Translate

Sabtu, 19 Oktober 2013

Serial Alam Lukman: Yellow Sky Bab 8


Bab 8

(Flashback Bag.3)
Logam.

Aku pulang. Seperti biasa ibuku menyambut hangat dan seperti biasa aku harus menyembunyikan segala yang kurasakan di sekolah. Menjadi anak yang baik. Semua yang berkaitan dengan pak Sofyan, hal-hal yang membuatku marah, tentang Farah, Indi... semua harus sirna ketika aku menghadapi ibu. Beliau hanya cukup tahu bahwa aku selalu lulus di setiap latihan ujian yang diberikan sekolah. Dan yang ibuku tidak tahu adalah bahwa di kelas itu aku satu-satunya murid yang lulus. Dan ini sudah saatnya aku makan. Kuambil piring dan mengisinya dengan nasi. Memilih beberapa lauk pauk, lalu membawa semuanya kedalam kamar. Kuputar sebuah lagu dari U2, berjudul Stuck In The Moment. Haaahh... lega rasanya.
Malam menjemputku dengan hangat. Aku berbaring di ranjang dengan langit-langit kamar sebagai satu-satunya arah yang kulihat.  Ingatan kejadian siang tadi membuatku tidak sanggup memejamkan mata. Farah berkata dia menyukaiku. Tapi aku baru saja memulai rencanaku mendekati Indi. Sebenarnya ini tidak rumit, aku tidak perlu memberikan respon apapun pada Farah, di sisi lain aku juga tidak memiliki rencana lebih jauh dengan Indi. Mengenalnya secara perlahan itu sudah cukup, memperhatikannya dari jauh tanpa harus mengusiknya. Dengan begitu aku tidak perlu mengatakan padanya hal-hal konyol seperti yang dilakukan Farah padaku. Ah, tapi bukan berarti ini tidak mengganggu pikiranku. Perlahan aku bangkit, kulihat jam, sudah jam setengah 12 malam. Aku keluar dari kamar, melangkah ke ruang tengah rumahku. Suara dengkuran terdengar disana-sini. Kumatikan televisi bergambar runyam tanpa penonton. Lalu mengendap-endap memasuki sebuah kamar. Kamar kakakku. Benar dugaan, Eza sudah tidak sadarkan diri. Perlahan namun pasti, kuambil handphone yang tersembunyi dibalik bantalnya. Kututup pintu dan kembali ke kamar. Ok, misi selesai.
Akhirnya aku mendapatkan handphone ini lagi. Baik, salah sendiri sudah membuatku tidak bisa tidur malam ini, jadi biar kuganggu Indi sekali lagi... tapi... apa ini? Tertulis di handphone ini 1 pesan diterima? Hmm... tampaknya ada SMS yang masuk dan kakakku Eza belum sempat membacanya... haruskah aku membukanya? Siapa tahu saja kan itu adalah SMS dari Indi, balasan dari MMS-ku kemarin malam... tapi jika benar begitu aku harus bagaimana? Ah, tapi mungkin saja itu adalah SMS dari orang lain, mungkin itu teman kakak. Haaah... membuatku penasaran saja. Kuhitung jumlah kancingku. Kubuka. Tidak. Kubuka. Tidak. Kubuka. Tidak. Kubuka. Tidak... tidak? ah, sudahlah kubuka saja...
Kulihat nomor itu... 081572034814. Tidak salah lagi, ini nomor handphone Indi. Bagaimana ini? Rasanya jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya... ah, kubaca...

Siapa ini? Tolong jangan bikin indi bingung
.......
Pengirim ; 081572034814

29/04/2005
21;55;26

Dia menanyakan siapa aku... Indi bertanya siapa aku... entahlah, meski ini tidak seberapa penting, tapi mengetahui dia ingin tahu identitasku rasanya sangat indah, ini adalah kali pertama dia bertanya padaku, meski dengan cara seperti ini... tapi aku suka. Aku suka mengetahui dia tengah penasaran... harus kubalas... harus kubalas...
                                    
apalah arti dari sebuah nama? Aku hanya
partikel kecil dari  dunia yang kau lihat...
namun bahkan planet yang kita injak ini juga
berasal dari sebuah debu bukan? Aku hanya
seseorang yang ingin menjadi penting untukmu.
layaknya tanah yang kau pijak saat ini.

Ah. Apakah itu terlalu berlebihan untuk anak kelas 3 SMP? Tidak, kuyakin orang dewasa juga tidak akan mampu membuat rayuan menjijikan semacam itu, hehehe... tapi aku yakin kalau kali ini kata-kataku ini jauh lebih menyentuh ketimbang pesan MMS yang kukirim pertama kali... ah, sudahlah... langsung saja kukirim. Fiuh. Sekarang aku lebih tenang, hari bertambah larut. Besok sekolah pagi dan aku harus tidur...
Pagi yang cerah, udara yang menyegarkan... sinar matahari hangat keluar dari sela-sela jendela, suara kicau burung yang menari-nari diatas kawat-kawat tiang listrik ikut menghantar hari. Semua orang di rumahku tampak begitu sibuk dan riuh, tampaknya mereka semua bersemangat sekali pagi ini. Kakakku Eza masih meracau menanyakan dimana handphonenya kepada ibu. Tapi ibuku tampak tidak begitu perduli, beliau lebih fokus mempersiapkan sarapan. Ah. Pagi yang indah. Disini, selimut terasa begitu lembut dan hangat. Seolah aku ingin menghabiskan waktuku selamanya disini_________________________________________________________________________ sial. Aku kesiangan.
Kubanting bantal gulingku dan menghempas selimut itu. Ini sudah jam 7 pagi dan seharusnya aku sudah ada di sekolah sekarang. Langsung saja aku bangkit dari ranjang, namun tiba-tiba kurasakan aku menginjak sesuatu. Ah apa ini? Ternyata sebuah handphone... oh aku ingat sekarang, aku belum mengembalikan handphone ini ke kamar Eza, biar kukembalikan sekarang saja... tapi... kulihat ada SMS masuk... dan itu dari Indi...

Sebenernya indi juga tahu nama kamu lukman,
tapi lukman yang mana indi enggak tahu
indi juga enggak ngerti maksud sms kamu itu apa

