoba berpikir lebih tenang, kupetik beberapa senar dan kunyanyikan beberapa lagu ciptaanku tentang manusia, tentang cinta, tentang wanita… tentang diriku. Musik. Setidaknya musik bisa membuatku lupa tentang siapa diriku dan seperti apa duniaku. Bagiku, musik adalah lawan dari duniaku yang lain, yaitu teater. Jujur aku memang tidak terlalu baik dalam akting di panggung, terlebih karena aku sering mendapatkan teguran dari seorang sutradara karena aktingku yang terkadang ‘berlebih’ tapi dibalik itu semua aku sudah berakting jauh sebelum kakiku menginjak panggung… ya. Aku memang ahlinya. Menyembunyikan kekesalan dan kesedihan dibalik senyuman. Terkadang jika ada seseorang yang mencoba mengejekku aku akan membalasnya dengan tatapan kosong hingga mereka kehabisan kata-kata. Mereka bilang aku aneh. Mereka bilang aku seperti zombie, karena terlalu sering menghemat kata. Aku tak pernah perduli. Terlebih dengan julukan ‘si ganteng kalem’ yang juga kuterima. Setiap kali ada yang mencoba merendahkanku aku akan tersenyum, hatiku saja yang selalu berkata ‘aku sudah keren sejak lahir… dan cacing busuk seperti kalian mencoba untuk mengejekku… hohoho, tidak pernahkah kalian sadari kekonyolan kalian sendiri?’ yah, mungkin saja aku seorang narsis. Maksudku narsis yang sebenar-benarnya. Sebuah sindrom. Penyakit kejiwaan yang membuatku tidak pernah rendah diri, penyakit kejiwaan yang selalu membuatku kuat untuk berlari, penyakit kejiwaan yang mampu menjadikan orang lain iri… tidak, apakah itu cukup arogan? Setidaknya itu cukup untuk menjalani berbagai mimpi. Oleh karena itu aku benci untuk putus asa… akupun benci jika orang disekitarku merasakannya. Manusia tidak selayaknya merasakan itu. Manusia tidak bisa dan tidak boleh berhenti dalam melangkah begitu saja, karena manusia adalah aktor… manusia tinggal menjalani naskah dan skenario yang disediakan dan meski terkadang naskah itu terasa pahit, tapi jika kita mampu membuka hati, membuka pikiran, sebenarnya bukankah kisah kita terlihat jadi lebih dramatis? Dan seperti film-film drama, kita tidak boleh membiarkan tokoh utama mati putus asa dan bunuh diri. Kita harus bisa menjadikan segala kepahitan itu sebagai penguat bagi langkah kita, bahwa hey! Aku sudah kebal sekarang. Dengan kesabaran, keikhlasan kita sebagai aktor, dan rasa syukur atas setiap nafas yang terhembus dan setiap detik yang kita jalani, bukankah masalah bisa membesarkan hati seorang manusia? Kita akan lebih terhormat di mata Tuhan sebagai sutradara. Karena mampu menjalani semua itu. Akting bukan sekedar permainan. Akting bukan sekedar kepura-puraan. Akting adalah permainan kesadaran. Menyadari bahwa ketampananku adalah pemberianNya, menyadari bahwa aku tengah disaksikan, menyadari bahwa aku hanyalah makhluk dengan kelemahan. Melakukan kesalahan kala berakting jauh lebih terhormat ketimbang menggunakan narkoba dan alat bantu percaya diri lainnya agar mampu berakting total. Tidak itu bukan total. Itu pengecut. Sebagai bintang aku harus menjadi diri sendiri, tidak bisa membiarkan narkoba dan sejenisnya membuat kesadaranku melayang begitu saja. Membiarkan semuanya bergantung pada kegilaan? Jangan konyol. Akting adalah sadar. Semua emosi yang kupendam, semua rasa kekesalan yang kutahan dengan senyum, semua dendam yang kututup dengan maaf, semua tangis yang kutahan agar tidak ada orang yang tahu, semua pedih dan kecewa, semua yang kubungkus dalam ekspresi ini. Kuledakan semuanya di panggung teater. Jangan tanya seberapa total aku berakting. Sebagai ironi bahwa aku baru bisa merasa menjadi diri sendiri justru ketika aku berakting memerankan kisah orang lain. Dan jika masih ada orang yang mencoba untuk mengejekku, rasanya itu menjadi sangat lucu. Mungkin benar bahwa orang yang selalu diam adalah orang yang sangat berbahaya. Aku adalah tokoh utama, itulah mengapa aku merasa bahwa aku sangat tampan.
        Lalu mengapa kukatakan bahwa musik adalah sisi lain dari itu semua? Ya, jika akting mampu membuatku sadar, musik justru mampu membuatku lupa. Kuulangi kata-kataku, musik membuatku tidak perduli akan siapa diriku, musik membuatku tidak mengenal diriku sendiri, tidak perlu narkoba untuk membuatku gila, musik bisa melakukannya. Begitu senar gitar kupetik dan lirik-lirik itu kususun, aku akan melupakan segala kesulitan, menghapus segala kekesalan, menghapus segala jenis dendam, menghapus segala kesedihan. Aku hanya bisa berkata bahwa menyanyikan lagu yang baru kita ciptakan sendiri rasanya sangat luar biasa,  rasanya begitu indah. Tubuh ini, jiwa ini, suara yang terlontar dari mulutku dan gemerincingnya setiap petikan senar menyatu dalam keharmonisan… membuatku lupa, membuatku gila, seakan aku berada dalam dimensi diantara manusia dan Tuhan, membuatku seolah mengerti akan suatu hakekat yang tidak bisa terjabarkan definisinya. Jika teater adalah tubuh dan pikiran, musik bagiku adalah hati dan perasaannya, jika teater kukatakan sebagai hidupku, maka musik adalah nafasnya. Jika teater membuatku sadar akan aku sebagai manusia, musik… aku hanya bisa bilang bahwa itu adalah salah satu caraku untuk berdzikir, karena di kamar ini, diruang berukuran 5x4 meter ini, dengan setiap jeritan hati, setiap curhat, setiap kebahagiaan dan kesedihan yang kuubah menjadi lirik di kamar ini, menjadikan Tuhan sebagai pendengar pertama menjadikanku sadar bahwa aku dan Tuhanku adalah lagu dan nadanya. Tidak jarang aku menangis dalam laguku layaknya tengah berdoa… dan tubuhku akan bergerak setiap musik terdengar, aku akan menari layaknya bumi yang selalu berotasi, layaknya bumi yang mengantarkanku pada matahari, menghadapkanku pada siang ataupun malam.
        Musik dan akting adalah dua hal yang berbeda namun berdampingan, setidaknya itu bagiku. Setiap orang pastilah memiliki cara tersendiri dalam mengemukakan kesenangannya bukan? Jadi aku tidak berkata bahwa setiap manusia harus bisa akting ataupun bermusik meskipun aku yakin bahwa tidak ada manusia di bumi yang bisa bicara dan tidak pernah bersenandung dalam hidupnya. Hanya saja manusia haruslah kembali sebagai hakekatnya sebagai manusia, menjadikan hidupnya berarti dan bukan hedonis yang egois. Tapi ah, sudahlah jika aku terus berpikir tentang hal ini mungkin hanya akan terlihat seperti omong kosong saja. Lebih baik kupetik terus gitarku ini, dari kunci C7, kupindah ke Dm7 lalu ke E minor… ah ini dia, sebuah lagu yang…
        Tiba-tiba sebuah dering sms menghentikan petikan gitarku, kuraih handphone dan kulihat sebuah sms dari… ah, orang ini lagi… mengapa bukan Tisya saja yang sms aku? Ah sudahlah, perlahan kubuka sms itu dan kudapati sebuah kata singkat yang minim makna namun multitafsir…

