Bab 12.
Langit.
Sore itu gerimis menyapa kota
Bandung, aku tengah mempersiapkan diri untuk bertemu seseorang. Kukenakan kaos
jenis turtle neck berwarna biru tua
yang dipadu padankan dengan blazer corduroi berwarna serupa. Sepatuku pun tak
lupa kusemir hingga mengkilat. Kusisir rambutku serapi mungkin, kugunakan hairspray dan rambut gondrongku ini jadi
tampak memiliki jambul yang tinggi. Aku jarang menggunakan parfum, aku selalu
takut aroma parfum akan membunuh aroma feromonku, namun kali ini aku tak mau
mengambil resiko. Kusemprotkan parfum di beberapa titik pakaianku. Sebuah
kacamata berwarna transparan kugunakan sebagai alat bantu percaya diri lainnya.
Aku tidak peduli apakah orang itu akan menganggapku norak atau berlebihan, yang
jelas, inilah aku yang tengah berusaha maksimal dalam penampilan. Aku tidak
hanya melakukan ini untuk seseorang yang akan kutemui. Aku juga melakukan ini
untuk diriku sendiri. Karena dalam ilmu fashion, yang penting bukanlah
kombinasi pakaiannya atau bentuknya seperti apa. Melainkan percaya dirilah yang
menjadikan apa yang kita kenakan itu menjadi terasa cocok. Karena yang kulihat
sejauh ini para model pun sering mengenakan pakaian-pakaian yang konyol dan itu
cukup menginspirasi. Jadi meskipun rambutku kini tampak seperti tokoh kartun
Ace Ventura, dengan turtle neck yang menutupi leherku seperti orang yang demam
dan blazernya yang mungkin terlihat terlalu formal, celana jins hitam yang
biasa-biasa saja ditutup dengan sepatu berbahan kulit ini terlihat aneh... luar
biasanya adalah aku malah semakin merasa percaya diri jika ada orang
memperhatikanku dan menganggapku berbeda dengan mereka. Mungkin efek samping
dari dunia keaktoran, terkadang aku merasa diri ini adalah bintang.
Tapi cukup dengan omong kosong itu. Kali ini aku benar-benar
harus pergi menemuinya karena aku sudah telat 15 menit dari janji. Sore ini,
aku akan menemui Tisya.
Jalan Ganesha, tepatnya kantin universitas Salman
Bandung. Disana ia terduduk, tengah membaca novel yang entah sudah berapa kali
ia baca. Menungguku. Ah aku benci sekali untuk terlambat. Aku tidak pernah
terlambat sebelumnya, aduh bagaimana ini. Sudah lama aku tidak bertemu
dengannya. Rasanya gugup sekali. Aku hanya sanggup berdiri dihadapannya,
menunggu responnya untuk menoleh. Dan... ini dia, menoleh ke arahku dan
menatapku sinis... ah mata itu... selalu mata itu yang membuatku tak karuan.
Mata yang bulat dengan bentuk hidung yang lurus... aku selalu lemah dengan stereotype wajah perempuan dengan
ciri-ciri seperti ini. Aku hanya bisa cengengesan.
“Kemana aja jam segini baru dateng?” Tisya tampak kesal.
“Ah... itu... iyah... hujan... aku terus... hahaha”
jawabku tak beralasan.
“Jadi gimana? Sudah ada keputusan?” Tisya bertanya lagi.
“Keputusan? Keputusan apaan?”
“Ya keputusannya. Jadi keputusannya kita ini mau dibawa
kemana arahnya?”
“Euh...? Kita...? Kita... euh...” aku mulai panik, apa
sebenarnya yang dibicarakan gadis ini?
“Apa kamu sudah bicara sama anggota yang lain?”
“Hah?”
“Iya. Sama anggota yang lain, apa kamu sudah sempet rapat
sama mereka soal klub komik ini sebelumnya?”
“Oh. Ah iyah. Klub komik... iyah... klub komik... ya...
saya... eh, kita kemaren sempet rapat gitu masalah kelanjutan klub ini karena
tiga pendiri utamanya udah pada sibuk dan sekarang udah jarang kumpul setelah
pameran kemarin...”
