Translate

Rabu, 31 Desember 2014

Yellow Sky bab 12

Bab 12.

Langit.

      Sore itu gerimis menyapa kota Bandung, aku tengah mempersiapkan diri untuk bertemu seseorang. Kukenakan kaos jenis turtle neck berwarna biru tua yang dipadu padankan dengan blazer corduroi berwarna serupa. Sepatuku pun tak lupa kusemir hingga mengkilat. Kusisir rambutku serapi mungkin, kugunakan hairspray dan rambut gondrongku ini jadi tampak memiliki jambul yang tinggi. Aku jarang menggunakan parfum, aku selalu takut aroma parfum akan membunuh aroma feromonku, namun kali ini aku tak mau mengambil resiko. Kusemprotkan parfum di beberapa titik pakaianku. Sebuah kacamata berwarna transparan kugunakan sebagai alat bantu percaya diri lainnya. Aku tidak peduli apakah orang itu akan menganggapku norak atau berlebihan, yang jelas, inilah aku yang tengah berusaha maksimal dalam penampilan. Aku tidak hanya melakukan ini untuk seseorang yang akan kutemui. Aku juga melakukan ini untuk diriku sendiri. Karena dalam ilmu fashion, yang penting bukanlah kombinasi pakaiannya atau bentuknya seperti apa. Melainkan percaya dirilah yang menjadikan apa yang kita kenakan itu menjadi terasa cocok. Karena yang kulihat sejauh ini para model pun sering mengenakan pakaian-pakaian yang konyol dan itu cukup menginspirasi. Jadi meskipun rambutku kini tampak seperti tokoh kartun Ace Ventura, dengan turtle neck yang menutupi leherku seperti orang yang demam dan blazernya yang mungkin terlihat terlalu formal, celana jins hitam yang biasa-biasa saja ditutup dengan sepatu berbahan kulit ini terlihat aneh... luar biasanya adalah aku malah semakin merasa percaya diri jika ada orang memperhatikanku dan menganggapku berbeda dengan mereka. Mungkin efek samping dari dunia keaktoran, terkadang aku merasa diri ini adalah bintang.
Tapi cukup dengan omong kosong itu. Kali ini aku benar-benar harus pergi menemuinya karena aku sudah telat 15 menit dari janji. Sore ini, aku akan menemui Tisya.
Jalan Ganesha, tepatnya kantin universitas Salman Bandung. Disana ia terduduk, tengah membaca novel yang entah sudah berapa kali ia baca. Menungguku. Ah aku benci sekali untuk terlambat. Aku tidak pernah terlambat sebelumnya, aduh bagaimana ini. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Rasanya gugup sekali. Aku hanya sanggup berdiri dihadapannya, menunggu responnya untuk menoleh. Dan... ini dia, menoleh ke arahku dan menatapku sinis... ah mata itu... selalu mata itu yang membuatku tak karuan. Mata yang bulat dengan bentuk hidung yang lurus... aku selalu lemah dengan stereotype wajah perempuan dengan ciri-ciri seperti ini. Aku hanya bisa cengengesan.
“Kemana aja jam segini baru dateng?” Tisya tampak kesal.
“Ah... itu... iyah... hujan... aku terus... hahaha” jawabku tak beralasan.
“Jadi gimana? Sudah ada keputusan?” Tisya bertanya lagi.
“Keputusan? Keputusan apaan?”
“Ya keputusannya. Jadi keputusannya kita ini mau dibawa kemana arahnya?”
“Euh...? Kita...? Kita... euh...” aku mulai panik, apa sebenarnya yang dibicarakan gadis ini?
“Apa kamu sudah bicara sama anggota yang lain?”
“Hah?”
“Iya. Sama anggota yang lain, apa kamu sudah sempet rapat sama mereka soal klub komik ini sebelumnya?”
“Oh. Ah iyah. Klub komik... iyah... klub komik... ya... saya... eh, kita kemaren sempet rapat gitu masalah kelanjutan klub ini karena tiga pendiri utamanya udah pada sibuk dan sekarang udah jarang kumpul setelah pameran kemarin...”
“Ya makanya aku pengen tau sekarang rencananya klub komik ini mau dibawa kemana arahnya... kalaupun sudah dibubarkan ya harus jelas bubarnya... atau kalaupun masih ada ya ayo kita aktifin lagi kegiatannya, dengan begitu kita bisa blablabla dan blablabla jadi kita masih blablablablablablablablablablablablablablabla...”
Telingaku mulai tuli. Aku terlanjur terkesima dengan pesonanya. Entah apa yang dia bicarakan, aku sudah tidak peduli. Ah wajah ini... aku tidak sanggup menatapnya lebih dari 3 detik... aku harus berpaling dan berkedip sekarang... tapi kenapa sulit sekali...
“...blablabla. Woy Lukman! Dengerin enggak sih?” tiba-tiba Tisya meneriakiku. Segera aku tersadar dan efeknya aku jadi berkedip puluhan kali sekarang.
“Ah... iyah dengerin kok. Jadi nanti kita bikin kegiatan... gambar... sepanjang jalan... jalan... jalan layang pasupati... eh...” jawabku sekenanya.
“Lukman! Bukan gitu juga kali! Ya apa kek, gini. Kemaren-kemaren kan ada kabar dari temenku di komunitas YCM, komunitas sosial gitu deh pokoknya. Katanya ada seminar plus workshop yang melibatkan komunitas-komunitas anak muda di kawasan Bandung untuk unjuk gigi dalam peranannya untuk perubahan... nah kalau klub komik ini bisa eksis disitu mungkin kiprah kita bisa lebih lama, oh ya selain itu... untuk setiap komunitas dengan kontribusi paling tinggi untuk kemaslahatan Bandung bakal dapat hadiah dana hibah gitu. Lumayan kan?” Tisya menjelaskan.
“Ya... ya... itu... itu... lumayan... bagus” jawabku gugup.
Lalu sesaat Tisya termenung. “ Atau... apa lebih baik kita bubar saja?” ujarnya seraya menghela nafas. Aku langsung meresponnya dengan panik...
“Enggak. Kita... kita enggak boleh bubar... enggak sekarang...” jawabku lagi. Tisya menatap mataku yang mulai serius. Aku tidak tahu. Jika klub komik ini bubar, itu artinya aku tidak memiliki alasan apapun untuk menghubunginya... terlebih sekarang ia mulai bekerja di kota lain dan sudah memiliki pacar... aku... aku akan ditinggalkan...
“Oh ya... ini undangan seminarnya. Di hotel Aston. Jangan sampai telat ya...” ujar Tisya seraya menyerahkan secarik kartu undangan, kuterima kartu itu dengan perasaan kosong.
“By the way... status fesbukmuh...” Tisya bergumam.
“Ah... ya? Facebook? Statusku? Kenapa?”
“Perasaan statusnya marah-marah mulu... ada apa sih?”
“Ah itu... itu... iyah... itu... itu fiksi... saya... saya penulis fiksi... jadi itu... ada dialog tokohnya yang lagi cemburu sama sosok yang ngedeketin cewek yang dia suka terus dia... dia... dia gitu deh.”
“Fiksi kamu itu lebay hahaha...” Tisya hanya terkekeh.
“Ah... ya. Itu fiksi kok. Santai aja.” Aku hanya bisa cengengesan. Tentu saja, entah Tisya menyadarinya atau tidak. Aku selalu menuliskan tentang kemarahanku di media sosial belakangan ini semenjak kulihat status hubungan Tisya yang sudah tidak lajang lagi. Ditambah lagi pria itu. Pria yang menjadi pacarnya, kurasa aku masih lebih tampan jika kami dibandingkan, namun ketampanan memang bukan hal yang penting sekarang. Meski begitu tetap saja karena hal itulah rasa sakitnya bisa mengalahkan segalanya. Pria itu adalah pria yang selalu merayunya di media sosial, pria yang rela pergi dari kotanya Surabaya untuk menemui Tisya dan menjalin kopi darat. Tentu saja ia lebih baik dariku. Secara usia, secara mental. Usiaku lebih muda dua tahun dari Tisya, ingat? Tentu saja tingkat kemapananku pun masih belum jelas. Meski begitu, meski aku tahu bahwa aku telah kalah telak... aku masih saja belum bisa merelakannya begitu saja. Hanya bisa menulis hey, aku memang tidak layak untuk ditunggu, tapi aku mencintaimu atau ayolah bung. Jangan begini, jangan dia yang kau cintai karena aku lebih membutuhkan dirinya saat ini. Sebagai bahan bakarku, sebagai motivasiku... karena aku telah kehilangan sosok wanita semacam itu dengan cara yang  sangat menyakitkan... dan disaat aku menemukan sosok yang lebih baik mengapa aku masih tidak bisa memilikinya. Seumur hidupku aku tidak pernah merasakan disukai oleh sosok yang juga kusukai, sejak kecil, remaja, alay, hingga usiaku 20-an... aku hanya tahu bahwa aku justru disukai oleh wanita-wanita yang tidak kukenal sama sekali... giliran aku mulai menyukai seseorang, orang itu hanya sanggup menggantungkan jawaban, mempermainkan atau menolakku dengan alasan-alasan yang indah. Padahal aku tidak sama dengan pria lainnya, aku bukan sosok yang mudah melakukan pendekatan. Setiap kali aku menyukai seseorang aku harus melakukan observasi berbulan-bulan. Mencari data tentangnya. Mengetahui alamatnya, kebiasaannya, apapun tentangnya sebelum aku benar-benar bisa mengajaknya mengobrol. Harus kuakui bahwa aku lebih tepat disebut pemuja yang hebat dibanding pecinta yang hebat. Meskipun terkadang aku bisa bersikap spontan dan meledak-ledak namun kenyataannya aku hanya pria dingin yang membosankan. Aku tidak seatraktif pria yang zaman ini inginkan. Tapi mungkin aku bisa menjadi pria yang zaman ini butuhkan. Ah sudahlah. Intinya Tisya tidak menginginkanku. Di kantin ini kami membicarakan banyak hal yang sayangnya tak bisa kusimak dengan benar karena terlena oleh kebersamaan. Sampai akhirnya Tisya pun menatap arlojinya, Saat itu sudah pukul 17.00 dan hujan masih belum reda.
“Duh udah jam 5 lagi. Aku telat! Lukman, aku cabut dulu ya. Ada tamu mau ke rumah nih...”
“Tamu?”
“Iya. Dia dari Surabaya. Katanya jam 5 ini dia udah sampai di rumah aku, jadi sekarang aku harus langsung cabut. Jadi gitu aja ya Lukman, jangan lupa seminarnya loh ya! Harus ikut pokoknya. Besok aku musti balik kerja lagi ke Jakarta. Jadi jangan lupa blablablablablablablablabla...”
Tamu dari Surabaya. Tentu saja. Mungkin menginap. Mungkin ia juga yang akan mengantarnya besok. Tentu saja, itu pasti pria itu... ah yang benar saja, pikiranku mulai tidak karuan sekarang.
“Oh ya sudah kalau begitu, hati-hati... saya juga... kebetulan lagi ada acara keluarga...” ujarku berbohong. Tisya menatapku aneh.
“Oh ya? Acara keluarga?” tanyanya lagi.
“Ehm. Iya, acara keluarga. Kamu pikir aku serapi dan sewangi ini cuma buat nemuin kamu di kantin ini apa?” aku berkilah.