Heii…

Pengirim : Bango Tong-tong

16/09/2010
14;12;13

            Apa ini? Cuma hei? Hei apa? Ah… sebenarnya apa sih yang orang ini pikirkan? Apa dia merindukanku? Mengingatku? Atau sekedar ingin mengobrol saja atau memang benar-benar cuma HEEEIII?? Ah mengapa orang ini tidak menghilang saja sih? Ah, tapi memutuskan silaturahmi adalah perbuatan dosa… lalu bagaimana aku harus bersikap pada orang ini? Orang yang menyebalkan, orang yang bagaikan bakteri mengikutiku kesana kemari… orang yang tidak pernah mengerti perasaanku sebagai seorang laki-laki. Orang yang dulu pernah kusukai… ah. Mau bagaimana lagi, memang benar kan? Aku pernah menyukainya. Dia… seorang wanita. Aku bukan homo. Sangat kusesalkan karena ia berkata hei melalui sms, membuatku tidak mengetahui bagaimana intonasi dari kata hei ini diucapkan… apakah ini adalah kata hei yang ia ucapkan dengan ceria, layaknya ‘hei’ seseorang yang baru pulang dari luar negeri dan membawa banyak cenderamata untuk dipamerkan? Atau hei penuh kemarahan seperti ‘hei’ orang yang sedang makan besar lalu ada orang di depannya yang duduk membelakanginya tiba-tiba buang gas begitu saja? (lalu orang yang buang gas itu dianiaya… namun diluar dugaan orang itu ternyata adalah alien yang menyamar dan ia baru menghabiskan sekarung ubi bakar… ah sudahlah itu cerita lain.) atau ‘hei’ penuh kesedihan karena sebuah rasa bersalah yang sangat dalam, dimana ia ingin meminta maaf namun takut kalau kehadirannya justru akan melukai? Aku tidak tahu… kemajuan dunia informasi dan teknologi justru membuat hubungan tatap muka menjadi terlupakan, padahal itu jelas lebih penting, tanpa hubungan tatap muka kita tidak bisa mengetahui emosi lawan bicara kita… terlebih aku tidak bisa membaca matanya, apakah sebuah kebohongan ataukah kejujuran… tapi mau bagaimana lagi, toh aku juga pengguna teknologi ini, bukankah dari pagi tadi aku resah karena smsku pada Tisya belum juga terkirim? Dan betapa hancur rasanya ketika sms itu ternyata hasilnya gagal terkirim? Bukankah aku sendiri yang berkata bahwa jarak tidak masalah selama ada komitmen dan kecocokan? Tapi ini lain… bukan itu masalahnya, yang jadi masalah disini, dia hanya mengatakan hei!
        Hei. Hanya hei yang ia katakan dan itu sudah cukup untuk membuat perasaanku campur aduk… dasar gadis menyebalkan… arrgghh!!! Kuremas dan kujambak-jambak rambutku sendiri jika memikirkannya. Haahh… aku tidak merindukannya, siapa bilang aku merindukannya? Aku hanya kesal ketika orang ini tiba-tiba mengirimiku pesan dan membuatku ingin bertemu dengannya secara langsung. Itu saja. Bango tongtong, begitu aku menyebutnya, sebenarnya namanya adalah Indi. Indi Indriani. Aku mulai memanggilnya begitu ketika kita sempat mengalami konflik, dan ketika kulihat jajaran hewan langka yang dilindungi di atlas, aku langsung mengingatnya. Bango Tong-tong, kupikir itu cocok untuknya. Dulu memang ada hubungan yang cukup aneh diantara kita berdua, setidaknya kupikir kita berdua adalah orang aneh. Dan memang aku pernah menyukainya, entah berapa banyak lagu yang pernah kuciptakan untuknya, bisa dibilang jauh berkali-kali lipat lebih banyak dari yang kuciptakan untuk Tisya, memang jumlah laguku sudah tak terhitung pula jadi… bukan berarti aku lebih menyukainya… hanya saja, apa ya? Mungkin sekarang perasaan itu terasa lebih absurd karena baik Tisya maupun Indi adalah karakter yang berbeda, dan aku tidak tahu lagi harus berkata lebih menyukai siapa karena keduanya bukan pacarku dan keduanya sudah memiliki pacar… lantas kenapa aku selalu berada di tengah? Aaarrrgghh… lagi-lagi, mungkin aku hanya penghibur saat mereka sedih, dan setelah itu aku tidak lebih dari sekedar orang lewat… ah, sudahlah itu tidak penting, yang jelas Indi adalah sosok yang bisa kubilang sangat berpengaruh besar dalam setiap langkahku hingga sampai ke tahap ini…
        Masa SMP, kira-kira semua dimulai dari sana. Sebenarnya apa yang pernah kuingat saat itu, hm… saat itu aku hanya seorang anak laki-laki yang tidak memiliki keberanian untuk tampil di depan panggung seperti sekarang, apalagi sampai mencoba untuk bermain musik, saat itu kupikir aku tidak punya bakat dalam hal semacam itu, jadi… yang menjadi kesenanganku saat itu hanyalah menggambar… terutama menggambar komik, karena bagiku kegiatan menggambar itu adalah kegiatan untuk mengekspresikan diri seseorang terhadap apa yang… ah, sudahlah panjang lagi nanti. Sebenarnya aku tidak pernah berpikir untuk mendekati gadis ini, bahkan aku cenderung tidak menyukainya berada disekitarku… di sekolah ini, aku hanyalah seorang bocah pendiam yang tidak senang bergaul dan melihat gadis itu tengah asyik mengobrol dengan beberapa temanku membuatku sedikit… apa ya? Mungkin iri. Aku tidak begitu yakin. Yang jelas aku tidak menyukainya, anak perempuan yang begitu ceria, begitu supel dan memiliki banyak teman. Setiap kali aku melihatnya rasanya ada perasaan benci yang entah datang dari mana, seolah kita pernah bertemu sebelumnya dan kita pernah menjadi musuh untuk waktu yang sangat lama. Seolah aku tahu bahwa kelak dia akan menyakitiku…
        Ya. Sejak awal aku memang tidak pernah menyukai Indi, pertama kali melihatnya dia tengah mengobrol dengan temanku Nadine, dan itu terasa sangat mengganggu, meskipun aku tak mengenalnya… aku selalu merasa tidak nyaman ketika dia ada. Apakah dia cantik? Tidak juga, tapi jelas kalau wajahnya itu sedikit membuatku risih… entah mengapa aku tidak tahan melihat wajah itu lebih dari tiga detik, meski begitu aku selalu melakukannya berulang-ulang. Melihat matanya yang bulat bening, hidung yang lurus dan kecil atau bibirnya yang tipis serta rambut yang panjang… cantik? Lupakan, percayalah aku tahu tipeku seperti apa… wanita tipeku adalah wanita berkulit putih, mata sedikit oriental, mungkin sedikit berkantung, tinggi, bahkan lebih tinggi dariku, memiliki wajah seperti Utada Hikaru dan bernama Melda. Ah siapa itu Melda? Tampaknya aku terlalu detail menjelaskan tipeku seperti apa. Tapi lihat Indi, kulitnya tidak terlalu putih, matanya cenderung belo, dan wajah yang kurus… hmm… lebih menyerupai seorang wanita Jawa, mungkin seorang putri Jawa… begitu manis dan anggun, aku juga suka putri… tidak. Aku tidak menyukainya. Aku tidak akan pernah menyukai Indi… tidak! Haaah… mengapa aku tidak suka mengakui kalau dia itu cantik ya?
        Duduk sendiri di kelas. Kugerakan penaku kesana kemari, kugambar dua buah gunung lancip dengan matahari di tengah yang memiliki wajah tersenyum, dibawahnya kugambar berpetak-petak sawah yang subur disamping sebuah jalan raya yang digambar dengan perspektif yang detail, lalu kulipat kertas itu menjadi enam bagian, kulipat kesana kemari dan kudapati corat-coret gambar tadi berubah menjadi sebuah wajah dari Monalisa… tidak tidak tidak. Aku bercanda, aku tidak sejenius itu. Saat itu, aku tengah menggambar sebuah komik berjudul; Lukman Di Luar Angkasa… bercerita tentang diriku yang berpetualang melawan monster-monster dari planet SMP kejahatan, dan menyelamatkan putri cantik anak seorang Raja yang bernama Bapak Guru… tapi, ah apakah itu benar-benar gambar seorang putri cantik? Mengapa wajahnya seperti Incredible Hulk? Ah, sudahlah saat itu, mungkin itu sudah paling cantik yang bisa kugambar. Tiba-tiba kurasakan seseorang mendekatiku lalu berkata;
        “Iiih… lucuuu banget… kamu sendiri yang gambar?”
