Translate

Jumat, 27 Desember 2013

serial Alam Lukman Yellowsky Bab 9

Bab 9

(Flashback Bag.4)
Air.

Musim panas. Hari yang indah, langit biru cerah dengan awan putih yang mengepul... disini, aku bisa melihat dengan jelas kondisi cuaca sekarang. Itu karena saat ini aku hanya bisa menatap jendela berteralis besi tanpa kaca yang letaknya kurang lebih 3 meter diatas tempatku... berjongkok. Jendela itu kurang lebih berukuran 1 meter x 60 cm, cukup buatku untuk melihat awan, langit dan kawat tiang listrik. Dari jendela tersebutlah aku bisa merasakan indahnya musim panas. Sayangnya udara di dalam sini kurang begitu segar. Meski begitu, burung gereja yang bertengger di kawat tiang listrik itu selalu bisa menghiburku dan... EEEUNGHMP.......!!!
Haaaaah... keluar juga, sudah hampir beberapa hari ini aku mengalami sembelit. Dan melihat ampas makanan itu pergi dari tubuhku rasanya sedikit melegakan. Temanku pernah mengatakan bahwa B.A.B adalah saat yang tepat untuk berpikir... konon katanya I.Q manusia akan meningkat sebesar 1 persen ketika kita melakukannya, itu sebabnya banyak orang yang melakukan ini seraya membaca buku, karena itu akan mengoptimalkan kemampuan berpikir. Temanku sendiri mengetahui itu dari kakaknya yang kebetulan kuliah di jurusan kedokteran. Apapun itu, aku tidak melakukan ini seraya membaca buku, karena di toilet berukuran 6 x 4 meter ini cahaya matahari yang keluar dari jendela itu terasa lebih menyejukan... tapi ngomong-ngomong kenapa burung gereja di kawat tiang listrik itu terus melihat ke arahku ya? Aku kan bukan burung, jadi tidak mungkin tatapan itu bisa membuatku ge-er, lagipula disini kan tidak ada burung, yang ada hanya... ah sudahlah.
Siram. Siram lagi... fiuh. Dadah ampas makanan, pergilah dan jangan kembali... kuselesaikan semua urusan dan aku pun keluar dari toilet. Begitu sunyi. Sepi. Itu karena aku sendirian di rumah ini, orang tuaku tengah pergi ke rumah saudara, kakakku pun sudah tak tinggal disini. Jadi hanya aku sendiri disini, bersama kegalauan, keresahan dan kesepianku. Jujur, rasanya itu sangat_______ menyenangkan.
Mau tahu hal apa yang menyenangkan ketika kita sendirian di rumah? Banyak. Itu karena saat sendiri di rumah, tak ada siapapun selain Tuhan yang tahu apa yang tengah kita lakukan disini. Sebagai contoh, karena aku mahasiswa jurusan teater, maka ini adalah saat yang tepat untukku berlatih akting, memainkan satu atau dua naskah drama dengan aku sendiri sebagai pemerannya... dimulai dari tahap reading, blocking hingga pengadegan semua kulakukan sendiri. Hanya Tuhan yang menjadi penontonnya. Lalu setelah semua itu selesai aku sadar akan kesepian ini, lalu tiba-tiba aku ingin menari... berdansa. Kuayunkan lengan dan kugerakan kakiku kesana kemari seolah aku memiliki pasangan menari yang anggun. Capek. Kutolehkan mataku ke gitar, benar juga. Karena aku sendirian sekarang, pasti tidak akan ada yang mengeluh jika aku menyanyi dengan suara sekencang-kencangnya kan?  Kupetik, kugenjring, menyanyikan lagu kesukaanku... berteriak... menangis... tertawa, aku sudah tak perduli lagi. Di kamar ini aku bisa menjadi diriku sendiri... lalu aku terdiam. Tak tahu lagi harus berbuat apa...
Kosong. Pikiranku melayang entah kemana, aku begitu bebas sekarang... penuh dengan waktu luang, tak ada beban... karena tak ada tugas–tugas dari perkuliahan yang merepotkan. Bagaimanapun kehidupanku sebagai mahasiswa tidaklah lancar, sehingga banyak mata kuliah yang kutinggalkan dan karena itu aku tidak mendapatkan tugas-tugas rumah, tugas laporan dan sejenisnya. Kemungkinan aku juga tidak akan mengikuti UAS atau ujian akhir semester. Dengan begitu aku bisa menikmati hari ini. Di rumah, sendirian.
Kulirik handphone, sepi. Tak ada  kehidupan. Aku sudah lama tak menghubungi Indi, begitu juga sebaliknya. Apalagi Tisya, dia mungkin sudah pergi entah kemana. Ada yang bilang kalau kesepian muncul ketika diri sendiri tak sanggup lagi untuk menjadi teman. Lantas siapa yang bisa kuharapkan sekarang? Lalu aku teringat akan sebuah nasehat bahwa ketika tak ada siapapun diantara kita dan yang kita miliki hanyalah Tuhan, sesungguhnya itu sudah lebih dari cukup. Ya, aku sadar Tuhan melihatku, Tuhan mengetahui apa yang kurasakan lantas apa yang akan Ia lakukan mengetahui aku seperti ini? Sementara Ia berfirman bahwa tak ada satu umat pun yang akan berubah kecuali jika umat itu sendiri yang mengubahnya. Itu karena manusia memiliki kehendak bebas. Meski begitu aku tak berdaya, mungkin karena aku begitu lemahnya menyadari kekuatan Tuhan yang berada di sekitarku selama ini. Bukankah Ia memang berada lebih dekat dari urat nadiku? Dan Ia berfirman bahwa ; “Aku sesuai prasangka hambaku, jika ia berpikir bahwa Aku dekat dengannya maka sesungguhnya Aku memanglah dekat, jika Ia berpikir bahwa Aku jauh darinya maka Aku telah menjauhinya... jika ia mendekatiKu dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan berlari, jika ia mendekatiKu sedepa, Aku akan mengejarnya seribu depa”
Tiba-tiba air mataku seolah ingin menetes. Memikirkan ayat itu hatiku tergetar rasanya, kurasa aku tak pantas mempertanyakan  Tuhan. Aku tahu Dia melihatku, Dia melihatku.

“Bukan hanya Dia, tapi aku juga melihatmu”

Apa? Siapa? Tiba-tiba sebuah bisikan muncul. Tidak. Mungkin hatiku saja yang sedikit meracau. Biasanya memang selalu ada bisikan-bisikan usil dalam hati ketika aku tidak fokus. Ada sisi gelap dalam hati yang selalu berceloteh nakal. Menyebalkan, rasanya malu membiarkannya berceloteh ketika sadar bahwa Tuhan berada dekat denganku, lebih dekat dari urat nadiku.

“Padahal aku sendiri berada di pembuluh darahmu”

Sejenak aku merinding. Emosiku tiba-tiba memuncak. Tapi aku tak tahu ingin marah kepada siapa. Tiba-tiba muncul sebuah pergolakan batin. Sangat kuat. Semakin aku mencoba melawan semakin kuat pula aku merasakan perlawanan...

“Ayolah, kamu tahu apa yang bisa dilakukan saat kamu sendirian...”

Mungkin inilah sebabnya hal ini disebut sebagai perang terbesar dalam sejarah manusia. Perang melawan musuh abadi dalam diri. Sial, harus kulawan... harus kulawan...

“Buka lemari itu... ada benda bagus disana”

Tidak.

“Ayolah, kalau bukan sekarang, kapan lagi saat yang tepat?”

Berisik!

“Tak ada yang melihat, tak ada siapapun disini”

Tuhan melihatku!

“Jika ya, bukankah biasanya juga begitu? Kita lihat apakah Dia bisa menghalangimu atau tidak...”

...

“Ayolah... kehendak bebas... ingat? Kamu sendiri yang bilang”

...

“Mereka itu indah sekali, dan kamu belum melihatnya...”

Sial. Riko sialan. Tiba-tiba aku ingin memaki teman kuliahku itu. Tapi sudahlah ini juga salahku, semoga saja ini bisa dimaafkan. Ah, kenapa? Tiba-tiba sebuah bayang masa lalu muncul dan menyakitiku. Alasan mengapa aku sangat membenci Indi dan tidak bisa melakukan ini.

“Lupakan saja, itu masa lalu. Dengan melihat benda  itu kamu bisa move on...”
Tidak. Itu menyakitkan.

“Kalau begitu terus, kamu tidak bisa menjadi lelaki normal”

Sial. Pintar sekali dia bicara. Setengah emosi kubuka lemari tempat biasa aku menyimpan buku-bukuku. Diantara buku-buku itu ada satu yang disimpan terpisah, dan jika kubuka di bagian tengahnya terselip sebuah benda. Sebuah kaset DVD. Kudapatkan ini dari Riko, semula aku berniat meminjam, tapi karena tidak pernah dapat kesempatan untuk melihatnya, aku menyimpannya terus begitu lama. Maklum, dirumahku tak ada budaya mengetuk pintu. Meski aku punya televisi dan DVD player di kamar sendiri, bukan berarti aku merasa bebas untuk melihatnya. Aku masih takut kalau-kalau orang tuaku tiba-tiba masuk.
Japanese Love Shop. Sebuah judul yang aneh untuk ukuran sebuah film dokumenter tentang keindahan makhluk ciptaan Tuhan. Disini dituliskan bahwa pemerannya adalah Mari Fujisawa. Cantik juga. Memang sedikit berbeda dengan gadis-gadis yang biasa kukenal... wajah oriental ini mengingatkanku pada... ah tidak! Biar kubuang saja.

“Serius kamu?”

Ya. Benda terkutuk ini harus kubuang!

“Wah, padahal itu film favoritnya Riko... sayang kalo dibuang.”

Ini racun generasi muda... harus kusingkirkan!!

“Biar begitu, Mari Fujisawa itu cute loh”

TETAP HARUS DIBUANG!!

“Mari Fujisawa... dengan mata innocent itu... dan juga senyum cemerlang itu...”

Perlahan kutatap lagi kaset DVD itu. Sial. Tapi aku harus membuangnya. Untuk hidupku yang lebih baik aku harus membuangnya. Ini adalah komitmen. Harus kubuang!

“Slurp... Mari Fujisawa she’s really delicious girl...”

Berisik! GUA BUANG SEKARANG!

“Your body is wonderland... your body is wonderland in my head”

SETAN! MALAH NYANYI LAGU JOHN MAYER LAGI.

“Your body is wonderland...”

Ok. Menyanyilah sesukamu tapi aku akan tetap membuang ini.

“Kamulah makhluk Tuhan yang tercipta tetap sexy, cuma kamu yang bisa membuatku terus menjerit aw aw aw...”