“Good strike dude!”

Tisya hanya tersenyum. “Ya sudah. Dadah...” Tisya pun bergegas pergi dan membiarkanku melihat punggungnya berlalu. Begitu saja? Dia pergi begitu saja? Hey, ini mungkin akan jadi pertemuan terakhir... tapi dia takan peduli, dadaku mulai terasa sesak, sudahlah... mau bagaimana lagi, rasanya memang seperti itu, sesakit itu, sudahlah... terima saja. Aku berjalan diantara hujan yang seolah ikut menangisiku dengan turun lebih deras lagi. Hairspray yang tadi kusemprotkan tampaknya sudah mulai terbilas bersama hujan yang deras. Aku tak peduli. Jambul tinggi yang tadi kubuat pun jadi melengkung turun terbasuh air hujan. Terbasuh kesedihan. Ayolah aku ini baik-baik saja kok. Tidak sadar, aku sudah mengitari kampus itu satu kali. Berniat menghibur diri, kuputuskan untuk mencari kepingan DVD bajakan yang biasa di jual didepan kampus ITB, tidak jauh dari situ, seraya berharap siapa tahu aku bisa menemukan Mari Fujisawa sebagai pelarian. Tapi tidak, semua pedagang telah melarikan diri dan menyelamatkan barang dagangannya dari hujan. Sekarang barulah aku ingin menangis. Kuusahakan ekspresi wajahku tidak ikut meleleh karenanya, dengan begitu, dengan air hujan yang juga membasuh seluruh wajahku ini, hanya aku dan Tuhan yang tahu bahwa aku tengah menangis.

“Kau itu laki-laki. Seharusnya menangis bukan gayamu”

Yang benar saja. Sejak kapan menangis hanya menjadi monopoli kaum hawa?

“Bukan begitu. Hanya saja laki-laki sejak lahir dituntut untuk lebih kuat dari perempuan...”

Lebih kuat? Dari sisi apa? Karena setauku tidak ada obat kuat yang diciptakan untuk perempuan. Lebih kuat kau bilang? Apa laki-laki sanggup mengandung bayi selama 9 bulan dan melahirkannya? Yang benar saja.

“Dari sisi mentalnya Lukman. Tentu saja mentalnya. Seorang laki-laki harusnya memiliki mental yang kuat dan tidak menunjukan kelemahannya dengan... dengan menangis...”

Apakah kau pikir menangis tidak membutuhkan keberanian? Menangis dan mengakui bahwa kau itu lemah... itulah kekuatan yang sesungguhnya.

“Laki-laki berpikir menggunakan otaknya bukan perasaan”

Tapi aku bukan sekedar laki-laki! Aku ini manusia! Dan sebagai manusia aku pun diberkati dengan perasaan! Apa salahku?

“Aku mengerti tapi... menangis tidak mengubah apapun. Sudahlah”

Tidak. Meski begitu aku tahu bahwa dalam air mataku terdapat zat leusin-enkephalin, sejenis endorfin morfin endogen yang mengatur rasa sakit juga zat adeokortikortropik yaitu hormon penyebab stress dan terakhir, prolaktin. Inilah hormon yang memproduksi air mata... intinya semua zat tadi itu...

“Mulai deh... ya ya ya... what ever”

Faktanya, semua zat yang tadi kusebutkan adalah zat penghasil stress, dan dengan menangis aku telah membuangnya... bukankah itu hal yang baik?

“Tapi kau tidak perlu berlebihan begitu. Larut dalam kesedihan bukanlah hal yang bisa dibenarkan”

I know. Dan sekarang... fiuh, im better now. Karena aku menangis aku merasa jauh lebih baik sekarang. Hidupku bahagia, matahari bersinar cerah, burung berkicau, udara yang sejuk...

“Hujan ini masih terlampau deras, jadi yang kau katakan itu lebih mirip lari dari kenyataan...”

Aku tahu. Itu hanya perumpamaan. Sudahlah, dia mau pergi dengan pacarnya kek, mau apapun itu bukan urusanku. Sudahlah.

Satu hal yang tidak bisa kuterima adalah Tisya tidak pernah bercerita tentang pria ini padaku, padahal sebelumnya disaat ia masih melajang ia pernah menceritakan bagaimana hubungannya dengan kekasih lamanya berakhir. Mereka berdua putus hubungan karena adanya jarak diantara mereka atau dalam bahasa kerennya LDR (long distance relationship) itu karena keputusan mantannya untuk belajar dan berkuliah di Jepang, pada awalnya hubungan itu bisa bertahan melalui komunikasi jarak jauh. Dimulai dari hubungan via internet atau bahkan melalui telpon seluler, namun setelah beberapa bulan Tisya menyerah, tanpa adanya pertemuan diantara mereka ditambah kesibukan keduanya membuat komunikasi mereka terhambat. Dan tidak seperti pria lainnya yang memanfaatkan keadaan ketika menerima sebuah curhatan, aku justru mendukung Tisya untuk mau kembali mempertahankan hubungan lamanya itu. Aku berkata begitu karena aku melihat dari sudut pandang sang pria yang menurutku tidak bersalah, karena menurutku pertemuan hanya akan menumbuhkan hasrat-hasrat tak berguna. Bukankah dalam hubungan jarak jauh komitmen dan kepercayaan akan benar-benar diuji? Apa makna dari sebuah pertemuan yang sering jika itu hanya untuk menambah dosa saja? Bukankah satu pertemuan saja sudah cukup? Satu pertemuan yang diiringi kedatangan orang tua wali untuk melamar... bukankah itu lebih penting? Lagipula jodoh merupakan takdir yang tak bisa diubah, lantas mengapa harus takut? Pilih saja takdirNya yang paling baik. Ah sudahlah semua wanita sama saja. Pada dasarnya mereka lebih menyukai fakta bahwa mereka disukai tanpa ada kewajiban untuk balas menyukai... itulah mengapa aku selalu ada diantaranya, sebagai pengganggu yang tak berdosa. Ini menyakitkan.
Aku menatap langit hitam, mendongakkan wajahku dan membiarkan hujan menembakinya. Kuhembuskan nafasku... haaah... rasa sakit ini pun sedikit berkurang.

___________________________________________

Keesokan harinya, kampus biru. Aku dan Riko seperti biasa tengah bermain game Marvel Ultimate di laptop. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku tidak banyak bicara. Riko yang tak terbiasa dengan sifat diamku itu pun mulai berceloteh.
“Tumben lu maennya fokus, gitu dong kan enak gua maennya...”
Tampak di layar laptop Hulk tengah menginjak-injak musuhnya. Dan Spiderman, yang dikendalikan oleh Riko sama sekali tidak mendapat bagian untuk memukuli monster.
“Woy, sisain gua dikit dong, rakus banget sih hajarin musuh!” Riko mulai mengeluh, aku hanya terdiam. Di layar laptop sekali lagi, kali ini Hulk menghantam monster-monster itu dan mengubahnya menjadi perkedel. Riko hanya melihatku ketus, hingga akhirnya dari balik tanah muncul sosok musuh yang lain...
“Lukman... itu raja penjahatnya! Itu... itu namanya Galactus... dia itu raksasa yang hobinya makan planet... ayo kita ospek dia!” seru Riko. Tak perlu menunggu lama Hulk dan Spiderman pun menerjang Galactus, namun langkah kami terhenti saat kami melihat Galactus yang seorang raksasa itu tengah menggenggam sesuatu... tapi tampaknya bukan sembarang sesuatu, itu adalah sesosok perempuan... Galactus berkata “Berani kalian melangkah lagi perempuan ini akan jadi milikku selamanya... hahahaha”
“Lukman... cewek itu... itu cewek ilmuwan pacarnya si Bruce Beneth alias si Hulk! Itu cewek lu man!” seru Riko lagi. Mendengar itu Hulk pun marah, ia hantam tanah bebatuan yang ia pijak sampai akhirnya bebatuan itu mengenai lengan Galactus dan membuatnya melepaskan perempuan itu... dengan segera Hulk pun menangkap tubuh perempuan yang terlempar dari lengan Galactus... Hulk pun berkata “Apa kau baik-baik saja?” pada perempuan itu. Perempuan itu pun tersenyum seraya berkata “Oh Hulk... kaulah pahlawanku...” wajah Hulk pun memerah, karena yang tersipu itu adalah Hulk, warna merahnya merata sampai seluruh tubuh. Namun tak lama perempuan itu berubah wujud...
“Rupanya cewek itu adalah Mistique! Cewek mutan jahat yang suka berubah wujud!”
Lalu Galactus dan Mistique pun menertawakan Hulk. “Hahahaha kami berdua telah menipumu... hahahaha” kali ini Hulk benar-benar marah. Saking marahnya stick joypad pun sampai terlempar dari lenganku.
“Woy Lukman, jangan banting-banting stick gua ngapa?” protes Riko.
“Ane udah males maen. Ayo kita ke kelas” jawabku.
“Males sih males jangan gini caranya...” ujar Riko lagi.
“Ane stress ‘ko, ga di kehidupan ane, ga di dunia game semua cewek sama aja!”
“EEEhhh??” Riko hanya bengong keheranan.