Dari suaranya itu suara anak perempuan, dan aku paling anti untuk menjawab pertanyaan dari mereka. Jadi tanpa harus melihat wajahnya, kubiarkan pikiranku untuk tetap fokus menggambar… tapi tampaknya anak perempuan tadi tidak mau menjauh dan berhenti menggangguku, layaknya seorang editor ia memperhatikan gambarku dengan serius lalu ia mulai meraih tanpa izin kertas-kertas HVS yang kugambari dan mulai berkomentar;
“Hmmm… jadi ini jagoannya ya? Namanya Lukman…”
Tampaknya dia cukup antusias. Aku pun tersenyum ketika mendengar namaku disebut sebagai tokoh jagoan dalam komik itu…
“Tapi kok putrinya kaya Grandong?”
Gubrak. Grandong[1] bahkan lebih buruk dari Hulk. Mendengar itu aku langsung putus asa… kuputuskan untuk meremas semua kertas yang kugambar, mengubahnya jadi bola-bola kertas lalu kurebut pula kertas yang tengah digenggam perempuan itu. Perempuan itu kaget dan dari sinilah aku melihat wajahnya. Entah anak dari kelas mana, aku tidak pernah melihatnya. Wajah yang cute. Sayang, dia berambut pendek. Lalu kulempar semua kertas itu ke tong sampah.
“Kok dibuang?” gadis itu bertanya.
“Cuma sampah.”
Gadis itu terdiam. Memperhatikan tong sampah itu begitu lama lalu menghilang. Ini adalah jam istirahat, dan aku lebih suka berdiam di kelas. Haah… sendiri seperti ini, melamun… menunggu jam masuk pelajaran… memang sedikit mengesalkan… tapi aku lebih suka seperti ini, menghemat uangku karena tidak perlu jajan dan tidak akan ada yang menggangguku. Namun tiba-tiba sekelompok anak perempuan datang membawa berbagai makanan yang mereka beli. Jujur, ini sedikit membuatku risih, jadi lebih baik aku keluar saja… tapi kenapa aku harus melihat orang ini diluar? Dia itu kan…
“Inddiiii!!” tiba-tiba kudengar ada seseorang memanggilnya. Orang itu bernama Nadine, dulu Nadine adalah temanku sewaktu masih SD, tapi entah kenapa begitu kita menginjak SMP, seakan ada jarak, terlebih karena kita berada di kelas yang berbeda. Lalu kuperhatikan gadis itu, masih ceria seperti biasanya… jadi namanya Indi. Tidak menarik. Sama sekali tidak menarik. Tapi jaket yang dia kenakan… lucu juga. Lalu seseorang menyolek bahuku, membuatku terpaksa berhenti mengamati dan menoleh...
“Boleh aku minta ini?”
“Hah?”
Tiba-tiba orang itu muncul lagi, orang yang berlagak seperti editor dan berkomentar bahwa putri yang kugambar berwajah seperti Grandong. (jika tidak tahu apa itu Grandong, coba simak film “Mak Lampir”, kalau tidak salah itu sejenis hantu atau monster)
“Boleh aku minta komik buatan kamu ini?” tiba-tiba dia menunjukan kertas-kertas yang tadi sempat kuremas dan kubuang ke tong sampah…
“Itu cuma sampah, aku gak butuh”
“Jadi boleh buat aku?”
“Terserah kamu”
“Makasih!!”
“…”
“Oh ya…”
“…”
“Aku Farah. Dari kelas 2D…”
“Aku gak…”
“Aku masuk kelas dulu ya… dadaaa”
Lalu gadis itu pergi. Gadis aneh. Siapa perduli dia anak kelas mana? Dan dia bilang siapa namanya? Ah sudahlah. Cuma kabut yang melintas di pagi hari. Tidak penting. Tapi ngomong-ngomong kemana Indi dan Nadine? Ah sudahlah, itu juga tidak penting. Lebih baik aku kembali masuk ke kelas saja… tapi baru dua langkah aku memasuki kelas, seseorang yang lain menghadangku. Orang itu menatapku seakan aku adalah seseorang dari pengungsian bencana alam. Dia menghampiriku sambil membawa satu cup spagheti. Dia Nina, biasanya dia membawa spagheti ke sekolah untuk dijual ke teman-teman dan mungkin kali ini dia hendak menawarkannya padaku.
“Buat kamu…”
“Aku gak…”
“Kamu gak perlu beli, yang ini gratis…”
“Ehm. Aku… aku udah kenyang Na, makasih kamu simpan aja…”
“…”
Kulihat Nina sedikit kikuk ketika mencoba membawa kembali spagheti itu, yah, aku memang kenyang. Kenyang dengan kebohongan dan kehampaan yang kubuat… tentu saja aku lapar! Dan aku sangat menginginkan spagheti itu, terlebih itu adalah buatan rumah… tapi sudahlah. Aku yang bodoh. Kududukkan tubuhku di bangku, menyenderkan pipiku ke meja kayu. Aku ingin pulang. Cepatlah berbunyi duhai bel sekolah… tiba-tiba mataku terasa berat dan…
Bel pulang berbunyi. Aku terbangun, kuhapus liur dari wajahku. Tubuhku terasa begitu lemah, ah kapan terakhir kali aku makan? Ah, apa itu makan? Apakah itu kegiatan yang menyenangkan? Duh… coba tidak kutolak pemberian Nina tadi, pasti aku tak selapar ini… dengan langkah lemah aku berjalan, mencari sebuah angkutan kota atau biasa disebut angkot untuk mengantarku pulang. Yah, aku kan seorang pahlawan super dari planet SMP, harus ada seseorang yang mengantarku pulang… duh apa sih? Tampaknya lapar membuat pikiranku sedikit terganggu. Lalu kurasakan pantatku mulai mati rasa…
Ternyata bukan mati rasa, itu temanku, Mulyadi namanya. Menendang pantatku sekeras yang bisa ia lakukan sepanjang hidupnya dan membuatku tersungkur begitu saja. Tadinya Mulyadi melakukan itu sambil tertawa, namun setelah kuputuskan untuk tidak bangkit lagi setelah terjatuh, dia malah panik. Berkali-kali ia memanggil namaku.
“Lukman maafin aku Lukman!! Kamu gak apa-apa?”
Dia membalikan badanku, dan kubiarkan mataku membelalak kosong layaknya orang yang sudah mati.
“Lukman!! Jangan tinggalin aku Lukman!!”
“…KRRRKK…”
“Lukman!! Please jangan mati dulu!!”
“…”
“LUKMAAANN!!!”
“Aku lapar…”
Ok. Stop aktingnya, ini seperti adegan Tokusatsu[2], pembasmi kejahatan dari Jepang, entah bagaimana aku menirunya. Dan aku tidak percaya Mulyadi benar-benar menangis untuku. Terlebih setelah kubalas dia dengan serangan jurus roket membelah bulan ke pantatnya. (tentang bagaimana gerakan jurus itu, bayangkan saja sendiri) Mulyadi. Biasa dipanggil Yadi atau Mul kadang dia juga dipanggil Bekti... lho kok Bekti? Tak tahulah namanya juga anak SMP. Dia juga temanku sewaktu SD, kebetulan saja kita sekolah di SMP yang sama dan kali ini dia berjalan dengan cara yang sangat aneh…
“Sakit banget tahu…!! Kenapa sih pantat aku musti digituin?” Mulyadi berusaha untuk protes.
“Siapa coba yang nendang aku duluan?”
“Tapi mustinya kan kamu balas nendang, bukannya nusukin… ah… ah… sakit banget sumpah…”
“Paling juga ambeyen, nyantei aja lagi…”
“Enteng banget sih ngomongnya? Kalo aku sampai dioperasi kamu musti tanggung jawab…aw.”
Tiba-tiba langkahku terhenti. Lagi-lagi gadis itu. Indi, tengah berjalan sambil tertawa, mengapa dia bisa begitu ceria seperti itu ya? Ah Nadine ada disitu juga. Kenapa dengan para anak perempuan ini? Apa mereka salah minum obat? Tidak sadar apa kalau tertawanya itu mengundang perhatian…? Dasar anak-anak hiperaktif… ah tapi mengapa juga aku harus perduli sih?
“Woy man! Ngeliatin apa sih? Si Indi? Kenapa dia?” tiba-tiba Mulyadi menyadarkanku.
“Oh… gak… Indi… siapa? Eh, bukannya itu si Nadine yah?” jawabku mengalihkan.
“Iya itu si Nadine…”
“Rasanya kok dia agak berbeda yah?”
“Beda gimana? Wah, jangan-jangan kamu naksir ya?”
“Hush! Liat-liat dong, masa aku naksir sama bolu kukus!”
“Bolu kukus? Aku bilangin lho… wey Nadine…!!”
Mendengar Mulyadi memanggilnya, Nadine menoleh… ini gawat, kalau sampai Mulyadi bertindak bodoh dengan mengadukan perkataanku pada Nadine, aku akan tamat. Nadine memang tidak sebesar Kingkong, tapi bukan berarti bahwa dia tidak menakutkan ketika dia marah. Pasti akan terjadi penganiayaan yang sangat keji terhadap bocah lucu sepertiku… dan Indi berada disana, pastilah ia akan merekam semua kejadian dan menyebarkannya ke seluruh media massa… gadis seperti dia pasti memanfaatkan kejadian itu untuk mendapatkan uang… dan dari uang itu dia akan… dia akan…
“Ada apa?” Nadine bertanya.
“Ini nih… tadi si Lukman bilang kalau kamu itu bo…”
“JURUS MEGA SUPER DUPER MIGHTY POWER ENERGIZER MAXIMUM SUBLIME!!!”
Tentu saja sebelum itu terjadi, aku sudah menganiaya Mulyadi terlebih dulu, setidaknya Mulyadi akan diam untuk sementara. Sayup-sayup kudengar Indi bertanya pada Nadine.
“Kenapa ‘Din?”
“Enggak. Enggak apa-apa… cuma dua orang bodoh…”