Pengirim ; 081572034814
                                 
30/04/2005
05;30;12

Apa? Apa aku tidak salah baca...? Indi tahu siapa namaku yang sesungguhnya? Tapi siapa? Siapa yang memberitahu Indi? Aku terpaku. Segera kuhapus semua SMS dari Indi dan memberikan Handphone itu pada Kakakku.
“Eh... ini dia, dari tadi dicariin! Lain kali bilang-bilang dong kalau ngambil handphone!”
“...” (aku terdiam)
“EEH malah nyelonong gitu aja, bukannya minta maaf...”
“Eza! Udah jangan gangguin Lukman, nanti makin telat lagi...” ibuku mengingatkan.
“Abisnya Mah... abisnya... dia...”
“Udaah...!!” timpal ibuku.
“...”
Aku langsung beranjak ke kamar mandi dengan pikiran kosong, bagaimana ini, apa yang harus kulakukan jika Indi telah benar-benar tahu siapa aku, pengirim MMS iseng itu... sejauh ini yang ia tahu hanya namaku, tapi dia tidak tahu siapa aku dan seperti apa rupaku. Baru selesai aku menyikat gigi, ide baru langsung muncul dan membuatku keluar dari kamar mandi.
“Mah!”
“Ya nak?”
“Hari ini Lukman enggak mau masuk sekolah!”
“...”
“Kalo bisa besok lusa Lukman pengen pindah sekolah ‘Mah!”
“...”
Hari ini. Pukul 07.30 dan aku masih disini, membanjiri tubuhku dengan keringat. Di sekolah busuk ini, ah, masih tersisa 12 putaran lagi. Semua ini karena Indi. Kalau dia tidak membuatku insomnia tadi malam, aku tidak perlu menjalani hukuman konyol ini... lari 25 putaran lapangan sekolah karena telat, lagipula mengapa ibuku tidak mengijinkan aku untuk bolos saja sih? Ah, sudahlah.
Lelah juga, seluruh pakaian seragamku basah oleh keringat sekarang, andai saja ada yang mau memberi aku... ah... bukankah itu... Farah... melihat ke arahku, mungkin dari tadi dia melihatku dari kelasnya, tapi apa yang digenggamnya itu? Aku tahu benda itu, sesuatu yang sangat kuinginkan... minuman isotonik... dan sebagai pemuja rahasiaku di sekolah ini, aku sudah bisa menduga kalau dia akan...
Farah tersenyum, kubalas senyum itu dengan penuh harap. Akhirnya Farah mulai membuka tutup botol minuman isotonik itu, ah ini dia... pasti sangat menyegarkan... lalu dia meminumnya! Dia meminumnya begitu saja dihadapanku yang tengah dehidrasi! Entah makhluk jenis apa dia, tapi dia sanggup menghabiskan satu botol minuman itu sekaligus. Tak bersisa. Dan kulihat tetes terakhir dari minuman itu lolos dari bibirnya dan mengalir melalui leher menuju pakaian seragamnya... dan dengan sebelah lengannya ia basuh tetesan air itu seraya melirik ke arahku... “Aaaahh...” hanya desahan itu yang ia sisakan untuku, lalu ia pergi. Glek. Aku menelan liurku sendiri. Dasar raja tega. Akhirnya aku kembali ke kelas, menghadapi berbagai cercaan dan ejekan teman sekelas. Dan begitu aku duduk, guruku langsung berdiri dan keluar kelas, ternyata jam pelajarannya telah selesai...  setelah itu kelas mulai riuh kembali. Tiba-tiba Dani temanku itu mulai mendekati bangkuku seraya berkata;
“Ada sesuatu yang pengen aku omongin...”
“Nanti aja, sekarang aku pengen tidur...” ujarku seraya terus  terlelap.
Bel istirahat berbunyi, Dani membangunkanku. Dicoleknya lenganku yang kujadikan bantal sandaran kepalaku di meja.
“Hei... Lukman... Lukman... udah istirahat nih... bangun”
“Males ah... ngantuk banget ‘Dan... kamu jajan sendiri aja sana...”
“bukannya gitu, ada yang mau kuomongin nih... soal si Indi...”
“Anggap aja aku denger...”
“Kemarin Indi nanyain dan nunjukin nomor handphone pengirim MMS waktu itu dan waktu kulihat ternyata nomor itu... ‘Man masih dengerin kan?”
“HOAHM... ya lanjutin aja... ngantuk banget sumpah”
“Kulanjut nih ya... jadi waktu kuliat ternyata itu nomor yang aku kenal... itu nomor handphone kakakmu... tapi karena enggak mungkin si teteh Eza yang ngirim MMS, jadi kubilang saja MMS itu dari kamu...”
“...”
“Lukman? Kamu masih dengerin kan? Aku minta maaf sebelumnya soalnya aku juga tahu kalau kamu diem-diem suka sama dia...”
“Terus...?”
“Kamu enggak marah kan?”
“Ngapain aku marah?”
“Sukur deh... fiouh... jadi kubilang aja kalau kamu sebenernya udah lama suka sama Indi, kubilang kalau kamu enggak bisa makan, enggak bisa tidur cuma karena mikirin dia... hehe, sebetulnya aku ngarang sih, tapi dengan begitu kamu bisa tenang sekarang...”
“...”
“Kamu enggak marah kan?”
“...”
“Lukman?”
“...”
Segera saja aku bangkit dari tidurku, kutarik kerah baju Dani sekuat tenaga.
“JADI DIA TAHU SIAPA AKU KARENA KAMU YANG BILANG KE DIA?”
“I... iya ‘man, tapi tolong jangan marah... ini buat kamu juga...”
“Diem disini, jangan kemana-mana!!!”
“Ka... kamu mau ngapain ‘man?”
“Aku cuma mau bilang...”
Kuangkat sebuah bangku kayu di kelas...
“TERIMA KASIH...!!!” kulempar bangku kayu itu ke arah Dani, Dani berhasil mengelak dan berlari keluar kelas...
“So... sory man... aku enggak punya maksud buat...”
“AKU BUNUH KAMU.........!!!!!!”
Kukejar ia menuju lorong seraya membawa satu buah bangku kayu lagi, setiap kali ia mencoba menjelaskan, kulemparkan satu buah bangku kayu ke arahnya. Tidak ada bangku kayu maka tong sampah pun jadi, akhirnya kulempar setiap tong sampah yang kutemui disepanjang lorong itu beserta isinya ke arah Dani. Dani masih panik dan berlari. Ya, Dani tidak sepertiku yang berbadan besar, meski ia bertubuh tinggi, dengan tubuh sekurus itu ia selalu saja sanggup untuk bergerak lincah kesana kemari. Keadaan lorong kelas tampak sangat kacau... semua sampah berserakan karena aksi kami berdua, sebelum akhirnya aku terjatuh karena didorong oleh seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Orang itu bertubuh besar, dan dibelakangnya teman-temannya mengikutinya.
Aku kenal orang ini, dulu dia pernah menghalangiku untuk keluar dari pintu kelas Farah sewaktu aku kelas 2 dulu. Dia adalah salah satu preman kelas di sekolah ini. Dan entah apa alasannya mendorongku sebegitu keras sampai aku tersungkur seperti ini. Dani menoleh, ia berhenti berlari. Orang bertubuh besar itu melihatku dengan tatapan nyinyir...
“Lagi-lagi kamu... bukannya aku udah peringatin kamu sebelumnya?” ujar orang itu.
Kudongakan kepalaku. menatapnya dengan kosong, kemudian bangkit seraya mencoba menyapu debu-debu di celanaku dengan kedua lengan. Baru saja aku hendak mendekati Dani kembali, lengan besar orang itu kembali menahan bahuku.
“Saya belum selesai bicara...”
“Hm? Apa ada perlu?” aku mencoba berbicara dingin.
“Hehehe, kamu bahkan enggak perduli dengan siapa kamu bicara ya? Bukannya udah saya ingetin, siapapun enggak saya ijinin bikin Farah menangis sampai seperti ini...”
Entah mengapa mendengar nama Farah diucapkan, aku langsung naik darah... kuhempas lengan itu dari bahuku. Seraya menatapnya dengan tajam...
“Jadi kamu ini siapanya Farah?” tanyaku geram...
“Hehe... saya memang bukan kakaknya tapi kamu boleh anggap saya sebagai orang yang paling mengerti Farah... yah, hanya sekedar teman yang...”
Belum selesai dia berbicara, aku sudah lebih dulu memotong kata-kata itu dengan mengirim tinju ke wajahnya.
“Maka dari itu. Lebih baik kamu enggak sok perhatian!”
Entah apa maksud dari perkataanku itu. Tapi aku benar-benar mengatakannya. Aku melakukan itu seolah aku adalah jagoan dalam film-film kartun remaja.
Orang itu tersungkur, Dani yang tadinya selalu lari kini malah mendekat seraya menepuk bahuku seolah peduli.
“Kamu enggak apa-apa ‘Man?”
Aku terdiam. Semua anak keluar kelas, lorong kelas menjadi riuh, orang bertubuh besar itu bangkit dan menatapku dengan tatapan kesal.
“Awas! Liat aja kamu nanti!” ancam orang itu seraya pergi berlalu diikuti teman-temannya.
Anak-anak yang tidak sempat melihat kejadiannya terus meracau sekenanya, seolah apa yang terjadi tadi begitu penting.
“Kamu liat kejadiannya enggak?” ujar salah satunya
“Tadi si Lukman baru aja ngehajar bos kelas 3-C!!”
“Wah yang bener? Terus terus?” yang lain ikut penasaran.
“Yah waktu si bos kelas 3-C itu ngeluarin jurus Naga meliuk-liuk mencari makan, si Lukman ngehalau jurus itu pake jurus...”
“Jurus... jurus apa?”
“Euh itu... itu jurus... ah iya, jurus badai topan di bulan mei... itu nama jurusnya”
“Oh... terus... semua bangku sama tong sampah yang berserakan ini kenapa?”
“Ah iya, itu pasti akibat langsung dari jurusnya!”
“Hmmm... ngeri juga ya...”
“Ya sudah. Lebih baik kita masuk kelas lagi, kita kan belum beres kerjain PR!”
Tokoh-tokoh figuran. Begitulah pikirku mengenai orang-orang tadi, aku kembali ke kelas dengan perasaan kosong. Berulang kali Dani meminta maaf padaku tentang Indi, tapi aku tidak menghiraukannya, kali ini yang menjadi keresahanku justru kata-kata orang bertubuh besar tadi yang menyebutkan bahwa Farah tengah menangis... dan karena orang tadi menuduhku sebagai pemicunya, pikiranku jadi semakin tak karuan.