Kamis, 30 Oktober 2014

YELLOW SKY BAB 11.

Bab 11.

(Bukan Flashback)
Api.

Kampus biru. Kampus bercat biru tepatnya. Kampusku, sebuah universitas seni negeri di kawasan Bandung. Aku, dan kawanku Riko, saat ini tengah asyik bermain game berjudul “Marvel Ultimate Alliance” di laptop, dengan menggunakan sepasang stick playstation, kami bermain berdua layaknya bocah di teras perpustakaan kampus.
“Ok, jadi siapa sebenarnya si ontohod ini?” tanyaku seraya menunjuk salah satu tokoh yang berkepala tengkorak yang terbakar api dan mengenakan jaket kulit keren dengan rantai di tangannya.
“Si ontohod pala lu onta... itu namanya si Ghost Rider. Jurusnya keren bro... bisa mukulin musuh pake rantai berapi” Riko menjelaskan.
“Kalo ini nih sapa nih? Yang bawa palu kemana-mana ini?” tanyaku lagi.
“Itu Thor. Pangeran viking dari Asgard... kalo yang itu jurusnya bisa manggil badai petir...”
“Kayaknya si Thor ini anak jurusan artistik, kemana-mana bawa palu... biar gampang bikin properti. Ah, kalo yang ini ane tahu ini siapa, yang tangannya ada kawatnya tiga ini pasti namanya Vega, iya kan?”
“Bukan! Sebut aja dia Ujang, Ujang Pendi. Itu Wolverine! Lu sebenernya mau main enggak sih, cepetan pilih mau main jadi siapa, banyak nanya aja dari tadi” Riko pun mulai protes.
“Ok kalo gitu ane pilih si Hulek”
“Hulk!”
“Huluk!”
“Hulk!!”
“Ya itulah...”
Akhirnya kami berdua memulai permainan, di layar tampak para monster menyerang dari berbagai sudut dan Hulk pun menghajar Spiderman...
“Woy! Yang mustinya lu hajar itu monsternya bukan guah!” Riko tiba-tiba berteriak.
“Ane Hulk! Ane tak terkendali...”
“ARRRGGGHHH”
Di layar laptop, Spiderman pun membalas dengan melemparkan kotak kayu ke arah Hulk.
“Kena lu onta!”
“Hulk marah!!”
Pada akhirnya game bertema petualangan itu pun berubah menjadi game pertarungan. Para monster hanya bisa bengong melihat Hulk dan Spiderman saling tonjok satu sama lain. Tak lama Riko menghentikan permainan lalu menyuruhku untuk memilih tokoh yang lain.
“Kok diganti?” tanyaku
“Jangan jadi si Hulk deh, Hulk enggak bisa bedain mana kawan mana lawan... pilih yang lain” jawab Riko. Aku pun segera mencari tokoh lain yang tampaknya cocok untukku.
“Kalo yang cewek cakep itu siapa bro?”
“Sebut saja namanya Mawar, udah pilih aja, yang mana juga sama aja asal jangan si Hulk!”
“Cewek itu...”
“Mana? Spider Woman, Black Cat, Mrs. Marvel atau Jean Grey?”
“Yang ituuu......”
“Itu yang mana maksud lo? Oh, yang itu...”
Tak lama Riko pun mulai sadar bahwa sosok yang kubicarakan bukanlah tokoh dalam game... sosok itu, tengah terduduk di taman bersama para senior dengan tawa yang terbahak, tawa yang begitu natural. Sejenak ia berdiri, mengangkat pinggiran celana jins hipsternya yang sedikit melorot dan dari situ aku bisa mengetahui bahwa dia sosok wanita yang tinggi semampai, dengan tubuh layaknya model, tidak begitu cantik tapi sangat menarik. Penuh dengan daya tarik. Berbeda dengan tipe perempuan yang kusukai sebelumnya, perempuan yang satu ini tampak menarik dari sisi yang berbeda. Dia tidak tampak secentil Indi, tidak pula seanggun Tisya, namun aura kharismatiknya terasa sangat kuat. Sosok ini tampak begitu liar, begitu apa adanya sekaligus tampak... seksi.
“Namanya Utari. Gua sih manggilnya teteh...”
“Teh Utari...”
“Jangan mikir yang macem-macem! Itu senior kita...!”
“Tak apa, ane emang lagi doyan daun tua, eh daun matang maksudnya... dia kelahiran tahun berapa emang?”
“Teh Utari? Kemungkinan doi kelahiran tahun 83, sebutannya aja Lady Tiger, doi salah satu macan kampus disini dan memang semenjak tahun 2003 doi sering banget pindah-pindah jurusan... itulah kenapa dia masih belum lulus sampai sekarang, hampir semua bidang seni dia gelutin dan aktingnya di panggung juga bisa dibilang sangat bagus”
“Multitalent artist...”
“Dia tujuh tahun lebih tua dari lu! Jadi baikan jangan cari bahaya deh”
Seolah tahu tengah kubicarakan, Utari pun menatap ke arahku, dia tersenyum, dia hisap rokok mentholnya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya ke arah langit. Mendapatkan tatapan itu aku mendadak jadi salah tingkah, padahal aku sendiri sudah cukup terbiasa menghadapi perempuan cantik.
“Woy, mau lanjutin main gamenya enggak nih?” ajak Riko.
“Nanti lagi deh ko, ane lagi enggak mood...” ujarku.
“Woy stick PS gua nih, maen banting aja”
“Iyeh, sory sory... eh... ko, liat itu deh...”
“Liat apaan?”
“Itu orang gila apa seniman?” ujarku menunjuk seseorang berpenampilan aneh yang memasuki kampusku.
“Mana? Oh itu... Hm... seniman kali...”
“Seniman? Masa seniman rambutnya gimbal ga jelas begitu, bajunya compang camping, gak pake sendal, serius itu seniman?”
“Ini kampus seni, kalaupun dia orang gila beneran, itu salah dia sendiri kenapa masuk kesini, kan kita jadi susah bedain... udah jadi resiko tuh orang untuk dicap seniman”
“Ngaco lu ah! Lu ngomong gitu seolah seniman itu lebih buruk dari orang gila, estetikanya dimana coba?”
“Menurut Profesor Doktor Riko Putra Pamungkas alias diri gua sendiri, estetika itu merupakan sesuatu yang sesuai dengan tempatnya, tidak peduli apakah itu sampah sekalipun jika penempatannya sesuai dengan tujuannya, maka itu bisa disebut sebagai estetika...”
“Jadi menurut ente ni kampus cocok buat naro orang gila?”
“Yah macam lu gini lah, kayak sendirinya normal aja...”
“Yaelah ente ko, gitu amat ma ane...”
“Ngomong-ngomong kapan lu mau balikin inventaris pribadi gue?”
“Inventaris? Inventaris apa?”
“Cewek simpenan gue lah... Mari Fujisawa!”
“Oh itu... soal itu... euh... heheheh...” aku mulai salah tingkah, entah bagaimana aku harus menjelaskan pada Riko kalau kepingan DVD favoritnya itu sudah dipatahkan temanku, Egi. Riko menatapku dengan sorot mata sinis seraya menghela nafasnya.
“Haaaah... ya sudah anggap itu hutang, tapi jangan coba-coba lu keluar dari kampus ini sebelum lu bayar...”
“Eh? Hutang apa maksud lu? Hutang dosa?”
“Ya pokoknya itu hutang... artinya lu terikat dengan gue di kampus ini... jadi jangan coba-coba berkhianat...”
Aku menelan ludah. Di kampus ini, persaingan antar mahasiswa sangat ketat. Suasana senioritas pun masih kuat dengan kemunculan para alumni yang hilir mudik di kawasan kampus. Ada yang salah memang, dari pola pendidikan, sistem keorganisasian sampai sistem pembentukan mental mahasiswa melalui kegiatan OSPEK saat penerimaan mahasiswa baru. Tidak, yang kumaksud bukan kegiatan OSPEK-nya, tapi hasilnya. Orang yang selesai menempuh OSPEK secara otomatis akan diterima di HMJ (himpunan mahasiswa jurusan) memang dimana-mana juga begitu. Tapi ini kampus seni. Dan kita mahasiswa jurusan teater, tidak bisa membuat sebuah pertunjukan hanya dengan mengandalkan diri, butuh kerjasama kolektif, butuh bantuan dari siapapun yang namanya teman. Butuh sutradara, butuh tim artistik, butuh tim aktor dan pastinya butuh dana besar untuk membayar mereka. Oleh karena itu kita diwajibkan saling membantu, tanpa melihat bayaran, layaknya keluarga yang siap membantu kapan saja. Tapi hal itu tidak akan dirasakan oleh orang diluar HMJ... mahasiswa yang tidak mengikuti OSPEK akan dikucilkan dalam lingkungannya, itu sudah jadi resiko disini. Namun masalahnya bukan itu, sistem pendidikan disini dibuat layaknya kompetisi, semua mahasiswa pasti akan dan harus membuat pertunjukannya sendiri. Artinya, hubungan yang tadinya berdasarkan pertemanan tanpa pamrih lambat laun akan berubah menjadi persaingan, salah memilih partner hasilnya bisa fatal... pengkhianatan seperti menunda-nunda latihan, berebut aktor, ketidakhadiran disaat-saat akhir, bisa saja terjadi. Oleh karena itu, banyak mahasiswa yang gugur di pertengahan masa-masa kuliahnya, bukan karena mata kuliah yang sulit, melainkan karena senyuman teman-temannya yang direbut oleh sistem. Aku dan Riko bukan mahasiswa yang aktif di organisasi, kami juga cenderung menjadi apatis. Bukan karena tidak kritis, tapi sebaliknya, karena jiwa kritis kami tampak tidak dibutuhkan, karena selalu ditentang disaat nilai-nilai akademis dipertaruhkan untuk mengikuti rapat. Yang bisa kami lakukan hanyalah saling mengandalkan dan percaya. Di kampus ini, Riko adalah partnerku.
“Heh ‘ko, ente tau gak dosanya minjemin film bokep?”
“Jangan ngomong gitu deh, dasar ga tau terima kasih!”
“Itu ibarat sistem MLM ‘ko, ente liat Mari Fujisawa artinya dosa ente bintang satu, nah berhubung ente liatin lagi ke ane, dosa ente bertambah jadi bintang dua...”
“Kok gue jadi nyesel gitu minjemin inventaris gue ke lu ya?”
“Takut dosa?”
“Lebih karena gue jadi sebel ma lu sih...”
“Eits, santai... ane punya tehniknya biar dosa ente gak jadi kaya multilevel marketing” ujarku meyakinkan.
“Jangan pinjemin begituan lagi ma onta macem lu...”
Nope. Lain kali kalo ente bawa Mari Fujisawa, kita nontonnya barengan...” aku mengusulkan.
“Ya dosa juga kali...”
“Dosanya berjamaah...”
“Ogah! Heh ‘man, gua paling anti nonton begituan barengan, masa iya gue habiskan masa imajinasi gue waktu gue ‘bangun’ dan berubah jadi monster barengan lu? Jijik, geuleuh
“Hahahahah”
“Ya udah kita ke musholla. Udah adzan dhuhur tuh.”
“Cie cie... ngajakin sholat berjamaah...”
“Lebih baik sholat berjamaah daripada dosa berjamaah, lagian shalat itu kan penghalang kemungkaran, shalat itu membuat lu ngerasa diawasi Allah dan malu berbuat dosa...”
“Siap ustadz Riko.”
“Gue ngajakin lu shalat pahala gue jadi bintang dua juga kan? Kaya MLM juga kan...?”
“Oh iya dong...”
“Kalo gitu kita ajakin temen-temen kita yang lain, tuh si Fajar, kita ajakin shalat dia...”
Aku dan Riko pun menghampiri seorang teman yang bernama Fajar, saat itu dia tengah asyik membereskan tugas artistiknya, membuat properti panggung.
“Jar... Mushalla yuk!”
“Ya... gue nitip absen aja dah...”
“Yaelah, lu kate kita mau kuliah, bisa nitip absen?”
“Allah juga tau banget kok gua seniman...”
Mendengar jawaban itu kami spontan tertawa sekaligus miris.
“Santai ‘ko, niat ente udah dicatet kok. Itu yang penting” ujarku. Lalu kami pun segera bergegas ke musholla, segala canda tawa dihentikan sementara, lalu mengambil wudhu, mempersilakan imam dan memulai shalat berjamaah. Air wudhu yang sejuk mengalir dari ubun-ubun menuju dahiku lalu menetes membasahi sajadah. Bibirku yang masih basah mulai membaca bacaan-bacaan shalat. Tak lama, imam pun memberikan instruksi untuk ruku, dan layaknya sistem yang teratur kami para makmum mengikutinya. Aku tengah melakukan ruku sekarang... membentuk tubuhku dengan sudut 90 derajat... waktu berjalan lambat. Nafas ini terasa mengalun, setiap tetes demi tetes air yang disertai iringan doa berjatuhan... celotehan demi celotehan dalam hati masih saja muncul...