bbb

Matahari pagi terasa begitu bersahabat saat itu. Kususuri lorong-lorong kelas pagi ini. Saat itu mungkin sekitar pukul 06.10, bel masuk belum berbunyi. Bahkan tidak ada satu orang anakpun yang terlihat batang hidungnya… aku memang suka seperti ini. Datang lebih pagi dari anak lainnya, entah mengapa aku senang dengan suasana sekolah yang dingin, membeku dan begitu kosong seperti sekarang. Rasanya aku berada di sebuah bangunan luas yang kosong dan boleh kumasuki sesuka hatiku. Lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatianku di lorong. Itu adalah… mading. Biasanya aku tidak pernah tertarik untuk melihat mading sekolah, tapi kali ini apa yang terpampang di dalamnya benar-benar membuatku shock…
Serangkaian kertas HVS yang sudah cukup ringsek, dengan corat-coret di sana sini… corat-coret yang kubuat sendiri… dan bertuliskan; Lukman Di Luar Angkasa… ah. Karya gagalku. Sudah pasti orang itu. Orang aneh yang mengatai gambar karakterku seperti Grandong… pasti dia. Pasti dia yang bertanggung jawab atas semua ini. Tapi mengapa? Ah, dia pasti ingin mempermalukanku dengan menunjukan komik penuh imajinasiku pada semua anak-anak. Ternyata… dibalik keramahannya, dia seseorang yang kejam… pertanyaannya sekarang, bagaimana aku bisa mengambil komik-komik itu kembali? Sementara mading itu tertutup kaca dan kaca itu terkunci… ah, begini saja. Biar kupecahkan kaca itu dengan bangku. Tapi tidak, meski saat ini belum ada satupun anak yang muncul, suara pecahan kaca pasti sudah cukup untuk menarik perhatian penjaga sekolah… dan aku akan benar-benar berada dalam masalah… dan selain itu aku juga takut untuk melakukannya. Jadi bagaimana sekarang? Haruskah kubiarkan komik itu berada disana dan menjadi bahan olokan orang banyak? Lagipula mengapa aku sampai memberinya judul Lukman Di Luar Angkasa? Itu judul yang sangat konyol! Bahkan untuk anak kelas dua SMP sepertiku… ah, gadis itu… siapa nama gadis itu? Ah sial aku lupa. Lebih baik sekarang aku diam di kelas dan tidak kemana-mana. Hari ini pasti akan menjadi hari yang penuh dengan ejekan… arrrggghhh.
Sejak itu kubiarkan pikiranku berjalan secara ‘Auto-pilot’ aku menyebutnya begitu karena saat itu aku sama sekali malas untuk berpikir. Kubiarkan kata-kata guruku melintas sekenanya. Dan aku sama sekali tidak berniat menjawab teguran macam apapun dari temanku… terlebih aku takut jika mereka akan mempertanyakan komik yang ada di mading dan mulai mengejeku… akan seperti inikah? Akan seperti inikah kehidupanku di SMP ini? Waktu terus berjalan hingga bel tanda istirahat pun berbunyi. Hah? Secepat itukah? Bagaimana dengan pelajaran? Tentu saja semua pelajaran tadi tidak ada yang benar-benar bisa kuserap. Terlebih pelajaran sekolah memang tidak seru untuk diceritakan. Lantas sampai kapan aku akan berdiam diri di kelas ini? Apakah aku harus terdiam disini selamanya agar aku selamat dari perasaan malu? Tidak. Tunggu dulu, kalau tidak salah, gadis itu pernah memberitahuku kalau dia adalah salah satu murid dari kelas 2D… itu tidak jauh dari kelasku, kelas 2F… akan lebih baik jika aku pergi kesana. Memarahinya secara terang-terangan. Ya. Aku akan keluar dari kelas ini dan menemuinya…
Kususuri lorong itu lagi, kuperhatikan setiap orang yang tersenyum dan tertawa ketika mereka melihatku. Aku tahu, mereka tengah mentertawaiku sekarang, dan semua itu karena ulah gadis itu… langsung saja aku masuk ke kelas itu. Kelas 2D. yah, dia memang berada disana. Dan seolah tidak merasa berdosa ia tersenyum polos ketika melihatku. Dan aku tengah meledak-ledak. Nafasku tersengal karena emosi. Dan dia hanya tersenyum sambil berkata;
“Gimana? Udah liat komik kamu yang kupajang di mading? Susah banget lho ngerapiin kertas-kertas itu. Tapi akhirnya kupajang juga… hihi..”
“BEERRIISSIIKK!!!”
Kukatakan itu sekuat tenaga. Membuat seluruh perhatian anak dari kelas itu tertuju padaku. Gadis itu terdiam, matanya terbelalak. Dia tampak sangat kaget. Kutarik nafas, kuusahakan agar aku bisa membentaknya tanpa suara yang terlalu keras…
“Ka… kamu… kamu gak punya hak… memajang karya aku kayak  gitu…” ucapku sedikit bergetar.
“Tapi… bukannya kamu sendiri yang bilang kalau komik itu boleh aku ambil?” orang itu masih sempat untuk menjawab.
“Jadi… jadi begitu? Jadi gitu cara kamu berterima kasih atas pemberian aku? Dengan nunjukin ke semua orang kalau karya aku itu jelek… gagal… dan bodoh? Iya? Aku ga nyangka ya… kamu…”
“Tapi maksud aku gak…”
“Itu cuma sampah!! Dan biar itu cuma jadi sampah!!”
“Aku… aku enggak…huu”
Anak perempuan itu menangis. Dasar anak SMP. Mengapa dia begitu cengeng? Ya sudahlah. Setidaknya aku sedikit lega karena bisa memarahinya. Sejenak suasana di kelas tampak tegang. Beberapa preman kelas tampak terusik. Beberapa diantara mereka mencoba menghadangku.
“Mau kemana?” ujar salah satu dari mereka.
“Tolong jangan menghalangi” jawabku.
“Cepet minta maaf…!!” ujar yang lainnya lagi.
“Jangan ikut campur…” jawabku seperti sebuah dialog dalam film laga. Kutatap mereka satu persatu. Kulantangkan suaraku dan berkata;
“Udah pernah ada yang ngeliat bagaimana cara aku berantem? Jadi jangan halangi aku!!”
Kulihat salah satu dari mereka menepuk bahu seorang preman kelas… lalu dia menggelengkan kepala, tanda bahwa itu tidak baik. Barulah mereka memberiku jalan untuk kembali ke kelasku… dari belakang kudengar suara orang yang membicarakanku…
“Jangan macam-macam sama si Lukman, kemarin aku ngeliat dia nyiksa orang dengan menyerang pantat!”
“APA?!” jelas itu suara kaget salah seorang preman kelas tadi. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampaknya bagi mereka aku cukup menakutkan…
Terdiam. Di kelas itu lagi. Aku sadar bahwa apa yang kulakukan tidak menyelesaikan apapun, semua orang sudah terlanjur tahu tentang komik itu. Komik gagal itu. Haaahh… aku harus bagaimana sekarang? Rasanya melihat wajah itu menangis, aku kasihan juga… apa benar semua ini adalah salahnya? Ah, sudahlah tentu saja itu salahnya… kalau saja dia tidak mempublikasikan komik itu di mading, pasti tidak akan ada yang menertawaiku sekarang. Lalu kurasakan seseorang mendekat ke arah mejaku. Pikiranku masih belum fokus ketika orang itu justru muncul disini. Di kelasku. Bukankah dia sedang menangis tadi? Di tangannya kulihat beberapa lembar kertas HVS… ah itu pasti komiku.
“Biarpun kamu lebih suka karya kamu ini menjadi sampah… tapi aku enggak bisa buang ini gitu aja… ini… aku kembaliin ini ke kamu. Terserah mau kamu apain. Aku udah ‘gak mau tahu.”
Kuperhatikan gadis itu. Aku tahu dia mencoba untuk tegar, itu terdengar dari bagaimana ia bicara dengan nafas yang tertahan… lalu setelah menyimpan setiap bagian komik itu di mejaku, dia pun bergegas pergi. Aku merasa bersalah. Kucoba untuk menghentikannya meski hanya dengan sebuah panggilan
“Hey…!!”
Lalu gadis itu menoleh. Menatapku kosong.
“Yang kamu panggil hey ini punya nama. Namanya Farah…”
Farah… bagaimana bisa aku bisa lupa. Farah… nama gadis itu Farah, sementara dia terus melangkah pergi, aku hanya bisa terdiam… kembali ke kelas dengan perasaan campur aduk. Baiklah Lukman, mau apa kamu sekarang…? Haaah… kutatap komik itu lagi, yah, memang wajah putri di komik itu sedikit aneh… seperti monster. Tapi bukan berarti bahwa komik yang kubuat ini tidak menarik. Ah, apa ini? Mengapa aku semakin merasa bersalah karena telah memarahi Farah? Tiba-tiba sekelompok anak muncul mengagetkanku yang tengah merenungi komik tadi. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah : Ajeng and The Geng. Mereka disebut seperti itu karena… tidak karena apa-apa, supaya lebih simpel saja. Mereka terdiri dari enam orang perempuan, bisa dibilang mereka adalah orang-orang yang mau dekat denganku. Perempuan pertama tentu saja Ajeng, dia adalah orang yang paling dikenal disini, hobinya meminjamkan uang pada yang membutuhkan, anak yang baik bukan? Dan Ajeng menerapkan bunga pinjamannya sepuluh persen. Yang kedua Livi, yang ini… ah sudahlah yang ini figuran. Hanya selalu ada dan selalu ikut kemana mereka pergi. Yang ketiga namanya Dameyanti, setidaknya dia sedikit mendekati tipeku, dia seorang yang baik dan sangat tampak seperti wanita (maksudnya?). Yang keempat namanya Nurhayati, yang ini favoritku. Wajahnya cantik, berjilbab, sedikit pendiam dan jujur aku sempat menyukainya. Yang kelima namanya Lia Julianeu, yang ini juga sangat super pendiam tapi kita paling nyambung kalo lagi ngomongin liga Italia. Yap, cewek yang satu ini memang gemar menonton sepakbola… yang terakhir… Iyam. Kalo yang ini sedikit bengkak. Tidak, bukan sedikit… dia adalah definisi dari kata besar… matanya sipit, rambutnya dikepang dua… dan dia… sangat lucu… mungkin dia adalah salah satu makhluk yang paling lucu yang pernah diciptakan…