Waktu berlalu. Kelas dan pelajarannya sudah lama usai. Seperti biasa aku berjalan pulang dengan lunglai dan seperti biasa, sendirian. Sekarang aku sadar bahwa aku selalu iri pada Indi. Dia selalu menciptakan lingkungan seolah dia magnet bagi para sahabatnya, tidak sepertiku yang selalu menolak setiap ajakan dan tawaran orang-orang yang mendekat. Bahkan jika itu ajakan untuk berteman. Sebenarnya aku bukan seorang introvert, dalam sudut hatiku yang terdalam aku pun ingin diperhatikan, aku ingin mendominasi setiap percakapan, dikenal semua orang meski aku tidak selalu mengenalnya. Aku ingin menjadi sosok seperti itu. Tapi apa? Kenyataannya tak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku. Ada dan tidak adanya aku sama sekali tidak penting, itu karena aku sendiri yang memilih untuk menjadi seperti ini. Tidak dikenal, tidak disadari dan aku bisa merasa damai. Tapi_______________entah mengapa tidak membuatku bahagia.
Sejenak aku mulai sadar dengan langkahku, ternyata di hadapanku Indi dan kawan-kawannya tengah berkumpul. Sayang aku tidak sempat lagi untuk merasa malu. Itu karena aku sedang tidak berada dalam mood itu. Jadi tanpa perasaan dan kebekuan yang pasti,  aku melintas begitu saja. Dan tepat dugaan, dari respon yang kulihat dari Indi dan kawan-kawannya, jelas terasa bahwa kabar tentang aku yang diam-diam menyukai Indi itu sudah tersebar luas. Dani. Andai saja dia tidak ikut campur.
Anak-anak perempuan kelas 3-A itu terus berceloteh kepada Indi tentangku. Dan mereka berisik sekali.
“AAAAAAADDDDDEEEEEEEUUUUUUUUUHHHHHHH...”
“Lukmaan... ini Indinya udah ada... kok enggak disapa?”
“Cieee......... cieee....”
“Lukman........... sombong ni ye...”
“Katanya sssssssuuuuuukkkkkkkaaaaaaaa!!!!!!!”
Sial. Kupercepat gerak langkahku. Aku adalah seorang pria keren, cool, pikirku. Dan aku akan berlaku sedingin ini, sejutek ini untuk menghadapi mereka. Terlebih Indi sama sekali tidak berucap sepatah katapun saat melihatku, jadi lebih baik begini saja. Tetap tenang dan menjadi pria yang kalem. Dan jika saat ini wajahku tampak merah anggap saja itu tak ada hubungannya.
Tiba-tiba aku tersentak. Ada sesuatu yang membuat aku terhenti dan itu adalah... Farah. Meski sebenarnya aku hanya melihat bagian punggungnya saja, tapi aku yakin bahwa gadis yang berjalan dihadapanku itu adalah Farah. Itu karena aku tahu betul bagaimana cara kaki-kaki mungil itu biasa melangkah, atau bagaimana cara angin musim panas yang menyambutnya dengan guguran daun-daun kering... selain juga karena aku bisa melihat tasnya yang memiliki sulaman berbentuk huruf bertuliskan Farah. Sekarang aku yakin itu pasti dia.
Sejenak aku menoleh ke belakang, kulihat Indi dengan tatapan sinis. Entah apa yang kupikirkan, tapi tiba-tiba aku ingin memanggil nama itu...
“Farah!!” ini kali pertama aku memanggilnya seperti ini.
Farah tidak menggubris. Dia terus saja berjalan.
“Farah...!!” aku memanggilnya lagi, kali ini dengan setengah berteriak... tapi Farah terus berlalu. Aneh, apa ada sesuatu yang menyumbat telinganya ya? Sekali lagi, kali ini aku benar-benar berteriak...
“FAARAAAHHH!!!!”
Setelah kusadari bahwa Farah tampak mempercepat gerak langkahnya, barulah aku tahu ada sesuatu... sesuatu yang membuatnya tidak ingin bertemu denganku. Tapi akupun tidak mau berhenti, jadi kukejar saja, sayangnya Farah juga sedikit berlari sekarang... dan... BRRUUK!! Farah terjatuh.
“Aduuuuuhh...” Farah meringis.
Tadinya aku ingin tertawa, tapi aku tidak tega. Ah, tapi sekarang Farah menoleh, dia menatapku... tapi ada apa dengan tatapan itu? Itu tatapan kekesalan, dan air matanya mulai berlinang... ingin sekali aku membantunya berdiri tapi Farah sudah lebih dulu bangkit. Jadi tidak ada cara lain selain mengejarnya lagi sekuat tenaga... dan akhirnya aku bisa meraihnya. Kutarik lengannya dengan kasar, itu karena aku tidak pernah tahu bagaimana cara memegang lengan perempuan sebelumnya... Farah tampak terkejut.
“Dari tadi aku panggil, kenapa enggak mau nunggu sih?” ujarku. Farah malah memalingkan wajah.
“Kamu mau apa?” Farah bertanya dengan nada dingin.
Aku bingung bagaimana menjawabnya. Aku tidak punya motivasi. Farah menepis tanganku, mencoba untuk menjauh.
“Lepas! Aku mau pulang!”
“Tunggu... Farah...”
“Ada apa? Kalau ada perlu, cepet beresin sekarang.”
Please, bisa kita duduk dulu disana?” ujarku seraya menunjuk sebuah dudukan pada sebuah toko yang selalu tertutup. Ya, itu tempat nongkrong favoritku dan anak-anak yang kusebut ‘blok kegelapan’ dan untunglah mereka sedang tidak ada disini. Farah menurut, akhirnya dia mau juga kuminta untuk duduk.
“Kamu mau apa sih?”
“Sebentar...” ujarku seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku.
“Apa itu?” tampaknya Farah pun penasaran, sama seperti pembaca.
“Ini es teh” jawabku.
“Maksud saya itu buat apa?”
“Euh... maaf apa aku boleh...??” lalu aku sedikit berjongkok dihadapannya, posisi dudukku dengan Farah kini tampak seperti tukang semir sepatu dan kliennya.
“E... eh kamu mau apa?” Farah tampak panik.
“Udah diem...”
Perlahan kubuka sepatu dan kaos kaki itu... (hm... kira-kira sebau apa itu ya?)
“Kaki kamu wangi...”
“Iiih kok dibuka sih? Kamu mau ngapain sebenernya??”
Lalu kuambil sebotol es teh yang tadi kusiapkan dan dengan perlahan kualirkan pada luka di kakinya saat ia terjatuh tadi.
“Saya buka sepatu kamu supaya sepatu kamu enggak kebasahan...”
Farah tampak merenung. Tak lama ia bertanya...
“Terus kenapa...?
“Eh?”
“Kenapa kamu pake es teh?”
“Oh itu, kebetulan aku baca komik Detective Conan dan disitu dituliskan bahwa es teh mengandung zat tannin...”
“Tannin?”
“Iya, tannin... itu adalah obat pertolongan pertama bagi seseorang yang terkena gigitan ular laut...”
“Tapi aku kan enggak digigit ular laut...!!!”
“Hehehe... iya emang, tapi yang namanya luka tetap harus dibersihin... dan karena yang aku punya cuma es teh, jadi aku pake es teh ini aja...”
“Dasar...”
“Hehehe...”
Farah tampak lebih tenang sekarang. Tapi aku belum selesai, kukeluarkan lagi sesuatu yang lain dari dalam tas.
“Apa lagi ini?” tanya Farah.
“Ini kapas. Ini sisa yang kupakai untuk bersihin sisa make-up tempo hari...”
Tiba-tiba Farah tertawa, tampaknya ia teringat bagaimana konyolnya wajahku saat menggunakan make-up saat itu.
“Udah jangan ketawa!” hardikku.
“Abisnya kamu lucu!”
Lalu kututup luka itu dengan kapas dan merekatkannya dengan selotip hitam yang biasa kubawa untuk... untuk... jailin orang.
“Sip. Beres sudah. Sekarang kaki kamu enggak akan pendarahan lagi!” ujarku.
“Enak aja pendarahan! Emangnya aku kecelakaan apa?”
Setelah mengenakan sepatunya kembali, Farah pun bangkit.
“Gimana?”
“Euh... agak keliatan aneh sih... tapi makasih lho ya...”
“Hehe... santai aja lagi... anggap aja sebagai balasan dari es teh yang dulu kamu kasih...”
Farah tampak bingung, mungkin dia berpikir, seandainya dia memberikan aku minuman isotonik waktu itu, apakah aku akan menyiram lukanya dengan air yang sama? Haha, tentu saja tidak. Itu kan kebetulan saja aku membeli es teh di kantin.
“Ya udah. Apa saya udah boleh pulang sekarang?” Farah bertanya.
“Euh sebenarnya...”
“Apa?” Farah menatapku dengan tatapan aneh... lama-lama aku bisa ge-er juga.
“Euh... itu ada yang pengen aku omongin... sebenarnya...”
“Kalau soal omonganku waktu itu, kamu lupain aja”
“EH?”
“Saya pikir saya udah kebanyakan nonton sinetron remaja sampai-sampai waktu itu saya bilang kalo saya suka sama Lukman, tapi mungkin saya enggak akan siap buat pacaran...”
“EEHH??”
“Apalagi sekarang udah kelas 3, saya harus fokus sama ujian...”
“EEEHHH???”
“Jadi masalah ucapan saya itu tolong Lukman lupain aja...”
Aku terdiam. Entah harus berkata apa lagi. Mendengar Farah berkata seperti itu aku merasa seolah aku telah ditolak. Padahal aku tidak menyimpan perasaan yang aneh-aneh pada Farah, hanya saja mengetahui bahwa Farah telah berubah dan berkata tidak menyukaiku lagi  membuatku merasa kehilangan sesuatu yang penting. Lalu daun-daun berguguran melintasi mataku. Farah berlalu dengan langkah mungilnya. Namun sejenak dia berhenti dan menoleh padaku.
“Mungkin lebih baik kalau sekarang kita fokus dengan ujian dan lulus. Jadi Lukman juga, semangat ya!”
Hanya itu yang dia katakan.
Hanya kata itu yang aku inginkan.
“Thanks” jawabku pelan dan tak terdengar. Farah berlalu begitu saja. Dan tempat itu terasa lebih sepi sekarang, Indi dan kelompoknya pun sudah lama pulang, hanya aku yang entah mengapa ingin tinggal lebih lama. Merenungi bayang-bayang sambil mencoreti halaman akhir bukuku dengan gambar.