KUBUANG KE DALAM DVD PLAYER!!!! Ok. Ini dia, kumasukan kaset DVD itu dan membiarkannya berputar untuk menginvasi mata dan pikiranku. Televisi kupindahkan ke saluran AV, lalu suaranya aku mute, takut kalau-kalau ada orang yang mendengar dan... ini dia... adegan dibuka dengan sakura yang berguguran. Lalu perempuan itu muncul... mengenakan kimononya di samping sebuah sungai yang indah. Tiba-tiba perempuan itu menoleh, kamera dengan jelas menangkap wajah manisnya. Perempuan itu menoleh ke arah para ksatria samurai lengkap dengan pakaian perangnya yang tiba-tiba datang dari arah belakang, para ksatria itu terlihat gagah. Dengan mengendarai kuda hitam yang kekar mereka melaju dengan tombak dan pedang di tangan. Lantas para ksatria itu berhenti dihadapan gadis itu. Ksatria yang paling depan, tampaknya seorang jenderal, tersenyum picik menatap gadis itu. Sang gadis tampak ketakutan, lalu dengan sigap jenderal itu menarik pedang dan...
“Assallamualaikum...!!”
“Wa... Wa... Wa... Walaikumsallam!!!”
Gawat. Ada yang datang... dengan kecepatan tinggi kumatikan DVD playerku beserta televisinya. Segera kudatangi asal suara penggangguku itu. Lalu kudapati wajah tanpa dosa dari balik pintu.
“Hai.”
“Hoo. Kalian rupanya.”
“Jiah. Kok kaya males gitu liat kita berdua? Kita ganggu ya?”
“Hm... Lumayan.”
“Yes!!!”
Perkenalkan. Teman-teman penggangguku. Biawak nomor satu namanya Egi. Lengkapnya Egi Ghiffary Noor. Ingat saat kukatakan bahwa B.A.B bisa menaikan IQ sebesar satu persen? Aku mendengar hal itu dari orang ini yang notabene mempunyai seorang kakak lulusan kedokteran. Biawak nomor dua namanya Garlio, lengkapnya Garlio Muhammad Sutanto. Dulu sekali sebelum aku bisa bermain gitar, orang inilah yang bersedia mengaransemen lagu-laguku. Dan mereka berdua adalah... teman SMA-ku. Hanya teman SMA? Tidak juga, karena selulusnya dari sana kita bertiga terlibat dalam satu komunitas hobi, yaitu komunitas Komik Dan Manajemen. Di komunitas itulah aku bertemu dengan Tisya. Yah, kita semua punya beberapa kesamaan dan salah satunya adalah kita senang menggambar. Tanpa harus menunggu kupersilakan masuk, mereka langsung saja memasuki kamarku. Meloncat ke kasur dan mengacak-acak setiap benda yang mereka lihat. Garlio misalnya, layaknya serigala ia mulai membuka-buka lemari tempatku biasa menyimpan makanan-makanan ringan.
“Aha! Ini dia!”
“Apa?”
“Mie instan special extra rare limited edition, rasa eksklusif ayam bawang lengkap dengan minyak bawang dan bumbu didalamnya!”
“SEMUA MIE INSTAN JUGA BEGITU KALEEE!!!”
“Ok. Buatkan.”
“Roger.” Dengan terpaksa kupatuhi perintahnya. Tamu adalah raja. Raja yang menyebalkan. Berbeda dengan Garlio, yang dilakukan Egi hanya mengendus-endus tempat tidur begitu memasuki kamarku.
“Kenapa ‘Gi?” tanyaku penasaran.
“Ada yang menarik disini”
“Apa?”
“Kasur ini...”
“Iya. Apa?”
“Ada bau kamu di kasur ini...”
Euh. Mungkin ini saatnya aku memandang orang ini dengan tatapan seperti saat kita melihat sosok yang tidak normal hidup di muka bumi ini. Menatapnya selama lima detik lalu kembali ke dunia nyata. Kutinggalkan Egi dan Garlio di kamarku sementara aku menyiapkan tiga bungkus mie instan untuk kumasak. Sekembalinya aku ke kamar, kondisi kamarku sudah berubah. Majalah berserakan, seprai yang tak beraturan, bantal-bantal yang entah bagaimana bisa berada di tempat yang berbeda-beda dan salah satunya ada diatas lemari. Kulihat Egi meraih gitar, ia petik setiap senar layaknya pemain pro. Sayangnya Egi bukan. Egi bahkan tidak bisa bermain gitar. Tapi entah mengapa wajahnya bisa setenang itu meski suara-suara mengerikan mulai keluar dari gitarku. Sementara itu Garlio menumpahkan seluruh koleksi DVD-ku dari dalam kardus.
“Eh gimana kalo sekarang kita nonton DVD, kayanya filmnya bagus-bagus nih...” seru Garlio.
“Setuju!!” jawab Egi antusias. Sementara aku mulai panik karena didalam DVD playerku masih tersangkut sebuah kaset DVD terlarang.
“Euh... kawan-kawan, maaf tapi kayanya itu bukan ide yang bagus deh.” Ujarku sedikit panik.
“Kenapa?”
“Iya, padahal cocok banget kan. Sore-sore nonton DVD sambil makan mie.”
“Euh itu soalnya itu anu... euh DVD-nya bajakan!”
“Ah, DVD bajakan sekarang kan kualitasnya bagus-bagus hasil download dari internet gitu loh...”
“Oh kalau yang ini enggak, dia bajaknya manual. Jadinya agak gelap gulita”
“Ah, masa gelap semua, coba film yang ini deh. Ini film Jason Statham yang baru... beuh pasti keren nih...”
Segera saja kuhalangi Garlio yang hendak memutar film itu.
“Euh sory ‘Io, DVD player ane kondisinya lagi enggak baik”
“Kenapa lagi...?”
“Ente tau kan, euh... teknologi plak ‘n play?”
plug ‘n play kali...”
“Nah kalo punya ane ini beda, istilahnya plak ‘n play... alias digeplak dulu baru play...”
 Egi dan Garlio hanya bisa memicingkan matanya, melihatku kosong. Tapi tampaknya mereka mengerti, aku tidak mengijinkan mereka menonton DVD.
“Aneh banget, lu beli DVD di tukang tahu ya?” Ejek Egi.
“Pokoknya jangan sentuh DVD ane deh, bisa kesetrum...!”
“Eh kamu bukannya lagi masak mie tadi?” Garlio mengingatkan.
“Waduh! Lupa aku!”
Segera kutinggalkan mereka dan mulai melanjutkan memasak mie. Kulihat kuah mie berubah kuning, karena itu kuganti airnya dengan air masak yang hangat. Kuiris bawang merah dan bawang daun, lalu kutumbuk pula bawang putih dengan garam agar lebih mudah halus. Bumbu dan cabe bubuk dalam mie kubuang, kuganti dengan garam, gula putih dan merica. Satu-satunya bumbu asli yang kumasukan dalam mie hanyalah minyak bawangnya. Kuaduk mie beserta irisan bawang merah, bawang daun dan bawang putih yang dihaluskan tadi. Memang sedikit memakan waktu tapi demi kepuasan ini harus kulakukan. Karena bagaimanapun, proses memasak tidak jauh berbeda dengan proses seni. Prosesnya bagus hasilnya juga pastilah bagus. Meskipun yang kubuat ini hanyalah tiga porsi mie instan. Segera saja kubawa tiga mangkuk mie itu ke dalam kamar.
“Taraaa... Mienya sudah jadi. Siap disantap! Loh...?”
 “...”
“Kenapa kalian? Kok pada bengong begitu?”
“Mari Fujisawa... dia cute sekali...”
Kulihat televisi, dan itulah saatnya aku berteriak histeris dalam hati. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRGGGGGGHHHH!!!!!!!!!
“Oh my... masa iya?”
“Pake pedang lagi... tujuh orang man... tujuh orang...”
“HALOOOW KAWAN-KAWANKU... kita enggak mungkin makan mie sambil menonton ini kan?”
“Sebentar man, lagi seru. Tanggung...”
“Itu kuda apa monster? Kok gede banget...”
“Astaghfirullah... ampuni hambamu ini...”
Stop. Kumatikan televisiku. Dan kulihat mata Garlio dan Egi yang memelototiku.
“Mienya sudah masak. Ayo kita makan.”
“Aah... Lukman enggak asik ah.”
“Iyah. ENGGAK ADA GANTENG-GANTENGNYA!” protes mereka. Tapi tak ada yang bisa membantah, sekeren apapun film itu harus kuhentikan. Karena menonton ‘itu’ bersama-sama rasanya cukup menyebalkan. Sambil melahap mie yang kumasak, kedua sahabatku itu mulai berkoar sesukanya.
“Wih, Lukman... diam-diam ternyata suka juga...”
“Iya, pantes aja kita enggak boleh nonton DVD, ternyata...”
“Ganti topik” jawabku.
“Tapi Mari Fujisawa kok mau ya?”
“Ya iyalah gajinya kan gede bray...”
“Ayo kita ganti topik” aku masih memaksa.
“Kalo di Jepang industri film seperti itu memang dilegalkan” lanjut Egi.
“Yang hebat adalah sejak saat itu tingkat kriminalitas pada  perempuan justru semakin menurun”
Aku menghirup nafasku. Lalu kutatap lagi kedua temanku itu.
“Sayangnya...” ujarku tertahan.
“Apa?” Egi penasaran.
“Sayangnya di negara kita hal itu justru semakin lama semakin memprihatinkan... kalian tahu apa penyebabnya? Penyebabnya adalah maraknya DVD porno bajakan yang dijual secara bebas... bahkan sekarang ini melalui penelitian dikatakan bahwa jumlah siswi SMA yang masih perawan itu hanya sekitar 25 persen!”
“Yah... aku pernah denger soal itu” Egi pun membenarkan.
“Sekarang kan sudah ada internet... banyak hal yang dimudahkan, termasuk hehehe... yang begituan juga, kita enggak bisa apa-apa, sekalipun kita blokir situsnya selama ada yang bisa upload maka akses untuk mendapatkan hal itu masih ada” tambah Garlio.
“Bahkan jika pemerintah memblokirnya sekalipun akan selalu ada orang yang mencari cara untuk membukanya”
“Ya itu bener banget!”
“Kok lu semangat banget ‘io? Udah pernah nyoba ya?” Godaku.
“Hehe... gitu deh, kalau cuma diblokir situsnya sih aku masih bisa buka” Garlio menjelaskan.
“Euh...”
“Yang jadi masalah adalah ok, ane percaya kita enggak akan macem-macem sekalipun pernah melihat itu. Itu karena pola pikir kita sebagai cowok dewasa yang enggak sedangkal itu dan enggak bisa ngapa-ngapain kalau kita dipaksa menikah oleh pacar kita. Bagusnya adalah kita bertiga adalah jomblo membosankan yang sama sekali enggak beresiko...” aku mencoba menjelaskan.
“Haaah kasihan banget kita ya?”
“Tapi...”
“Apa?”
“Banyak juga teman kita yang juga jadi korban...”
Semua merenung. Menundukan kepala lalu mengalihkan pandangan ke arah lain dan sejenak berhenti menyantap mie.
“Ya. Cowok emang brengsek!” tegas Garlio.
“Hush! Yang salah bukan cuma cowoknya kali, cewek juga ngapain coba pake mau nerima cowok yang enggak-enggak”
“Maksud gua, cowok emang brengsek, makanya gua cuma mau jadian sama cewek!”
“Oh”
“Mungkin bener juga. Mereka kadang melakukan itu karena mereka menginginkan itu. Menikah setelah mengandung bayi. Dan kebanyakan dari mereka memang pernah menonton film ‘begitu’ dan terjadilah. Pacaran usia muda, menikah, putus sekolah dan selesai.”
“Ngeri banget sih, tapi...” ujar Egi seraya mengangkat mangkuk dan meminum kuah mienya sampai habis.
“Tapi apa?”
“Kok gua serasa jadi munafik gitu ya, diskusiin ini setelah menonton filmnya?”
“Yang penting kita jangan terjerumus ‘gi!” jawab Garlio.
“Hehehe itulah yang namanya silaturahmi!” tiba-tiba aku ingin tertawa.
“Maksud lu ‘man?” Egi menatapku heran.
“Silaturahmi yang sebenarnya adalah hubungan yang membawa pada kebaikan... coba kita pikir, dengan datangnya kalian kesini kalian udah menghentikan saya berbuat dosa, yah, meskipun akhirnya kalian menonton juga, ketidaknyamanan saya membuat saya harus matiin tv. Lagipula kita tidak bisa menonton itu sambil makan mie yang dipesan oleh Garlio, dan dari kesalahan itu kita bisa berdiskusi seperti sekarang ini kan?”
“Hehehe seolah semua ini sudah diatur ya...?” ujar Garlio.
“Bukan seolah. Tapi memang ada yang mengatur...” jawabku.
“Maksud lo? Oh ok. Gua ngerti. Tapi nonton doang juga udah keitung dosa kaleee” Egi menambahkan.
“Yah, kalo dipikir-pikir memang mencari perempuan baik-baik sekarang itu susah sekali, tapi untuk mengubah diri ini sebaik mungkin sampai menjadi lelaki yang pantas untuk perempuan baik-baik juga susah.”
Nobody’s perfect. Tapi kita bisa belajar”
“Haruslah. Di zaman seperti ini kita bisa apa lagi selain mencari yang terbaik dan menjadi yang terbaik?”
“Ane jadi inget...” ujarku seraya tersenyum kecil.
“Apa?”
“Dulu, waktu kita SMA, ane sempet berlaku kurang sopan terhadap banyak perempuan...”
“Oh ya...? Kok gua enggak inget ya?”
“Dulu setiap ada perempuan yang deket pasti pernah ane pegang...”
“Lu pegangin apanya ‘man? Seriusan?” Garlio tampak antusias.
“Biasanya sih, dulu ane sering godain cewek, kalo ada temen cewek yang deket, pertama ane lihat matanya dulu. Dalem banget. Abis itu baru gua pegang tangannya. Gua cari respon. Kalau tiba-tiba cewek itu keliatan kaget, ane senyum aja. Tapi kalau cewek itu cuek-cuek aja ane biasanya lanjutin ke rambutnya...”
“Rambut...?”
“Ya rambutnya... lu tahu kan, rambut cewek itu lebih halus dibandingkan rambut kita?” Aku mencoba menjelaskan.
“Oh... ok, terus terus...?” Garlio masih antusias.
“Kalau waktu rambutnya ane belai itu enggak masalah, langsung aja ane taruh tangan ane di bahunya. Seperti itulah, mungkin si cewek enggak berasa tapi buat ane sensasinya itu waw banget. Nah kalo udah di bahu, biasanya tangan ane suka turun tuh...”
“Turun... turun kemana tuh?”
“Turun ke pinggang pastinya... tapi biasanya enggak semua cewek bisa ane perlakuin begini, cuman cewek-cewek yang seneng digituin aja yang ane giniin. Biasanya sih mereka juga suka bales colek ane, kayak kalo lagi jalan tuh tiba-tiba pegang tangan ane, cipika-cipiki kalo mau pergi dan jambak-jambak rambut kalo lagi marah... yang paling ane suka tuh ya waktu mereka sedih mereka kaya nyaman gitu nangis-nangis di bahu ane...”
“Gila lu man... ternyata lu bisa gitu juga ya?”
“Kalo ane lagi bosen, kadang ane suka nyari cewek yang lagi duduk sendirian abis itu bobo deh di pangkuan mereka... eh tahunya si cewek malah pake belai-belai rambut ane lagi”
“Cewek itu... pacar lu kan?” Egi bertanya lagi.
“Itulah kerennya ane. Ane lakuin itu ke banyak cewek tanpa status yang jelas. Bahkan kadang ane lakuin itu ke cewek yang udah punya pacar, tapi ane woles aje, enggak terikat.”
“Tapi kok gua enggak percaya ya... lu kan agak pendiem gitu sama cewek, malah kalo enggak salah lu pernah putus sama cewek  karena kalian enggak pernah saling sapa setelah jadian kan?”
“Mungkin karena dulu kita enggak pernah sekelas. Jadi kalian enggak tahu banyak soal itu. Waktu itu kita deket cuma di klub gambar doang kan? Jadi kalian enggak tahu setengil apa ane sebelum tobat...”
“Emang lu udah tobat ya?”

____________________*****_____________________


Masa SMA. Ada orang yang bilang bahwa masa SMA adalah masa terindah, dimana pada masa itu persahabatan dan ketertarikan pada lawan jenis merupakan sesuatu yang mulai disikapi dengan sedikit serius. Buatku, masa SMA adalah masa dimana banyak sekali perubahan yang harus kulakukan untuk mencari identitas atau banyak orang yang menyebut itu sebagai jati diri.
Setelah lulus dari SMP, aku meneruskan ke SMA, tadinya aku sempat terpikir untuk melanjutkan sekolahku ke SMK dan memilih jurusan Elektro, jurusan yang dulu kusukai karena aku punya sedikit keahlian di bidang itu. Hanya saja yang kuinginkan saat itu adalah bisa satu sekolah dengan perempuan yang kusuka yaitu Indi. Lalu kucoba untuk mendaftar ke sekolah SMA negeri yang kebetulan Indi juga mendaftar kesitu. Sayangnya aku gagal. Untuk kedua kalinya aku gagal bersekolah di sekolah negeri karena nilai NEM-ku kurang dan tiba-tiba nilai persyaratan NEM sekolah itu melambung. Hanya saja kali ini bukan hanya aku yang gagal, tapi Indi juga. Sayangnya sebelum aku mengetahui dimana Indi selanjutnya akan bersekolah, orang tuaku sudah mendaftarkanku ke sebuah sekolah swasta. Ya. Disini aku sekarang, SMA Tata Budaya. Sebuah sekolah yang mungkin diantara sekolah swasta lainnya pun tidak begitu terkenal, tapi percayalah... seburuk apapun sekolah ini memperlakukanku, aku tidak akan menyesalinya karena ini adalah... sekolahku yang terbaik.
Shock. Kira-kira itu yang kurasakan ketika aku gagal masuk SMA negeri dan harus masuk sekolah swasta yang tidak begitu populer. Sempat juga aku meminta untuk pindah sekolah tapi tidak diijinkan orang tuaku, itu karena biaya masuk sudah dibayarkan sebelumnya. Lalu kuputuskan untuk menghubungi Indi. Kutelpon rumahnya, saat itu kakaknya yang mengangkat, lantas kutanyakan dimana Indi berencana untuk sekolah. Dari situ aku mendapat kabar bahwa Indi akan bersekolah di sebuah sekolah swasta yang terkenal kental dengan ajaran islamnya. Saat itu juga kuminta orang tuaku untuk memindahkanku kesana. Tapi orang tuaku menolak. Mereka bilang mereka sudah tidak punya biaya lagi untuk ini. Dan akhirnya aku pasrah saja.
Hal pertama yang kupikirkan pada hari-hari pertama saat memasuki sekolah baruku adalah... figur. Lebih tepatnya sebuah sosok yang akan kuperagakan selama aku sekolah nanti. Karena di sekolah ini tak ada siapapun yang begitu mengenalku, jadi kupikir mungkin ini kesempatanku untuk menjadi pribadi yang berbeda dengan sewaktu aku sekolah di SMP dulu. Jujur, aku sangat menyesal menghabiskan waktu di sekolah itu dengan menjadi anak baik yang tidak aktif, tidak menarik, kikuk dan sangat apatis. Dan kini, aku tengah menginjak tanah yang baru diantara orang-orang baru. So, kuubah cara berjalanku, lebih angkuh. Bukan karena kesombongan, tapi karena  rasa percaya diri yang kuat.
Hari pertama sekolah. Tidak ada satupun guru yang muncul dari balik pintu. Padahal ini sudah jam 12.30. Ada apa ini? Mengapa sampai jam segini tidak ada guru yang masuk...? Tiba-tiba para siswa yang tengah menunggu di kelas dikagetkan oleh suara pintu yang didorong dengan sebuah dobrakan keras...
Tidak. Itu bukan guru. Itu hanya sekelompok siswa sama sepertiku... bedanya mereka semua menggunakan jas hitam almamater sekolah. Aku tahu siapa mereka. Mereka adalah... anak-anak osis. Dan mereka adalah senior.
“BERDIRI SEMUANYA!!!” tiba-tiba seorang anggota osis yang paling depan berteriak... serentak semua anak di kelas berdiri. Ternyata itu pertanda bahwa razia dimulai. Tas setiap siswa digeledah. Termasuk tasku. Dan segera saja anggota yang menggeledah tasku itu melotot ke arahku. Di tasku ditemukan sebotol besar gel rambut, sebotol paket perawatan kulit mulai dari pembersih dan pemutih muka, sebuah pelembab bibir, topi motif bebas dan kacamata yang bukan minus ataupun plus. Semua anak osis menghampiriku, menatapku ganas... sementara kubetulkan posisi rambut seraya tersenyum santai. Sekarang aku tahu bagaimana caraku agar bisa terlihat eksis di sekolah ini.