Keenam perempuan itu menatapku dengan penuh maksud. Ajeng melingkarkan tangannya di leherku. Sementara Livi duduk di sampingku, Dame duduk diatas mejaku, dan Iyam… tampaknya dia mencoba untuk duduk di pangkuanku tapi arrrggghh… beratnya seperti sebuah tanggung jawab. Dan kedua pendiam sisanya hanya mengerubungiku. Kusadari ketampananku membuat wanita ingin selalu berada di sekitarku… lalu kucoba untuk menyingkirkan lengan Ajeng dari leherku. Rasanya sedikit aneh untukku ketika dipegang oleh tangan perempuan…
“Plis ‘jeng, jangan gini… aku gak enak sama temen-temen..”
Namun bukannya menurut pada ucapanku, Ajeng malah melingkarkan tangannya di leherku lebih kuat, kali ini dengan dua tangan… ah, ini sih mencekik namanya…
“Hutang bayar!! udah jatuh tempo nih!!!” serunya sambil melotot.
“Iya… iya… ampun nanti dibayar… pasti kok, lepasin dulu dong…”
“Jangan lupa bunganya!!” tambahnya lagi.
“Iya… iya… ampun, uhuk!!”
Lalu Dame melipat kakinya diatas mejaku, sekilas aku bisa melihat celana dalamnya dari sini. Ups, aku berdosa. Sesaat sebelum akhirnya dia memperhatikan sesuatu…
“Loh apaan nih?”
Itu komikku. Dame meraih komikku dan memperhatikan gambarnya seolah mengingat sesuatu… aku sudah bisa menduganya, Dame pasti teringat film Mak Lampir ketika melihat karakter putri di komik itu, ingin sekali aku merebut semua kertas HVS itu dari tangannya, tapi seekor beruang madu tengah menduduki pahaku sekarang… membuatku tidak berkutik di bangku ini…
“Eh, Dam… jangan diliat…!! Tolong… siniin!” seruku pada Dame.
“Tunggu… rasanya aku pernah liat… ini kan…”
“Itu bukan apa-apa cepet siniin…!! Ugh, Iyam? bisa berdiri dulu ‘gak sih?” ujarku sedikit memaksa, lalu Iyam pun menurut, ia bangkit dari pangkuan pria tampan ini… ia berdiri lalu bersama dengan perempuan yang lainnya mereka berkumpul untuk melihat komik gagalku itu. Kuusahakan semua daya untuk merebutnya, tapi wanita-wanita itu begitu lincah… setidaknya Iyam sanggup menggelinding kesana kemari… dan dari kertas HVS yang jumlahnya 6 lembar… mereka membaginya rata hingga setiap anak mendapat satu lembar… Ah, tidak… mengapa harus begini? Tak lama kemudian mereka menyadari sesuatu dari apa yang dipegangnya…
“Ah…!!” Tiba-tiba Ajeng tersentak…
“Ini kan…” Dame meneruskan…
“Komik yang…” dilanjut oleh Livi…
“Dipajang di mading!!” Nurhayati ikut menambahkan…
“Lukman Di Luar Angkasa… perang antar galaksi… penyelamatan putri kodok…” bagian Iyam yang berkata ini… seolah tidak mau kalah, Lia Julianeu yang pendiam itu juga ikut berkomentar…
“Susunan dramatisnya hampir sama kayak waktu AS Roma melawan AC Milan…!!”
“EEEEHHHH?!” nah yang ini bagian kita semua untuk kaget.
Aku pasrah… mau dibilang putri kodok kek, Grandong, Hulk, Siluman Oncom… aku sudah tidak perduli kritikan itu… mau apa lagi? Aku memang payah dalam menggambar wajah perempuan… jadi silahkan tertawakan aku sekarang, aku tidak perduli… tapi mengapa mereka menatap komiku seserius itu? Mengapa pula Ajeng menatapku seolah keheranan…?
“Jadi kamu yang bikin komik ini?” Ajeng bertanya…
“Ya. Aku yang bikin… kenapa? Kamu mau ketawain, gitu…?”
“Aku selalu pengen ketawa kalau liat ini…” Dame memulai sebuah ejekan…
“Ok…ok aku memang gak berbakat, puas?” ujarku kesal.
“Gak berbakat? Tapi ini lucu banget… aku malah suka…”
Suka? Nurhayati suka? Nurhayati bilang dia suka…? Aku masih tidak percaya…
“Kamu… beneran… suka?” tanyaku berbinar-berbinar…
“Aku suka komiknya… kalau suka sama kamu… aku pikir-pikir deh…”
“Aku gak nyangka kamu bisa bikin cerita parodi sejenius ini…” Tiba-tiba ajeng melingkarkan tangannya lagi di leherku…
“Tapi itu… aku ‘gak…” ujarku tertahan.
“Aku paling suka waktu bagian Lukman jatuh dari pesawat yang meledak… lalu terbang naik upil raksasa… abis itu melawan alien dari planet SMP kejahatan…” Livi memotong
“Atau waktu Lukman mau nolongin putri cantik anak  seorang raja  yang bernama Bapak Guru… hm… ada kemungkinan si putri cantik kena radiasi nuklir sampai wajahnya bisa kayak gitu…”
“Bagian dramatisnya adalah waktu bala bantuan dateng, dan pesawat-pesawat membentuk formasi 4-4-2!!”
Sudah. Entah apa yang mereka katakan, apakah itu pujian atau hinaan… yang jelas itu membuat telingaku cukup panas mendengarnya. Kutatap mata mereka satu persatu…
“Teman-teman… asal kalian tahu… komik ini… BUKANLAH KOMIK PARODI…!! KOMIK ITU ADALAH KOMIK FIKSI ILMIAH YANG DIGABUNG DENGAN ACTION!!”
Mendengar itu mereka semua terdiam, hening. Sampai akhirnya Dame menutup mulutnya menahan tawa…
“Ppff..! Kamu bercanda kan? masa…?
Kutatap mata Dame. Tidak ada canda di mataku.
“Serius…?”
Kuanggukan kepalaku dan mereka benar-benar membeku.
“Aku enggak ngerti cara kamu berpikir… maksud aku, liat ini… para alien yang menaiki piring terbang ini… kamu bahkan menggambar piring yang benar-benar bisa terbang!! Dan alien-alien itu bisa naik diatasnya! Bukannya itu lucu…?” Ajeng menambahkan.
“Itu sama sekali tidak lucu… pesawat itu dirancang demikian agar lebih efektif mengendarainya, tanpa pintu… tanpa atap… sangat aerodinamis…!” jawabku menjelaskan. Kulihat Ajeng menghisap nafas…
“Ok. Anggap aja itu serius. Yang jelas yang ngurus mading itu pasti berpikir kalau karya kamu itu sangat lucu dan menarik sampai dia mau masukin itu ke mading… meskipun jika ia tahu bahwa itu adalah cerita non-parodi, mungkin dia akan berpikir kalau imajinasimu sedikit… aneh. kalau gitu, ya sudah kita pergi… kita bakalan temui kamu lagi, kalau kamu sudah punya uang buat bayar hutang… ayo kawan-kawan, kita caw.”
Layaknya perintah dari seorang komandan pasukan, mereka menurut dan mengikuti Ajeng keluar kelas… meninggalkanku dan lembaran kertas komik miliku. Meski sekejap, aku mulai terpikir dengan kata-kata Ajeng, bagaimana jika apa yang dia ucapkan itu benar? Bagaimana jika sejak awal Farah memang berniat baik? Bukankah dia adalah anak yang memang menghargai karyaku? Mengapa aku harus berpikir buruk tentang niatnya? Jangan-jangan selama ini memang aku yang salah… aku yang berpikir negatif terhadap niatnya… terlebih lagi aku berpikiran negatif terhadap karyaku sendiri… TIDAAAK!!! Dari tadi aku berpikir bahwa Farah memajang komik ini di mading dengan tujuan menjatuhkanku… merusak nama baikku sebagai seorang komikus muda, menunjukan kelemahanku pada semua orang tentang aku yang tidak bisa menggambar wajah perempuan… padahal… jangan-jangan karyaku ini memang sebuah karya jenius! Dan Farah ingin agar semua orang tahu tentang kejeniusanku… oh tentu saja… seseorang sepertiku pasti memiliki bakat terpendam dalam hal menggambar… dan Farah menyadarinya… HAHAHAHAHAHA… aku juga memang sudah merasa kalau aku adalah seorang seniman yang jenius! Mungkin mading hanyalah awal, setelah ini mungkin komikku akan dikontrak oleh penerbit, lalu diterbitkan dan menjadi sebuah serial, terbit setiap bulan… dan karena begitu banyak penggemar ceritaku, maka kisah komik itu akan diangkat ke layar lebar dalam bentuk film animasi… tapi itu tidak cukup, jadi munculah versi live-actionnya! Dan dalam hal ini aktor yang paling tepat untuk memerankan tokoh Lukman adalah aku sendiri, setelah itu industri memaksa untuk mengangkatnya ke dalam bentuk sinetron kejar tayang… lalu aku semakin sibuk dan namaku menjadi semakin terkenal… terkenal sampai ke mancanegara…!! Hohohoho semua mata akan tertuju padaku saat itu… dan aku juga akan sangat sibuk mengerjakan kisah petualangan lainnya… Lukman Di Gua Tengkorak, Lukman Dan Keong Sakti, Lukman Dan Upil Raksasa… dan masih banyak lagi… baik. Sudah kuputuskan… mulai saat ini aku akan menjadi seorang komikus!