Ini pagi yang indah, aku terbangun dan menghirup udara pagi ini dengan penuh apresiasi tinggi, entah apa yang membuatku sesemangat ini. Aku loncat dari tempat tidur, mengambil handuk dan pergi mandi. Hingga akhirnya semua orang berkumpul di meja makan untuk sarapan, tiba-tiba Ibu bertanya padaku
“Lukman, kemarin kamu bilang kamu pengen pindah sekolah... bisa kamu ceritain sebenernya ada masalah apa di sekolah kamu?”
“Enggak ada Mah, beneran. Lukman cuma ngerasa bosan sama suasana sekolah, teman-teman Lukman juga udah terlalu banyak disana, jadi Lukman pengennya punya temen baru dan lingkungan baru”
“Kalau cuma itu, kan kamu bisa dapetin itu semua kalau kamu lulus dan masuk SMA nanti... jadi sementara ini kamu belajar aja dulu yang rajin.”
“Siap. Pokoknya Lukman pasti bakal dapat nilai tertinggi buat ujian sekarang...”
“Yah Ibu harap kamu bisa masuk SMA negeri nanti.”
“Ya udah Mah, sekarang Lukman pergi sekolah dulu...”
“Buru-buru amat, udah beres makannya? Coba cek dulu ada yang ketinggalan enggak?”
“Oh ya hampir lupa...” ujarku.
“Tuh kan... apa Mama bilang...”
Akupun bergegas masuk ke kamarku kembali, bukan untuk mengambil sesuatu, tapi untuk... bercermin. Ok, ternyata pagi ini aku terlihat sangat tampan, aku memang sedikit membubuhkan bedak putih pada wajahku ini, hanya sedikit, tapi efeknya sangat jelas. Aku lebih terlihat tampan sekarang.
Aku berjalan dengan penuh semangat, kupilih sebuah angkutan kota dengan kursi depan yang kosong. Dan yap, aku mendapatkannya. Akhirnya aku bisa duduk di bangku paling depan, rasanya nyaman sekali karena aku mendapat porsi duduk yang lebih luas dan eksklusif. Sayang itu tidak berjalan terlalu lama karena entah mengapa tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang tidak enak, seolah aku tengah diawasi, punggungku terasa hangat, firasatku pun tidak karuan... dan benar dugaan ada seseorang yang melihatku dari arah belakang... aku bisa melihatnya dari kaca spion yang biasa digunakan supir untuk melihat penumpangnya.
Tidak salah lagi, itu Indi. Dia tengah menatap tajam ke arahku, dari gelagatnya tampaknya dia sudah berada di angkot ini lebih dulu sebelum aku. Kutatap cermin spion sebelah kiri, ok. Tak ada yang harus kutakutkan, karena... aku masih tampan. Sebentar lagi dan aku akan sampai di sekolah, jadi aku berhenti disini saja. Dan ups, Indi ikut turun bersamaku. Tentu saja, kita kan sekolah di tempat yang sama dan semoga saja kita tidak mengalami kontak mata saat ini.
Rasanya punggungku ini lebih panas sekarang, meskipun aku berusaha untuk tidak menoleh, tapi tetap saja mengetahui Indi hanya berjarak 3 meter dibelakangku, membuatku merasa canggung. Aku bahkan sanggup mendengar suara langkahnya, langkah itu semakin lama terdengar lebih dekat... lebih cepat dan... ya. Indi menyusulku, dengan setengah berlari ia melewatiku begitu saja, aku berpura-pura cuek, tapi diluar dugaan, tepat dihadapanku dia menoleh dan menatapku dengan tatapan tajam. Tatapan macam apa itu? Seperti menantangku saja. Dia pikir dia itu cantik apa? Aku pun tidak mau kalah, kubalas tatapannya dengan beku. Kucoba untuk mempercepat langkahku dan Indi pun begitu, entah apa yang kita berdua lakukan sebenarnya tapi lambat laun akan ada orang yang sadar bahwa kita tengah beradu cepat dalam berjalan. Yah, bukankah ini sudah cukup membuktikan kekonyolan kita sebagai anak SMP? Akhirnya aku masuk gerbang setelah Indi, aku terpaksa mengalah. Jalan kita terpisah dalam cabang lorong. Ia menuju kelasnya dan aku menuju kelasku.
Di kelas, para guru mengingatkan para murid untuk bersemangat belajar untuk mempersiapkan ujian, tapi dalam pikiranku hanya ada Indi. Rasanya aku ingin membuktikan sesuatu padanya, tapi apa? Seolah aku ingin menunjukan bahwa aku adalah anak laki-laki yang keren, bahwa selama ini dia tidak tahu seberapa hebatnya aku dan aku ingin menunjukannya dengan cara apapun. Semangatku memang meluap-luap tapi tak tentu arah. Kuakhiri pelajaran di kelas dengan mendapatkan sejumlah nilai anjlok dalam beberapa mata pelajaran. Aku tidak mau menyalahkan Indi karena hal itu. Tapi kalau bukan dia, terus aku harus salahkan siapa? Aku sendiri telah melakukan kesalahan dengan menyukainya, padahal di sekolah ini... meski aku bukan anak yang populer, tapi aku baru sadar bahwa sebenarnya teman perempuanku cukup banyak. Hanya saja aku kacau. Aku selalu kikuk setiap mereka mencoba mendekat. Lantas kenapa perasaanku terjebak pada sosok yang tidak dekat denganku? Sosok yang justru tidak mengenalku ini... Indi, kenapa harus dia? Entahlah, urusan hati dan perasaan ini memang tampaknya bukan urusanku saja. Bukan milikku saja.
Jam sekolah berakhir. Di tanganku kini tengah kugenggam sebuah pamflet. Aku mendapatkannya dari petugas mading, Farah. Pamflet itu bertuliskan sebuah acara perlombaan. Lomba menggambar. Ya, Farah memberikan ini padaku pasti karena ia ingin aku mengikuti lomba ini. Dia tahu aku senang menggambar, tentu saja. Aku harus mengikuti lomba ini, agar jika aku menang nanti Indi akan sedikit memberikan perhatiannya. Agar ia tahu, bahwa aku adalah seorang bocah jenius yang keren.
Aku pulang dengan pikiran-pikiran aneh bercampur khayalan jika aku memenangkan perlombaan itu. Terbayang olehku seandainya Indi mengetahuinya, dan pihak sekolah mengumumkannya dalam upacara, lalu Indi pun mulai simpati padaku dan akhirnya menyukaiku juga... hahahaha... bagus juga. Kubaringkan diri di tempat tidur dan berpikir. Ya, aku harus menang perlombaan ini. Di rumah, kakakku Eza tampak meracau dengan handphonenya...
“Halo?....... Ya, siapa ini?....... Lah... kok nanya balik?”
“...”
“Ya kamu yang siapa... situ yang nelpon kok jadi saya yang harus jawab saya siapa...”
Eza hanya bergerak mondar-mandir dari satu kamar ke ruangan lainnya, suaranya yang mengisi seluruh rumah membuatku merasa bahwa kakakku ini anak yang labil. Dasar anak kuliahan, mentang-mentang bisa membeli handphone sendiri dia sudah merasa paling hebat apa? Ya ya ya, handphone itu memang dia beli dengan hasil keringatnya sendiri, lebih tepatnya dari gaji ia mengajar privat matematika pada anak-anak tetangga. Suaranya itu semakin menggangguku saja. Tidak bisakah aku sedikit berkhayal di siang yang damai?
“KAMU ITU NYEBELIN YA?.... SAYA BILANG SITU YANG SIAPA?... JANGAN SOK PAKE NANYA SAYA INI SIAPA... HALO? HALOOO?... APA?... SAYA INI APA?... SAYA INI SIAPANYA LUKMAN?... OOOH... GITU YA? OOOHHH...”
Mendengar namaku disebut aku langsung bangkit. Gawat. Siapa yang menelpon kakakku sebenarnya? Jangan-jangan itu... belum selesai kecurigaanku pada sosok yang berbicara dengan kakakku, ia sudah memanggilku lebih dulu...
“LUUKKKMAAAAANNNNN!!!”
Aku langsung menghampiri. Eza langsung menyerahkan handphone itu.
“JELASIN KE TEMEN KAMU ITU KALAU HANDPHONE ITU PUNYA GUE!”
Aku langsung menyambar handphonenya dan mencari tahu siapa yang membuat kakakku semarah itu.
“Halo Assallamualaikum...” ujarku pelan.
“Walaikumsallam... euh... ini Lukman?”
Suara perempuan.
“Ya. Ini siapa ya?”
“Saya... saya Indi.”
Indi. Ini Indi. Orang yang tengah berbicara denganku ini adalah Indi... dan ini adalah suaranyaaaaa... sesaat tubuhku terasa melayang ke udara dan nafasku tertahan karenanya.
“Oh...” hanya itu yang bisa kuucapkan.
“Lukman?”
“Eh... iya? Ya? Ya ada apa Indi? Eh... maksud saya... saya... eh ya... kenapa?”
Aku mulai kikuk. Tapi indi hanya berbicara singkat;
“Yang tadi siapa?”
“Yang tadi itu...” aku menoleh ke arah kakakku, dan sambil melotot ia terus mengingatkan;
“BILANG KE DIA KALAU HANDPHONE ITU PUNYA GUE!”
“Siapa?” Indi mendesak.
“Itu ka... kakak”
“Bohong”
“CEPET JELASIN KE DIA KALAU HANDPHONE ITU PUNYA GUE!”
“Beneran... itu kakak...”
“Bohong”
Ampun. Apa ini? Baru kali ini kita saling bicara dan semua itu dibuka dengan sebuah kesangsian... apa ini? Apa dia cemburu pada  kakakku? Kakakku memang perempuan, tapi seharusnya ia bisa merasakan perbedaan usia lewat suaranya...
“Saya enggak bohong, itu kakak saya, kalau enggak percaya liat aja sendiri... eh...”
“Gimana bisa liat... pasti pacarnya ya?”
Sensasi ini... sensasi dicemburui seperti ini...
“Euh... saya... saya... saya enggak punya pacar”
“Bohong”
“...”
“Pacarnya kan?”
“Bukan...!!”
“Bohong”
“...”
“Hehehe... iya deh iya, siapapun itu pokoknya Indi cuma mau ngomong lain kali kalau ketemu Indi jangan jutek gitu yah... pake senyum sedikit kenapa? Lagian kamu duluan kan yang hubungi Indi, harusnya kamu...”
Suara Indi tiba-tiba terhenti.
“Ya?” aku mencoba melanjutkan.
“Harusnya... harusnya... kamu enggak sejutek itu...”
“Oh... i... iya...”
“Janji ya, kalau ketemu Indi kamu bakalan senyum...”
“Ah... i... iya...”
“Kamu juga musti tanggung jawab karena udah ganggu waktu tidur saya karena kamu udah MMS Indi tengah malam”
“Oh... ma... masalah itu... sebenernya itu...”
“Ya udah sekarang Indi tutup dulu ya, sayang pulsa, hehehe”
“Ah... i... iya”
Tuut tuut tuut
Handphone mati. Tubuhku terasa lemas, dada ini serasa ditarik ke atas, perasaan apa ini...? padahal ini pertama kalinya aku bisa mengobrol dengannya, selancar ini, sedekat ini... rasanya aneh. Seolah hari ini, esok dan seterusnya akan berjalan dengan indah, aku... aku merasa begitu dekat. Meski ini bukan pertama kalinya aku tertarik pada anak perempuan, tapi ini adalah pertama kalinya aku merasa begitu dekat dengan sosok yang kusukai, seolah kita berada dalam satu bagian yang sama. Satu dimensi dan ruang yang sama. Jantung berdebar. Senyum melebar. Dan Eza yang melotot.
Pagi hari. Seperti biasa, seperti pagi-pagi sebelumnya. Hanya saja kali ini aku bisa mensyukuri hal-hal indah seperti kicau burung, cahaya matahari, sarapan dan kehangatan keluarga. Seolah aku bisa merasakan bahwa semua ini adalah bagian dari karunia. Kukatakan dengan tegas pada diriku bahwa aku tengah jatuh cinta, bocah sepertiku. Tidak perduli apakah itu hanya omong kosong atau hanya respon kimia. Yang aku tahu bahwa perasaan ini bisa membantuku melihat segala sesuatu dari sudut yang terindah. Setelah selesai dengan sarapan, kusiapkan diriku untuk mandi dan membereskan hal lainnya sebelum aku pergi.
Angkot. Sarana transportasi yang merakyat. Begitu down to earth. Warna hijau dan kuningnya begitu selaras, kubaca dengan seksama tulisan itu; jurusan Stasiun-Halte Sadang Serang. Ah, tulisan yang begitu indah dan bermakna. Lalu suara sopir yang merdu menyadarkanku akan tujuan.
“Woi, ‘dek! jadi naik enggak?”
Aku pun merespon kalimat itu dengan menaiki angkot tersebut. Kupikir aku lebay sekali pagi ini, tapi tak apa. Karena aku sedang jatuh cinta. Dan entah bagaimana suratan takdir terasa begitu memihakku. Bagaimana tidak? Di angkot hijau ini aku merasakan pesonanya lagi. Indi. Dia disini, duduk berseberangan denganku. Dan karena ini masih pagi, angkot ini masih sepi penumpang... lebih tepatnya hanya ada kita berdua disini. Ok, bertiga dengan sopir. aku bingung harus berbuat apa. Setelah percakapanku dengannya di telephone kemarin, kupikir seharusnya kita sudah bisa mencoba untuk mengobrol. Tapi tidak, aku malu. Aku tidak bisa membuka pembicaraan... lagipula apa yang harus kubicarakan? Indi melirik ke arahku, aku mencoba untuk tidak menatapnya. Kupikir dia pasti tahu aku ada disini. Tapi kenapa dia diam saja? Kulihat yang ia lakukan  hanya  menyibakan sebagian rambutnya yang masih basah, dan dengan jari jemarinya ia seolah tengah mencoba menyisirnya... hanya itu. Bahkan sebuah senyuman saja tidak ia berikan. Ah, lagipula mengapa aku harus perduli sih? Sudahlah. Leherku pegal karena terus kupaksakan melihat ke arah lain. Dan akhirnya... akhirnya... aku sampai. Aku dan Indi sampai. Sekolah. Dan untuk menuju kesana aku harus melakukan kode etik berkendara melalui angkot, sebuah kata sandi yang bisa membuat sang sopir menghentikan lajunya.