___________________******_____________________

Kira-kira setahun sejak aku dirazia saat itu. Tepatnya saat aku kelas 2 atau biasa disebut kelas 11. Semua mulai berubah menyenangkan. Ah, masalah barang-barangku yang dirazia itu tidak perlu dikhawatirkan. Mengapa? Karena aku sudah mendapatkannya kembali. Ya, kuputuskan untuk menghadap ke ruang osis sendirian untuk memintanya kembali. Dan dengan beberapa persyaratan akhirnya mereka mengembalikannya. Kini, semua itu sudah tidak perlu lagi. Karena hukuman apapun akan selalu memihakku. Loh, bagaimana bisa? Itu karena sekarang, di sekolah ini akulah ketua osisnya.
Ok. Ok. Ketua 2. Bukan ketua umum. Meski begitu aku adalah satu-satunya laki-laki yang berada di jajaran para ketua. Ya, ketua umum osis disini adalah seorang perempuan. Namanya Ina. Perempuan yang menyebalkan. Entah apa alasannya tapi kurasa dia tidak menyukaiku berada di posisi ini. Kuketahui dia seperti itu sejak kudengar dia mengusulkan perubahan jabatanku pada pihak sekolah. Tentu saja itu ditolak. Itu karena para senior yang menegaskan bahwa aku telah dipilih secara demokratis dan keputusan itu tidak bisa diganggu gugat. Aku sih santai saja. Terlebih dia perempuan, aku tidak berani melawan karena mereka bisa menangis, berkomplot dengan kawannya dan sangat menyeramkan ketika pra menstruasi. Terserahlah. Jika aku boleh menebak, satu-satunya alasan ketua osisku tidak menyukaiku itu semua karena aku tengah mempermainkan sahabat baiknya yang juga adalah pacarku. Pacar? Ya. Disini aku punya pacar dan dia bukan yang pertama. Mungkin aku memang salah telah menebar pesonaku secara berlebihan. Tapi apa hubungannya dengan organisasi? Itulah, kenapa aku tidak suka ketua perempuan. Terlebih jika hubungannya dengan pacarnya bermasalah maka kita bawahannya harus bersabar menghadapinya. Tapi sudahlah. Disini, aku masih tokoh utama. Selain ketua 2 osis aku juga menjabat sebagai sekretaris umum LISES. Singkatan dari Lingkung Seni Sunda. Yah, aku juga aktif dalam berbagai kegiatan kesenian. Khususnya teater. Dimana di setiap pentasnya aku selalu menjadi tokoh utama. Segudang prestasi kudapatkan di sekolah ini. Masuk media dan menjadi sorotan adalah hal yang biasa. Tiga kali aku menjadi cover boy  sebuah majalah remaja lokal saat itu. Keren? Tentu saja.
Tapi itu saja tidak cukup. Semua orang berpikir bahwa aku hanyalah orang yang sok dan mau melakukan apapun demi popularitas. Pacarku menganggapku sebagai orang yang dingin, karena tak pernah sekalipun menyapanya sejak kita jadian dan ini sudah tiga bulan. Mereka semua salah mengerti. Karena yang kulakukan sekarang tidak lain hanyalah akting semata. Sejak awal aku masuk osis agar memiliki akses dalam semua kegiatan di sekolah termasuk juga acara-acara di luar itu. Bergabung dalam ekstrakurikuler teater agar aku terbiasa ketika menjadi pusat perhatian. Menggoda semua perempuan yang mendekat agar aku tahu betul cara menghadapi perempuan. Pacarku? Sebut saja dia hanya kesalahan teknis. Karena siapa yang tahu kalau Indi disana juga sudah memiliki pacar bukan? Ya. Aku tidak berubah. Aku masih mengincarnya. Dan kulakukan semua ini agar ia bisa menyadari  kehadiranku meskipun kita tak pernah saling bertemu. Hanya mengobrol dalam sebuah pesan singkat SMS. Karena itu aku butuh popularitas sebesar-besarnya agar kabar tentangku masih bisa ia dengar. Bahkan di masa depan sekalipun, aku sadar bahwa aku setengah gila. Tapi harus kubilang ini tidak cukup. Aku sudah cukup kesal dengan mengkerdilkan kemampuanku yang sebenarnya semasa SMP. Sayang, Indi tidak berada disini... membuatku harus berusaha lebih keras untuk meraih kekagumannya. Bukan perhatian. Karena jika hanya perhatian, harus kukatakan aku sudah mendapatkan ini lebih dari cukup darinya. Jika itu hanya perkataan selamat malam, selamat tidur, hati-hati di jalan, jangan lupa pakai jaket, sudah makan belum, sudah mandi belum, ayo bangun... semuanya. Indi sudah memberikannya padaku. Yang jadi masalah adalah aku tidak tahu sama sekali tentang arti perhatiannya itu. Apakah dia menyukaiku? Apakah itu hanya perhatian pada teman biasa? Atau apa? Jangan kira aku belum pernah menanyakan itu.  Aku sudah menanyakan ini berkali-kali. Tapi dia tak menjawab. Lebih dari itu, aku sudah menyatakan perasaanku padanya. Tapi dia masih tak menjawab. Sedangkan perhatian itu masih ia berikan. Setiap hari. Setiap pagi, siang, sore, malam, setiap saat. Pernah sekali aku tidak mempedulikannya... tapi menahan semua perhatian yang tak pernah kurasakan sebelumnya dari perempuan yang kusukai bukan hal yang mudah. Semakin lama dia memberikanku harapan yang tak pasti, semakin banyak juga perempuan polos yang kujadikan pelarian. Semua ini menyebalkan. Sampai akhirnya kutemukan perempuan lain, dia... Syifana. Dari luar, aku sudah tahu dia memang berbeda. Tapi sekali ini saja aku akan mencoba menaklukkannya. Aku tahu saat ini aku sudah memiliki pacar. Namanya Melly. Tapi tidak ada salahnya mencari tahu sisi lain perempuan seperti Syifana. Syifana adalah perempuan yang sopan dan anggun. Seorang anggota rohis. Sebuah organisasi ekstrakurikuler yang fokus pada kegiatan keagamaan di sekolah. Seperti anggota rohis lainnya, dia berhijab. Kerudungnya cukup panjang dan menutupi hampir seluruh badannya. Sebelumnya kita hanya saling bercanda biasa saja. Selera humorku cukup bagus, jadi ini mudah saja. Dan hari ini akan kucoba responnya.
Dengan cepat aku menghampiri gadis itu. Ia tengah asik membaca. Membaca novel buatanku. Kubuatkan itu untuk merayunya. Lalu dengan dalih mengagetkannya, kutepuk bahunya seraya berteriak.
“Dar!”
“Eeh... Lukmaaaaaaaaaaan!!! Dasar... ih ngagetin aja.”
“Serius amat, udah nyampe mana bacanya?”
“Iya nih. Baru baca 3 bab. Lucu juga...”
“Oh ya...?”
“Kamu tuh dasar, bilang aja kalau novel kamu ini curhat... hahaha...”
Dia terus tertawa. Ini dia, ini saat yang tepat. Aku membungkukan badanku dan mengarahkan wajahku ke wajahnya. Dari buku novel itu, matanya teralihkan langsung terpatri ke mataku. Disinilah jurusku kulancarkan...
 “Lucunya sebelah mana?”
Syifana terpaku sejenak. Sebelumnya telah kupastikan bahwa wajahku dalam keadaan terbaiknya. Dari sinilah aku bisa mendapatkan responnya...
“PLAAK!!”
Syifana menamparku. Begitu keras sampai wajahku terpalingkan. Tidak sakit. Tapi suara tamparannya cukup keras, aku hanya terpaku. Aku tidak pernah mendapatkan respon seperti ini sebelumnya.
“Itu... salah satu bagian dari zina...”
“Hah...?”
“Yang kamu lakuin itu... zina mata...”
“Hah...?”
Kemudian Syifana memasukan novel itu kembali ke dalam tasnya. Lalu ia meninggalkanku, pergi memasuki mushalla sekolah. begitu saja. Mulutku masih menganga. Rasanya aku malu, tapi malu karena apa? Tak ingin berpikir macam-macam, aku pergi ke ruang osis. Disana ketua osisku Ina, tengah mendekap seseorang. Ternyata Melly. Pacarku itu, tampaknya lagi-lagi dia menangis dan mengadu padanya...  haah merepotkan saja.
Ina tampak marah dengan mata memerah. Tajam menatapku. Dan aku yakin setelah ini ia akan mencari cara apapun untuk mengkritisi kinerjaku di osis. Tak apa, terserah dia saja. Kubuka lemari osis. Kuambil sebuah buku yang sejak keberadaannya disini tidak pernah ada satupun yang mau membacanya. Itu adalah buku tentang “TATA TERTIB DAN PERILAKU UNTUK SISWA SMA.”
Aku tahu ini adalah buku yang membosankan. Tapi bukan berarti tidak penting. Wakil kepala sekolah urusan kesiswaan yang memberikannya. Dan aku yakin di buku ini ada petunjuk yang kulewatkan. Kalau tidak salah... ah! Ini dia! “Tata Perilaku Yang Baik Seorang Siswa Laki-laki Kepada Siswi Perempuan...” ini dia. Langsung saja kubaca dengan seksama.

1.    Siswa Hendaknya Menghargai Dan Menghormati Siswi Dalam Semua Hal, Tidak Berlaku Jahil, Usil Atau Bersikap Kasar.
2.   Siswa Hendaknya Mau Membantu Jika Ada Hal Yang Tidak Bisa Dilakukan Oleh Siswi Di Sekolah, Seperti Contoh ; Mengambilkan Barang Di Tempat Tinggi, Mengangkatkan Barang-Barang Yang Terlalu Berat Sampai Memperbaiki Peralatan Yang Rusak.
3.   Jika Hendak Membantu Siswi Menyebrang Jalan, Hendaklah Siswa Berada Di Bagian Paling Luar/ Searah Dengan Arah  Datangnya Kendaraan.
4.   Siswa Berlaku Sebagai Penjaga Dan Pelindung Untuk Teman-Teman Siswi Dari Hal-Hal Yang Tidak Diinginkan.

Hanya empat poin yang kubaca, tapi rasanya ini sudah luar biasa. Jika hal-hal kecil berkaitan dengan etika seorang siswa terhadap siswi sudah ditanamkan dari awal, mengapa banyak sekali kejadian dimana anak lelaki remaja tidak bersikap baik pada anak-anak perempuan sebayanya? Dan ironinya... aku yang merupakan satu-satunya anak osis yang mau membaca buku ini, juga merupakan salah satu contoh dari siswa beretika buruk terhadap siswi. Tadinya aku merasa bahwa ini biasa saja karena tidak ada satupun anak perempuan yang mengeluh... jika aku memegang lengannya, rambutnya, bahunya ataupun pinggangnya... mungkin karena aku adalah anak lelaki yang populer... aktif di berbagai organisasi, enerjik, humoris dan para guru mengenalku dengan performa yang cukup bagus di kelas... yang jelas para anak perempuan itu sama sekali tidak menolakku. Tapi sekarang aku tahu aku salah. Syifana telah menyadarkanku. Dia dan tamparannya. Dan buku ini... kenapa buku sekeren ini tidak dikemas dengan keren juga? Sekeren majalah-majalah remaja yang biasa kuisi dengan foto wajahku?
Baru saja aku hendak memasukan buku itu kedalam tas untuk kupelajari isinya di rumah, Ina si ketua osis itu sudah menarik lengan bajuku. Sementara kulihat Melly kini mengatupkan kedua lengannya di meja staf inti osis. Dan ia menangis disana.
“Lukmaaannn...!!!”
“Apa lagi sih ‘na...?”
“Ituuu... kamu tega apa biarin pacar kamu nangis kaya gitu?”
“Ooh... disini ada Melly toh? Hei, kamu lagi ngapain disitu?”
Melly terdiam. Hanya menundukan kepala ke meja lebih dalam.
“Udah tahu lagi nangis! Sana samperin!”
“Samperin apa sih ‘na? Lagian ngapain juga dia pake nangis coba?”
“Ya kamu tanya sendiri aja sana!”
“Terus aku musti gimana??”
“Ya gimana kek, kamu kan pacarnyaaaa!!!”
Dengan terpaksa kudekati meja itu. Memang benar, aku tidak setega itu membiarkannya menangis di meja osis. Yang membuatku kurang nyaman adalah kualitas tangisannya. Jika aku yang menjadi penyebab air mata itu, rasanya semua itu tidak perlu. Kupikir, inilah aku. Jika kau menyukaiku maka terimalah aku seperti ini adanya. Tapi tidak. Melly tidak akan mengerti.
“Hoi...”
“...”
“Hoi... Hoi...”
Melly masih tidak menjawab. Jadi kucolek saja lengan yang tertelungkup itu...
“Hmm... ini apa ya? Tuk tuk.”
“...”
Melly tidak bergeming. Dia bahkan tidak mau tertawa. Meja itu semakin basah saja. Kalau begini, percuma juga aku baca buku tentang tata tertib dan perilaku. Anggap saja selera humorku sedang buruk sekarang. Jadi biar kutarik saja rambut itu sampai kepalanya menengadah...
“Ting tong!! Appa yip yip!”
“AAAAWWW!!!”
Melly menjerit. Mau tidak mau ia harus menatapku sekarang. Kulihat matanya sangat sembab karena menangis terlalu lama.
“Hm? Kamu kenapa?”
Melly masih tidak menjawab. Segera ia sapukan tangisnya dan berlari meninggalkan ruang osis. Ina mengejarnya seraya menatapku marah. Menatapku seolah aku yang bersalah. Sementara kuistirahatkan tubuhku di kursi panjang, hujan turun dengan deras... perempuan memang makhluk yang ribet. Ya, aku pacarnya. Apakah aku harus bertanggung jawab? Aku bertanggung jawab atas apa? Apa aku harus berkomitmen? Komitmen atas apa? Status pacaran saja aku tidak mengerti. Jika menurutnya pacaran itu haruslah duduk berduaan membicarakan hal-hal yang tidak penting, berjalan berdua seraya bergenggaman tangan itu adalah keharusan, maka caraku menghormatinya akan dengan mudah disalah artikan. Aku memang tidak memperlakukannya seperti perempuan yang biasa kugoda. Jangan salah paham, aku memang tidak menyukainya. Tapi bukan berarti aku tidak menghormatinya. Itu karena dia terlalu baik untukku. Pernah suatu ketika dikala aku tengah stress mengupayakan prestasiku dalam segala bidang, aku berlari di hujan deras seperti sekarang. Dia mengejarku. Biasanya di film-film romantis seorang pria akan mendekap perempuan yang tengah menangis... tapi ini bukan film. Disini, akulah yang menangis... dan dia yang mendekapku. Aku menangis karena... percayalah, menyakiti perasaan seseorang itu menyakitkan. Memperjuangkan banyak hal untuk orang yang entah menganggapmu atau tidak dan membiarkan orang lain yang lebih tulus itu tersakiti perasaannya karena kamu tidak menganggapnya... seperti roda karma yang berkelanjutan... tidak hanya itu, ketika sekolah melakukan acara kemping bersama misalnya, Melly meminjamkan jaketnya padaku ketika aku menggigil kedinginan, Melly juga melihat bagaimana saat wajahku tengah tertidur... intinya, Melly selalu berada disampingku disaat-saat terpayahku. Lantas bagaimana mungkin aku bisa menyakitinya lebih dari ini? Aku bukan pemberi harapan palsu. Jadi kuputuskan untuk menunggu. Menunggu aku yang jatuh cinta kepadanya atau dia yang bosan duluan... menunggu, diputuskan olehnya. Hujan semakin deras, jam sekolah sudah lama usai, langit semakin bertambah gelap. Rupanya aku ketiduran di ruang osis... lagi-lagi Ina membiarkanku bertanggung jawab dengan kunci ruangan ini. Ya sudah, lebih baik aku pulang. Haaah. Adzan maghrib berkumandang, sekolah ini tampak lebih menyeramkan saja jika lampunya dimatikan...