Bodoh. Semakin aku menyadari bahwa tidak ada yang buruk dari sebuah karya… semakin aku sadar bahwa aku telah melakukan kesalahan… mengapa aku harus marah kepada Farah jika dia memang tidak pernah melakukan kesalahan? Terlebih bukankah aku sendiri yang memberikan komik itu untuknya? Dan Farah hanya ingin mempublikasikannya di mading sekolah… apakah itu salah? Mengapa aku begitu kasar dan emosional? Mengapa aku begitu kaku? Mengapa aku harus menutup diriku terlalu banyak? Mengapa aku tidak bisa memiliki banyak teman…? Aku hanya… aku hanya… orang bodoh… meski kutahu bahwa tidak ada satupun pelajaran di sekolah ini yang bisa menyulitkanku… tapi aku merasa bahwa aku orang bodoh… aku hanya dianggap sebagai teman jika musim ujian telah tiba, dan meski aku bukan sosok yang benar-benar menonjol di kelas… maksudku, lihat tempatku berdiri sekarang… kelas 2F… di tempat ini orang yang benar-benar pandai seharusnya diam di kelas 2A atau 2B, karena memang kedua kelas itu terdiri dari anak-anak dengan ranking 1-10 dalam mata pelajaran, diluar itu semua anak-anak akan ditempatkan dalam kelas yang acak… dan aku cukup senang mendapat ranking 11… sejauh ini aku hanya mau maju ke depan jika guruku memang menyuruhnya, aku juga tidak pernah merasa iri ketika melihat orang lain memiliki prestasi… bagiku, aku tidak membutuhkannya. Aku bisa lebih hebat dari saat ini jika aku mau, tapi semua itu tidak menarik. Aku tidak butuh pengakuan siapapun, tidak mengharapkan pujian, tidak ingin lebih baik dari ini, aku sudah cukup puas… bahkan tanpa belajar, aku sudah cukup cerdas. Tapi… mengapa? Aku merasa bahwa ada yang salah, disini aku hanya memiliki satu teman baik dan itu adalah Mulyadi… itu pun karena Mulyadi adalah anak yang sangat aktif mengajaku berbicara, selain itu dia juga temanku semasa SD. Tidak ada alasan mengapa kita tidak berteman… Ajeng and The Geng? Tentu aku tidak akan mengenal mereka jika aku tidak pernah meminjam uang pada Ajeng. Nadine? Meski dia temanku semasa SD dia tidak bernah menyapaku sejak kita masuk SMP. Jadi sejauh ini aku selalu sendirian… membuat benteng untukku sendiri agar tidak dikenali, merasa risih ketika bertemu orang baru, menolak setiap ajakan, menampik semua tawaran, tak ada yang ingin berteman denganku… dan sekarang… Farah tidak mungkin memaafkanku…
Aku akan pergi. Setelah bel pulang berbunyi aku berniat untuk segera pergi meminta maaf. Meski mungkin sikapku tadi menyebalkan… dan meski aku tidak tahu apakah Farah akan memaafkanku atau tidak, tapi… aku akan tetap meminta maaf. Itu harus. Hanya itu yang bisa kulakukan. Setidaknya aku akan mengakui bahwa aku telah berbuat salah… jadi aku akan melakukannya.
Bel pulang berbunyi, segera saja aku beranjak dari mejaku dan keluar kelas meskipun saat itu guruku masih berada di dalam dan ketua kelas belum sempat memimpin doa sebelum pulang… aku langsung pergi, berlari secepat yang bisa kulakukan… menuju kelas 2D… aku berlari seperti kesetanan. Dan ah, itu disana. Kelas 2D. tampaknya pelajaran di kelasnya pun baru berakhir tadi. Aku langsung mencari Farah, lalu kudapati dia sedang berkumpul bersama teman-temannya, tanpa pikir panjang aku langsung berlutut dihadapannya. Ya, aku benar-benar berlutut. Aku tidak pernah tahu bagaimana cara meminta maaf sebelumnya, yang kutahu ini terjadi dalam setiap drama-drama Jepang… mereka berlutut untuk meminta maaf. Dan aku pun melakukannya. Kuturunkan pandanganku kebawah menundukan kepala dan berlutut di hadapannya. Sekejap suasana ramai menjelang pulang sekolah berubah sepi. Semua orang terpaku pada apa yang kulakukan ini, aku tak perduli. Meminta maaf bukanlah hal yang memalukan… jadi segera saja kuucapkan dengan lantang;
“TOLONG…!! Tolong maafkan perbuatan saya tadi…!! Saya mengaku salah… jadi tolong maafkan…!”
Hening. Tak ada satu patah katapun terdengar. Kira-kira 10 detik. Mengapa Farah tidak merespon? Aku terus menundukan kepalaku. Rasanya ingin berlari lalu pulang begitu saja. Tapi tidak, apapun yang terjadi aku harus meminta maaf padanya, kutarik nafas dan kucoba sekali lagi dengan kata-kata yang lebih tegas;
“TO… TOLONG… MAAFKAN!! SAYA… SAYA… AH… TOLONG TERIMA SAYA SEBAGAI TEMAN…!!!”
Akhirnya aku mendengar sebuah tarikan nafas… Farah mungkin akan menjawabnya kali ini. Kunaikan wajahku, mencoba melihat matanya secara langsung __________________________CELAKA.
Ini gawat… wajahku memanas menahan malu… dia berdiri di hadapanku. Tampak tersipu sekaligus bingung… dia… dia bukan Farah… itu Indi. Ternyata yang kudatangi itu Indi dan sekelompok temannya… kelas 2A… lalu dari balik kerumunan muncul Nadine melihatku dengan posisi masih berlutut… ingin rasanya aku meledak dan terbang seperti roket… lalu Nadine menyapaku dengan heran…
“Eh… Lukman? Lagi ngapain?”
Hening. Seluruh tubuhku membeku rasanya. Entah dimana Farah sekarang, yang jelas dia tidak disini dan membiarkan aku terjebak diantara kesalahpahaman dan kebodohan yang kubuat…
“A…A… SSSSSAAA… SSSSASASASSA_______ SSSSAAYYYA SALAH ORANG… MAAPH!!” bodohnya aku mengatakan ini dengan gaya bicara seperti seorang samurai… setelah itu aku pergi layaknya seorang ninja. Segera saja kupacu langkahku seperti kuda yang terbakar… apa ini? Mengapa aku harus bertemu Indi dan mengucapkan kata-kata konyol…? Aku masih berlari, tanpa perduli apa yang berada di hadapanku aku menerjang semuanya begitu saja, yang paling penting adalah keluar dari sekolah ini secepatnya… namun mendadak aku kehilangan kendaliku berlari dan BRUKH!!!
“Awwwhhh…”
“Eh, kamu gak apa-apa? Maaf aku sedikit terburu-buru tadi… lho?”
“Lukman…?”
“Fa… Farah?”
Akhirnya aku menemukannya, meski dalam kondisi yang seperti ini, yah, kita mengalami tabrakan keras tadi. Lalu apa? Aku harus berbuat apa sekarang…? Tidak, kali ini aku tidak ingin berlutut lagi untuk meminta maaf, melakukannya dua kali akan membuatku tampak bodoh…
“Ka… kamu gak apa-apa? Sini aku bantu…” ujarku.
“Gak apa-apa, aku bisa sendiri kok…” Farah pun bangkit sambil mencoba menyapukan debu pada roknya, tampaknya Farah masih risih setelah kejadian tadi siang…
“Oh ya… Fa… Farah…?”
“Hmm…?”
“Ini… aku pikir… aku…”
“Apa?”
“Aku pikir ini… punya… kamu…”
Kukeluarkan semua lembaran komik itu dari tas… Farah masih menatap seolah itu semua tidak berarti… tapi melihat matanya berkedip tidak stabil, aku tahu bahwa sebenarnya dia menginginkannya…
“Kenapa? Bukannya itu udah aku kembaliin ke kamu? Aku bilang aku gak akan peduli sekalipun kamu mau buang itu lagi…” jawabnya.
“Maaf! Aku yang salah! Enggak seharusnya aku bicara kayak gitu di kelas tadi… tapi… aku pengen kamu terima ini… sejak awal aku udah kasiin ini ke kamu… jadi… seharusnya adalah hak kamu untuk memajangnya di mading atau apapun itu…”
“Ga. Kamu yang bener, sekalipun waktu itu kamu kasih ini ke aku, seharusnya aku minta ijin dulu ke kamu waktu aku mau publikasikan…”
“Jadi…”
“Hmmm…”
“Baekan…?”
“Kenapa kamu pikir aku mau baekan sama kamu?”
“Eeh?”
“Aku bercanda. Sejak awal aku gak ada niat buat bikin masalah sama Lukman…”
“Kalo gitu maafin aku… karena udah bentak-bentak kamu tadi… sekarang, kamu mau terima ini?”
“Hmm… ok, aku terima, tapi awas! Sekali lagi kamu hina karya kamu sendiri seperti sampah… aku bakalan bakar karya beserta kamu sendiri hidup-hidup…!!”
“Ah… ma… makasih…!”
Farah pun berlalu. Sejak saat itu aku selalu mengingat kata-katanya, bahwa seburuk apapun karya yang kubuat, apapun itu… aku tidak akan menghakiminya dengan kata yang buruk karena bagiku mungkin karya yang bagus sekalipun akan menjadi sepotong sampah jika kita tidak menghargainya, tidak perduli bagaimana cara orang lain memandangnya… karena setiap pandangan adalah berbeda, tapi tidak akan ada yang bisa berbohong dengan perasaan… dari sini aku belajar bahwa ketika kita melakukan segala sesuatu dengan senang dan perasaan suka cita, maka meskipun itu hanya sekedar coretan di kertas putih… semua itu adalah milik kita bukan? Dari upaya tangan kita sendiri… meski orang melihat itu sebagai lelucon… kita lebih tahu tentang apa yang kita kerjakan… apa yang kita rasakan saat kita mengerjakannya. Jadi setelah kejadian itu aku berjanji bahwa setiap saran dan kritik saja atau bahkan cibiran sekalipun tidak akan membuatku berhenti dan membuang semuanya ke tong sampah… sebaliknya itu akan membantuku untuk lebih berkembang… mengembangkan sayap. Terima kasih… Farah.