“Ki....”
“Riii....”
Apa ini? Aku dan Indi barusan mengatakan kata itu secara bersamaan... membuatku canggung saja. Kupikir dia juga pasti begitu. Tidak ada istilah “ladies first” disini. Jadi aku duluan saja. Aku turun terlebih dahulu dan segera kuserahkan uang ongkosku pada sang supir angkot. Aku berjalan dengan tergesa-gesa, menyadari ada sosok dewi di belakangku. Entah harus bagaimana sekarang. Kukatakan bahwa aku tidak akan mengacuhkannya begitu saja kemarin. Dia berkata bahwa dia tak ingin aku acuhkan... kuhirup nafas dalam-dalam... 1... 2... 3... ok, ini dia... aku menoleh...
Kulihat matanya dengan tenang. Jaraknya hanya lima meter dibelakangku, Indi pun melirik ke arahku. Mungkin sedikit kaku tapi kucoba untuk melambaikan tangan... lalu aku tersenyum. Dan dengan tenang, Indi membalas senyuman itu. Hanya itu. Hanya itu yang bisa kulakukan. Aku kembali berjalan dengan dingin. Baru kali ini aku melihat bagaimana Indi tersenyum padaku. Secara langsung. Dan rasanya WAW...
Kususuri lagi lorong kelasku yang gelap. Di pertengahan lorong aku berpapasan dengan pak Sofyan... karena suasana hatiku sedang bagus, kulontarkan salamku dengan penuh semangat...
“Assallamuallaikum Pak!”
“Ya, Walaikumsallam...”
Pak Sofyan masih ketus seperti biasanya. Tapi tak apa, mungkin sudah sifatnya, setidaknya kali ini dia menjawab salamku.
Pelajaran pertama matematika. Guru yang mengajar sekarang adalah pak Joko. Terkenal killer, seolah-olah dibalik pakaiannya tertera tulisan : awas, pengajar galak! Tapi itu tidak merubah suasana hatiku yang tengah jatuh cinta. Hal pertama yang guru ini lakukan adalah memeriksa PR dan sebagai siswa yang luar biasa aku pun mengacungkan tanganku.
“Pak!”
“Ya? Apa ada pertanyaan Lukman?”
“Apa saya sudah boleh keluar sekarang?”
“...”
“...”
“Maksud kamu?”
“Saya belum mengerjakan PR hari ini dan sebagai hukuman saya akan lari 30 putaran pak...” ujarku penuh semangat.
Pak Joko hanya bisa menghela nafas, ia simpan buku dan kapurnya. Beliau buka kacamatanya, menatapku dengan tatapan sedih. Aku menelan ludah.
“Lukman...” suara pak Joko terdengar parau...
“Euh... ya pak?”
“Akhir-akhir ini nilai kamu menurun. Kamu juga sering terlambat. Padahal bapak sangat berharap banyak sama kamu. Setidaknya di kelas ini...”
Pak Joko mengalihkan pandangannya ke seluruh ruangan kelas.
“Kamu adalah satu-satunya murid bapak di kelas ini yang selalu lulus setiap latihan ujian... tapi sekarang, kamu malah lebih memilih dihukum dan lari 30 putaran ketimbang mengerjakan PR kamu...”
“Sa... saya pantas dihukum pak...” jawabku, kali ini dengan nada bersalah. Dan merasa benar-benar bersalah.
“Tidak Lukman. Kali ini bapak enggak bisa hukum kamu lagi. Kamu cukup pikirkan ini baik-baik. Kamu sudah kelas 3. Sebentar lagi ujian kelulusan. Tidak ada waktu buat lari 30 putaran. Kamu harus serius, bukan buat bapak tapi buat kamu. Kalau memang ada sesuatu yang tidak kamu mengerti coba kamu tanyakan... bapak enggak butuh lari 30 putaran kamu... bapak enggak butuh PR kamu... yang bapak mau, kamu bisa lulus...”
“I... iya pak... maafkan saya pak...”
Aku terduduk kembali. Hampir aku menangis. Pak Joko benar, tidak sepantasnya aku melakukan hal-hal bodoh. Hal-hal bodoh. Jatuh cinta disaat yang tidak tepat. Seharusnya Indi menjadi motivasi, bukan sesuatu yang menghambat pikiranku seperti ini.
“Sekarang ayo kita bahas PR... buat Lukman, kamu duduk baik-baik saja disana dan perhatikan!” ujar pak Joko tegas.
Aku terdiam lunglai. Entah kemana semangat jatuh cintaku tadi.
“Oh ya, selain Lukman apa ada disini yang belum mengerjakan PR-nya juga?”
Lalu perlahan semua anak di kelas mengacungkan tangannya.
“Euh...”
Aku hanya bisa mengatupkan telapak tanganku ke wajah. Dan pak Joko menghirup nafasnya dalam-dalam...
“LARI!! 35 PUTARAAAAANNNN!!!!! SEMUAANYAAAAAA!!!!”
Pak Joko mengaum. Semua anak keluar kelas, bersiap menjalani hukuman... sekarang aku tahu, bukan Indi penyebab kebobrokanku akhir-akhir ini... tapi lingkunganku... tapi tak apa, karena entah mengapa mengetahui bahwa seluruh anak dikelasku akan berlari 35 putaran bersamaku, membuat semangat jatuh cintaku ini kembali mengalir... kupikir semua  teman-teman sekelasku pun begitu. Mereka menyambut hukuman ini dengan senyuman dan gelak tawa. Mungkin karena sudah terbiasa... ah, hari ini hari yang sangat indah...
Waktunya istirahat. Setelah sempat berolahraga dan menjadi gunjingan para guru di jam pertama tadi, akhirnya aku bisa beristirahat. Kali ini aku tidak akan mendekam di kelas saja. Mungkin ada baiknya aku keluar, mencari minuman... di kantin aku bertemu dengan Nadine, teman semasa SD yang juga sekolah disini dan juga teman dari Indi.
“Eh ada Lukman...”
“Hai...”
aku hanya bisa menjawab dengan hai, terlebih karena aku jarang berbicara dengan Nadine selama aku sekolah disini.
“Tadi pelajaran apa ‘man?”
“Tumben nanya...”
“Emangnya kenapa? Enggak boleh? Kali aja kan jadwal kita ada yang sama, jadi aku bisa tahu guru yang ngajar aku sekarang itu ada atau enggak...”
“Oh... tadi aku belajar itu... Penjaskes!”
Kujawab begitu karena kupikir dari tadi yang kulakukan hanya berlari dan melakukan latihan fisik lainnya di setiap jam pelajaran.
“Oh pantes aja...”
“Pantes aja apa?”
“Pantes aja ada aroma kuah bakso disini” jawab Nadine.
“Haha pasti maksudnya kuah bercuka...” aku mencoba tertawa skeptis.
“Oh ya, tadi si Indi nanyain...”
“Indi?”
“Katanya kalau ketemu Lukman tolong bilangin kalau Indi bakalan dukung Lukman di lomba menggambar nanti...”
“Oh ya?”
“Beneran. Hm. Kayaknya aku bakalan punya 2 temen yang terlibat percintaan deh...kayak di film meteor garden... ”
“Meteor ganjen! Udahlah enggak usah sok tahu gitu. Titip makasih aja, udah mau dukung aku. Ok?”
“Ciee...”
Kutinggalkan Nadine begitu saja. Hm. Rupanya Indi sudah tahu tentang lomba menggambar itu. Ya sudah, semoga dia mendoakanku agar aku bisa menang nanti. Lalu tak lama aku meninggalkan kantin, seorang anak perempuan muncul. Yang kutahu namanya Susi, anak kelas 3D, tidak pernah kuceritakan, karena kita sama sekali tidak saling kenal. Lalu Susi tersenyum. Secara refleks aku membalas senyum itu.
“Semangat menggambarnya ya...” ujarnya.
“Ah... i... iya...”
Lalu ia berlalu. Aku merasa aneh... kulihat mading, ternyata ada nama para peserta lomba disitu. Termasuk namaku. Mungkin Susi mengetahui tentang ini dari mading ini. Tapi...
“Lukmaaaaaaaann!!”
Seseorang yang lain memanggil... perempuan, namanya Winda dari kelas 3B. Sama dengan Susi, akupun tidak mengenalnya akrab.
“Semangat ya...”
“Ah iya, makasih... hehehe”
Lalu ia berlalu. Tiba saatnya menuju lorong. Disana sudah ada Nina. Si penjual spagheti.
“Nih!” ujarnya seraya menyodorkan satu cup spagheti buatannya. Dulu sewaktu aku kelas 2, aku sempat menolak spagheti ini karena gengsi. Sekarang tidak lagi. Biar kuambil dan kulahap saja.
“Buatku? Makasih loh ya...”
“Aku sendiri yang bikin, satunya sepuluh ribu...”
“Oh enggak jadi deh kalo gitu...”
“Ih, udah aku murahin juga. Gratis deh. Buat Lukman. Biar menggambarnya lancar...”
“Hehehe, aku becanda. Aku pasti beli kok. Cuma kalo emang kamu ngasih gratis ya baiklah... hehehe makasih loh ya”
Nina tersenyum. Tidak seperti waktu itu, kali ini ia tidak terlihat canggung dan kikuk. Selain Nina, seorang anak lain bernama Reka... Lengkapnya Reka Purwantisari... (ciee nama lengkap) juga muncul. Perlu diketahui, Reka yang berwajah manis ini adalah salah satu teman perempuan yang sangat dekat denganku di sekolah ini, dia juga mengenal Melda. Sosok yang kusukai sewaktu SD. (sewaktu SD loh ya, bukan SMP) Reka Purwantisari, tubuhnya mungkin mungil, ia boleh jadi pendiam, tapi dia adalah temanku yang sangat baik dan rambutnya yang berkepang ekor kuda itu terlihat sangat manis. Tidak seperti yang lain yang memberikan semangat, ia hanya melewat begitu saja.
Aku merasa popularitasku bertambah. Meski kutahu bahwa dalam beberapa hal, siapapun pasti mudah mengenaliku, tapi aku tidak yakin kalau semua orang mau menjadi temanku. Aku masuk kelas. Kulihat Dani, ia tampak murung.
“Woy ‘Dan! Mau spagheti enggak...? dapet ngasih Nina nih”
“Eh... mau dong mau... tapi kamu enggak lagi marah kan?”
“Marah apa sih ‘Dan... udah sini. Kita makan bareng...”
“Asiik...”
Tampaknya Dani masih merasa tidak enak gara-gara kejadian waktu itu. Padahal saat ini, aku ingin berterima kasih karena mungkin karena dia, aku bisa lebih dekat dengan Indi dan bisa mencoba mengenalnya. Spagheti habis, jam istirahat berakhir.
Waktu berlalu. Kucoba untuk lebih serius menghadapi pelajaran dan mulai memperbaiki kesan burukku selama ini. Setidaknya dalam mata pelajaran sejarah, aku tidak pernah mau mengalah. Guru sejarahku adalah ibu Wati. Juga terkenal galak, tapi disini beliau adalah guru yang paling dekat denganku. Kusebut seperti itu karena beliau sering membicarakan hal-hal positif tentangku ke kelas lain.  Bagian ini yang aku suka.
Jam pelajaran berakhir. Kulihat Farah sudah ada di depan pintu kelasku. Dia melihatku dan melambaikan tangannya, hm. Itu artinya dia menungguku. Semua anak keluar kelas, beberapa ada yang meracau dan menggoda ketika melihatku bersama Farah. Tapi baik aku dan Farah tidak menggubrisnya.
“Hai...” Farah menyapaku.
“Hai. Jadi gimana?” ujarku seraya tersenyum.
“Aku udah ngomong ke bagian Wakasek. Nanti kamu sama peserta lomba lainnya, besok pagi bareng dari sini menuju sekolah Bakti Taruna. Besok hari minggu, jadi enggak masalah...”
“Ok. Kalo begitu, kamu doain aja...”
“Pastinya dong... kalah atau menang aku pasti dukung kamu”
“Sory loh ya, tapi aku bukan orang yang gampang buat dikalahin”
“Huu sombong. Mentang-mentang bisa gambar...”
“Karyaku adalah hakekat seni yang sesungguhnya...”
“Hahaha... dasar”
Sementara aku berjalan pulang bersama Farah, aku melihat Indi dan kawanannya sekitar 8 meter di depanku. Lalu tiba-tiba Farah menoleh...
“Ya udah ya, pokoknya besok jangan sampai telat... jaga kesehatan, jangan lupa sarapan sebelum pergi dan jangan lupa bawa peralatan gambarnya...! ya udah aku pulang duluan ya, dadaaa...”
“Eh kamu mau kemana... ??? kenapa kita enggak ......................................................... bareng aja sih...?”
Farah berlari. Tidak menggubrisku. Indi dan kawanannya melihatku tajam. Haaah... para anak perempuan. Rasanya kakiku berat untuk menghampirinya.
Beberapa teman Indi meracau sekenanya.
“Hei, sapa dong sapa...”
“Eh... itu orangnya dateng kesini...”
Aku mengerti maksud mereka. Dan apa yang mereka lihat dariku. Aku tidak akan salah tingkah lagi. Kucoba untuk terbiasa. Kulambaikan tangan pada Indi seraya berkata...
“Konnichiwa...”
Disusul dengan respon norak  para siswi SMP.
“CIEEEE...”
“Eh dia ngomong apaan sih tadi?”
Aku memang sedikit menguasai dasar-dasar bahasa jepang... jadi kukatakan saja, karena aku kurang begitu nyaman melihat lagak para anak perempuan ini. Meski dihadapanku Indi cenderung lebih pasif. Lalu aku pulang. Begitu saja.
Di rumah, Eza memperlihatkan handphonenya padaku. Aku langsung menyambarnya.
“Tadi temen kamu SMS lagi, kenapa sih enggak dibilangin aja kalo itu hape gue?”
Gawat. Jangan-jangan tadi Indi mengirimiku pesan dan Eza yang membacanya... segera kubuka SMS itu dan benar saja, itu dari Indi...