____________*****______________

Hari ini aku pergi ke sekolah lebih awal. Itu karena ini adalah hari dimana aku harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Teater. Sebuah ekskul yang tepat jika tujuannya adalah untuk mencari perhatian orang banyak, dan buatku perhatian Indi adalah tujuannya... dengan harapan semoga ekskul teater ini bisa tampil di suatu tempat dan Indi bisa melihatku disana... sungguh obsesif. Meski kenyataannya terasa pahit karena sejauh ini, Indi tidak pernah hadir dalam setiap pertunjukanku. Padahal jika ia benar peduli padaku, seharusnya ia bisa menyempatkan untuk datang. Sayang yang kulihat disini bukan dia, disini hanya ada seorang gadis bernama Tri. Dia teman sekelasku, dan entah apa yang dia lakukan di ruang klub teater ini, yang jelas disini belum ada anggota lain yang hadir.
“Eh, ngapain kamu disini?” aku bertanya.
“Kenapa? Emangnya aku enggak boleh dateng pagi apa?”
“Bukan begitu, tapi ini kan klub teater...”
“Jadi aku enggak boleh ikut gabung nih?”
“Oh kamu mau ikut juga? Boleh boleh... daftarnya ke sekretaris aja ya... kamu tunggu aja, sebentar lagi mereka pasti datang”
“Lukman...”
“Ya?”
“Teater itu ngapain aja sih?”
“Ya... banyak. Karena pada dasarnya teater adalah pertunjukan, jadi hampir semua kajian pertunjukan bisa digolongkan sebagai teater... contohnya seperti drama, pantomim, membaca puisi, musikalisasi puisi, dramatisasi puisi, sampai monolog...”
“Oh...” Tri hanya membulatkan bibirnya.
“Lukman...”
“Ya?”
Kusadari ada yang aneh dengan Tri pagi ini. Dia menatapku tajam, seolah ada hal serius yang terjadi. Tapi aku tahu tatapan ini... ini adalah tatapan yang sama dengan tatapanku ketika aku melancarkan jurus tatapan maut untuk memancing respon perempuan yang kugoda. Sayangnya aku sudah tahu reputasi Tri, dan ini tidak akan berhasil padaku.
“Assallamualaikum!”
“Wa... laikumsalam...”
Tiba-tiba Ina, Melly dan sekelompok anak perempuan muncul,  mereka semua adalah anggota dari klub teater.
“Kalian cuma berdua disini?” tiba-tiba Ina bertanya.
“Ya gitu deh, yang lain belum dateng... oh iya na, kenalin ini Tri, dia....”
Belum selesai aku bicara, Ina sudah bergegas meninggalkan ruangan. Sementara pacarku itu, Melly, dia bersikap seolah tidak melihatku dan membantingkan tasnya tepat di meja yang berada di hadapanku dan Tri. Semua menjadi terlihat canggung, Tri tampak kaget sementara Melly masih bersikap ketus. Berusaha memperbaiki keadaan, kucoba untuk memperkenalkan mereka berdua.
“Oh iya Tri... ini Melly, dia... dia... pacar... saya...”
“Pacar?” wajah terkejut Tri yang mudah ditebak itu tampaknya semakin membuat emosi Melly meluap... untungnya yang Melly lakukan tidak terlalu mencolok, ia hanya mengikat rambutnya, memperbaiki tali sepatu lalu bergegas pergi seraya... membanting pintu sekencangnya. Ok, dia marah sekarang.
“Jadi kamu sudah punya pacar?” Tri bertanya lagi.
“Kita memang jarang terlihat jalan bareng atau mengobrol, jadi hanya sedikit orang yang tahu kalau kita pacaran, tapi jika kamu bertanya apakah Melly itu pacar saya, ya. Dia pacar saya.”
Tri hanya termenung, dalam hati sejak awal aku sudah tahu rencana busuknya, akhir-akhir ini bahkan di kelas, Tri bersikap sok akrab dan mulai menanyakan tentang organisasi apa saja yang kuikuti. Tapi seperti yang kubilang, aku tahu reputasi orang ini dan aku tidak bersimpati atas itu. Tak berapa lama, anggota teater yang lain pun bermunculan, hanya saja kali ini mereka laki-laki.
“Wess... Lukman sudah ada disini, rajin betul. Coba tebak siapa cowok yang lagi seneng sekarang?” ujar Bambang. Selain di klub teater, Dia juga temanku di osis, menjabat sebagai sekretaris osis sekaligus ketua paskibra di sekolah.
“Oh... siapa? Aku enggak tahu, aku jarang liat gosip sekolah soalnya... Hahaha” jawabku.
“Si Sugih! Dia baru jadian kemaren! Nembak via sms! Hahaha...”
“Ah... biasa aja. Jangan begitu...” Sugih menimpali, Sugih juga temanku di osis dan dia anggota paskibra,teater juga rohis.
“Oh ya? Jadian sama siapa?”
“Teman sekelas, anak IPA-1, namanya Julia Fatmawati, tahu kan?”
“Julia? Julia yang rambutnya panjang itu ya?”
“Ya. Di kelasku cuma ada satu Julia... ya Julia yang cantik itu”
“Oh...”
Aku tertegun sejenak. Apapun menurut temanku Sugih. Aku yakin dia tidak mengenalnya dengan baik. Julia yang kukenal adalah Julia yang pahanya selalu kugunakan sebagai bantal disaat aku mulai merasa penat. Dan jari jemarinya yang pintar mempermainkan rambut ikalku, entah apa tanggapan Sugih jika ia tahu tentang itu. Mungkin akan lebih baik kalau aku sedikit menjauhi Julia sekarang, Sugih adalah temanku dan aku lebih memilihnya. Sayangnya, meski aku bisa melakukan itu, Sugih juga tidak tahu kalau Julia belum putus dari pacarnya. Pacarnya memang berasal dari luar sekolah, jadi ia mungkin tidak tahu, tapi jelas kalau Sugih tengah dipermainkan.
“Cewek samping kau itu sokap? kenalin dong bro...” tiba-tiba temanku Uki bertanya. Seolah disadarkan, segera kukenalkan Tri kepada mereka.
“Oh iya, kawan-kawan... ini Tri, mulai hari ini Tri akan bergabung dengan klub teater kita... jadi mohon kerjasamanya ya...”
Semua anak laki-laki tersenyum kegirangan. Sebenarnya Tri tidak begitu cantik, dia hanya... tidak jelek. Tapi entah mengapa semua teman-temanku tampak antusias. Sementara Tri hanya mengumbar senyum palsunya, seluruh anggota teater pun memasuki ruangan disusul dengan pelatih kita yang bernama Iha Lesmana. Di sekolah ini ia dikenal sebagai Chuck Norris. Karena baik jambang, kumis dan jenggotnya itu tampak serupa dengannya. Latihan dimulai, topeng pun aku buka. Dalam akting, kutunjukan seperti apa aku yang sesungguhnya. Tapi tetap saja. Aktingku jelek.