cccc

Indi indi indi. Mengapa orang itu selalu ada di sekitarku ya? Apa? Tidak. Bagiku alasan bahwa dia satu SMP denganku bukanlah alasan yang tepat mengapa kita selalu bertemu di sekolah... kupikir ada takdir yang mengikat kita berdua. Lho, iya kan? Bukankah setiap butir kehidupan kita semua telah ditulis dalam takdir? Jadi kupikir meskipun kita satu SMP sekalipun, jika takdir tidak menuliskan bahwa kita akan selalu bertemu di sekolah, mungkin sampai sekarang aku tidak akan melihatnya bukan? Terlebih lagi setiap kali melihatnya aku selalu merasakan sesuatu yang tidak jelas, sesuatu yang campur aduk dan sulit untuk dijelaskan… kupikir hanya satu kata yang bisa menjelaskan itu semua ; itu adalah… KEBENCIANKU PADANYA!
Aku membencinya. Sangat membencinya. Aku membenci gaya bicaranya, aku benci cara dia berjalan, aku benci segala kecentilannya, aku benci untuk melihatnya berada disekitarku. Tapi entah mengapa aku tidak pernah bosan, bahkan cenderung kecanduan… rasanya aku ingin terus melihatnya, meskipun aku benci. Rasanya aku ingin terus berada di sekitarnya dan terus membencinya… apa ini? Perasaan ini? Jangan melawak. Tentu aku tidak menyukainya. Maksudku, orang dewasa selalu berkata bahwa apa yang dirasakan bocah sepertiku adalah sebuah cinta monyet. Tapi memang apa bedanya perasaan cinta yang dimiliki orang dewasa dengan cinta monyet? Bukankah hakekatnya sama saja? Suka. Dulu juga aku pernah menyukai anak perempuan… sejak aku SD malah… tapi tunggu, SD? Bukannya aku juga pernah mencium seorang anak perempuan tetangga pada usiaku masih 3 tahun ya? Tunggu… mungkin aku memang tidak bisa menjelaskan berapa kali dan sejak kapan aku menyukai anak perempuan… tapi aku pernah benar-benar suka pada seorang anak perempuan ketika aku masih SD, namanya Melda. Kulitnya putih, tinggi, paling tinggi untuk anak seusianya, wajahnya seperti penyanyi Jepang favoritku… Utada Hikaru. Dan aku tidak  akan menampik jika aku menyukainya, aku berani untuk mengakui itu padanya, meski saat itu aku hanya bisa menulis secarik surat. Tapi aku benar-benar menyukainya, itu baru kusebut rasa suka. Tapi Indi? Yang benar saja, meski aku tidak pernah bertemu Melda semenjak aku SMP, aku masih merasa bahwa aku masih menyukainya dan jika harus kubandingkan Melda dan Indi itu sama saja dengan membandingkan martabak telor dengan pizza. Tentu saja aku lebih memilih martabak telor! Itu lebih enak di lidahku karena tidak mudah membuatku kenyang, tapi mengapa… meski aku tahu Indi tidak secantik Melda… mengapa… dia tampak menarik ya? Gaya bicaranya yang menyebalkan, seolah semua yang ada adalah miliknya… bagaimana cara dia membawa diri seolah ingin diperhatikan orang dan merasa dirinya paling cantik… dia murid kelas 2A, tentu saja aku tidak percaya bahwa semua anak kelas 2A adalah anak yang pintar apalagi jika harus dikatakan lebih pintar dariku. Itu konyol. Tapi jika benar demikian, bukankah hal yang wajar saja jika aku menyukainya? Tidak. Bukankah sudah kubilang tadi aku membencinya? Aku benci orang yang berlagak. Jika hanya sebuah kelas, hanya untuk masuk kelas A saja itu adalah hal yang mudah. Hanya perlu jadi ranking 1-5 bukan? Sebetulnya itu bukan hal yang sulit, yang paling penting adalah bisa mendekati guru dan mulai aktif di kelas… memiliki otak cerdas tidak begitu penting, yang paling penting adalah bagaimana kita bisa menunjukannya. Baiklah, sekarang aku akan berusaha agar di kelas 3 nanti, aku bisa masuk kelas 3A!
Waktu ujian telah berlalu, banyak anak yang tiba-tiba berubah baik ketika itu, tapi kali ini aku sudah belajar, aku percaya hasilnya akan lebih baik. Dan sekarang adalah saatnya pengumuman kenaikan kelas, aku penasaran akan ada di kelas mana namaku nanti. Kuyakin semua anak di sekolah juga begitu. Di sekolah ini setiap anak akan diperbolehkan masuk kelas  sesuai dengan nama kelas yang tertera pada kertas pengumuman setelah ujian akhir sekolah itu berakhir. Baik! Segera kuterjang kerumunan anak-anak yang masih berdesakan di depan papan pengumuman. Meski tubuhku ini cukup besar, ini tidak menyulitkanku, karena justru dengan tubuh besar ini aku memiliki tenaga yang cukup besar pula untuk menyingkirkan anak-anak yang menghalangi pandanganku dari papan pengumuman. Baiklah, Lukman… kira-kira akan ditempatkan dimana kamu ini? Hhmmm… kuawali untuk melihat jajaran nama di kelas 3B… hm… tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Tapi  lho apa ini? Ajeng? Ajeng masuk kelas 3B? Iyam juga? Lia juga? Sebenarnya aku tidak keberatan jika Lia dan Iyam masuk kelas 3B, mereka kan memang lumayan pintar, tapi Ajeng? Tentu aku ingat sewaktu kelasku, 2F, dan kelas Ajeng, 2G, itu disatukan secara silang ketika ujian. Dan Ajeng, dia teman sebangkuku. Mungkin guru-guru berpikir bahwa dengan menyilang teman sebangku pria dan wanita itu akan mengurangi kejadian menyontek di kelas. Tapi itu salah. Dengan Ajeng yang menjadi teman sebangkuku, aku bagaikan sapi perah contekan… terlebih aku memang tidak bisa menolak untuknya, aku punya hutang yang belum kubayar… ingat? Tapi jika seorang Ajeng yang menyontek padaku saja ada di kelas 3B, bukan mustahil jika aku berada di kelas 3A, ya, aku yakin seperti itu. Baiklah setelah kuamati memang tidak ada namaku di kelas 3B. langsung saja aku beranjak ke jajaran nama kelas 3A. Hmmm… 3A… 3A… 3A… ah! Itu dia! Indi… dia masuk kelas A lagi, ah! Nadine juga! Mereka berdua… memang benar-benar… tapi… dimana namaku ya…hmm… biar kulihat dulu… hmmm…  ya… ya… ya… YA? Tidak. Ini tidak mungkin. Pasti ada kesalahan. Kenapa namaku tidak ada? Mungkin terlewat, biar kulihat lagi… tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. TIDAK ADAA!! Kenapa? Kenapa tidak ada? Padahal… padahal… ah. Sial. Lalu ditempatkan dimana aku ini? Kulihat jajaran nama kelas 3C… Tidak ada… jajaran nama kelas 3D… tidak ada juga… kelas 3E… disini juga tidak ada…!! 3F… tidak ada namaku disini!… 3G… juga tidak ada…!! Lalu pasti ada di 3H… TIDAAAKKK ADAAA!! Tunggu… 3I? bukankah itu kelas terakhir? Jika namaku tidak ada di kelas itu, itu artinya aku tidak naik kelas bukan? Baiklah… 3I… 3I… ah! Ada! Namaku ada! Fiuh syukurlah akhirnya namaku ada juga… HEEEEE__________EEEEHHHH?? 3I? aku ada di kelas 3I dan bukan kelas 3A?!! apa ini… biar kulihat… ah, benar dugaanku… kelas ini… kelas ini… adalah kelas kumpulan para preman, kumpulan anak-anak yang sering dihukum dan dipanggil ke ruang BP… kenapa… kenapa… aku bisa masuk kelas ini? TIDAAAAAKKK!!!
Entah apa yang menyebabkanku ditempatkan di kelas 3I, mungkin aku akan menanyakannya pada wali kelasku yang baru nanti. Fiuh, rasanya jadi menyebalkan juga, mungkin sejak awal urusan pembagian kelas ini hanyalah omong kosong. Manusia tidak akan bisa berkembang dengan pola pendidikan yang seperti ini… Haaahh… mengapa kehidupanku di SMP ini terasa lebih menyebalkan lagi ya? Setelah kupikir-pikir, memang selama aku sekolah disini, tidak ada yang menarik yang bisa kudapatkan… sehari-hari hanya mempelajari hal-hal yang monoton, dihukum oleh guruku karena tidak mampu membayar buku, ditampar, keliling lapangan 20 putaran, jalan bebek sepanjang lorong… hanya karena alasan materi… jika bukan karena Ajeng yang selalu meminjamkan aku uang, mungkin sampai saat ini hukuman semacam itu masih kurasakan. Hukuman yang tidak sepantasnya sekolah ini beri untuk anak didiknya, itulah kenapa aku benci belajar di sekolah ini. Aku tidak tertarik untuk tampil menonjol di tempat ini. Hanya mengikuti arus, belajar. Jika bukan karena orang tuaku yang menginginkannya, aku lebih baik berhenti dan membunuh satu persatu guru yang ada disini dan berkata bahwa mereka tidak pantas mengajar untuku. Mereka terlalu bodoh. Hah. Emosi mematikan, lebih baik kukubur saja semua itu sampai… lho? Itu… bukannya itu Indi? Lagi-lagi bersama Nadine, tapi mengapa kali ini wajahnya tampak murung ya? Entah apa yang menjadi masalah baginya. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan. Sudahlah lebih baik aku pulang saja, mencari sedikit ketenangan dan tidur di rumah.
Kalapa Caheum-Aceh. Begitulah kira-kira tulisan yang tertera pada angkot yang nantinya mengantarku pulang. Tapi sampai detik ini aku tidak melihat angkot itu muncul… ya sudahlah aku akan menunggu. Sial. Lama juga. Sebenarnya selain angkot yang tadi kusebutkan, masih ada satu angkot yang bisa mengantarku pulang… kalau tidak salah itu jurusan Stasiun-Sadang Serang… tapi angkot itu memiliki jalur trek yang lebih jauh… dan tentu saja jarak akan berpengaruh pada ongkos… ah masa bodoh, yang penting aku pulang… dan begitu angkot jurusan Stasiun-Sadang Serang muncul, aku langsung naik… tidak berapa lama langkah-langkah kecil menghentikan angkot itu pula, seseorang naik… ah. Itu Indi. Lagi-lagi, mengapa disaat aku sekesal ini aku justru harus melihat wajahnya lebih dekat… aku membencinya, sangat membencinya… entah perasaan benci itu muncul darimana, tapi aku bisa merasakannya… mungkin kelak di masa depan nanti, aku bisa mengerti mengapa aku harus membencinya…