Iiihh... lukman. Kenapa sih kamu
enggak bilang kalo
kamu ikutan lomba gambar?
kan aku juga pengen dukung kamu...

Pengirim : 081572034814

07/05/2004
11;12;43

Haah... lantas kenapa juga aku harus memberitahunya tentang lomba itu? Memang benar aku mengikuti lomba ini untuk menarik perhatiannya, tapi itu nanti... kalau aku benar-benar menang. Karena  dengan menerima dukungannya saat ini, rasanya pikiranku jadi terbebani... rasanya aku tidak tertarik dengan kemenangan lagi, karena aku telah mendapatkan kemenanganku melalui perhatiannya. Segera saja kuserahkan handphone itu ke tangan pemiliknya. Eza.
Lalu tiba-tiba Eza bertanya;
“Jadi kamu ikutan lomba ya?”
“Hmmm...” jawabku.
“Emang kamu bisa gambar?”
“Hmm...mmm” aku mengangguk.
“Palingan juga kamu bisanya gambar poster kampanye bebas polio”
“Hmm... mm” aku menggeleng.
Mungkin kesal dengan jawaban yang kuberikan, Eza pun langsung menjambak rambutku dan menarik kepalaku ke belakang...
“Kalo gitu semangat dikit... biar menang...”
Sedikit aneh jika yang mengatakan hal itu adalah Eza. Seperti yang kita tahu bahwa jika ada anak perempuan di sebuah rumah dan ia memiliki adik laki-laki yang memiliki jarak usia yang cukup jauh... (usiaku berbeda 5 tahun dengan Eza) biasanya sang kakak akan selalu meremehkan apa yang dilakukan si adik. Tidak mendukungnya seperti yang Eza lakukan saat ini. Tapi sudahlah lagipula aku pasti menang besok.
Esok hari. Meskipun ini hari Minggu, aku tetap harus pergi ke sekolah pagi ini. Aku dan peserta lomba lainnya diharuskan untuk berkumpul terlebih dahulu di sekolahku sebelum akhirnya kita harus pergi lagi menuju lokasi lomba yang ditentukan, yaitu sekolah Bakti Taruna. Sebuah sekolah swasta elit yang kebetulan mengundang beberapa sekolah dari segala penjuru untuk mengikuti lomba yang mereka adakan. Ada berbagai macam lomba, ada olimpiade matematika, cerdas cermat, lomba debat, pidato bahasa asing, story telling dan lomba menggambar. Untuk lomba menggambar, sekolahku mengirim dua orang, yaitu aku dan Prayoga. Anak kelas 3H. Aku tidak peduli dengan sisanya yang jelas kali ini aku akan mempersiapkan peralatan menggambarku secara matang.
Telah kusiapkan; serutan pensil, penggaris, penggaris segitiga,  jangka, tipe-x, busur derajat, gunting dan terakhir... kompas. Ini berguna jika nanti aku tersesat. Tersesat di kota Bandung...
Sedang peralatan lainnya mungkin tidak begitu penting, hanya pensil berbagai ukuran, drawing pen, pewarna dan penghapus. Ok, aku siap sekarang...
Ibuku yang telah kuberitahu tentang hal ini juga telah menyiapkan semuanya dengan baik. Sarapan, pakaian, semuanya. Setelah selesai dengan semua itu aku pun berangkat.
Pertama-tama seluruh murid yang mengikuti lomba dikumpulkan di salah satu taman di sekolah seraya menunggu peserta lain yang belum datang. Guru yang akan menemani kita adalah pak Ilyas, yang kebetulan memiliki mobil dengan kapasitas yang cukup luas, sekolah kami tidak memiliki kendaraan khusus, jadi mobil pak Ilyas lah yang bisa kami manfaatkan. Setelah semua peserta telah lengkap, pak Ilyas beserta siswa yang lainnya pun segera berangkat. Menuju sekolah Bakti Taruna.
Kami pun sampai. Ternyata jarak sekolah itu tidak begitu jauh dari sekolah kami. Tapi jangan ditanya seberapa jauh perbedaannya. Sangat berbeda. Sekolah itu lebih menyerupai gedung bioskop. Tempat parkirnya yang luas itu terisi penuh dengan mobil, berbeda jauh dengan sekolahku yang kebanyakan dipadati sepeda motor para guru. Didalamnya terdapat sebuah lapangan yang sedikit lebih besar dari lapangan sekolahku. Kucoba untuk menatap siswa-siswi disana... mereka tidak terlihat seperti siswa SMP, mereka lebih terlihat seperti para aktor sinetron remaja. Wajah mereka cemerlang dan kebanyakan dari mereka bermata sipit. Pakaian seragam yang mereka gunakan berbeda dengan seragam SMP pada umumnya, kaos kaki dan sepatu yang mereka kenakan juga beraneka ragam, tidak seperti sekolahku yang hanya mewajibkan kaos kaki warna putih dan sepatu kain hitam bertali. Ah, tempat apa ini? Kenapa aku tidak betah berada disini?
Tak berapa lama para peserta dari berbagai sekolah  dikumpulkan, dan pada akhirnya mereka dipecah menjadi beberapa kelompok sesuai dengan lomba yang mereka ikuti. Aku dan Prayoga diarahkan pada sebuah kelas yang nantinya akan menjadi tempat kami menguji keahlian menggambar, lalu setiap peserta di kelas itu diberikan semacam kartu dan baju peserta untuk kemudian kami pakai, kami diberi waktu sekitar 20 menit untuk persiapan sebelum lomba benar-benar dimulai. Dan nantinya setiap peserta harus mengisi tempat duduk yang telah disiapkan sesuai nomor peserta yang tertera pada kartu.
Akhirnya aku dan Prayoga meninggalkan kelas itu untuk mulai mengganti pakaian dengan pakaian yang telah disediakan. Di ruang ganti Prayoga berbisik padaku;
“Gimana persiapannya? Udah siap semua?”
“Udah siap dong... kamu sendiri gimana?”
“Belum sama sekali. Blank. Enggak ada konsep sama sekali”
Haha. Rasakan saja. Yah, meskipun aku dan Prayoga bersekolah di sekolah yang sama, disini kita adalah rival dan lawan. Aku, dengan cara apapun harus bisa mengalahkan Prayoga... meski begitu sejujurnya aku datang kemari juga sama seperti Prayoga, tanpa konsep dan perencanaan tentang apa yang akan kugambar nanti. Aku hanya berkata bahwa aku telah siap menggambar dengan peralatan yang kubawa bukan berarti bahwa aku telah siap dengan kondisi dan strategi. Tapi sudahlah. Bagaimana nanti saja, lagipula seorang jenius sepertiku tidak membutuhkan konsep. Improvisasi saja.
Akhirnya aku kembali ke kelas, kulihat nomor tempat dudukku yang tertera pada kartu. Ah aku dapat kursi paling belakang. Di meja sudah tersedia kertas HVS 100 gsm. Dari kursi ini, aku bisa melihat Prayoga yang mendapatkan tempat duduk yang jaraknya dua baris di depanku. Bel tanda dimulainya perlombaan pun akhirnya telah dibunyikan. Baiklah. Kita mulai sekarang.
Pertama kukeluarkan senjataku. Pensil 5H. Kubuat sketsa kasar design character. Yah, tampaknya aku akan menggambar sosok manusia saja. Kugambar sosok laki-laki yang berbadan cukup besar, berambut ikal dan mengenakan pakaian yang mungkin hanya ada dalam khayalku saja. Laki-laki itu tampak sedikit dingin dan angkuh, namun apa yang dipegangnya adalah sesuatu yang tampak berat. Ia tengah membawa sebuah buku kecil yang tampak sangat tua dan lusuh. Dan cover dari buku itu bertuliskan ; Guide To Be A Better Man... dan tepat didepan pria itu kugambarkan sebuah cermin yang berhias ukiran-ukiran yang terbuat dari dedaunan dan bunga berduri yang pada akhirnya menopang cermin itu untuk berdiri dan dari cermin itu terlihat wajah pria tadi, hanya saja kali ini wajah itu kubuat tersenyum hangat dan tampak bersahaja... kubuat efek-efek dedaunan berjatuhan di sekitarnya. Caranya? Kupotong beberapa kertas dari buku tulisku dengan gunting yang sudah kuduga bisa berguna jika aku bawa, kupotong dengan bentuk menyerupai dedaunan lalu dedaunan kertas itu kuarsir sepenuhnya menggunakan pensil 3B, setelah itu dengan hati-hati kutempelkan dedaunan itu dengan posisi bagian hitam disebelah atas kertas. Lalu perlahan kugunakan penghapus putih andalanku untuk sedikit menghapus bagian arsiran pada dedaunan kertas tadi. Setelah selesai, kutarik semua dedaunan kertas itu dari HVS dan hasilnya? Seolah ada dedaunan bercahaya yang berjatuhan di sekitar karakter yang kugambar.
See? Bahkan tanpa konsep apapun seorang jenius sepertiku bisa melakukan ini dengan baik. Improvisasiku berjalan sukses. Lalu tak lama aku mulai merasa bahwa ada yang memperhatikanku. Dan ternyata itu adalah peserta lain yang kebetulan duduk tak jauh di sampingku. Wajahnya tampak terkagum-kagum melihat gambarku. Lalu aku menawarkan senyum padanya dan ia pun berkata;
“Keren!! Keren banget gambarnya... dahsyat!”
“Thanks. Biasa aja kok. Ini juga belum beres hehehe...”
“Dibandingin gambar saya, gambar mas lebih keren...”
“Ah... kamu bisa aja. Mana coba liat karyanya...”
“Hehehe masih jelek mas... nih...”
Lalu kulihat apa yang telah anak ini gambar... sebenarnya kalau boleh aku bilang karyanya ini tidak buruk. Ia menggambar sebuah pohon rindang dimana di pohon itu banyak buah apel yang menyembul keluar, lalu dibawah pohon tersebut ada anak laki-laki yang tengah berlari seraya tertawa membawa buah apel. Dan di belakangnya seorang anak perempuan tengah mengejarnya... karyanya itu sangat cute.
“Siapa bilang jelek? Ini bagus kok...”
“Tapi masih enggak sebagus punya mas...”
“Jangan panggil mas dong, panggil Lukman aja... oh iya kita belum kenalan... kamu kelas tiga juga kan? Dari sekolah mana?”
“Oh iya, saya Satrio mas Lukman. Saya dari SMPN 1 Klaten. Saya masih kelas satu...”
“Ow. Dari Klaten, jauh juga ya... hehehe”
Ternyata dia masih kelas satu, pikirku. Lalu seiring berjalannya waktu aku mulai penasaran dengan karya peserta lainnya, aku pun berusaha untuk mengintip karya-karya orang lain... dan aku mulai tertarik pada salah satu peserta yang dari tadi begitu ribut selama lomba berlangsung... peserta yang satu ini terus menerus meracau tanpa henti, entah apa yang ia gambar...
“CIACIACIA... INI DIA NAGA KEADILAN DARI SELATAN... MATANYA MENGELUARKAN LASER... WATHCIUU... HANCURKAN SEMUANYA... ADA TANK MUNCUL... TEMBAK... JDER...!! JDER...!! AAA... DITOLONG ULTRAMAN... KELUAR GODZILLA DARI DALAM TANAH... PERTEMPURAN YANG SERU SEKALI... SUPERMAN MELAYANG-LAYANG... KENA LASER... CHIUU... MATI! SUPERMANNYA MATI... DIHIDUPKAN LAGI PAKE DRAGONBALL... HUAHAHAHAHA...”
Astaga. Tadi sekilas aku bisa melihat kertas yang ia gambar. Entah apakah itu gambar abstrak atau apa... yang jelas setiap goresan penanya membuat sebagian kertas itu robek dan ringsek... sungguh benar-benar imajinasi yang tak dapat kutandingi. Sementara aku tengah celingukan melihat sekelilingku, Prayoga menoleh ke arahku. Dan kulihat ia tersenyum... sial. Aku tahu betul jenis senyuman ini. Ini adalah senyuman diatas awan... tampaknya Prayoga telah berbohong padaku ketika ia mengatakan bahwa ia datang tanpa persiapan, dengan senyum seperti itu dia pasti merencanakan sesuatu! Entah apa yang tengah ia lakukan dengan gambarnya... tapi itu pastilah teknik rahasianya... dan kulihat ia begitu percaya diri, oh iya... itu... pasti itu...
Kulihat ia tidak menggunakan drawing pen dan sejenisnya, melainkan kuas... dan aku tahu itu bukan kuas untuk menggambar, itu adalah kuas jenis fude, kuas yang biasa dipakai menulis kaligrafi Cina dan huruf-huruf Jepang... perlahan dia mencelupkan kuas itu pada tinta cina, tinta ini tidak akan menembus kertas meskipun digoreskan dengan tebal dan yang kulihat ia menggunakan tinta cina warna merah... lalu... loh?
Kuas itu tidak ia goreskan pada kertas! Melainkan dibiarkan menggantung di jari jemarinya!! Lalu perlahan tinta merah yang terkumpul pada kuas itu menetes pada kertas dan... sial! Aku tahu teknik ini, ini adalah teknik rahasia para manga-ka, atau lebih tepatnya para penulis komik Jepang dalam membuat efek tetesan darah!! Ya, darah!! Tinta merah yang menetes dengan sendirinya akan membentuk rupa tetesan darah!! Ia pasti tengah membuat gambar bertemakan darah... sesuatu yang gore dan kelam... sesuatu tentang pembunuhan berantai dan sejenisnya, sesuatu yang sadis pasti ada dalam karyanya. Lalu ia kembali menoleh padaku, dan tersenyum seperti para psikopat di film-film...!!
Tidak. Aku juga tidak mau kalah. Akan kukeluarkan seluruh kemampuanku. Untuk menebalkan outline, pertama kugunakan drawing pen dengan ketebalan 0.1 mm dan untuk goresan akhir kugunakan... ya. Alatku ini juga bukan untuk menggambar. Ini adalah sebuah bolpoint yang biasa digunakan untuk menulis kaligrafi tulisan arab, dengan ini, semua goresan tanganku akan terlihat perbedaan tebal tipisnya, tergantung seberapa besar penekanan yang kuberikan pada jari. Selesai sudah. Tinggal colouring, atau pewarnaan. Apa? bukankah aku tidak pernah menggunakan pewarna sebelumnya? Tapi aku tidak ingin kalah oleh Prayoga, dia sendiri telah membubuhkan warna merah pada karyanya... karena itu...
Kukeluarkan semua pewarna yang kupunya. Ada spidol, stabillo, pensil warna, cat air, cat timbul, crayon dan juga tipe-x.
Pertama kububuhkan warna hijau agar menyerupai suasana hutan, dan agar terkesan sedikit alami, beberapa aksen pada pakaian karakter kuwarnai dengan warna coklat, lalu jingga dan untuk kulitnya aku memilih kuning pucat. Ah, kenapa laki-laki ini jadi terlihat seperti terkena penyakit kuning? Lalu terbersit pikiranku dengan tema yang dipilih Prayoga. Jika ia benar memilih tema bloody gore dalam karyanya, mungkin aku bisa mencobanya juga dalam karyaku. Begini saja, biar kubuat hutan ini sedikit gelap dengan warna merah... lalu agar terkesan gothic, warna tanah akan kubuat hitam legam. Agar terlihat berbeda kutambahkan cahaya-cahaya biru cerah, pink dan ungu dari langit seolah karakter pria tersebut mendapat hidayah Tuhan... agar tampak seperti cahaya sungguhan kugunakan stabillo, sebagai efek tambahan, cat air yang mengering kuhancurkan dan kutempel pada kertas dengan mencampurkannya dengan tipe-x, lalu kuukir cerminnya dengan cat timbul, lalu kulapisi setiap warna dengan crayon warna-warni... lalu setelah ini aku akan... aku akan...
Bel berbunyi. Waktu habis.
Seluruh peserta pun diperintahkan untuk segera mengumpulkan karyanya, hanya aku yang entah mengapa terus menggigil ketika melihat karyaku sendiri...
AAAAAAAARRRRRRRRRRRRGGGGGGHHH APA YANG SUDAH KUGAMBAR INI.....!!!!!!???????
Karyaku. Karya masterpieceku... jadi terlihat mengerikan... lalu anak disampingku itu, Satrio... ia berkata...
“Kok gambarnya jadi kaya jajanan pasar mas?”
Sedang aku hanya bisa tertawa depresi...
“Ha-ha... ha-ha... ha---...”
Prayoga tersenyum ramah.
“Woy, cepet kumpulin, waktunya udah beres tuh...” ujarnya.
Akhirnya dengan pasrah kukumpulkan karyaku itu. Sengaja kusimpan di tumpukan paling bawah. Tapi setelah itu aku langsung meminta Prayoga untuk memperlihatkan karyanya padaku. Lalu dia menunjukan karyanya yang berada di tumpukan paling atas dari semua karya yang dikumpulkan. Dan itu adalah gambar...
Bunga mawar. Hanya bunga mawar. Tak ada darah. Tak ada pembunuhan. Tak ada gambar yang terlihat mengerikan disini selain gambarku tadi...
“Bunga? Jadi yang tadi kamu gambar itu bunga?” ujarku keheranan.
“Ya bunga. Soalnya aku cuma bisa gambar itu.”
“Jadi bukan gambar pembunuhan?”
“Ya bukanlah...”
“Terus tadi... tetesin tinta merah ke kertas itu buat apa?”
“Ya biar gampang aku ratain waktu warnain kelopaknya...”
“Jadi itu bukan teknik rahasia?”
“Ya itu teknik rahasia aku buat bikin kelopak bunga...”
“Jadi enggak ada gambar sayatan pedang samurai?”
“Ya enggak ada lah...”
“Darah yang muncrat?”
“Yang aku gambar itu bunga mawar Lukman...”
“Bukan gambar psikopat yang lagi makan otak sambil siul-siul?”
“Bukan!”
“Bukan gambar suster khitanan massal yang bawa-bawa silet?”
“Bukan!”
“Kenapa kamu enggak gambar orang nodongin pistol Smith and Wesson ke mulutnya sendiri aja sih?”
“Kamu itu kenapa sih ‘man? Aku kan udah bilang aku cuma bisa gambar bunga aja! Udah deh ah..”
Tampaknya Prayoga sedikit kesal menjawab ocehanku, tapi aku lebih kesal lagi. Kesal pada diri sendiri. Akhirnya dalam hidupku ini aku bisa merasakan kekalahan. Dan semua sikap aroganku ini telah  mendapatkan balasan. Tak ada lagi yang bisa kusombongkan, karena kesombongan inilah yang membuatku jatuh.
Rasanya aku lelah. Aku ingin tertidur, terlupa dan tak mau tahu apa yang terjadi hari ini, tapi tidak bisa. Aku keluar kelas dengan perasaan kecewa. Kuhabiskan paket konsumsi yang dibagikan panitia dengan penuh kemarahan. Jika ada yang melihat bagaimana caraku makan, mereka pasti berpikir kalau aku sangat kelaparan. Kubiarkan pipiku mengembung karena makanan. Apa lagi sekarang? Meskipun siapa  pemenangnya baru bisa diumumkan seminggu lagi, tapi aku sudah tahu bahwa aku akan kalah.