_________________________________


        Keesokan harinya, langit tampak mendung. Tampaknya nanti akan turun hujan, pikirku. Siang ini, aku harus menghadap pihak tata usaha sebelum memasuki kelas. Masalahnya? Ya, seperti biasa, baik di SMP atau SMA aku masih saja menunggak biaya spp... hanya saja mungkin aku diperlakukan sedikit berbeda disini.
“Kamu yang namanya Lukman?”
“Ya pak...”
“Jadi... Lukman, begini, dari data yang ada di bapak, kamu belum bayar spp selama 4 bulan ini ya?”
“Ya pak...”
“Kira-kira bisa diberesinnya kapan ya?”
“Kalau masalah kapannya saya kurang tahu pasti pak, saya harus bertanya kepada orang tua saya tentunya...”
Bapak bagian tata usaha itu bernama Kusnadi. Pak Kusnadi menatapku dalam...
“Yah, bapak harap tolong dikonfirmasikan secepatnya ya...”
“Ya pak!”
“Tapi inget satu hal...”
“Ya pak?”
“Kamu harus tetap rajin sekolah, enggak perduli seberapa banyak tunggakan kamu. Jangan sampai ini membebani kamu... meski begitu kamu harus tetap mengabari orang tua kamu karena ini tanggung jawabnya... tapi diluar dari itu, kamu harus fokus sama pendidikan kamu, ok? Jangan patah semangat!”
“Siap pak!”
“Ya sudah... masuk kelas sana”
Baru kali ini aku keluar dari ruang tata usaha dengan perasaan sesejuk ini. Dulu sewaktu SMP aku harus menerima hukuman fisik hanya karena masalah ekonomi, tapi sekarang tidak lagi. Terlebih menurutku menunggak 4 bulan spp sudah cukup baik... (biasanya lebih) tapi baru beberapa langkah aku meninggalkan ruang tata usaha, pak Kusnadi sudah memanggilku lagi.
“Lukman!”
“Ya pak?”
“Begini, bapak lupa kalau bulan ini dinas pendidikan tengah mengupayakan beasiswa khusus untuk siswa-siswa berprestasi... terus bapak lihat prestasi kamu di sekolah cukup bagus, jadi bagaimana kalau bapak merekomendasikan kamu saja yang menerimanya? Tentu saja itu pun kalau kamu mau mengurusnya ke dinas pendidikan. Bagaimana?”
“Wah. Tentu saja mau pak. Mau sekali!”
Sudah kubilang. Seperti apapun sekolah ini. Ini adalah sekolahku yang terbaik... ah. Hari yang indah. Kumasuki kelasku, baru saja aku terduduk, temanku Tri sudah berada disampingku.
“Lukman...”
“Ya?”
“Bambang itu orangnya kaya gimana sih?”
“Dia... baik. Eh... kok tumben, kenapa? Kamu suka dia ya?”
“Aku baru aja kirimi dia surat...”
“Surat?”
“Surat cinta... barusan aku nembak dia”
Pffftt!!! Rasanya aku ingin tertawa. Dasar Tri. Bisa-bisanya dia menyatakan cintanya kepada orang yang tidak dikenalnya... tapi dalam hal ini yang kucemaskan justru adalah temanku Bambang. Tahukah mengapa sering kukatakan bahwa reputasi Tri itu sangat buruk dalam hal ini? Berbeda denganku yang lebih senang menggoda perempuan tanpa status yang pasti, di bulan ini saja Tri sudah memacari 3 pria di kelas, memang tidak secara sekaligus... tapi jika kita lihat seperti apa kualitas dari mantan-mantannya... aku harus bilang kalau itu parah. Mereka bukan tipe pria-pria tampan, kaya, baik ataupun pintar... dan keputusan Tri untuk memilih pria-pria ini semakin membuat penilaianku buruk tentangnya, begitu pula cara Tri meninggalkan mereka. Sangat buruk. Tapi Bambang lain... dia temanku, dia tidak lebih pintar dariku tapi dia menonjol di kelasnya, sosok yang bersih dan orang baik. Dan jika Tri memang bermaksud menjadikan Bambang sebagai ‘kudapan’ baru... dia harus kuingatkan.
“Bambang... dia teman saya. Dan dia orang baik. Jangan main-main dengan orang ini...”
Tiba-tiba Tri menatapku lain. Ia tampak marah. Mata itu, dia tidak bisa berbohong dengan mata itu. Tapi aku tahu maksudnya. Dan aku tidak akan mengindahkannya. Dengan segera Tri meninggalkan bangku disampingku dan membiarkan pemilik aslinya untuk duduk. Dia teman sebangkuku. Namanya Gia Gilang.
“Hei... Pengen curhat lah...” Gia memulai pembicaraan.
“Euh... apa bisa pilih waktu lain aja Gi?”
“Enggak bisa. Musti sekarang...” Gia memaksa.
Sok atuh. Cerita ada apa...”
“Gini, kemarin saya nyatain ke si Risma osis, tahu kan?”
“Euh... soal cinta lagi ini teh? Ah sudahlah!”
“Eh dengerin dulu, kamu mau tahu enggak jawabannya gimana?”
“Enggak peduli!”
“Dia jawab begini... kak Gia, Risma itu sayang sama kak Gia sebagai teman, jadi gimana kalau kita jadi kakak-adik aja?”
“Fiuh... anggap aja itu awal yang bagus... biasanya respect atau rasa hormat jauh lebih sulit didapat ketimbang hasrat...”
“Tapi Lukman... kamu tahu enggak sesuatu yang lebih buruk dari itu...?”
“Enggak tahu dan enggak mau tahu jadi jangan kasih tahu...”
“Masa iya dong, si Risma malah nembak cowok lain... selang 5 menit setelah aku nyatain...”
“Ya bagus. Jadi kamu tahu seberapa baik dia buat kamu...”
“Bukannya gitu, tapi kamu tahu enggak sih, siapa yang dia tembak?”
“Pastinya cowok itu mati, iya kan? Peluru kaliber berapa yang si Risma pake?”
“Aku serius!”
“Ok. Ok. Siapa?”
“Felix.”
Sejenak aku terdiam. Felix adalah teman sekelasku juga, dan dia tahu betul kalau Gia menyukai Risma.
“Menurut kamu nih man, keren mana aku dibanding Felix?”
“Si Felix lah... rambutnya aja mohawk, jauh banget sama kamu yang punya rambut seperti Nobita...”
Gia Gilang membeku. Awan mendung disertai petir bukan hanya terlihat di luar jendela kelas, tapi juga di wajahnya. Dan seolah tahu bahwa ia tengah diperbincangkan, Felix berjalan mendekat ke arah meja kami berdua.
“Yo brother! Gua punya berita bagus buat kalian berdua!”
“Apa? Cerita dong cerita...” ujarku. Yang meskipun aku tahu apa yang akan diceritakan Felix akan membuat telinga Gia memanas, tapi aku sendiri sudah punya rencana dengan ini.
“Gua baru jadian brother! Sama si Risma, gebetan si Gia! Hahaha... sory loh Gi, tapi dia lebih milih gua tuh... hahahaha”
Wajah Gia merah padam, kulihat dia berusaha untuk tersenyum tapi kutahu ini senyum yang menyakitkan untuknya.
“Wih, keren. Kira-kira apa yang pertama kalian lakuin waktu jadian?” tanyaku, mencoba antusias. Dan sekali lagi, jawaban Felix pasti akan menyakitkan buat Gia.
“Tentu saja gua bawa ke tempat spesial. Dimana gua bisa pesen minuman beralkohol dengan bebas... dan lu tahu enggak Gi, berapa botol yang bisa dihabisin sama si Risma?”
Gia hanya tersenyum getir.
“Tujuh botol! Ya! Tujuh botol sekaligus! Hebat kan cewek gue?”
“Keren. Coba kamu nyobain juga, bisa collapse tuh...” aku pun menimpali. Sebenarnya aku hanya menyindir kebohongan Felix yang berlebih, yang sayangnya mungkin dipercayai oleh Gia.
“Lu sendiri man, gue denger-denger lu udah jadian sama si Melly ya?” Felix bertanya.
“Jadian apa? Ah gosip itu. Lagian nih ya, aku enggak bisa bersaing sama kamu yang notabene paling keren di sekolah ini kan? Urusan cewek beneran deh, juragan Felix ahlinya...” aku menjilat.
“Hahahaha... biasa aja” ujar Felix melambung.
“Eh, aku serius, para anak cewek kelas 10 disini banyak yang ngomongin kamu Fel!”
“Wah serius kamu?” Felix semakin penasaran. Sementara Gia, entah seperti apa perasaannya sekarang.
“Iya. Wah kalau nasehatku sih, cerita jadiannya kamu sama si Risma ini jangan sampai tersebar, bisa patah hati mereka nanti...”
“Oh ya? Bisa kaya si Gia sekarang dong ya? Hahaha... ya sudah thank you infonya man! Gue suka gaya lo hari ini!” jawab Felix seraya kembali ke bangkunya dengan senyum penuh percaya diri. Sementara itu, wajah Gia tampak masam. Aku tahu dia juga sedikit menaruh kekesalannya padaku. Sebelum itu berkembang, kucoba untuk menenangkannya sejenak.
“Kamu percaya semua yang dia bilang?”
“Hm?”
Gia masih terdiam.
“Aku enggak nyangka Risma bisa kayak gitu...” jawabnya pelan.
“Jadi kamu percaya cerita bohong itu?”
“Hm? Enggak tahu deh... Pusing aku.”
“Heh. Kamu enggak nyadar kalo si Felix bohong ke kamu supaya kamu bisa ilfeel sama si Risma? Aku tahu Risma. Dia bawahan saya di osis. Dan percaya deh, dia bukan perempuan yang seperti Felix bilang... karena kalau iya benar dia seperti itu, aku sendiri yang bakal pecat dia. Tertulis atau tidak tertulis!” ujarku tegas.
“Jadi menurutmu aku ini musti gimana? Ngeliat cewek yang aku suka jalan bareng sama cowok macam Felix? Diem aja gitu? Sementara kamu sendiri lebih dukung Felix dalam hal ini...”
“Hush! Siapa bilang aku dukung kecoak kampret macam dia? Enak aja... yang kulakuin tadi juga buat kau... mumpung si Felix itu ngerasa diatas angin, makanya, satu-satunya cara menjatuhkannya adalah membuat dia terbang lebih tinggi dari itu... karena semakin tinggi orang terbang...”
“Semakin sakit dia jatuh...!” Gia meneruskan.
“Nah itu kamu tahu. Yang perlu kamu lakuin sekarang cukup mengikhlaskan Risma, dan percaya deh cepat atau lambat Risma akan sadar bahwa ia salah memilih cowok. Dan Felix... kupikir tanpa provokasi dari saya pun dia pasti akan memilih untuk mendua.”
Gia hanya mengangguk. Aku sendiri memang kurang menyukai Felix karena kupikir gayanya itu sangat norak. Rambutnya, parfumnya, gaya berjalannya, semuanya... tapi entah mengapa Risma bisa menyukainya. Mungkin selera anak perempuan disini sangat rendah, mengingat lokasi sekolahku yang dekat dengan pegunungan dan pedesaan. Tapi kuharap Gia tidak menaruh harap terlalu besar pada Risma. Karena, aku sendiri tahu bagaimana rasanya digantung oleh harapan palsu Indi. Dan disini aku tengah berusaha melupakan semua itu dengan menyukai perempuan lain... tapi tidak ada. Tidak ada yang sanggup melakukannya... yang bisa kulakukan hanya berusaha memperbanyak kiprahku di sekolah sampai suatu hari aku bisa bertemu Indi dalam keadaan yang membanggakan. Dan aku berdoa agar dia memilihku.
Kelas dimulai. Guru masuk ruangan dan suasana riuh di kelas mulai memudar. Kucoba untuk fokus, mendapatkan nilai terbaik setiap hari. Karena disini, aku tidak perlu lari 35 putaran lagi atau lompat kodok menuruni tangga hanya karena belum melunasi buku. Hebatnya lagi, jika ada satu guru saja yang berceloteh bahwa ia akan menunda nilai siswanya karena belum melunasi buku, dia akan segera dipecat. Itu benar. Hal itu pernah terjadi ketika salah seorang guru mengancam temanku yang belum melunasi bukunya. Dan esok harinya guru itu sudah menghilang, disusul oleh pemberitahuan dari kepala sekolah yang memecatnya. Padahal, menurutku guru itu masih jauh lebih baik ketimbang guruku sewaktu SMP. Setidaknya dia tidak menghukum temanku dengan rentetan hukuman fisik, atau mempermalukan siswanya didepan umum dengan cacian-cacian yang merendahkan seperti apa yang dilakukan guruku yang terdahulu. Semoga saja orang itu baik-baik saja sekarang. Semoga.
Jam 5 sore. Kelas bubar. Di persimpangan lorong kelas, pak Iha, pelatih teater, memanggilku dan Gia Gilang yang kebetulan seharian ini bersamaku.
“Lukman... untuk pentas nanti judulnya ‘Caleg Elan’ kamu jadi tokoh utamanya ya?”
“Oh. Siap pak!”
“Oh ya, lawan main kamu nantinya itu Tri ya?”
“Hah? Tri?”
“Iya. Tri. Nanti ceritanya kamu jadi calon anggota legislatif partai politik nih, nah Tri itu nantinya bakalan jadi sekretaris kamu...”
“Oh...”
“Terus saya jadi apa pak?” tanya Gia.
“Kamu jadi ketua tim suksesnya Lukman”
“Oh... ok, siap pak.”
“Ok ya... nanti latihan harus datang semua”
Di gerbang sekolah, aku berpisah jalan dengan Gia. Aku mulai cemas, jika Tri yang menjadi lawan mainku, aku takut jiwa cemburu monster Melly kumat. Ah, tapi tidak. Bukankah Tri sudah jadi pacar Bambang? Kalau begitu tidak ada yang harus dicemaskan... dan benar saja, baru saja aku memikirkannya, Melly dan Tri muncul seraya bergenggaman tangan... tampaknya mereka sudah menjadi teman baik. Dasar perempuan, mudah sekali berubah.
“Hai... kompak bener, mau pada kemana nih...?” kucoba untuk menyapa.
“Mau pulanglah...”
Sementara kulihat temanku Bambang pun muncul mendekati Tri, Pacarku itu, Melly, kali ini dia tersenyum. Meraih tanganku dan menciumnya. Meski ini bukan yang pertama, aku masih merasa risih... kutarik lenganku cepat-cepat...
“Kenapa?” Melly bertanya.
“Enggak enak ah...”
“Enggak enak kenapa?”
“Soalnya kamu kelahiran tahun 89, sedangkan saya kelahiran 90, jadi kamu yang lebih tua dari saya...”
“Ya biarin kamu kan cowok aku...”
“Hahahaha”
Tiba-tiba Bambang yang melihatku pun mulai menggoda;
“Cie cie dua sejoli nih ye...” ujarnya.
“Cie cie yang baru jadian...” balasku.
“Ahay...”
“Ok, Mell... hati-hati ya...” ujarku pada Melly.
“Iya kamu juga.”
Tiba-tiba entah datang dari mana si ketua osis yang super jutek itu menabrak bahuku dengan sengaja.
“Kamu pacarnya anterin dong...”
Inilah yang tidak membuatku nyaman bersama Melly, disekitarnya selalu saja ada pengganggu yang mencampuri urusanku. Jika saja mereka mengerti apa yang tengah kuusahakan. Jika saja.
“Enggak apa-apa kok. Aku bisa pulang sendiri” jawab Melly.
“Kamu beneran enggak apa-apa?”
“Yaaaa Lukman... aku bisa jaga diri, percaya deh”
“Ok, kalau begitu. Hati-hati. Kamu pulang bareng sama Tri dan Bambang aja, kebetulan mereka arahnya satu jalur”
“Ya Mell, kamu bareng kita aja ok?” seru Bambang.
Melly hanya tersenyum, sementara awan mendung mulai menunjukan sikapnya. Hujan turun. Petir menggelegar, hanya dalam hitungan detik gerimis berubah menjadi hujan lebat... Melly menarik lengan bajuku mengajakku untuk berteduh, tapi aku segera menepis tangan itu...
“Kamu aja yang berteduh... aku enggak apa-apa disini!” seruku.
“Kenapa begitu? Ini kan hujan gede Lukmaan?” Tanya Melly
“Karena aku suka hujan! Lagian hanya basah sedikit di baju enggak akan bikin cinta aku ke kamu itu luntur kan?!”
Kukatakan itu dengan setengah berteriak, takut kalau suaraku tersamarkan deras air... Melly hanya tersipu, lalu Tri menarik lengannya... membuatnya meninggalkanku kehujanan dan membiarkannya berteduh di kantin sekolah. Sementara aku sendiri ditarik oleh lengan asing yang menarik lenganku dan memasukanku ke sebuah ruangan... pos satpam.
“Jangan hujan-hujanan. Nanti kamu sakit.” ujar orang itu.
Kucoba untuk fokus, mencoba mengenali suara itu. Itu bukan suara pak satpam. Itu suara perempuan dan dia... berwajah cantik.
“Kamu enggak apa-apa? Baju kamu basah begitu...”
“Hehe... enggak apa-apa kok teh... udah biasa...”
Kupanggil dia teteh, karena dia adalah kakak kelasku. Namanya Tia. Tia Octavia. Awal perjumpaanku dengannya yaitu ketika aku masih menginjak kelas 10, saat itu kelasku berada di lantai dua. Dan dari jendela kelas itu aku bisa keluar dan memanjat dinding seraya membawa bunga yang biasa digunakan sebagai pajangan penghias meja guru. Dengan bunga itulah aku menggoda setiap anak perempuan yang lewat... dan salah satu yang kugoda adalah Tia... waktu itu dia mengenakan seragam batik, dan karena aku hanya siswa baru, aku tidak sadar kalau seragam batik yang ia kenakan itu adalah seragam batik sekolahku. Sejak itulah Tia mulai mendekatiku. Hal baiknya adalah... Tia memiliki paras yang cantik, bahkan harus kuakui ia lebih cantik dari Indi. Selain itu ia tinggal di jalan Supratman, tidak jauh dari rumahku. Tubuhnya juga terlihat sempurna, tidak terlalu pendek dan tidak terlihat gemuk. Sejujurnya, aku punya banyak sekali kesempatan untuk menjadi pacarnya. Tapi keraguanku yang paling mendasar pun muncul... keraguanku bahwa dia gadis yang baik muncul ketika melihat gayanya berpakaian... seragam itu... menurutku seragam itu terlalu ketat. Roknya pun masih terlalu pendek. Sebenarnya aku tidak bermasalah dengan ini, karena perempuan yang biasa kugoda pun biasanya bukan kalangan perempuan yang baik. Tapi untuk menjadi pacar... tunggu dulu. Setidaknya Melly masih lebih baik. Tapi seperti yang biasa kubilang, Melly adalah kesalahan teknis... aku bahkan tidak mengenalnya sebelum ini. Aku tidak mengincarnya. Dia yang mengincarku...
“Hei. Kok malah melamun?” Tia menyadarkanku.
“Oh enggak hehehe...”
“Hari ini kita pulang bareng lagi ya?”
“Emm... gimana ya teh?”
“Kenapa? Kamu enggak bisa?”
“Lebih tepatnya tidak bisa hari ini”
“Akhir-akhir ini kita jarang jalan bareng lagi, apa jangan-jangan kamu sudah punya pacar?”
“Emm... kalaupun saya sudah punya pacar, itu bukan halangan buat saya jalan bareng teteh... hehehe”
“Terus kenapa? Oh iya, rumah kamu tuh yang di jalan Supratman kan? Deket rumah aku kan?”
“Ya sekitar situ lah...”
Kujawab sekitar situ. Dulu aku mengaku padanya bahwa rumahku dekat dengannya, dekat dari Supratman. Jalan Supratman sendiri identik dengan jajaran rumah-rumah besar dan penghuninya yang kaya raya. Tentu saja Tia tidak tahu kalau sebenarnya aku anak yang tinggal di belakang jalan tersebut. Yaitu jalan Cikaso Barat. Sebuah tempat dengan gang-gang yang panjang dan gelap di kala malam. Cikaso. Sebuah tempat yang jika orang mendengar namanya saja akan langsung bergidik. Konon, pada masa permulaan orde baru, banyak preman yang dibantai dan hilang secara misterius disana. Tapi tentu saja itu tidak sepenuhnya benar, toh aku baik-baik saja tinggal disana, lagipula tempatnya strategis karena berada di pusat kota.
5 menit berlalu. Akhirnya, aku melihatnya. Setelah hanya terduduk berdua dengan Tia di pos, orang yang kutunggu-tunggu pun muncul. Dia adalah  Syifana, dengan setengah berlari dia menggunakan kedua tangannya untuk melindungi kepalanya yang ditutupi kerudung. Aku tersenyum dan bangkit, segera saja aku berpamitan dengan Tia.
Teh, maaf hari ini saya ada janji, teteh bisa pulang sendiri kan?” ujarku berbohong.
Tia Octavia hanya melihatku beku. Seolah ia masih ingin aku disini dan tak rela melepasku begitu saja.
“Janji? Oh...” Tia hanya mengangguk kaku dan menatapku kosong. Aku hanya tersenyum. Kuusahakan agar senyum itu terlihat tulus, lalu kuremas jemari tangannya, kali ini sedikit lebih keras. Agar ia bisa mengingatku. Lalu kutinggalkan ruangan itu. Kubuka tasku, kukeluarkan sebuah benda didalamnya. Dan itu adalah sebuah payung lipat. Segera saja kukejar Syifana sebelum ia mencapai tempat berteduh. Kukembangkan payung dan segera berdiri dihadapannya.
“Mau ikut teduhan?” sapaku.
Syifana tertawa, dia hanya menganggukan kepala tanda ia setuju. Akhirnya, konsep “gentleman attitude” berhasil kupraktekkan.
“Kenapa ketawa?”
“Kamu itu lucu...”
“Lucu kenapa?”
“Lucu aja, masa iya cowok bawa payung ke sekolah...”
“Oh ini. Asik tahu, serasa jalan-jalan di Eropa...”
“Hahahahaha....”
Sementara Syifana terus tertawa, aku pun menghentikan langkahku sejenak.
“Lagipula...”
“Lagipula kenapa?” Syifana menghentikan tawanya.
“Lagipula saya laki-laki yang enggak suka basah dan karena itu saya enggak bisa biarin air hujan ini ganggu kamu biarpun cuma setetes... jadi kalau payung ini bisa menghalau sedikit saja air hujan ini dari kamu saya sudah cukup senang...”
Syifana malah tertawa lebih keras dan mengataiku dengan sebutan ‘gombal’, sayangnya di balik tawa itu aku harus melihat tatapan amarah dari tempat lain. Aku lupa bahwa Tri, Ina, Bambang dan Melly masih berteduh di kantin, melihatku tajam. Sedang Tia hanya memainkan tombol handphonenya dengan wajah cemberut. Tak ingin ambil pusing, segera kuajak Syifana untuk bergegas, menyebrangi jalan. Dan persis seperti yang tertera di buku “Tata Tertib dan Perilaku” aku menyebrangi jalan raya dengan posisiku yang berada di bagian paling luar atau berhadapan searah dengan laju kendaraan. Dengan kata lain, melindungi Syifana. Karena jalan didepan sekolahku memiliki dua jalur, aku pun bergerak menyesuaikan arah datangnya kendaraan, dari samping kanan Syifana lalu berpindah ke sebelah kirinya. Syifana yang mengerti maksudku hanya tersenyum. Senyum tersipu. Misi berhasil. Setidaknya untuk hari ini.