ccccc

Suara dering sms. Menghentikan lamunan tentang arogansiku semasa aku masih bersekolah dulu, semua itu hanya masa lalu sekarang. Kuraih handphone. Kudapati sebuah pesan, pesan yang menghubungkanku kembali dengan masa lalu… pesan dari orang yang mampu membangkitkan kenangan pahit meski aku tengah bahagia sekalipun.

Maafin aku.

Pengirim : Bango Tong-tong

16/09/2010
14;32;25

Bango Tong-tong. Tidak, lebih baik kupanggil dia Indi. Tidak sepantasnya aku memanggilnya dengan sebutan hewan, meskipun itu adalah hewan langka yang dilindungi… hm, mengingat masa-masa SMP-ku dulu rasanya sedikit lucu, mungkin saat itu begitu banyak kebencian yang kurasakan, tapi jujur saja tanpa adanya orang-orang menyebalkan di masa lalu, aku pastilah tidak akan seperti sekarang, tidak akan sekuat ini. Tidak akan pernah takut untuk bermimpi. Kupikir memang tidak ada balas dendam yang paling baik selain memaafkan, jikalau memang sulit untuk melupakannya,  mengapa tidak kita mengingat itu semua sebagai kenangan yang indah saja? Meskipun kita tahu bahwa apa yang terjadi tidak seindah itu, tapi setidaknya aku tahu bahwa aku telah mengalami banyak perkembangan sekarang… mungkin tidak cukup untuk membuatku puas… aku butuh lebih dari ini, agar orang-orang yang selalu kuanggap menyebalkan di masa lalu itu tidak sia-sia untuk hadir membesarkan hati seorang aku.
Kunyalakan televisiku, berharap ada sedikit perubahan pada dunia luar… tiba-tiba aku tertarik pada sebuah berita tentang pendidikan, sebuah berita yang menyiarkan tentang sebuah kasus kekerasan pada siswa oleh gurunya di sebuah sekolah, kejadian tersebut diketahui ketika salah satu saksi yang merupakan siswa merekam kejadian tersebut melalui kamera handphone dan menyebarkannya sehingga pada akhirnya banyak yang datang ke sekolah untuk menuntut, pada saat itu sebenarnya siswa itu telah melakukan kesalahan karena ribut di kelas. Aku terdiam melihat berita itu, sungguh malang sang guru. Jika kulihat masa laluku, mungkin aku bisa berpendapat bahwa generasi muda saat ini begitu lemah sampai-sampai sebuah tamparan harus diketahui orang banyak. Atau bisa kukatakan bahwa dengan teknologi informasi yang berkembang pesat saat ini, para pelajar mampu menggunakan otak mereka dan pandai untuk membalas dendam… Hahahaha, aku hanya tertawa di atas ironi, ya aku tahu rasanya. Mungkin seperti itulah dunia luar sekarang, mungkin seperti itulah wajah pendidikan di negeri ini, seperti itulah generasi konsumer, selamat datang dunia nyata… selamat datang kapitalisme.
Kumatikan televisi itu lagi. Terlalu banyak keresahan yang harus kutanggung hanya karena melihatnya. Akan seperti apa hari esok? Aku tak tahu. Kamar ini menjanjikanku ketenangan. Di kamar ini aku buta, di kamar ini aku tuli, di kamar ini aku membisu. Mungkin benar dunia luar terlalu menakutkan. Kutatap handphoneku. Indi, sedang apa kau sekarang? Benarkah kau akan mengingatku seperti aku mengingatmu kini? Di bumi ini langkahku terasa begitu berat berjuang sendiri. Meski kutahu aku tidak mungkin berpaling untuk meraihmu. Lantas akan kemana bumi berputar membawaku? Akankah sesejuk pagi, secerah siang, seindah sore atau segelap malam? Kamarku. Kamar ini. Kamar ini merupakan bumi kedua bagiku, berpenghuni seorang lelaki dan bayangan seorang wanita. Diantara beribu keresahan di dunia… aku merasakan detak jantungnya.


[1] Grandong : tokoh dalam cerita misteri gunung merapi.
[2] Sebutan untuk tokoh-tokoh superhero dari  jepang seperti kamen rider, uchu keiji (jiban, gaban, goban) atau ninpuu sentai (power rangers)