“Apa aku melakukan ini dengan baik?”

Aku bangkit dari ruku, seiring gerakan Imam dan makmum yang lain... aku menatap kiblatku...

“Apakah aku melakukan ini hanya karena dilihat oleh manusia yang lain?”

Kemudian sujud. Aku bersujud diatas sajadah. Gravitasi terasa menarik tubuhku seluruhnya, waktu terasa terhenti. Ruangku terasa gelap. Bahuku terasa berat. Aku merasa terpisah dari semesta... perasaan apa ini? Seperti melayang tapi tak berpindah... seperti... ruang hampa udara... seolah aku menemukan sandaran, seolah aku begitu tak berdaya, tak lagi memiliki kekuatan apapun, hanya pasrah sepenuhnya...

“Ada yang aneh... saat ini aku melebur dengan manusia yang lain bukan?”
“...”
“sekarang, dengan melakukan ini Aku telah menjadi bagian dari mereka bukan?”
“...”
“Apa aku tengah diawasi?”
“...”
“Apa? Apa yang kurasakan ini?”
“...”
“Apa yang kulakukan dan apa yang orang-orang ini lakukan?”
“...”
“Aku... aku ini siapa dan ada dimana?”
“...”
“Selama ini aku baru sadar bahwa aku tak mengingat apapun tentang kapan aku mulai menjalani kehidupan.... kapan pertama kali aku bernafas... aku tak mengingatnya... kapan pertama kali aku mulai bicara dan berjalan... aku tak mengingatnya... kapan pertama kali aku mengenal orang tuaku... kapan aku mulai bisa mengingat semua... mengapa aku bisa meyakini semua kehidupan itu dengan segala kesadaran? Sementara aku tak tahu sejak kapan ini dimulai... aku hanya larut didalam kehidupan dan sistem yang disiapkan untukku, susah, senang, kemarahan atau kebahagiaan semua begitu semu...”

Gerakan demi gerakan shalat kulakukan seiring sang imam memberikan komandonya, dalam setiap gerakan, godaan yang mengganggu kekhusyuan shalatku semakin terasa... setiap bacaan mengandung makna, setiap maknanya secara otomatis dipikirkan dan setiap pemikiran menyerap dalam perasaan.

“Tapi...”

“Tapi perasaan ini... perasaan ini terasa sangat familiar... terasa sangat kukenal, tapi apa? Seolah aku dibesarkan dan tumbuh bersama perasaan ini... ini...”

“Ini adalah...”

“Maha hakekat!”

Imam mengucapkan salam. Selesai sudah tuntutan 4 rakaat di waktu dzuhur.