“Ya makanya aku pengen tau sekarang rencananya klub komik
ini mau dibawa kemana arahnya... kalaupun sudah dibubarkan ya harus jelas
bubarnya... atau kalaupun masih ada ya ayo kita aktifin lagi kegiatannya,
dengan begitu kita bisa blablabla dan blablabla jadi kita masih
blablablablablablablablablablablablablablabla...”
Telingaku mulai tuli. Aku terlanjur terkesima dengan
pesonanya. Entah apa yang dia bicarakan, aku sudah tidak peduli. Ah wajah
ini... aku tidak sanggup menatapnya lebih dari 3 detik... aku harus berpaling
dan berkedip sekarang... tapi kenapa sulit sekali...
“...blablabla. Woy Lukman! Dengerin enggak sih?”
tiba-tiba Tisya meneriakiku. Segera aku tersadar dan efeknya aku jadi berkedip
puluhan kali sekarang.
“Ah... iyah dengerin kok. Jadi nanti kita bikin
kegiatan... gambar... sepanjang jalan... jalan... jalan layang pasupati...
eh...” jawabku sekenanya.
“Lukman! Bukan gitu juga kali! Ya apa kek, gini.
Kemaren-kemaren kan ada kabar dari temenku di komunitas YCM, komunitas sosial
gitu deh pokoknya. Katanya ada seminar plus workshop yang melibatkan
komunitas-komunitas anak muda di kawasan Bandung untuk unjuk gigi dalam
peranannya untuk perubahan... nah kalau klub komik ini bisa eksis disitu
mungkin kiprah kita bisa lebih lama, oh ya selain itu... untuk setiap komunitas
dengan kontribusi paling tinggi untuk kemaslahatan Bandung bakal dapat hadiah
dana hibah gitu. Lumayan kan?” Tisya menjelaskan.
“Ya... ya... itu... itu... lumayan... bagus” jawabku
gugup.
Lalu sesaat Tisya termenung. “ Atau... apa lebih baik
kita bubar saja?” ujarnya seraya menghela nafas. Aku langsung meresponnya
dengan panik...
“Enggak. Kita... kita enggak boleh bubar... enggak
sekarang...” jawabku lagi. Tisya menatap mataku yang mulai serius. Aku tidak
tahu. Jika klub komik ini bubar, itu artinya aku tidak memiliki alasan apapun
untuk menghubunginya... terlebih sekarang ia mulai bekerja di kota lain dan
sudah memiliki pacar... aku... aku akan ditinggalkan...
“Oh ya... ini undangan seminarnya. Di hotel Aston. Jangan
sampai telat ya...” ujar Tisya seraya menyerahkan secarik kartu undangan,
kuterima kartu itu dengan perasaan kosong.
“By the way... status fesbukmuh...” Tisya bergumam.
“Ah... ya? Facebook?
Statusku? Kenapa?”
“Perasaan statusnya marah-marah mulu... ada apa sih?”
“Ah itu... itu... iyah... itu... itu fiksi... saya...
saya penulis fiksi... jadi itu... ada dialog tokohnya yang lagi cemburu sama
sosok yang ngedeketin cewek yang dia suka terus dia... dia... dia gitu deh.”
“Fiksi kamu itu lebay hahaha...” Tisya hanya terkekeh.
“Ah... ya. Itu fiksi kok. Santai aja.” Aku hanya bisa
cengengesan. Tentu saja, entah Tisya menyadarinya atau tidak. Aku selalu
menuliskan tentang kemarahanku di media sosial belakangan ini semenjak kulihat
status hubungan Tisya yang sudah tidak lajang lagi. Ditambah lagi pria itu.
Pria yang menjadi pacarnya, kurasa aku masih lebih tampan jika kami
dibandingkan, namun ketampanan memang bukan hal yang penting sekarang. Meski
begitu tetap saja karena hal itulah rasa sakitnya bisa mengalahkan segalanya.
Pria itu adalah pria yang selalu merayunya di media sosial, pria yang rela
pergi dari kotanya Surabaya untuk menemui Tisya dan menjalin kopi darat. Tentu
saja ia lebih baik dariku. Secara usia, secara mental. Usiaku lebih muda dua
tahun dari Tisya, ingat? Tentu saja tingkat kemapananku pun masih belum jelas.