___________________________________________

Waktu menjelang malam. Radio memperdengarkan sebuah lagu dari sebuah band pendatang baru, Nidji dengan single “Hapus Aku” yang membuatku termenung karena mendalami liriknya, sementara kutatap handphone kakakku yang kini resmi menjadi milikku setelah ia berikan---------menunjukan sebuah pesan singkat dari sosok yang lama kukenal... atau bisa disebut juga sosok yang sudah lama tidak kukenal. Indi.

Luukmmann!!! Sore tadi hujan gede ya?
Kamu enggak hujan-hujanan kan?
Jangan lupa jaketnya!! Pokonya Indi enggak
mau, enggak mau banget, kalo kamu sakit.
Jadi jangan bandel!!!

Pengirim : Indi Indriani.

23/10/2007
20;32;34

Ayolah, yang benar saja. Aku bukan anak kecil lagi... aku tidak membutuhkan semua perhatian ini. Yang kubutuhkan hanya kepastiannya, bagaimana jawabannya, apa perasaannya. Lantas bisakah ia mengerti aku barang sedikit saja? Jika memang ia tidak menyukaiku, katakan saja... aku tidak keberatan meskipun mungkin aku akan melakukan pembelaan jika perasaanku dikritisi. Dan harus aku akui bahwa yang pertama kali memberikan perhatian lebih melalui sms adalah aku... tapi hey... aku melakukan itu karena aku memang  menyukainya... tapi apa ini? Yang dia berikan ini? Hanya harapan-harapan tidak jelas, bukankah sudah kukatakan padanya : “Indi. Saya enggak tahu harus mulai dari mana mungkin kamu sudah dengar ini dari teman-teman saya, tapi harus saya katakan bahwa semua itu benar, kalau saya suka kamu dari dulu dan yang perlu saya ketahui sekarang cuma satu dan tolong kamu jawab bagaimana perasaan kamu pada saya...” sebagai pria kukatakan itu dengan tegas dan lugas tapi apa jawaban Indi? Tidak ada. Dia tidak memberikan jawaban apapun. Selama 3 hari Indi bersikap diam padaku. 3 hari. Itu waktu yang cukup lama untuknya berpikir. Membuatku harus berdalih padanya dan berkata : “Maaf Indi. Ini benar-benar kesalahan saya. Anggap saja saya tidak pernah berkata apapun...” saat itu kupikir ini saatnya. Aku akan mencoba lepas dari Indi dan menjalani kehidupan terbaikku di sma... tadinya aku sudah cukup pasrah dan ikhlas. Tapi apa yang terjadi? Indi kembali dengan segala sikap posesif tidak pentingnya. Dan sekali lagi kutanyakan padanya : “Indi, sebenarnya posisi saya dalam hidup kamu itu apa sih?” lalu Indi pun menjawab : “Ada aja!”
Ah. Jawaban apa itu? Apa dia mengira perasaanku ini mengada-ngada juga? Setiap perhatian itu terus ia berikan meskipun aku mencoba untuk tidak peduli. Setiap perhatian itu terus ia berikan sementara di sekolah popularitasku meningkat dan para perempuan melihatku seperti properti yang menggiurkan. Melly misalnya. Tahukah bagaimana cara dia bisa menjadi pacarku? Jujur saja, tidak seperti anak perempuan yang lain yang begitu agresif, Melly tidak pernah mendekatiku dengan godaan yang norak. Disini ia mengandalkan teman-temannya... sebut saja Ina si ketua osis, Rini si petugas mading, Rudi dan Wahyu yang seorang senior sekaligus anggota tim sukses Melly yang paling gencar dan sekelompok anak perempuan lainnya yang dalam sekejap mengerubungiku dalam lingkaran makcomblang... aku? Saat itu aku tengah mengincar Syifana sebagai pelarianku dari Indi. Celakanya Syifana dan Melly juga merupakan teman baik... bayangkan saja, jika aku menjadi pacar seorang Syifana, maka hubungan Melly dan Syifana akan hancur dan ini tidak baik buat Syifana... celakanya lagi, bagaimana jika Syifana menolakku? Yang akan terjadi adalah Melly pun tidak akan tertarik lagi padaku... dan ini pun tidak menguntungkan. Maka terjadilah, kita berdua resmi pacaran. Pacaran dengan cara yang sangat garing... karena Melly adalah seorang pendiam dan aku tidak bisa mengusahakan perasaanku untuk tumbuh karena sifat diamnya. Aku tidak mau memulai apapun karena yang memulai bukan aku. Dalam hati aku berharap Melly bisa bersikap layaknya perempuan lain, bisa bersikap manja, marah jika tak kuperhatikan, atau memintaku untuk mengantarnya. Tapi tidak. Yang bisa Melly lakukan hanya menangis. Dan belakangan diketahui bahwa ternyata Wahyu seniorku yang mendukungku untuk jadian dengan Melly diam-diam juga mengincar Syifana. Pantas saja.
Lalu jelasnya bagaimana posisi perasaanku saat ini? Saat ini aku masih menunggu kepastian Indi. Dan selama menunggu aku akan berlatih mengenal perempuan. Melly? Bagaimanapun juga dia harus memutuskanku lebih dulu. Aku tidak berani mengatakan perasaanku yang sebenarnya padanya. Setidaknya aku masih mengejar Syifana karena perempuan seanggun dia bisa sedikit membuatku lupa dengan Indi. Selain itu ada teh Tia dan banyak perempuan lainnya sebagai cadangan. Apakah aku cukup kejam? Kupikir tidak juga, karena ini hanya ada di pikiranku dan belum bisa terjadi selama aku belum single.
Oh iya, bukankah sebentar lagi aku akan tampil bermain teater sebagai tokoh utama? Mengapa tidak kuajak Indi untuk menyaksikan itu? dengan segera kuraih handphone dan mengabarinya.

_________________________________

Latihan Teater. Semua telah mendapatkan perannya masing-masing. Beberapa siswa ada yang menjadi seksi artistik, sedang Melly sibuk mengurus bagian konsumsi. Pada mulanya semua berjalan normal-normal saja sampai bagian dimana adeganku ketika harus menggoda Tri yang entah bagaimana menjadi lawan mainku. Ruang latihan menjadi riuh... hey, hey, ada apa dengan mereka? Tri itu pacarnya Bambang dan aku pun sudah punya pacar... tenang saja ok, ini ada di naskah. Tapi tidak dengan Melly... tampaknya dia sama sekali  tak tertarik untuk melihat ini.
Latihan berlangsung selama 80 menit. Dan akhirnya saatnya untuk istirahat. Syifana tiba-tiba melintas dari luar ruangan. Aku pun bangkit dan mengejarnya. Para anak perempuan terutama para simpatisan Melly meracau... aku tak peduli. Aku hanya menyapa Syifana  untuk menanyakan novelku dan kembali ke dalam ruang latihan. Dan disana aku langsung menghadapi persidangan. Hakimnya... siapa lagi? Ina si ketua osis.
“Jadi sekarang Syifana?” Ujar Ina menginterogasi.
“Maksud kamu?”
“Jadi kamu suka sama Syifana?” Tambah Ina lagi.
“Emmm... sebetulnya aku sukanya sama orang yang namanya Ina, tapi dia nyadar enggak yah?”
Tampaknya Ina tidak siap dengan jawabanku sehingga wajahnya dengan cepat memerah... lalu sambil berusaha tenang ia menghardikku lagi...
“Serius!! Kamu itu ada urusan apa sama Syifana? Liat pacar kamu... kasihan dia disana!!”
Ina membentakku dengan keras sehingga semua anak mendengarnya. Semua berubah hening. Beruntung pak pelatih tidak ada disini... ini sedikit memalukan. Melly pun tampaknya kaget karena menjadi bahan pembicaraan. Kucoba untuk menarik nafas untuk menenangkan diri.
“Jadi kamu sudah merasa seperti jadi mertua saya begitu?” ujarku.
“Apa?” Ina hanya memicingkan matanya.
“Lihat Melly, dia baik-baik saja. Urusan saya dengan Syifana hanya mengenai buku novel yang saya pinjamkan... tidak lebih.”
“Kamu tuh ya...”
Bambang mendekat untuk menengahi dan semua menjadi terasa menyebalkan. Apa salahku? Dasar mereka ini ikut campur saja. Tapi begitulah, terkadang memiliki pacar juga bukan hal yang menyenangkan. Terutama jika alasan kita berpacaran hanya karena provokasi teman. Tak lama dari kejadian itu ruangan pun kembali hening. Pak Iha pun akhirnya masuk ruangan kembali. Dengan tenang beliau menjelaskan bahwa pertunjukan akan siap diselenggarakan dalam  dua bulan lagi.
“Bagaimana dengan tempat kita tampil nanti pak? Apa sudah ada konfirmasi dari pihak pengelola Baranang Siang?” aku bertanya.
“Ya. Kebetulan bapak sudah berbicara mengenai itu, dan pihak pengelola gedung mengatakan bahwa jadwal pertunjukan nanti akan cukup padat... jadi selain kita nantinya akan ada kelompok lain yang juga akan tampil” jawab pak Iha.
“Wah. Itu kesempatan bagus pak! Karena bisa menarik penonton lebih banyak lagi”
“Ya. Bapak juga berharap begitu. Oh ya, kalau tidak salah nama kelompok yang akan tampil setelah kita pentas itu namanya Kabaret Senyum...”
Kabaret Senyum? Pak Iha berkata bahwa yang akan tampil nanti adalah Kabaret Senyum? Entah mengapa aku merasa tidak asing dengan nama kelompok itu. Lalu kucoba untuk mengingat. Benar juga. Kabaret Senyum... kalau tidak salah semasa SMP dulu ada semacam ekstrakurikuler sekolah bernama Kabaret Senyum... meski di sekolah itu sudah menjadi ekstrakurikuler, tapi organisasi itu terus berkembang sampai diluar sekolah. Dan memang anggota dari kelompok itu kebanyakan berasal dari sekolahku yang dulu. Chandri Kirana... itu artinya akan ada banyak alumni SMP-ku yang akan datang menonton, karena pemain-pemain dari Kabaret Senyum kebanyakan adalah teman-temanku semasa SMP. Mungkinkah? Mungkinkah kali ini Indi bisa datang? Dulu... sewaktu aku pertama kali masuk Klub Teater ini, Indi tidak pernah muncul... Indi tidak pernah ada di bangku penonton. Tadinya kupikir Indi tidak bisa datang karena ia tak punya teman untuk menemaninya melihatku. Meskipun aku juga berharap bahwa Indi bisa mengajak orang tuanya, tapi kupikir Indi tidak suka teater. Dan dengan munculnya Kabaret Senyum yang notabene anggotanya adalah teman-temannya di kelas 3A, kemungkinan besar dia bisa mengusahakan untuk datang... ah. Rasanya aku bersemangat. Hampir 2 tahun lebih aku tidak melihat Indi. Ini pasti menyenangkan.

______________________

Malam menjemput. Hatiku kalut. Layaknya cenayang, aku merasa sudah tahu apa yang akan terjadi beberapa saat lagi. Bagaimana bisa begitu? Tentu saja karena hampir setiap malamku diisi dengan sebuah kejadian yang sama... dan malam ini pun pasti tidak akan ada bedanya. Handphone berdering, tebakanku salah. Kali ini Indi tidak mengirimiku SMS melainkan menelponku secara langsung. Yah tapi intinya sih sama saja. Indi menghubungiku.
“Halo... Assallamu’alaikum” kuusahakan agar suaraku terdengar lembut dan ramah ketika mengangkatnya.
“Walaikumsallam... Lukman?”
“Ya Indi?”
“Masalah kamu pentas nanti itu...”
“Oh iya ada kabar baru lagi nih, katanya setelah saya pentas nanti Zae temen kamu waktu SMP itu juga bakalan tampil di panggung yang sama bareng aku lho!”
“Zae? Anak Kabaret Senyum?”
“Iya... Kabaret Senyum! Temen-temen kita waktu SMP juga kayanya bakalan dateng juga deh...”
“Lukman... mengenai itu... kayanya...”
“Ya?”
“Aku enggak bisa dateng liat kamu...”
Akhirnya. Untuk kesekian kalinya kata itu terucap lagi. Aku menarik nafas. Bahuku terasa berat dan dadaku pun terasa sesak... sangat sesak. Lenganku bergetar menahan handphone agar tetap di posisinya... kuusahakan agar bisa tetap tenang.
“Oh. K-kenapa? Kenapa kamu enggak bisa...?”
“Kata mama aku enggak boleh main terlalu malam...”
Haah. Rupanya itu alasannya. Aku merasa sedikit lega.
“Oh itu... tenang aja, jadwal pertunjukan aku tuh mulainya jam 2 sore, paling sekitar sejam dua jam juga pasti udah beres... gimana? Bisa kan ya? Bisa ya bisa ya? Please...”
“Gimana ya? Ya deh nanti Indi usahain...”
“Ya dong... harus itu, hehehe... kalau kamu enggak dateng aku mau pundung terus marahan gak mau baekan lagi...”
“Iiih kok gitu? Ya deh ya, Indi usahain biar bisa liat Lukman main teater!”
“Hehehe... gitu dong”
“Indi usahain... tapi Indi enggak janji lho ya...”
“Enggak mau tahu. Pokoknya kamu harus dateng... hehehe”
“Ya udah. Sekarang Indi mau tutup handphonenya. Kamu cepet bobo jangan suka tidur terlalu malem... nanti bangunnya kesiangan lagi”
“Iya iya...”
“Jangan lupa mimpiin Indi!”
Tuut. Tuut. Tuut. Ia menutupnya. Aku tersenyum, meski dalam hati sejujurnya aku ragu Indi bisa datang. Entah apa yang akan terjadi nanti tapi aku benar-benar mengharapkannya. Kali ini saja. Kuharap kali ini ia bisa ada untukku.

_______________

2 bulan berlalu. Saatnya pertunjukan. Semua properti sudah terpasang di panggung. Semua penonton telah memasuki gedung. Tirai tertutup rapat, moderator mulai mempersiapkan sambutan. Di belakang panggung, aku tengah menggigil bersama temanku. Gia Gilang...
“Ini bukan pertama kali, tapi kayaknya aku demam panggung gi...” ujarku.
“Sama. Aku juga, rasanya tegang banget...”
“Musti maksimal gi! Musti maksimal!”
“Iyah. Ayo kita edan-kan akting kita!”
Pak Iha menghampiri kami semua, mengajak kami untuk membuat sebuah lingkaran. Kami berdoa. Dan ditutup dengan teriakan sekencang-kencangnya, maksudnya agar bisa menghilangkan ketegangan sekaligus pemanasan vocal. Dan moderator pun mulai membuka sambutannya.
“Kita sambut Teater Kawani dari SMA Tata Budaya Bandung... dengan judul... Caleg Elan... Selamat Menyaksikan...!”
Tirai panggung dibuka. Aku masuk panggung membuka adegan dengan sebuah monolog yang cukup panjang. Semua lampu menyorotiku. Aku tidak tahu dan tidak peduli berapa banyak pasang mata yang melihatku sekarang... karena ketika naskah kumainkan, entah mengapa panggung terasa gelap seolah hanya ada aku sendiri disini...