______________________________________

Tak berapa lama aku dan Riko pun meninggalkan musholla, mengenakan kembali sepatu kami, dan mulai menyusuri lorong-lorong kampus.
“Fiuh... abis ini kita enggak ada kelas lagi kan? Ane mau langsung cabut dah...” ujarku.
“Iya sih, gua juga males nongkrong lama-lama disini. Mendingan balik, terus mandi, B.A.B, tidur terus nonton Naruto...” jawab Riko.
“Haaah... ente ‘ga lagi bantuin siapa-siapa kan?”
“Bantu... bantu apa?”
“Bantuin senior yang lagi ujian... sekarang kan musimnya”
“Aduh males banget deh kalo gua musti bantuin, tugas kita di semester ini aja numpuknya luar biasa... belum lagi ada kelas yang gua tinggal lagi di semester lalu... ah pokoknya enggak deh!”
“Fiuh, sama, ane juga males. Belum lagi mereka biasanya kan latian malem, masa ane musti bolak-balik Cikaso-Buah Batu buat bantuin ujian orang, kalopun ane tungguin disini ampe malem itu kan buang waktunya banyak banget. Mending kalo mereka bener latian, lah kalo cuman ngobrol terus ada yang ga dateng, terus latihannya ga jadi misalnya... kan itu ngenes banget, yang tinggal ngekos disini sih enak, lah ane? Udah pulang pake ongkos naik angkot tiga kali rutenya puter-puter pula...”
“Lebih sebelnya lagi mereka suka maksa gitu minta dibantuin, mereka bilang ini penting buat pengalaman kita... tapi di semester segini sih, aduh repot banget lah, kita juga kan punya tugas pertunjukan kita sendiri...” Riko menambahkan.
“Sebenernya ane ga masalah bantuin, asalkan ane bisa milih sendiri siapa sutradaranya, kalau sutradara slengean, bermasalah, ane ga mau, toh selama ini ane selalu tawarin diri untuk bantu tiap kali nemu sutradara yang cocok... jangankan jadi aktor, buat konsumsi pun ane suka sengaja bawa dari rumah untuk dibagiin disini...”
“Haha, tapi disini kita ga bisa milih-milih, mereka yang tiba-tiba pilih kita kan?”
“Itulah makanya ane suka keluarin wajah ane yang melongo ga jelas, jalannya dibikin loyo selesu mungkin, jadi kalo ada senior yang liat ane, mereka ga akan berniat make ane buat bantuin mereka...”
“Hahahaha... Lukman Lukman... dasar lu tuh beneran ya, aktor diluar panggung... hahahaha” Riko tiba-tiba tertawa.
“Eh... gini-gini, biar akting ane ga bagus-bagus amat, seenggaknya ane lebih ngerti filosofi keaktoran ketimbang aktor profesional sekalipun”
“Songong banget lu baru semester segini udah nantangin aktor profesional...” tukas Riko.
“Sekarang ane nanya ma ente, menurut ente fungsinya teater itu apa sih?”
“Ya... kalo kata gue pribadi sih teater itu passion, itu kebutuhan gue, menunjukan kemampuan gue...”
“Hm, kalo gitu ane nanya lagi, ente tau gak kenapa guru besar kita bilang teater itu bisa memanusiakan manusia?”
“Ya... itu karena... dengan teater kita bisa melatih diri kita untuk berada dalam posisi apapun atau dalam peran apapun...”
“Hampir bener, tapi kurang tepat” jawabku.
“Terus apa dong?” Riko mulai menggaruk-garuk kepalanya.
“Hakekat dari teater adalah pertunjukan. Artinya, bahwa syarat dari munculnya teater bukan karena harus ada aktor atau panggungnya, tapi karena harus ada penontonnya...”
“Penonton?”
“Iya, penonton, sebagai penyaksi dari pertunjukan kita, dan bener kata ente, di panggung kita melatih diri untuk memerankan siapa saja dan membayangkan kita berada dalam posisi yang tak pernah kita alami sebelumnya... tapi satu hal, yang tidak dimengerti oleh aktor profesional kita bahwa... akting bukanlah pura-pura... akting justru telah dipraktekan semua orang diluar panggung...”
“Maksud lo? Masa gua musti akting jadi orang lain di luar panggung sih?” Riko masih tak mengerti maksudku.
“Hahaha. Ane kan tadi bilang, akting bukan pura-pura... sekarang ane nanya lagi deh, cara ente ngobrol ma ane, ngomongin Mari Fujisawa, ngajakin main game, dan sebagainya, kira-kira bisa disamain sama ente ngobrol sama bapak ente di rumah ga?”
“Ya gak bisa disamain lah. Masa iya gua ngomongin Mari Fujisawa sama babeh gue...” jawab Riko. Aku tersenyum
“Itu dia. Itulah akting. Peran ente sebagai temen ane, partner ane, gak bisa disamain sama peran ente sebagai anak... sebagai mahasiswa dari dosen-dosen ente atau sebagai pacar dari harim ente...”
“Ya juga ya... kok lu bisa mikir kesitu sih?”
“Hehehe iya dong, sekarang balik ke teori guru besar kita soal teater bisa memanusiakan manusia...”
“Hubungannya dengan itu apa tuh?”
“Sama halnya dengan shalat. Tadi ente bilang karena ente shalat, ente akan merasa diawasi dan malu berbuat dosa kan?”
“I... iya emang...”
“Sama dengan itu, ketika ente melakukan kesalahan dalam adegan ente malu sama penonton kan?” ujarku lagi.
“Ja... jadi maksud lu...”
“Ya. Sama dengan itu, setiap kita berada diantara orang-orang kita memposisikan diri kita agar membaur dengan mereka kan? Kita berakting. Akting diambil dari kata act, artinya aksi... bukan pura-pura. Kita tidak akan mau melanggar peraturan di jalan jika disana ada polisi... dan kita akan melaksanakan tugas-tugas karena dosen memintanya kan? Sekarang... jika benar begitu, apakah kita melakukan hal yang sama terhadap Tuhan kita? Bukankah Dia maha penyaksi? Bukankah Tuhan tak hanya melihat setiap tindakan namun juga apa yang tersembunyi didalam hati kita? Bukankah itu artinya kita dituntut untuk berakting setiap saat?”
Riko terdiam.
“Dan semua hakekat itu, semua kesadaran itu, kesadaran bahwa kita disaksikan........ hanya itu satu-satunya pembeda antara kita dan binatang... karena tanpa kesadaran akan disaksikan, manusia hanya akan sama seperti orang gila tadi, tak perduli dengan sekitarnya.”
“Memanusiakan manusia...” Riko bergumam, matanya terbelalak seolah mendapat ilham, aku tersenyum karena ilham itu pun muncul begitu saja.
“Dengan begitu kalo masih ada aktor yang masih pake narkoba agar dia sanggup berakting total, kalo masih ada aja aktor yang memproklamirkan dirinya atheis, kalo masih ada aja aktor yang slengean dalam hidupnya... apa yang dia lakuin itu, itulah pura-pura... karena itu sama saja dengan menipu diri”
“Tapi setau gue banyak seniman yang begitu, Shakespeare aja demen ngeseks, demen isep opium dan dari semua itu muncul naskah-naskah hebat...” tukas Riko.
“Jadi apa itu artinya?”
“Apa?”
“Artinya seorang Shakespeare pun membutuhkan pelarian! Dari naskah-naskah hebat yang ente sebutin, semua itu Shakespeare buat dengan mengorbankan sisi kemanusiaannya... dia membuat karya yang memusingkan kepalanya, membuat perutnya mual, membuat dirinya terpuruk, stress, dan dia lari ke arah kesenangan sesaat, untuk memulihkan dirinya... dari pikiran yang tenang setelah nafsunya terlampiaskan, dari situlah dia bisa mulai berkarya”
“Terus itu artinya lu gak menampik bahwa seniman bisa hebat dengan hal-hal seperti itu?” Riko bertanya lagi. Aku tersenyum
“Hm. Jangan salahkan karya hanya karena dosa pembuatnya... karya tetaplah karya, yang salah kan pelarian seseorang ketika stress saat berkarya, itulah makanya dosen kita pak Zai selalu bilang bahwa seni tidak menjauhkan diri dari Tuhan, melainkan sebaliknya”
“Stress kan tidak bisa dihindari bray, dan seniman-seniman itu kan hanya manusia biasa, salah atau benar sekarang kan menjadi urusan yang subjektif.”
“Tentu saja ane ngerti itu... tapi ente harus inget bahwa ketika ente kehilangan sandaran atas beban ente, akan selalu ada tempat untuk ente bersujud kan? So, ga ada alasan untuk kesia-siaan”
“Tumben lu bijak”
“Ah, itu cuma kata-kata dari internet...”
Tak lama kami berjalan, kami menuju lahan parkir... seperti biasa, aku akan meminta Riko untuk mengantarku sampai ke tempat pemberhentian angkot dengan motor gedenya. Baru saja kami sampai di tempat itu, seseorang tiba-tiba mendekati kami berdua...
“Hai... kalian berdua ada waktu enggak?” ujarnya.
Kami menoleh, mataku tiba-tiba berubah menjadi lensa autofocus pada tubuh indah yang menghampiri kami. Perempuan itu, perempuan yang tingginya melebihiku, ah siapa namanya?
“Teh Utari?” Riko memulai sapaan. Aku masih membeku.
“Begini, malam ini teteh mau latihan buat ujian pemeranan, kalian mau bantuin teteh gak? Please... bantuin dong, teteh pengen cepet-cepet lulus nih...” ujar Utari memohon.
Aku dan Riko terdiam sesaat dan saling pandang, memikirkan jawaban yang kompak dan tepat dengan kondisi kami.
“Euh... teh, kebetulan kita juga kan lagi ujian...” jawab Riko sedikit terhenti.
“Ok deh, kita bantu!” jawabku spontan. Riko melotot ke arahku, kuangkat bahuku seraya tersenyum. Utari tampak gembira dengan jawabanku.
“Tapi teh... kita enggak janji bisa...”
“Udah deh ko... kita kan udah kaya keluarga... kita harus saling membantu dalam setiap kesulitan, bukan begitu teh Utari?” jawabku. Riko menatapku tajam. Utari hanya tersenyum seraya mengangguk.
“Bener loh ya, teteh tunggu di ruang pertunjukan jam delapan malam nanti!” ujar Utari dengan mata berbinar.
“Tapi teh... sa... saya...” Riko semakin panik.
“Siap teh, kalau teteh butuh bantuan seorang Lukman, itu artinya Riko bakal ikut juga. Kita udah kayak satu paket” ujarku. Riko melotot lagi ke arahku.
“Sip deh kalo gitu, teteh tunggu ya... harus datang pokoknya...” jawab Utari seraya tersenyum dan berlalu. Sesaat setelah Utari pergi Riko langsung mencekik leherku.
“Lu tuh ya!! Kenapa lu setuju buat bantuin? Kita kan lagi banyak tugas Lukman!” ujar Riko dengan marah.
“I... iya, ane tau, lepasin... euh... tapi yang minta bantuan itu kan Utari... ini... ini beda dengan yang lainnya” jawabku beralasan.
“Beda apanya? Beda karena dia cewek yang lu incer gitu?”
“Ah... lets say... booty over duty” ujarku seraya memicingkan mataku.
“Setau gue istilahnya duty over booty, artinya lebih penting tugas dan kewajiban ketimbang cewek...” Riko menegaskan.
“Makanya mulai sekarang istilahnya ane balik jadi booty over duty, hehehehe” aku mencoba membuat alasan.
“Dasar... cewek aja yang ada di pikiran lu!” ujar Riko seraya melemparkan helm ke arahku.
“Ah... body macem gitu ko... yang bisa bikin ane kejang-kejang... pinggulnya, kakinya, semuanya... 10/10 layak jalan...”
Riko memalingkan mukanya, enggan mendengar celotehku, dia kemudikan motor gedenya membiarkan aku duduk dibelakangnya. Sejujurnya aku tidak serius mengatakan bahwa aku menyukai Utari. Aku hanya secara kebetulan sering melihatnya di area kampus, begitu pula dengan Utari, dia sering juga menatap ke arahku. Hampir setiap hari kita berpapasan muka di kampus dan menawarkan senyum tanpa tahu nama masing-masing. Dan sekarang aku punya kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Hanya mengenalnya saja. Ya, hanya mengenal. Jika dilihat dari sudut terdalam hatiku, Utari sama sekali bukan tipeku. Aku bukan perokok dan aku tidak mungkin menyukai perempuan yang suka merokok, aku akan lebih tertarik pada perempuan yang menjaga auratnya, jadi jelas Utari pun tidak masuk kategori ini. Aku suka perempuan yang anggun, yang menjaga nada bicaranya dan cara Utari tertawa bukan tipe perempuan idealku. Tapi secara kasat mata... Utari memang menarik. Tatapannya yang menggoda, cara dia memainkan asap rokok, kaos ketat yang menunjukan keindahan tubuhnya... Utari bukan tipe perempuan montok dalam artian dia tidak seperti perempuan yang hanya besar dada dan pantatnya saja. Tubuh Utari seperti model, tingginya melebihiku, lehernya jenjang, kakinya lurus memanjang, pinggangnya kecil langsing dan ukuran cup dadanya pun tampak sesuai... tidak terlalu besar dan tidak pula kecil, tidak. Maksudku aku hanya betah melihatnya, itu saja. Tidak salah kan? Aku kan lelaki, masih single pula. Ah. Tapi Tisya? Bukankah aku menyukainya juga? Tapi Tisya sudah punya pacar... meskipun aku harus mengakui bahwa keanggunannya yang dipadu dengan kecantikan itu tak bisa kuhalau dari pikiranku. Apapun itu, aku hanya pria jomblo yang entah sanggup mendapatkan siapa. Utari? Anggap saja hiburan sesaat untuk mataku. Aku kan seniman yang butuh pelarian... haaahh...