Meski begitu, meski aku tahu bahwa aku telah kalah telak... aku masih saja
belum bisa merelakannya begitu saja. Hanya bisa menulis hey, aku memang tidak
layak untuk ditunggu, tapi aku mencintaimu atau ayolah bung. Jangan begini,
jangan dia yang kau cintai karena aku lebih membutuhkan dirinya saat ini.
Sebagai bahan bakarku, sebagai motivasiku... karena aku telah kehilangan sosok
wanita semacam itu dengan cara yang
sangat menyakitkan... dan disaat aku menemukan sosok yang lebih baik
mengapa aku masih tidak bisa memilikinya. Seumur hidupku aku tidak pernah
merasakan disukai oleh sosok yang juga kusukai, sejak kecil, remaja, alay,
hingga usiaku 20-an... aku hanya tahu bahwa aku justru disukai oleh
wanita-wanita yang tidak kukenal sama sekali... giliran aku mulai menyukai
seseorang, orang itu hanya sanggup menggantungkan jawaban, mempermainkan atau
menolakku dengan alasan-alasan yang indah. Padahal aku tidak sama dengan pria
lainnya, aku bukan sosok yang mudah melakukan pendekatan. Setiap kali aku
menyukai seseorang aku harus melakukan observasi berbulan-bulan. Mencari data
tentangnya. Mengetahui alamatnya, kebiasaannya, apapun tentangnya sebelum aku
benar-benar bisa mengajaknya mengobrol. Harus kuakui bahwa aku lebih tepat
disebut pemuja yang hebat dibanding pecinta yang hebat. Meskipun terkadang aku
bisa bersikap spontan dan meledak-ledak namun kenyataannya aku hanya pria
dingin yang membosankan. Aku tidak seatraktif pria yang zaman ini inginkan.
Tapi mungkin aku bisa menjadi pria yang zaman ini butuhkan. Ah sudahlah. Intinya
Tisya tidak menginginkanku. Di kantin ini kami membicarakan banyak hal yang
sayangnya tak bisa kusimak dengan benar karena terlena oleh kebersamaan. Sampai
akhirnya Tisya pun menatap arlojinya, Saat itu sudah pukul 17.00 dan hujan
masih belum reda.
“Duh udah jam 5 lagi. Aku telat! Lukman, aku cabut dulu
ya. Ada tamu mau ke rumah nih...”
“Tamu?”
“Iya. Dia dari Surabaya. Katanya jam 5 ini dia udah
sampai di rumah aku, jadi sekarang aku harus langsung cabut. Jadi gitu aja ya
Lukman, jangan lupa seminarnya loh ya! Harus ikut pokoknya. Besok aku musti
balik kerja lagi ke Jakarta. Jadi jangan lupa blablablablablablablablabla...”
Tamu dari Surabaya. Tentu saja. Mungkin menginap. Mungkin
ia juga yang akan mengantarnya besok. Tentu saja, itu pasti pria itu... ah yang
benar saja, pikiranku mulai tidak karuan sekarang.
“Oh ya sudah kalau begitu, hati-hati... saya juga...
kebetulan lagi ada acara keluarga...” ujarku berbohong. Tisya menatapku aneh.
“Oh ya? Acara keluarga?” tanyanya lagi.
“Ehm. Iya, acara keluarga. Kamu pikir aku serapi dan
sewangi ini cuma buat nemuin kamu di kantin ini apa?” aku berkilah.
“Good strike dude!”
Tisya hanya tersenyum. “Ya sudah. Dadah...” Tisya pun bergegas
pergi dan membiarkanku melihat punggungnya berlalu. Begitu saja? Dia pergi
begitu saja? Hey, ini mungkin akan jadi pertemuan terakhir... tapi dia takan
peduli, dadaku mulai terasa sesak, sudahlah... mau bagaimana lagi, rasanya
memang seperti itu, sesakit itu, sudahlah... terima saja. Aku berjalan diantara
hujan yang seolah ikut menangisiku dengan turun lebih deras lagi. Hairspray
yang tadi kusemprotkan tampaknya sudah mulai terbilas bersama hujan yang deras.
Aku tak peduli. Jambul tinggi yang tadi kubuat pun jadi melengkung turun
terbasuh air hujan. Terbasuh kesedihan. Ayolah aku ini baik-baik saja kok.