__________________________________________

Waktu berlalu... 2 bulan lamanya.
Saatnya ujian kelulusan. Loh? Bagaimana dengan pengumuman lomba? Sebenarnya hal itu tak perlu kuceritakan. Ya, aku kalah. Namaku tidak diumumkan pada saat upacara. Sedangkan Prayoga menjadi juara harapan pada lomba tersebut. Tapi tak apa, karena kini aku sudah mendapatkan sesuatu yang lebih baik, yaitu perhatiannya. Ya, semenjak kekalahanku itu aku dan Indi semakin dekat dan lebih sering berkomunikasi. Meskipun aku masih saja harus menggunakan handphone kakakku... dan karena perhatian Indi yang terkadang berlebih... (khas anak perempuan SMP yang baru puber... kata-kata basi seperti; apa kamu sudah makan? Istirahat yang cukup! Jangan lupa pakai jaketnya sekarang musim hujan... Indi enggak mau kamu sakit! Semangat! ) tidak perduli apakah itu omong kosong, sok perhatian, atau perhatian teman biasa saja... tapi untuk anak pendiam sepertiku aku merasa sangat terpengaruh. Dan akhirnya bulan lalu aku memenangkan sebuah lomba lain... lomba story telling, yang meskipun tidak ada hubungannya dengan menggambar, tapi aku akan melakukan apapun itu untuk membuktikan pada Indi bahwa aku pantas untuk diperhatikan, sehingga kali ini aku bisa merasakan Indi sebagai motivasiku. Dan ujian kelulusan ini adalah ajang pembuktianku yang lain untuknya...
Seperti pada musim ujian umumnya, semua orang akan berubah menjadi sangat baik hati sekarang. Kerjasama adalah kuncinya. Kerjasama busuk. Tapi sebagai anak yang egois, aku memang selalu jadi musuh bersama... sebenarnya bukan karena aku yang idealis, tapi  karena aku takut jika aku ketahuan memberikan contekan, terlebih pada ujian nasional seperti ini... jadi maaf saja. Karena selama ini aku pun tak pernah menyontek pada siapapun. Lebih baik jawabanku salah, pikirku.
________________________________________
       