_________________

Malam itu aku dan Riko kembali ke kampus, membantu Utari dengan ujian akhir pemeranannya. Saat itu hampir tengah malam, kami baru selesai latihan dan hendak beristirahat sejenak. Aku dan Riko memisahkan diri dengan yang lain dan mencari tempat untuk duduk dan mengobrol, sementara yang lain tengah menikmati berbagai macam konsumsi yang telah disediakan Utari.
“Gara-gara lu gua jadi ikut terjebak disini...” Riko mulai mengeluh.
“Hahaha... udah... sekali-kali bantuin orang kenapa sih...” ujarku.
“Gua bukan bantuin, ini sih pemaksaan..” jawab Riko lagi.
“Hey hey, ente lupa apa... yang maksa-maksa ane buat ikutan OSPEK yang ngabisin persediaan duit ane buat setaun itu kan ente... jadi ane mau ngikut sistem disini, bahwa orang yang habis OSPEK dan masuk Himpunan Mahasiswa Jurusan itu harus saling bantu terutama waktu ujian akhir begini... apa salahnya?”
“Mulai deh bahas OSPEK, kayaknya lu nyesel banget ikutan OSPEK” ujar Riko.
“Lebih karena ane lebih butuh duitnya sih ketimbang organisasi, maksud ane gini loh, urusan bantu membantu kan hukumnya wajib, bukan hanya berlaku untuk anak HMJ doang. Mahasiswa non HMJ juga wajib membantu dan dibantu dan semua itu harusnya tanpa paksaan dari sistem apapun... ane juga gak mau paksa junior ane nanti kalo ane ujian. Yang mau bantu ane silahkan yang enggak juga ga apa-apa, toh temen ane diluar kampus yang setia ma ane kan banyak...” jawabku.
“Ya itu kan memang udah jadi sistem disini”
“Ya kalo gitu sistem ini sistem yang salah dan harus diperbaiki”
“Kalo gitu ngapain lu ikutan OSPEK?”
“Karena harga diri. Ane ga suka orang-orang ngomongin bahwa OSPEK di kampus ini butuh kekuatan dan orang-orang yang enggak ikutan OSPEK adalah pengecut. Nope. Ane bukan pengecut seperti yang mereka bilang...” jawabku tegas.
“Halah, tapi lu sendiri dibentak-bentak senior bisanya cuman diem, ga lakuin apa ato ngomong apa gitu...” ujar Riko lagi.
“Hmph... ya, itu menyebalkan, karena sebelumnya ane sendiri terlibat dengan berbagai macam organisasi, dari mulai aktivis lingkungan, organisasi sosial, grup teater sampai beladiri... waktu SMA ane juga ketua OSIS dan sering ngospek junior ane, pola-pola semacam dibentak, dibangunkan mendadak sewaktu kemping, membuat sandiwara-sandiwara seperti sinetron, bahkan dihajar untuk ketahanan tubuh gue waktu latihan karate, semua itu sudah pernah ane rasain jadinya apa yang para senior lakuin ma ane waktu itu agak terasa membosankan, ane  selalu bisa menebak apa yang sebenernya ada di pikiran mereka, ga peduli segalak apa mereka berakting”
“Ya mustinya lu belain temen sekelompok lu kek, atau apa gitu yang bisa bagusin imej lu di mata senior” Riko berkata lagi.
“Pertanyaannya simpel, buat apa? Agar ane dibilang kritis? Iya? Apa bersikap kritis di kegiatan itu menjamin ane bakal kritis di akademis? Nope, buktinya orang melakukan itu hanya untuk mencari perhatian, sedangkan ane justru menghindari itu semua. Semakin banyak mata senior yang liat ane, bakal makin banyak pula senior yang minta bantuan. Lebih baik ane keliatan bego didepan mereka daripada ane direpotin. Pada kenyataannya semua itu tidak berpengaruh pada nilai-nilai akademis. Seandainya ane harus cari perhatian, ane bakal caper cukup sama dosen, bukan senior yang notabene kuliahnya aja acak-acakan... di kelas aja otak mereka ga selevel ma ane, ngapain ane nanggepin mereka? Lagipula, merendahkan diri di hadapan mereka adalah latihan akting ane yang sebenernya”
“Latihan akting?” Riko bertanya heran
“Yap. Itu adalah latihan agar kelak ane gak jadi sombong, agar ane gak jadi sok hebat dan arogan... jujur aja ane udah cape sama popularitas dan organisasi, ane cuma pengen jadi mahasiswa yang down to earth dan tidak mencolok”
“Dasar aneh, pernyataan lu dari tadi malah ngejelasin ke gue kalo lu itu arogannya ga ketulungan” ujar Riko.
“Ya makanya ane bilang itu cuma latihan...”
“Iya deh iya, gua setuju, gua kesini kan buat belajar bukan buat organisasi. Berbeda dengan kampus yang lain, disini, HMJ lebih besar perannya ketimbang UKM... dan kita berdua punya reputasi yang gak begitu bagus di HMJ”
“Ya makanya harus seimbang, dengan membantu ujian ni cewek seenggaknya kita bisa kasih sesuatu buat mahasiswa disini... lagipula Utari kan gak jelek-jelek amat, diantara para senior disini enggak sedikit juga yang memang punya otak bermutu, Utari lama kuliah disini kan karena sering pindah-pindah jurusan”
“Iya sih... eh liat itu si Yunita kan?”
“Mana?” mataku langsung mencari arah yang ditujukan Riko, Yunita, seorang perempuan berwajah manis yang berpakaian seperti laki-laki, setidaknya itu pandanganku mengenai tank top.
“Hey kalian...” Yunita menyapa kami.
“Ada apa? Apa latihannya selesai?” aku bertanya.
“Kalian udah pada makan belum? Itu nasi kotaknya masih ada” ujar Yunita menatap kami berdua. Aku dan Riko saling pandang sesaat untuk memikirkan jawaban.
“Gimana ko, kita makan dulu?” tanyaku pada Riko.
“Ya udah. Gua juga laper, lu ngajakin ngobrol mulu” jawab Riko.
Kami pun bergegas kembali ke ruang pertunjukan, disana semua tampak berantakan. Botol-botol champagne berbagai jenis, absolute vodka sampai jack daniels disana sini, bekas kotak makanan, lembaran-lembaran naskah, semuanya berserakan di lantai. Kuambil satu buah nasi kotak. Disampingku, Riko mengikuti.
“Kalian makasih banget loh ya... mau bantuin” Utari tiba-tiba memeluk kami berdua dari belakang. Sontak membuat kami berdua kaget.
“Euh... iya teh sama-sama... makan teh?” ujar Riko.
“Teh?” ujarku kebingungan melihat gelagat aneh Utari. Utari tampak sempoyongan dan tubuhnya tiba-tiba roboh begitu saja. Tanganku secara refleks menahan sebagian tubuhnya seraya terduduk.
“Utari!” aku berteriak panik, keceplosan. Aku lupa tidak memanggilnya teteh. Seisi ruangan pun ikut panik, semua orang mengerubungi kami. Perlahan Utari bangkit, seluruh tubuhnya beraroma alkohol. Ia hanya tersenyum.
“Aku baik-baik aja... mungkin baekan aku pulang sekarang...” ujar Utari seraya mencoba bangkit.
“Kalo gitu biar dianter...” seru Yunita.
“Enggak apa-apa kok, aku bisa sendiri...” Utari memegangi bahuku kencang, menjadikannya pegangan untuk berdiri. Senior yang lain ikut membantunya berjalan.
“Lukman!” tiba-tiba Yunita memanggilku, aku menoleh. Yunita memberikanku isyarat agar aku bisa mengantar Utari, aku mengangguk, kutinggalkan nasi kotak itu di meja. Para senior menepuk bahuku.
“Gua titip sobat baik gua ma elu...” ujar salah seorang senior. Aku mengangguk.
“Pake motor gue!” ujar Riko melemparkan kunci motornya ke arahku. Kutangkap kunci itu, seraya membopong Utari menuju lahan parkir. Di lahan parkir barulah aku termenung cukup lama.
“Ada apa?” Utari bertanya heran.
“Enggak, enggak ada apa-apa” jawabku.
Aku termenung bukan tanpa alasan, didepanku motor gede Riko siap untuk kugunakan, tapi... aku tak pernah menggunakan motor semacam ini sebelumnya, aku bahkan tidak pernah mengendarai motor jenis bebek atau matic ke kampus, di rumah, ayahku tidak mengijinkanku menyentuh motornya. Ayahku hanya bisa bilang... “beli motor sendiri!” yang membuatku harus menjalani gaya hidup yang prihatin. Aku belajar mengendarai motor pun itu dari teman. Dan sekarang, aku harus menjalankan motor gede Riko?
Sudahlah bagaimana nanti saja. Aku tengah bersama Utari sekarang, tidak mungkin aku harus mengakui ketidakmampuanku dihadapannya. Segera kutumpangi motor sport itu, kubonceng Utari di belakang, kumasukan kunci. Kutekan starter, dan mulai kugas sekencangnya. Tapi motor tidak melaju, hanya mengeluarkan bising yang keras dan asap tebal. Motor itu diam di tempat. Ah, sial. Kenapa ini? Kupaksakan gas sekencangnya, tapi motor masih membeku. Riko, ada apa dengan motormu ini? Lalu kusadari Utari memelukku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hingga Utari berbisik di telingaku.
“Kapan giginya mau kamu injak?”
Ah. Benar juga. Aku malu bercampur panik, kuinjak gigi dan motor pun... terbang. Aku lupa untuk mengendurkan gas di tangan. Beruntung Utari memelukku erat kalau tidak dia pasti terpental tadi. Aku semakin panik, motor ini cukup berat dan jalannya seperti ular. Syukurlah ini tengah malam, tepatnya sekitar jam 1 pagi, dengan begitu jalanan tidak begitu ramai.
“Dari sini kita belok atau lurus?” tanyaku pada Utari.
“Nanti ada jalan besar di sebelah kiri... kita masuk kesitu” jawab Utari.
“Disini?”
“Ya. Kamu cari aja rumah no 24 D. Pagarnya hijau muda, kita berhenti disitu...” jawab Utari lagi. Aroma alkohol dari mulutnya tercium kuat di hidungku, mungkin karena dia sedang mabuk, dia tidak mengeluh sama sekali dengan caraku berkendara. Padahal, aku menjalankan sepeda motor ini dengan gerakan slolam...
“Ah, yang ini ya?” aku berhenti di depan sebuah rumah besar dengan ciri-ciri yang disebutkan Utari tadi. Tampaknya ini adalah sebuah tempat kos. Utari tak bergeming, dia masih saja terdiam... memelukku kencang. Aku mulai canggung, terlebih sekarang aku bisa merasakan dadanya menempel di punggungku.
“Teh? Kita... kita sampai nih...” aku menoleh ke belakang, Utari tampaknya tertidur. Kugoyangkan bahuku untuk membangunkannya, perlahan matanya terbuka. Kutatap matanya yang mulai menatap sayu, akhirnya ia sadar bahwa kita sudah sampai. Ia turun dari motor, kumasukan motor ke dalam halaman kosan tersebut. Utari menarik lenganku, menjadikannya sebagai pegangan, aku semakin canggung. Ia mengajakku menaiki sebuah anak tangga. Dan akhirnya kami berdua sampai di lantai paling atas, dimana disana terdapat sebuah kamar dan halaman yang cukup besar untuk menjemur pakaian. Dari sini jalanan kota Bandung yang mulai sepi bisa terlihat jelas, namun cahaya dari lampu jalanan masih memberikan sajian yang cukup manis. Sejenak aku termenung dengan pemandangan disini. Utari menarik lenganku lagi, angin tengah malam terasa menusuk tulang.
“Kamu suka?” tanya Utari.
“Euh... yah, tempat ini keren” ujarku.
Utari tersenyum. Senyuman yang membuatku canggung. Sampai akhirnya Utari menarik lenganku masuk ke kamarnya. Langsung saja kulepas tangan itu, sesaat Utari tampak terkejut, namun kemudian ia tenang kembali, dan terduduk di ranjang. Aku berdiri diluar pintu, kuusahakan agar mulutku bisa tersenyum.
“Sekarang teteh istirahat ya. Saya mau permisi kembali ke kampus...” ujarku sedikit gugup. Utari menatap mataku dengan tenang seraya melepas ikat rambutnya.
“Jangan gitu dong, kamu baru jadi tamu disini, dan teteh masih butuh bantuan kamu... ayo, sini masuk” jawab Utari, ia tampak begitu percaya diri. Aku sendiri mulai berkeringat dingin, ini tengah malam dan pikiranku mulai kacau karena mengantuk ditambah firasat-firasat aneh mulai menghantui pikiran.
“Euh, maaf teh ini sudah hampir pagi, lihat tuh jam, sudah hampir jam setengah dua kan? Hehehe... teteh istirahat saja, kapan-kapan saya kunjungi teteh lagi” aku berbasa-basi menampik ajakannya. Tapi dasar perempuan, Utari menatapku lagi, dengan tatapan yang lain. Bibirnya seperti meleleh dan matanya berkaca-kaca. Ah, kenapa harus begini... aku paling lemah dengan tangisan perempuan. Terutama perempuan yang kusukai. Bisikan-bisikan dalam hati mulai muncul.