Tidak sadar, aku sudah mengitari kampus itu satu kali. Berniat menghibur diri,
kuputuskan untuk mencari kepingan DVD bajakan yang biasa di jual didepan kampus
ITB, tidak jauh dari situ, seraya berharap siapa tahu aku bisa menemukan Mari
Fujisawa sebagai pelarian. Tapi tidak, semua pedagang telah melarikan diri dan
menyelamatkan barang dagangannya dari hujan. Sekarang barulah aku ingin
menangis. Kuusahakan ekspresi wajahku tidak ikut meleleh karenanya, dengan
begitu, dengan air hujan yang juga membasuh seluruh wajahku ini, hanya aku dan
Tuhan yang tahu bahwa aku tengah menangis.
“Kau itu laki-laki. Seharusnya menangis
bukan gayamu”
Yang benar saja. Sejak kapan menangis hanya menjadi
monopoli kaum hawa?
“Bukan begitu. Hanya saja laki-laki sejak
lahir dituntut untuk lebih kuat dari perempuan...”
Lebih kuat? Dari sisi apa? Karena setauku tidak ada obat
kuat yang diciptakan untuk perempuan. Lebih kuat kau bilang? Apa laki-laki
sanggup mengandung bayi selama 9 bulan dan melahirkannya? Yang benar saja.
“Dari sisi mentalnya Lukman. Tentu saja
mentalnya. Seorang laki-laki harusnya memiliki mental yang kuat dan tidak
menunjukan kelemahannya dengan... dengan menangis...”
Apakah kau pikir menangis tidak membutuhkan keberanian?
Menangis dan mengakui bahwa kau itu lemah... itulah kekuatan yang sesungguhnya.
“Laki-laki berpikir menggunakan otaknya
bukan perasaan”
Tapi aku bukan sekedar laki-laki! Aku ini manusia! Dan
sebagai manusia aku pun diberkati dengan perasaan! Apa salahku?
“Aku mengerti tapi... menangis tidak
mengubah apapun. Sudahlah”
Tidak. Meski begitu aku tahu bahwa dalam air mataku
terdapat zat leusin-enkephalin, sejenis endorfin morfin endogen yang mengatur
rasa sakit juga zat adeokortikortropik yaitu hormon penyebab stress dan
terakhir, prolaktin. Inilah hormon yang memproduksi air mata... intinya semua
zat tadi itu...
“Mulai deh... ya ya ya... what ever”
Faktanya, semua zat yang tadi kusebutkan adalah zat
penghasil stress, dan dengan menangis aku telah membuangnya... bukankah itu hal
yang baik?
“Tapi kau tidak perlu berlebihan begitu.
Larut dalam kesedihan bukanlah hal yang bisa dibenarkan”
I know. Dan sekarang... fiuh, im better now. Karena aku
menangis aku merasa jauh lebih baik sekarang. Hidupku bahagia, matahari
bersinar cerah, burung berkicau, udara yang sejuk...
“Hujan ini masih terlampau deras, jadi
yang kau katakan itu lebih mirip lari dari kenyataan...”
Aku tahu. Itu hanya perumpamaan. Sudahlah, dia mau pergi
dengan pacarnya kek, mau apapun itu bukan urusanku. Sudahlah.
Satu hal yang tidak bisa kuterima adalah Tisya tidak
pernah bercerita tentang pria ini padaku, padahal sebelumnya disaat ia masih
melajang ia pernah menceritakan bagaimana hubungannya dengan kekasih lamanya
berakhir. Mereka berdua putus hubungan karena adanya jarak diantara mereka atau
dalam bahasa kerennya LDR (long distance
relationship) itu karena keputusan mantannya untuk belajar dan berkuliah di
Jepang, pada awalnya hubungan itu bisa bertahan melalui komunikasi jarak jauh.