_____________

Akhirnya. Selesai juga. Tepuk tangan penonton mengakhiri permainan kami. Semua berjalan sukses, meski tidak bisa dihindari kesalahan teknis selalu ada tapi kami bisa melalui itu. Semua pemain, kru, termasuk sutradara sekaligus pelatih kita pak Iha muncul untuk memberikan penghormatan penutup. Semua tersenyum puas... sedangkan mataku hanya bisa menyapu seluruh barisan tempat duduk penonton... dia. Indi. Sudah kuduga dia tidak akan datang. Tak ada satu penonton pun  yang bangkit dari tempat duduknya untuk menemuiku. Tidak ada. Dan aku  merasa aneh, teman-temanku memelukku, menjabat tanganku, tertawa penuh keriangan sedang aku harus memaksakan senyum karena kekecewaan. Apa ini? Sejauh ini Indi memang tidak pernah ada bukan? Mengapa aku harus sesedih ini? Mengapa aku harus mengharapkan orang yang tak pernah ada? Sementara Melly menggenggam tanganku, membuatku semakin merasa tak karuan. Kubuka resleting tasku, kuaktifkan handphone. Sebuah SMS...

Lukman... maaf hari ini enggak bisa kesana
seharian ini indi demam, enggak bisa kemana-mana

Pengirim : Indi Indriani

15/12/2007
13;47;32

Apapun alasannya. Sejujurnya aku sudah tidak peduli... apakah itu kebohongan ataupun kejujuran. Sudah tidak ada bedanya. Intinya, dia tak ada disini. Ya sudahlah. Kubereskan semua peralatan di panggung dan juga make-up yang masih menempel di wajah. Tak berapa lama, Tri menghampiriku.
“Lukmaaan...”
“Ya?” sahutku seraya berusaha terus menyibukan diri
“Kamu mau maafin Tri enggak?”
“Maafin kenapa...?”
“Selama ini tiap kali latihan Tri cuma bisa bikin Melly marah...”
“Itu biasa. Enggak usah dipikirin”
“Tapi ini beneran Lukman!”
Aku tak menggubrisnya. Tak mau aku menggubrisnya, pikiranku runyam. Aku lebih memilih untuk membuat tubuhku ini sedikit berguna dengan membereskan properti. Tri hanya terdiam melihatku lalu kemudian ia pergi ke belakang panggung.
“Woy! Tinggalin dulu itu properti, kita makan dulu sini!”
Seru Gia. Aku hanya mengangguk. Saat makan, semua larut dalam tawa, dan aku pun berusaha keras untuk mengikuti arus keceriaannya. Tapi tetap saja, ada yang mengganjal. Meski begitu aku bersyukur karena membaca SMS Indi pada saat pertunjukan usai, sehingga tidak mengganggu konsentrasiku bermain. Selesai dengan sedikit evaluasi, makanan, properti, kostum dan make-up kita pun akhirnya bergegas keluar gedung. Beberapa teman dan guru dari pihak sekolah rupanya telah menunggu di luar gedung. Mereka menyalami kami, seraya berkata “Selamat ya...” aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Tubuhku lunglai. Hingga akhirnya semua itu sedikit terhapus ketika aku melihat sosok itu... seorang perempuan. Perempuan yang lama tak kutemui selama 2 tahun ini. Temanku semasa SMP... dia tampak celingukan memperhatikan poster-poster jadwal pertunjukan. Lalu aku menghampirinya... ia melihatku... melihatku dengan tatapan penuh pemikiran hingga akhirnya ia tersenyum...
“Lukman kan?”
“Dameyanti!”
“Ini beneran Lukman? Kok tinggi banget? Apa kabar?”
“Aku baik. Kamu sendiri gimana? Masih sering bareng Ajeng and The geng?”
“Wah sekarang udah pada lost contact sih. Kamu sendiri ngapain ada disini?”
Rupanya kehadiran Dame disini pun bukan untuk melihatku...
“Loh, kamu enggak tahu? Tadi kan aku baru aja beres tampil, tuh posternya, kamu enggak liat apa?”
“Oh itu poster kamu toh...”
“Terus kamu sendiri disini ada urusan apa?”
“Ya? Oh, iya nih... aku kan dikasih tahu... katanya Kabaret Senyum, tahu kan? Mau pentas hari ini... tahunya aku salah jadwal...”
“Lho kok bisa?”
“Iya kirain mainnya jam 3 tahunya disini disebutin pukul 19.00”
“Ha ha ha. Kasian banget. Oh iya, boleh minta nomor ponselmu?”
“Boleh. Nih... coba kamu miscall...”
Setelah bertukar nomor, bercanda ria, membicarakan hal-hal nostalgia---------------juga memberikan klarifikasi tentang siapa Dame kepada siapapun teman yang bertanya. Hingga akhirnya aku berjalan pulang, berpisah dengan teman-teman.

_______________

Dengan rasa pegal disana-sini, aku mulai menghayati malam. Sejujurnya, aku masih menunggu SMS dari Indi. Meski aku tidak tahu apa yang akan dia bicarakan... yah, minimal berkata selamat malam atau apapun itu. Tapi hingga saat ini handphone sama sekali sepi. Malam terasa begitu hening. Saking heningnya ruangan sampai terasa mengeluarkan bunyi siiiiiing...
Handphone berbunyi. Ah ini dia. Eh? Tapi ini...
“Dameyanti?”
“Halo Lukman, hei aku baru aja abis nonton Zae tadi”
“Oh ya?”
“Kamu kok enggak dateng? Padahal banyak loh temen-temen kita yang ikut nonton...”
“Ah, aku kan udah sering liat Zae waktu SMP”
Dan Zae tidak menarik buatku.
“Yee... ini kan beda, Zae yang sekarang lebih ganteng dari yang dulu...”
“Begitukah? Rupanya kamu naksir dia ya? Oh iya memangnya siapa aja yang dateng?”
“Banyak. Ada Ella, Widya, Arby, Puput, kebanyakan sih alumni Chandri Kirana sama itu... temen-temen Zae dari kelas 3A dulu...”
Kelas 3A?
“Euh... Dam, kamu tahu yang namanya Indi enggak?”
“Indi? Indi itu anak kelas 3A juga kan?”
“I... iya... euh... apa tadi juga kamu liat dia hadir disana?”
“Tadi sih dia ada... kenapa gitu?”
Dia ada. Indi datang kesana. Indi datang dan dia datang bukan untukku. Indi... waktu itu dia bilang dia tidak diizinkan untuk keluar rumah di malam hari... dan tadi dia bilang dia tengah demam tinggi. Selama ini... berapa banyak kebohongan yang sudah dia buat?
“...” Aku terdiam. Nafasku tersengal.
“Halo? Lukman?”
“...”
“Halo...? Halo Lukman...?”
“...”
“Hei... Lukman? Kok enggak ada suaranya?”
“...”
“Lukman? Lukman? Iih...”
“...”
Tuut. Tuut. Tuut. Kubiarkan Dame menutup handphonenya begitu saja. Dengan jari-jemari yang bergetar aku berusaha mengetik sebuah SMS pada Indi...

Bagaimana pertunjukan tadi? Zae pasti
seneng karena kamu mau datang. Oh iya,
tadi aku cari kamu. Kamu enggak ada.
Seperti biasa. Kamu enggak ada. Mungkin
akan lebih baik kaya gitu. JANGAN HUBUNGI
SAYA LAGI. JANGAN GANGGU SAYA DENGAN SMS
ENGGAK PENTING KAMU LAGI. MENGHILANGLAH.

Aku tidak yakin seberapa marahnya aku saat itu. Tak lama Indi menghubungiku, mencoba untuk meminta maaf. Aku meledak. Semakin dia berusaha menjelaskan, aku meledak. Kukatakan seberapa besar aku berharap. Kukatakan seberapa pentingnya dia untukku. Kukatakan seberapa hebat dan seberapa hancur aku sekarang karena dia. Hanya maaf. Hanya maaf yang dia katakan.

____________

Siang yang cerah dan apa yang tengah kulakukan? Di sekolah ini? Aku telah mendapatkan apa yang aku mau, popularitas, jabatan, beasiswa, teman-teman, pacar... jujur aku tidak bisa mengenal semua anak yang sekolah disini... tapi akan sangat mustahil jika ada salah satu dari mereka yang tidak mengenalku. Bahkan pedagang gorengan, pak satpam, penjaga warung fotocopy, guru, kepala sekolah, penjaga sekolah, istri kepala sekolah, anak kepala sekolah, kucing, burung, semut...  semua yang ada di sekolah ini... mereka mengenalku. Hanya aku. Hanya aku yang tidak mengenal diriku sendiri... tadinya aku melakukan ini semua hanya agar Indi tertarik padaku. Dan jika semua ini tidak ada pengaruh apapun baginya, untuk apa semua ini? Dengan bahasa tubuh yang tidak gagah kumasuki ruang osis. Dan disana, aku melihat sebuah benda yang tak asing bagiku.
Sebuah tas. Itu tas Melly. Mungkin tadi dia dari sini. Jiwa penasaranku mencoba menginterogasi. Dari dalam tas menyembul sebuah buku. Aku tahu buku apa itu. Itu buku hariannya, selama ini dia selalu merebut buku ini dan menyembunyikannya jika aku hendak melihatnya. Ah, kulihat tak ada siapapun disini. Aku kan pacarnya, tentu tidak apa-apa melihat isi buku ini sebentar saja kan...?
Kubuka lembar pertama buku itu. Busyet, huruf apa ini? Sejak kapan Melly bisa menulis huruf kanji? Oh ternyata ini masih huruf alphabet. Huruf alphabet yang mirip kanji... kubaca;

Hari Senin.
Hari ini Lukman sama kaya hari-hari sebelumnya. Masih jutek.
Dia menulis tentangku...
Hari Selasa.
Latihan Teater. Ternyata Lukman ganteng banget kalo pake kacamata.
Tentu saja aku ganteng, dengan kacamata atau tanpa kacamata...
Sama kaya Gia Gilang... dia juga ganteng...
Woy... woy... apa ini? Kenapa harus memuji pria lain juga sih?
Hari Rabu.
Hari ini enggak sengaja liat Lukman jalan berdua sama perempuan.
Hari kamis.
Lukman suka cemburu enggak sih kalo aku deket sama cowok? Kayanya sih enggak.
Hari Jumat
Aku liat Lukman pegang tangan cewek itu. Bete banget.
Hari Sabtu
Kenapa harus ada si Tri sih?
Hari Minggu.
Hari ini aku sms Lukman. Taunya Lukman malah balas sms pake marah-marah...
Hari Senin.
Aku liat Lukman deketin Syifana lagi. Ugh.
Hari Selasa.
Ada acara di Rohis. Aku pake jilbab, tapi respon Lukman biasa aja.
Hari Rabu.
Lukman senyum sama aku dan itu senyum yang aku suka.
Hari Kamis.
Bisa ngobrol lumayan lama sama Lukman.
Hari Jumat
Lagi-lagi... pasti deh, kalau aku mau cium tangan, Lukman suka menghindar...
Hari Sabtu.
Lukman enggak ada. Hari ini enggak liat Lukman sama sekali...
Hari Minggu.
Tadi malem mimpiin Lukman,di mimpi Lukman pegang tangan aku sambil bilang tolong lepasin aku sekarang... aku enggak mau, aku cuma bisa nangis...
apa ini? Kenapa seperti ini? Kenapa aku harus sekejam itu? Perasaan apa ini? Apa yang telah kulakukan? Mengapa aku sebodoh ini?
Rasanya cukup menyedihkan mengetahui bagaimana cara dia melihatku. Kututup buku itu, kukembalikan kedalam tas... dan dia pun muncul... ia muncul tanpa ekspresi kaget di wajahnya, seolah tahu aku telah berada disini.
“Lukman? Bisa kita bicara sebentar?”
“Eh... Melly? Ya, ya... euh ya... euh... gimana?”
Mendadak aku merasa sangat canggung. Lalu Melly mengajakku ke sebuah ruangan. Sebuah kelas yang sudah tak terpakai... dia menatapku dalam... jantungku tidak karuan...
“Kita enggak bisa begini terus...”
“Maksud... kamu Mell...?”
“Kita enggak bisa lanjutin ini...”
“...” aku terdiam.
“Mungkin lebih baik kita udahan. Sampai disini saja...”
“Ya?”
“Kita putus”
“Kenapa?”
“Ya kita udah enggak bisa lanjutin ini... kita mau ngapain lagi coba?”
“Aku enggak tahu, mungkin kita bisa mengulang semuanya dari awal...”
“Kamu udah ngomong tentang itu sebelumnya, tapi awal yang mana lagi yang kamu mau...?”
“Saya... saya... tapi...”
“Lukman maunya kita cuman jadi temen biasa aja kan?”
Aku mengangguk. Melly berhasil membaca pikiranku, kupasang tatapan memelas.
“Ya udah...”
Melly menjabat tanganku. Sebenarnya aku juga tahu kalau ini bukan hal mudah baginya. Ini terasa menyebalkan.
“Makasih ya...” ujarnya lagi.
“Maafin aku Mel...”
“Enggak... terima kasih.”