“Masuk saja dulu, mungkin dia sedang butuh teman curhat”

“Euh... teh? Teteh baik-baik saja kan?” Utari masih terus saja menangis.
“Teteh kenapa?” Utari tidak menjawab. Dia terus menangis. Kucoba untuk memasukan kakiku kedalam kamar dan duduk diatas karpet.
“Kalau teteh punya masalah cerita saja, jangan pendam kesedihan karena itu tidak baik...” ujarku seraya mengambil sebuah remote dan mulai menyalakan televisi.
“Aku udah enggak sanggup Lukman...” akhirnya Utari mulai bersuara. Aku berusaha untuk menjadi pendengar yang baik.
“Enggak sanggup sama apa?” aku bertanya.
“Semuanya” Utari lalu mencoba membuka jaket kulitnya dan air mata Utari tampak mengalir lebih deras.... segera kuambil tissue yang berada di atas meja, kusodorkan padanya untuk menyapu air mata itu. hingga kemudian aku terkejut karena dibalik jaket kulit yang dia lepaskan itu Utari hanya mengenakan bra hitamnya saja. Ah, kacau. Pikirku. Apa dia sengaja melakukan itu dihadapanku atau memang hanya karena pengaruh alkohol aku tidak tahu.

“Tapi suka kan?”

Aduh. Aku harus bagaimana. Aku mulai memalingkan muka. Disisi lain aku ingin segera pergi dari tempat itu, namun disisi yang lain aku penasaran dengan perkembangan apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku bertahan. Aku berharap Utari menceritakan kegelisahan yang membuatnya menangis. Hingga akhirnya yang sanggup kulakukan hanya mengambil remote dan berpura-pura mencari saluran televisi. Namun tak lama celana jins Utari pun terlempar ke karpet. Sekarang barulah tubuhku kaku, tak bisa digerakan.
“Lukman...”
Aku terdiam, tak mau aku menggubrisnya.
“Luukmaaan...” Utari kembali memanggilku dengan suaranya yang kini terdengar parau, dia mabuk keras. Pikirku. Biarkan saja dulu. Aku berpura-pura tak mendengar dengan mengencangkan volume televisi. Suara isak tangisnya masih bisa kudengar, tapi aku tidak mau terjebak. Aku takut jika ini mendekatkanku pada hal yang lain.
“Lukman... please kamu harus tolong aku...”
Kata tolong yang ia ucapkan memaksaku untuk menoleh.
“Tiduri... aku... sekarang...”
Nah. Kan? Apa kubilang... pasti arahnya kesitu. Kupalingkan mukaku lagi. Namun apa yang kulihat terlanjur menempel di ingatan. Tubuhnya dan tatapan penuh hasrat yang dipenuhi tangis itu. Aku mulai gugup. Aku tidak tahu apa yang tengah dialami Utari sampai ia tampak sekacau ini. Ia berbaring di ranjang dan memintaku untuk menidurinya... apa? Mungkinkah dia hanya memintaku untuk menyanyikan lagu Nina bobo begitu? Ayolah... ini Utari. Utari yang memintaku, ini pasti lelucon. Siapa tahu ada kamera tersembunyi disekitar sini. Keringatku menetes tak terkendali. Pikiranku kacau. Aku terdiam cukup lama sampai ajakan itu tak terdengar lagi...

“Apa yang salah?”

Tentu ini salah. Seharusnya aku sudah pergi dari tadi.

“Terus kenapa kamu masih disini?”

Apa hal itu harus kujelaskan?

“Artinya kamu menginginkan itu juga kan?”

Diam kau. Ini berbeda dengan sebelumnya, ini tidak sama dengan godaan menonton DVD Mari Fujisawa.

“Kalau begitu kenapa tidak menghadapi kenyataan, gadis ini butuh kamu, jadi kamu harus menolongnya”

Dia tidak membutuhkanku, yang dia inginkan itu seks.

“Sama saja. Intinya dia butuh itu sekarang”

Tidak, kau tidak mengerti. Ini tidak sama. Aku menyukai para wanita dengan menaruh hormat. Benar bahwa gadis ini menarik secara penampilan dan benar bahwa aku pun berhasrat melihatnya. Tapi gadis ini bukan Mari Fujisawa yang hanya beraksi di layar kaca. Gadis ini ada. Dia dekat denganku. Dan dia sedang mabuk. Apa yang kulakukan nanti bisa berpengaruh pada kehidupan secara langsung. Dan tahukah kau bagaimana rasanya melihat gadis yang kau sukai secara hasrat itu bertindak sejauh ini? Selama hubungan itu tidak sah, rasanya menyakitkan.

“Rasa hanya bisa dihakimi jika kamu sudah mencobanya... jadi coba saja dulu...”

Bagaimana aku bisa setega itu?

“Ini bukan kejahatan, gadis ini sendiri yang memintanya”

Terus apa artinya aku dari siang tadi menceramahi Riko tentang hakekat pemeranan? Tentang hakekat bahwa aku diawasi Tuhan? Bahwa seni tidak menjauhkan kita dariNya melainkan membantu kita agar lebih bertakwa?