Dimulai dari hubungan via internet atau bahkan melalui telpon seluler, namun
setelah beberapa bulan Tisya menyerah, tanpa adanya pertemuan diantara mereka
ditambah kesibukan keduanya membuat komunikasi mereka terhambat. Dan tidak
seperti pria lainnya yang memanfaatkan keadaan ketika menerima sebuah curhatan,
aku justru mendukung Tisya untuk mau kembali mempertahankan hubungan lamanya
itu. Aku berkata begitu karena aku melihat dari sudut pandang sang pria yang
menurutku tidak bersalah, karena menurutku pertemuan hanya akan menumbuhkan
hasrat-hasrat tak berguna. Bukankah dalam hubungan jarak jauh komitmen dan kepercayaan
akan benar-benar diuji? Apa makna dari sebuah pertemuan yang sering jika itu
hanya untuk menambah dosa saja? Bukankah satu pertemuan saja sudah cukup? Satu
pertemuan yang diiringi kedatangan orang tua wali untuk melamar... bukankah itu
lebih penting? Lagipula jodoh merupakan takdir yang tak bisa diubah, lantas
mengapa harus takut? Pilih saja takdirNya yang paling baik. Ah sudahlah semua
wanita sama saja. Pada dasarnya mereka lebih menyukai fakta bahwa mereka
disukai tanpa ada kewajiban untuk balas menyukai... itulah mengapa aku selalu
ada diantaranya, sebagai pengganggu yang tak berdosa. Ini menyakitkan.
Aku menatap langit hitam, mendongakkan wajahku dan
membiarkan hujan menembakinya. Kuhembuskan nafasku... haaah... rasa sakit ini
pun sedikit berkurang.
___________________________________________
Keesokan harinya, kampus biru. Aku dan Riko seperti biasa
tengah bermain game Marvel Ultimate di laptop. Berbeda dengan sebelumnya, kali
ini aku tidak banyak bicara. Riko yang tak terbiasa dengan sifat diamku itu pun
mulai berceloteh.
“Tumben lu maennya fokus, gitu dong kan enak gua
maennya...”
Tampak di layar laptop Hulk tengah menginjak-injak
musuhnya. Dan Spiderman, yang dikendalikan oleh Riko sama sekali tidak mendapat
bagian untuk memukuli monster.
“Woy, sisain gua dikit dong, rakus banget sih hajarin
musuh!” Riko mulai mengeluh, aku hanya terdiam. Di layar laptop sekali lagi,
kali ini Hulk menghantam monster-monster itu dan mengubahnya menjadi perkedel.
Riko hanya melihatku ketus, hingga akhirnya dari balik tanah muncul sosok musuh
yang lain...
“Lukman... itu raja penjahatnya! Itu... itu namanya
Galactus... dia itu raksasa yang hobinya makan planet... ayo kita ospek dia!”
seru Riko. Tak perlu menunggu lama Hulk dan Spiderman pun menerjang Galactus,
namun langkah kami terhenti saat kami melihat Galactus yang seorang raksasa itu
tengah menggenggam sesuatu... tapi tampaknya bukan sembarang sesuatu, itu
adalah sesosok perempuan... Galactus berkata “Berani kalian melangkah lagi
perempuan ini akan jadi milikku selamanya... hahahaha”
“Lukman... cewek itu... itu cewek ilmuwan pacarnya si
Bruce Beneth alias si Hulk! Itu cewek lu man!” seru Riko lagi. Mendengar itu
Hulk pun marah, ia hantam tanah bebatuan yang ia pijak sampai akhirnya bebatuan
itu mengenai lengan Galactus dan membuatnya melepaskan perempuan itu... dengan
segera Hulk pun menangkap tubuh perempuan yang terlempar dari lengan
Galactus... Hulk pun berkata “Apa kau baik-baik saja?” pada perempuan itu. Perempuan
itu pun tersenyum seraya berkata “Oh Hulk... kaulah pahlawanku...” wajah Hulk
pun memerah, karena yang tersipu itu adalah Hulk, warna merahnya merata sampai
seluruh tubuh. Namun tak lama perempuan itu berubah wujud...
“Rupanya cewek itu adalah Mistique! Cewek mutan jahat
yang suka berubah wujud!”
Lalu Galactus dan Mistique pun menertawakan Hulk.
“Hahahaha kami berdua telah menipumu... hahahaha” kali ini Hulk benar-benar
marah. Saking marahnya stick joypad pun sampai terlempar dari lenganku.
“Woy Lukman, jangan banting-banting stick gua ngapa?”
protes Riko.
“Ane udah males maen. Ayo kita ke kelas” jawabku.
“Males sih males jangan gini caranya...” ujar Riko lagi.
“Ane stress ‘ko, ga di kehidupan ane, ga di dunia game
semua cewek sama aja!”
“EEEhhh??” Riko hanya bengong keheranan.