_______________


Akhirnya. Aku single sekarang. Tadinya aku sempat menyesali ini, tapi setelah kupikir-pikir mungkin ini memang yang terbaik... untukku... untuk Melly. Dan tidak seperti berita saat aku berpacaran, kabar tentang aku yang putus dari Melly jauh lebih cepat tersebar. Aku sendiri merasa sedikit lega karena sekarang aku bisa leluasa mengejar Syifana. Dan saat pulang sekolah, kuputuskan untuk kembali ke jalurku... mengejarnya.
“Syi... fa... naaaa...”
Syifana menoleh. Ia tersenyum lembut lalu kembali berjalan.
“Apa lagi sih Lukmaaan?”
“Judes banget... udah males ketemu aku ya?”
“Sedikit. Hahahaha”
“Syifana jahat”
“Hahahaha... mana payung kamu?”
“Aku sudah tahu kalau sore ini akan cerah, jadi aku sengaja enggak bawa payung hari ini supaya bisa menikmati sore bersama Syifanaaaa...”
“Dasar. Gombal... pantas aja kamu diputusin...”
“Putus enggak putus gombalanku ini tetap cuma buat Syifanaaa...”
Tiba-tiba tetes demi tetes air hujan turun dari langit... membuat prediksi cuacaku tadi terbantahkan.
“Loh... kok... gerimis?”
“Tuh kan... coba tadi kamu bawa payung...”
Tiba-tiba air hujan turun lebih deras... aku dan Syifana menepi di sebuah kios kecil yang sudah ditinggalkan pemiliknya. Kami hanya bisa mengandalkan atap kecilnya untuk berteduh...
“Waduh... kayaknya hujannya makin gede deh na...”
“Lukman sih... enggak bawa payung...”
“Yee... kok jadi salahin aku sih? Syifana juga harusnya inisiatif dong... bawa payung sendiri... jangan cuma bergantung sama payung aku...”
Tiba-tiba sebuah mobil melintas dengan begitu kencang, membuat serangan gelombang genangan air ke arah kami layaknya sebuah tsunami dadakan...
“Tuh kan...? Lukman sih!! Jadi basah semua deh...”
Lagi-lagi Syifana menggerutu. Lagipula kenapa dia menyalahkanku? Maksudku yang kebasahan kan bukan hanya dia saja... kulihat arah kanan kiriku... tidak ada tempat lain yang lebih strategis untuk berteduh... sementara angin kencang juga membuat arah air hujan tidak beraturan... ah, berteduh disini juga percuma sekarang.
“Syifana!”
“Apa?”
“Ini bukan hujan! Ini badai!”
“Maksud kamu?”
“Kita enggak bisa diem disini terus... air hujan masuk kesini juga...!”
“Terus musti gimana?”
“Didepan sana Gang Setia, kita lari kesana dulu... abis itu kita teduhan di wartel depan...”
“Gimana bisa lari? Ini kan hujan gede? Percuma aja kita teduhan kalau kita udah kebasahan duluan kan?”
Kubuka resleting jaketku... kukembangkan jaket itu diatas kepalanya... kulakukan itu seperti di film-film... yang aku tidak tahu adalah ternyata membuka jaket disaat seperti ini bisa membuatku menggigil kedinginan...
“Brrr... ok. Siap?”
Syifana mengangguk penuh kecemasan...
“1... 2... 3... sekarang! Lari...!!!”
Kita memutuskan untuk lari secepatnya dari tempat itu. Dan tak lama aku baru sadar bahwa Syifana tidak ada disampingku... rupanya dia tertinggal di belakang... ternyata yang kulakukan hanyalah menyelamatkan diriku sendiri... aku lupa bahwa seragam yang dikenakan Syifana adalah busana muslim, tentu akan sulit untuknya mengejarku dengan rok panjang yang ia kenakan... dan sekarang ia kehujanan. Tapi dia sama sekali tidak marah kali ini. Syifana malah tertawa... ditengah hujan ia tertawa lepas begitu saja. Ya, kita pasti terlihat bodoh tadi-----------lebih tepatnya aku yang terlihat bodoh. Bagaimana bisa aku mengajaknya berlindung dibalik jaket sedang aku meninggalkannya? Aku pun berhenti mengangkat jaketku. Jika Syifana sampai kehujanan begini sih rasanya aku sudah tidak perduli lagi dengan jaket dan hujan. Lagipula jaketku berbahan kain yang bisa menyerap air. Jadi semua ini percuma. Kita berdua tertawa dalam hujan, ya sudah. Begini saja. Toh momen ‘berhujan-hujanan’ kupikir jauh lebih manis ketimbang berteduh di balik jaket. Setelah sampai di wartel dengan kondisi pakaian, jaket dan tas basah akhirnya hujan pun berhenti. Seolah Tuhan menurunkan hujan tadi untuk mendekatkan kita berdua. Entahlah, tapi dengan berhentinya hujan secara cepat tadi membuat kita berdua tampak seperti sepasang remaja yang tercebur ke sungai... seraya berjalan, berpura-pura acuh dengan kondisi sekitar, aku mencoba menyatakan perasaanku padanya.
“Na...”
“Ya?”
“Euh... dulu aku inget aku pernah ditampar sama kamu...”
“Hehehe... maaf ya... sakit?”
“Enggak apa-apa, gara-gara tamparan kamu itu aku berhenti perlakuin cewek seenaknya, enggak pernah mau godain cewek lagi”
Hohoho. Terus apa yang sedang kamu lakukan sekarang Lukman?
“Oh ya? Baguslah...” Syifana menjawab pendek.
“Tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi kalau pegang tangan kamu boleh ga ‘na?”
“ENGGAK BOLEH!” tiba-tiba Syifana menghardik.
“Kenapa begitu? Kita kan udah deket...”
“Kita bukan muhrim!”
“Ya takutnya kalo aku enggak pegang tangan kamu, aku enggak bisa bawa kamu lari bareng kayak tadi... kamu pasti ketinggalan...”
Tetep enggak boleh, laki-laki enggak boleh pegang tangan perempuan yang bukan muhrimnya. Lagian harusnya tadi kamu nungguin aku, bukannya lari duluan gitu aja...”
“Kenapa gitu ‘na?”
“Itu yang Rasul kita ajarin...”
“Jadi aku enggak boleh nih... pegang tangan kamu?”
“Ada hadistnya. Lebih hina seseorang yang memegang yang bukan muhrimnya, ketimbang orang yang ditusuk kepalanya dengan pedang...”
“Maksudnya?”
“Pikirin aja sendiri”
“Kalau aku jadi muhrim kamu bisa enggak?”
Syifana tersenyum, lalu memukul bahuku dengan keras.
“Eit, enggak boleh pegang-pegang! Belum muhrim...” candaku.
“Abisnya... kamu tuh ya...”
“Aku serius...”
“Apa?”
“Aku... apa yang harus aku lakuin... kalau aku pengen jadi muhrim kamu?” Syifana terdiam. Jawablah... sebelum menikah kita pacaran dulu saja... ayo jawab seperti itu...
“Kamu harus menikahi saya”
“Kalau begitu sebelum kita nikah, bagaimana kalau kita...”
“Tapi saya pasti menolak kamu.”
“...”
“Saya enggak bisa pacaran sama Lukman, atau punya perasaan sama Lukman...”
“K-Kenapa?”
“Karena saya enggak punya perasaan apa-apa sama Lukman...”
Jleb! Aku ditolak. Jleb! Aku ditolak...!!! tidaaaak!!! Mama...!!!
“Ya... tapi... tapi...”
Aku tak tahu lagi harus berkata apa.
“Tapi saya menghargai Lukman. Kejujuran Lukman. Sejujurnya Lukman sudah terlampau baik untuk menjadi pacar...”
“Tapi ‘na aku ini...”
“Lukman sudah saya anggap sebagai sahabat paling penting buat saya, dan saya enggak mau hubungan itu rusak...”
Aku terdiam. Cukup jauh kita berjalan. Lama sekali. Syifana juga tidak berkata apapun. Kita berdua hanya berjalan tanpa obrolan... menciptakan sebuah ruang untukku berpikir.
“Baiklah!” ujarku.
“Apa?”
“Akhir-akhir ini saya mengalami banyak pengalaman buruk dengan perempuan... bahkan hari ini saya juga baru diputusin Melly. Tapi sejujurnya, baru kamu saja perempuan yang dengan tegas menolak saya. Dan saya hargai itu juga. Jadi Syifana, mungkin benar kata kamu. Kita lebih baik jadi sahabat saja. Dan saya akan ingat semua kata-kata kamu ini agar bisa menjaga saya dari perempuan... sekarang, saya akan benar-benar menjaga diri.”
Syifana tersenyum. Sejak saat itulah kehidupanku berubah. Pola pikirku berubah. Cara pandangku. Mengingat ini sebagai pemicu agar aku menjadi lebih baik. Karena kupikir, wanita yang baik hanya pantas bagi lelaki yang baik juga. Perasaan mungkin muncul sebagai hasrat tak terduga, nafsu batiniah dan lahiriyah yang sangat manusiawi. Tak perlu disalahkan. Namun, alangkah baiknya jika dalam perasaan, kita menaruh rasa hormat, saling menghargai dan mengikuti apa yang ditentukan oleh Tuhan. Mungkin tadinya aku mencari popularitas di sekolah karena seorang perempuan bernama Indi, tapi mungkin dibalik itu Tuhan memang berencana agar aku bisa terlihat hebat. Mungkin aku memang terlahir untuk ini. Untuk seni. Untuk menjadi aktor. Untuk menjadi komikus. Untuk menjadi penulis. Untuk menjadi entertainer... Atau mungkin lebih dari sekedar itu. Aku tidak tahu.

_______________

Setahun sejak hari itu... aku pun berhasil naik ke kelas 12. Saat itu aku sudah memulai banyak perubahan pada diriku. Tak lagi menggoda Syifana atau anak perempuan lainnya disaat senggang. Sejak saat itu, para anak perempuan pun tak ada yang berani menggodaku, memegang rambutku atau mencariku sebagai sandaran ketika mereka menangis... tak ada lagi cipika-cipiki. Kuhentikan seluruh pemakaian parfum, gel rambut, deodorant, pembersih wajah, pemutih wajah dan sebagainya. Kupikir daripada menggunakan uang jajanku untuk membeli benda-benda itu akan lebih bijak jika kugunakan uang itu untuk membantu orang tuaku melunasi spp. Dan sekarang, aku merasa lebih bebas. Kini semua orang tahu kondisi rambutku yang kering kemerahan dan sedikit beruban... aroma tubuhku yang sebenarnya ketika bermain bola... dan wajahku yang tampan apa adanya.
Lantas bagaimana hubunganku dengan Indi, Melly dan Syifana? Semua baik-baik saja. Syifana teman baikku sekarang, Melly juga, meski terkadang suasana canggung itu masih sering terjadi. Indi... aku mencoba untuk tidak terlalu menanggapi perhatiannya dengan serius. Jika dia tidak bisa datang untuk melihatku, itu adalah haknya. Jika dia tidak menyukaiku, itupun adalah haknya. Yang bisa kuberikan hanyalah sebuah rasa hormat dan terima kasih.
Dulu kukatakan bahwa aku tidak mengenal semua anak yang bersekolah disini, maka kini aku mencoba untuk bisa lebih dekat dengan mereka, mencoba mengerti dan mengenal masing-masing dari mereka. Lagipula aku adalah staf inti di osis, ibaratnya seorang pejabat daerah, akupun harus mengerti keadaan rakyatku.
Ya, itu benar. Rasa narsis itu masih ada. Dan aku berusaha total dalam kebanggaan ini. Dengan cara apa? Dengan menunjukan kemampuanku yang sebaik-baiknya. Bukan untuk dikenal orang, tapi untuk kehormatan. Kehormatan karena telah diciptakan sebagai manusia. Kita tentu tidak pernah berpikir apa jadinya jika kita terlahir sebagai makhluk yang lain bukan? So, buatku sekarang menjadi hebat bukanlah terlihat dari seberapa besar ia dikenal... tapi seberapa besar dia sanggup mengenal dirinya. Dan menjadi hebat dengan cara itu adalah salah satu caraku bersyukur.
Berkat pemikiranku itu, aku bisa dekat dengan seorang anak laki-laki bernama Jaja. Di kelasku yang baru, aku memilih dia sebagai teman sebangkuku. Jaja bukanlah anak yang menonjol di kelas. Wajahnya terlihat seperti orang tua dan rambutnya dipotong bob ala Bruce Lee. Aku mendekatinya karena jarang ada yang mau berteman dengannya. Orang akan dengan mudah menyebutnya culun, aneh dan dia sama sekali tidak akan peduli. Jaja bukan bagian dari barisan anak nakal di sekolah, tapi aku bisa melihat bagaimana dia tersisihkan dari sistem. Tak ada guru yang menegurnya, tak ada perempuan yang menggodanya, tak ada yang mau bergaul dengannya. Ya, Jaja mirip sekali dengan seseorang. Dia mirip denganku sewaktu SMP.
Tapi Jaja kelas 12 SMA. Hanya sedikit sekali waktu yang tersedia untuknya menikmati masa-masa indah SMA. Jadi inilah saatnya untuk memberikan hidupnya sedikit warna. Perlahan-lahan kucairkan sifat kakunya dengan canda gurau, membuatnya memberanikan diri untuk bertanya tentang pelajaran apapun padaku dan jika aku pun tidak mengerti tentang apa yang ia tanyakan, tentu saja bertanya kepada guru adalah saran yang baik tapi selebihnya aku akan berusaha menemaninya dalam kebingungan dan berkata padanya bahwa nilai jelek bukanlah hal yang menakutkan. Yang paling penting adalah kita tahu kelemahan dan kelebihan kita dan Jaja berkata bahwa dulu ia sempat menjuarai lomba adzan tingkat SMP. Jadi... kuajak Jaja untuk bergabung dengan klub rohis.
Klub rohis, sama seperti yang Syifana ikuti, merupakan ekstrakurikuler keagamaan dimana mereka biasa berkumpul di mushalla, dan Jaja akan dengan mudah diterima disana. Hingga kemudian Jaja menjadi muadzin yang aktif, akhirnya ia semakin terbuka. Para anak perempuan memanggilnya dengan sebutan ‘Jaja Wong’ sebuah plesetan dari nama artis Baim Wong. Setiap Jaja memasuki kelas, anak-anak disekitarnya menyanyikan sebuah lagu mars yang diciptakan untuknya. Hingga akhirnya aku mengajaknya untuk bernyanyi bersamaku dan disini aku bisa melihat ekspresinya yang tulus dan lepas ketika ia bernyanyi. Sebuah pelajaran lain untukku bahwa untuk menjadi diri sendiri kita tidak perlu menutup diri... siapapun bisa menjadi yang ia mau. Dan siapapun tidak butuh alasan untuk itu.
Selain Jaja, aku juga mengenal sosok yang tak kalah unik seperti Garlio, bocah hiperaktif yang katanya berambisi untuk menjadi ninja. Sering aku meminta bantuan “Sang Ninja” untuk mengaransemen lagu-lagu yang kuciptakan dengan gitarnya. Juga ada Egi si pemberontak. Yang berkata bahwa kita telah dibodohi oleh sistem-sistem yang telah diatur oleh para penguasa dan dia mencetuskan bahwa buang air besar bisa meningkatkan I.Q... juga ada Witono dan Ryan. Dua sahabat penggemar film ksatria baja hitam. Rizky si penggoda wanita... Aris si kingkong...
Banyak hal menyenangkan yang terjadi di SMA, seperti saat ketika kita mendirikan komunitas gambar bernama “Citrakara” yang kemudian sempat ditentang guru yang tidak menyukaiku karena dikhawatirkan hanya akan menghabiskan dana sekolah. Tapi aku menampiknya. Dengan berkata bahwa komunitas ini akan terus berjalan dengan atau tanpa bantuan sekolah. Dan perjuangan kita sebagai pioneer membuahkan hasil, karena saat kami meninggalkan sekolah, komunitas itu telah dijalankan oleh para junior dan resmi menjadi sebuah organisasi ekstrakurikuler bernama “Momiji.”
Ah masa SMA memang masa yang menyenangkan. Sebuah kenangan yang membuatku selalu ingat bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin. Karena jika kupikir keajaiban itu tidak ada, maka aku akan melihat kebelakang dan berkata bahwa begitu banyak keajaiban yang telah terjadi dalam hidupku. Jadi, akan kuciptakan keajaiban lainnya.

________________

16 oktober 2010.
Egi dan Garlio menatapku dingin. Seolah apa yang kuceritakan tidak istimewa. Ya, ini kan masa laluku, memangnya cerita apa yang kalian harapkan dari sebuah curhatan tentang masa lalu?
“Jadi...”
“Ya?”
“Syifana yang udah berjasa mengubah pola pikir lu tentang perempuan?” Egi bertanya.
“Gitu deh... ane kan waktu itu masih belajar ngertiin cewek... maksud ane, ngertiin apa yang baik buat cewek” jawabku.
“Dasar pengkhianat!” Garlio tiba-tiba menatapku tajam.
“Pengkhianat apa?”
“Kalo lu pernah berpikir untuk menghormati perempuan dan tidak macam-macam dengan perempuan, terus ngapain lu disini, di dalam kamar, sendirian, nonton Mari Fujisawa hah?”
“Udah deh ‘io, kenapa dibahas lagi sih?”
“Iya Gar, biarin aja, dosa dosa si Lukman ini...”
“Tapi ini enggak bisa dibiarin ‘Gi! Gua sebagai temennya mustinya bisa ngingetin, jadi untuk itu sementara kaset DVD Mari Fujisawa ini gua pinjem! Sesama teman harusnya bisa saling berbagi”
“Aaaah... modus juga lu ah!”
“Hahahahaha”
“Terus gimana kabar Syifana sekarang?” Egi bertanya lagi.
“Dia... dia baik-baik aja... kayaknya sih...” jawabku.
“Ya udah deketin aja lagi, supaya lu bisa tobat lagi hahahaha...” Garlio menimpali.
“Iya si Lukman tobat, lu yang jadi stress. Dasar hentai!” ujar Egi.
“Syifana...”
“Ya...?”
“Dia udah nikah. Kalau tidak salah sekarang lagi hamil 3 bulan...” jawabku dingin.