3 minggu berlalu. Ujian pun berakhir, skorku tidak terlalu bagus tapi tidak terlalu jelek juga sih, Yaa... jelek lah. Ini adalah saat-saat yang paling tidak kuinginkan selama aku mengenal Indi. Ini adalah... hari perpisahan.
Perpisahan diadakan di aula sekolah. Acaranya sendiri diisi dengan penampilan beberapa pertunjukan Band teman-temanku, yang sayangnya aku kurang menyukainya. Semua tampak membosankan. Hanya Indi yang mengenakan kebaya merahnya saja yang tampak istimewa. Sisanya, tidak penting sama sekali. Dan seperti halnya perpisahan, diakhir acara para murid dan guru berkumpul bersalaman, berpelukan lalu menangis... bahkan pak Sofyan juga bisa menangis disini. Di sisa waktu terakhir, Ajeng menarik lenganku. Kali ini tidak untuk menyiksaku, karena hutangku padanya selama ini sudah kubayar lunas. Ia memelukku. Aku tidak sempat untuk menghindar... jadi... ya sudahlah.
Disampingnya, Lia Julianeu yang hobi nonton bola terutama liga Italia juga menyambutku. Tadinya aku hendak memasrahkan tubuhku lagi tapi nyatanya Lia hanya mengatupkan kedua lengannya dan untuk bersalaman pun ia tak berani menyentuh lenganku.
Semua begitu larut... Teman-teman... Tangisan dan tawa pecah begitu saja. Semua ini akan kutinggalkan... tak ada lagi lari 30 putaran, jalan bebek menuruni tangga, kisah hantu penghuni lorong, perkelahian antar preman kelas, blok kegelapan dan komik “Lukman Di Luar Angkasa...” semua itu hanya akan jadi masa lalu. Di sekolah ini  satu-satunya yang tak ingin kutinggalkan hanyalah Indi dan juga...
Farah... kemana anak itu? Kenapa disaat sepenting ini aku tidak menemukannya? Tepat ketika semua siswa mulai bersiap untuk pulang, hanya aku yang berlari kembali menelusuri lorong... setiap kelas kujajaki. Tapi tidak ada. Dia... entah harus bagaimana aku harus berterima kasih padanya... kenapa? Kenapa dia malah menghilang sekarang? Tampaknya dari tadi pun dia memang tidak datang... Farah.
Rasanya menyebalkan, tanpa Farah disini aku merasa tidak lengkap... di tengah perjalanan pulang kutemui Dani, seraya hendak menunggu angkot, Indi dan Nadine pun muncul... disanalah aku dan Dani hendak mengucapkan perpisahan, meski aku tak ingin kehilangan Indi begitu saja, tapi waktu terus berjalan...
“Jadi Lukman rencananya mau masuk SMA mana?”
“Pengennya sih masuk SMAN 14 atau SMAN 20, biar lebih deket dari rumah...”
“Wah sama dong, saya juga pengennya bisa nerusin sekolah disana...” jawab Indi.
“Oh ya?”
Semua berlalu. Indi dan Nadine pun pulang lebih dulu. Hanya aku dan Dani yang menikmati langit mendung di teras toko. Sore ini langit begitu gelap, gerimis disusul hujan membasahi bumi yang kupijak. Dani tampak murung, lalu ia bertanya padaku:
“Man, kamu tahu ‘ga kalau anak-anak yang tidak lulus semuanya berasal dari kelas 3A dan 3B...?”
“Ah, yang penting Ajeng, Lia, Iyam, Nadine sama Indi lulus...”
“Yee... bukannya gitu, tapi kalau dipikir-pikir nih ya, di kelas kita kan... ya kamu tahulah anak-anaknya kaya gimana... tapi kok bisa sih anak kelas kita bisa lulus semua, padahal kan anak kelas 3A dan 3B itu kan terkenal muridnya pintar-pintar...”
Aku hanya bisa tersenyum.
“Dan...”
“Apa?”
“Menurut kamu anak kelas kita yang paling enggak banget dalam pelajaran, kalau kita pertandingkan ilmunya sama anak paling enggak banget di kelas 3A, siapa yang bakal jadi pemenang?”
“Anak kelas 3A lah... seenggaknya mereka jarang dihukum kayak kita... asupannya jelas dan selalu dibanggakan guru-guru kan?”
“Itu bener banget.”
“Maksud kamu?”
“Kamu tahu tentang adanya ujian susulan enggak?”
“Oh, kebijakan pemerintah itu ya?”
“Menurut kamu, kalau ada ujian susulan anak kelas mana yang bakalan bisa lebih bertahan dan lulus pada ujian itu...?”
“Ya anak kelas 3... oh. Jadi maksud kamu...??”
“Yap. Sejak awal ujian ini adalah omong kosong, bersyukurlah karena kelas kita diselamatkan... dan saya enggak tahu apakah kesombongan atau justru kepintaranlah yang membuat beberapa anak itu dikorbankan, yang saya tahu bahwa anak-anak itu lebih hebat dari kita berdua...”
Dani hanya tercengang. Entah apa teoriku itu benar, tapi aku tahu betul sejauh apa kemampuanku dan kawan-kawanku di kelas... bukan meremehkan, tapi ini adalah sebuah cerminan dari sistem. Sistem yang tak kumengerti. Sistem yang tak perlu kumengerti.
Hujan bertambah deras.
Aku dan Dani pulang dengan sisa-sisa masa lalu yang akan kita tinggalkan selamanya...

­­_________________________________________

 16 september 2010.
Indi masih belum juga membalas SMS-ku. Aku hanya membalas kata “Hei..” itu dengan “Hei juga..” apa hal itu tidak menarik untuk dibalas yah? Meskipun terkesan tidak penting, tapi jika itu berkaitan dengan sosok yang berperan besar bagi kita, terkadang SMS tidak penting itulah yang kita nantikan...
Tapi sudahlah. Mungkin kita tak bisa meneruskan ini... hubungan aneh ini, kita sudah bukan anak SMP lagi... biarlah ini berakhir sekarang... tapi, rasanya sesak di dadaku ini kumat... mungkin kurang tidur, semoga. Karena urusan perasaan ini semakin lama terasa seperti omong kosong, aku mengenal Indi sudah cukup lama. Dulu aku yakin bahwa meskipun Indi sudah memiliki pacar, aku tidak akan menyerah untuk meraihnya. Dan selama itu aku tidak akan jatuh cinta pada siapapun lagi. Tapi seperti yang kubilang, kenyataan berkata lain... ketika Indi mulai tidak meresponku lagi, Tisya muncul dan menghadirkan nuansa baru... kabar buruknya? Baik Indi dan Tisya sudah memiliki seseorang di hatinya. Bagi mereka, mungkin aku hanya tempat singgah sementara... hanya tempat dimana mereka bisa melemparkan keisengan dan godaan disaat kekasih mereka jauh dan tak tergapai. Tapi terkadang aku tak perduli, itu karena dalam hidupku aku tidak mengakui adanya status pacar...
Kuambil sebuah gitar. Lagu yang akan kunyanyikan kali ini berjudul “puji-pujian alam.” Hanya itu yang bisa kuberikan. Karya. Sesuatu yang kecil, sesuatu yang tidak ada label harganya sama sekali, sesuatu yang tidak penting, tidak perlu, begitu picisan dan hanya aku yang sanggup memberikannya untuk mereka. Sesuatu yang tidak bisa mereka beli, tidak bisa mereka rasakan, sesuatu yang bahkan kekasihnya tak bisa lakukan. Dalam petik senar gitar semua larut dalam doa, sebuah cerita untuk pendengar setiaku. Pemilik alam semesta beserta isinya. Dalam kamar, dalam hati yang sejak awal bukan milikku.  BersamaNya aku tak pernah sendiri.
Handphone berbunyi. Menghentikan permainan gitarku... Bango tong-tong itu menghubungi, kutarik nafas perlahan... dan...
“Halo Assallamualaikum...”
“Walaikum sallam...”
“Indi?”
“...”
“...”
“...”
“...”
“...”
“...”
“Maafin aku Lukman... aku...”
“...”
“...”
“...”
“...”
(kuhirup lagi nafasku dalam-dalam)
“Enggak apa-apa Indi, yang dulu itu lupain aja, kamu boleh kok hubungi aku asalkan kamu benar-benar butuh...”
“Tapi...”
Tuut. Tuut. Tuut.
Kututup handphone itu lalu Kubantingkan ke kasur, mencoba mengelola nafas... fuush haah... fuush haah... aku sadar betul, ketika kukatakan pada Indi untuk menghubungiku jika ia benar-benar membutuhkanku itu sama artinya menyuruhnya untuk tidak pernah menghubungiku lagi... setidaknya aku selalu menghormati Indi yang telah membawaku pada perubahan yang begitu besar, dan jika ia memang bukan bagian dari ceritaku lagi, maka biarkan saja. Meski begitu aku tidak ingin mengatakan bahwa aku memutuskan silaturahmi, karena aku yakin kita masih terhubung dengan cara yang lain. Di waktu yang lain.
Semoga. Aku bisa membiarkan cerita itu berlalu begitu saja.




 This story dedicated for :
-Aldi Mulyadi. Temen SD yang maaf banget karena sewaktu di SMP saya pernah membuat kamu sangat marah.
-Dini. Temen SD
-Awaludin Ramdani. Orang yang mengajarkan saya percaya diri dan cara-cara menggoda cewek, meski norak tapi efektif. Nama Bango Tong-tong sebenarnya terinspirasi dari julukan yang Udin berikan pada semua orang.
-Nina. Thanks for the gift. Maaf karena sudah menolak spaghetti buatanmu. Dalam hati sebenarnya saya kepengen banget.
-Iyam, Nurhayati, Lia Julianeu, Dameyanti, Ajeng and The Gank.
-Reka Purwantisari, maaf enggak bisa ceritain kamu terlalu banyak karena bakalan panjang banget.
-11 anak Cikaso pengikut Alam Lukman, maaf enggak bisa diceritain, karena ceritanya bisa melenceng ke arah petualangan dan aksi.
-Yogi. Sejujurnya gambarmu enggak bagus-bagus amat. Tapi kok bisa ya?
-semua teman dekat yang tidak bisa diceritakan. Percaya deh peran kalian di dunia nyata itu gede banget... jadi jangan pundung.
-semua siswa 3I yang meniru perbuatan saya ketika menggunakan wax dan celak, maaf karena membuat kalian dihukum.
-sosok misterius yang menyatakan cinta dan memberi saya minum sewaktu saya benar-benar haus. Maaf enggak bisa dijawab, waktu itu saya masih kecil dan enggak ngeh..
-Bango Tong-tong. Meskipun cerita yang saya buat banyak ngaconya, tapi selama kamu membaca ini saya sangat merasa dihargai. Thanks karena telah menjadi sumber inspirasi, membangun karakter saya dan membuat saya harus menceritakan kamu sampai sebanyak ini.