“Seks adalah bagian dari seni juga, maka dari itu ada yang namanya kamasutra”

Itu bukan seni. Itu... itu... kesesatan...

“Shakespeare pun melakukannya”

Ayolah. Bisakah kau diam?
Lenganku bergetar. Bajuku basah oleh keringat, sejenak aku menoleh ke arah Utari. Tampaknya Utari tertidur, matanya terpejam. Syukurlah. Tapi tubuhnya... ah. Kupalingkan mukaku lagi.

“Kuberitahu satu hal, gadis ini tidak sedang tidur, yang dia lakukan adalah menunggu...”

Diamlah. Aku sudah cukup dengan ini. Aku akan pergi sekarang.

“Sekarang? Apa kamu tidak menginginkan pengalaman baru?”

Aku akan mengalami ini setelah aku menikah nanti.

“Menikah? Nanti? Kapan? Dengan siapa? Semua itu tidak pasti... jawaban yang pasti ada didekatmu sekarang... lihatlah, itu ibarat roti bakpau putih empuk yang menunggu untuk dilahap.”

Tapi aku tidak mau melakukan ini. Resikonya terlalu tinggi.

Sentuh saja tidak masalah kan? Ciuman saja tidak akan membunuh... jilatan, gigitan, apapun itu tidak akan berpengaruh banyak...

Ah. Aku... aku...

“Kau adalah pria normal yang tampan dengan testosterone dan feromon yang kuat... ayolah, tunggu apa lagi? Paha putih itu seperti paha ayam kalkun... tampaknya sangat lezat...”

Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Aku harus bagaimana?

“Selalu ada saat pertama untuk apapun, pilihannya hanyalah kau ingin mengawali ini secara lembut atau agresif?”

Aku? Aku... tentu saja lembut... aku... aku kan...

“Hentikan Lukman...”

Tiba-tiba aku mendengar suara itu, diikuti bayangan Riko yang muncul dalam pikiranku, dan berkata;

“Udah gue bilang cewek ini berbahaya, semakin dia pintar semakin besar bahayanya... kalo enggak begitu ngapain kita menjaga shalat lima waktu kita jika malam ini kamu disini melakukannya?”

Ri... Riko ngapain kamu disini? Ceramahin ane lagi... ujarku dalam hati, namun Riko tidak sendirian...

“Indi muncul di kehidupan Lukman biar Lukman bisa belajar banyak tentang perempuan...”

Ah I... Indi? Kamu juga? Jangan ganggu aku... belajar banyak kau bilang? Ya ya, sejak saat itu aku mulai belajar bahwa perempuan sepertimu tidak layak kuhormati. Jadi jangan ganggu aku lagi. Ujarku pada bayangan Indi yang muncul di hadapanku.

“Saya sudah ingatkan, tidak baik untuk kamu mendekati perempuan yang bukan muhrim kamu...”

Syifana? Jadi begitu, apa itu alasannya kamu cepat-cepat menikah? Meninggalkan saya dalam harap? Jawabku pada bayangan Syifana yang ikut-ikutan angkat bicara. Ah, tentu saja sikapku terhadap perempuan sudah kuubah dari dulu, semenjak aku membaca buku “Gentleman Attitude” dan mengenal Syifana. Aku bahkan menolak untuk bersentuhan dengan perempuan dan memperlakukan mereka dengan rasa hormat. Tapi malam ini...

Kawan-kawan, percayalah ini bukan hal yang mudah... ujarku pada mereka, hingga muncul sosok lain yang berkata;

“Tisya bangga loh punya temen yang pantang menyerah kayak kamu...”

Ah. Tisya... kamu kemana saja? Pergi saja sana, temui pacarmu! Jika kamu setuju untuk membiarkanku tidak menyerah mengejar kamu barulah aku bisa bangga. Ujarku lagi. Bayangan Tisya terasa lebih menyesakan. Ia tersenyum seraya mengacak-acak rambutku. Kucoba untuk berdiri. Namun lututku bergetar tak karuan, rasanya lututku itu lemas sekali. Dadaku terasa sangat panas seolah ada api didalamnya. Tubuhku menegang, tak bisa bergerak ataupun melangkah. Alamak. Tiba-tiba saja Utari membuka matanya. Dan menarik lenganku kencang.
“Aku enggak tahan lagi, ayo kita lakukan sekarang!” ujar Utari setengah berteriak dan menatapku dengan tatapan sayunya yang menggoda. Aku terkejut. Mataku terbelalak menatapnya. Api di dadaku terasa semakin membara. Rasanya aku ingin menjadi monster. Aku merasa semakin lemah, sudahlah bagaimana nanti saja. Bayangan diriku yang lain muncul kembali dalam pikiranku seraya berbisik;

“Jangan dengarkan ucapan teman-temanmu itu. Ini saatnya makan bakpau...”

Aku mulai melangkah mendekati ranjang. Namun bayangan kawan-kawanku itu kembali lagi, berkata seraya menepuk bahuku;

“Jangan kecewakan kami, tetaplah jadi Lukman yang kami kenal”

Sekali lagi aku mengerti mengapa ini disebut perang. Terima kasih kawan-kawan. Hampir saja aku kalah, kutepis lengan Utari dan menatapnya penuh kebencian. Namun aku tak sanggup untuk marah... sehingga tatapan kebencianku itu berubah menjadi tatapan kesedihan. Kuambil selimut dan menutupi tubuh Utari yang tak tertutup. Utari menatapku kosong, aku berlagak tenang meski jauh di dalam hatiku, diriku yang lain tengah menjerit histeris...

“Paha ayamnyaaaa!!!”

Aku mencoba tersenyum lalu menatap jam dinding. Hampir jam 3 pagi. Ini sudah cukup, pikirku. Aku akan kembali ke kampus sekarang. Namun tampaknya Utari mengerti aku akan pergi, ia kembali menarik lenganku. Bibirnya seolah hendak berbicara sesuatu untuk mencegahku, namun aku hanya bisa tersenyum.
“Sekarang teh Utari istirahat aja. Jangan terlalu banyak pikiran, anggap saya tidak mendengar kalimat apapun dari teteh, karena sekarang teteh sedang tidak enak badan... minggu depan kita harus latihan lagi, jadi tolong jaga kesehatan teteh baik-baik... saya harap teteh bisa lulus dan jadi sarjana seni yang membanggakan...” ujarku seraya melepaskan lengan utari dengan lembut. Utari tampak mencoba untuk tetap tenang lalu membalas senyumku. Dari matanya air mata itu berjatuhan kembali namun kali ini ia menyapukan air matanya sendiri tanpa menghentikan senyumannya. Kuanggukan kepalaku tanda bahwa aku hendak berpamitan, hingga kemudian kututup pintu kamar itu. Dari balik pintu suara tangisan Utari terdengar semakin kencang. Kuturuni anak tangga, mengambil motor Riko dan meninggalkan tempat itu.
Sepanjang perjalanan ke kampus aku berpikir. Apa yang kulakukan? Apa aku seseorang yang kejam karena telah meninggalkannya? Tidak, yang kutinggalkan adalah dosanya. Apa aku seorang munafik? Tidak, seorang munafik tidak akan memilih kebaikan meskipun hasratnya menolak. Aku hanya seseorang yang masih belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, itu saja. Lantas apakah aku seorang pengecut? Mungkin ya, karena aku cukup ketakutan dengan kejadian tadi, namun untuk menolak ajakan hasrat dari sosok yang kusukai... itu bukan pengecut, itu keberanian... ujarku menghibur diri, karena jujur saja untuk mengingat-ingat keindahan tubuh itu saja aku sudah merinding, ternyata melihatnya langsung berbeda dengan melihat aksi Mari Fujisawa, aku bergidik. Ditambah lagi kondisiku yang belum tidur. Ah, aku harus fokus, kalau tidak, bisa kecelakaan nanti. Kecelakaan motor maksudku. Di gerbang kampus, kudapati Yunita tengah terdiam sambil melahap gorengan sisa konsumsi.
“Lama bener nganterinnya, ngapain aja?” tanya Yunita.
“Enggak, tadi ane nyari makanan dulu cuman enggak ada, jadi agak lama, eh bagi gorengannya dong...” ujarku mengarang alasan seraya mengambil satu buah gehu dari bungkusan di tangan Yunita.
“Mana keringetan begitu lagi... eh aku liat-liat...” Yunita tiba-tiba menatapku aneh.
“Apa?” ujarku.
“Kamu keringetan begini keliatannya seksi juga, hari ini bobonya di kosan aku aja gimana?” jawab Yunita.
Aku terdiam, memicingkan mataku dan menatapnya dalam. Ada apa dengan gadis-gadis ini? Apakah ini memang sedang siklusnya atau feromonku terlalu kuat untuk mereka? Tanpa menghiraukan ucapannya, kutancap gas motor Riko kembali dan menyimpannya di lahan parkir. Dengan gaya slolam tentunya. Tak lama kudengar adzan shubuh pertama berkumandang dari arah musholla. Dan begitu aku menuju kesana, aku mendapati Riko sebagai muadzin kali ini. Haha, temanku yang satu itu, dari dialah aku mengenal Mari Fujisawa namun siapa sangka bahwa semua ucapan baiknyalah yang menghalangiku untuk berbuat dosa. Memang setiap manusia pasti ada hitam ada pula putihnya. Bagaimanapun, yang namanya hasrat tidak akan bisa terpuaskan seperti apapun cara melampiaskannya. Perempuan. Berapa banyak perang yang harus dimulai karena alasan perempuan? Bahkan dalam hikayat, pembunuhan pertama yang dilakukan manusia didasari oleh perebutan perempuan. Apakah perempuan harus disalahkan? Tidak. Yang salah adalah lelaki yang tak bisa mengendalikan hasratnya. Karena hasrat ini berasal dari api. Api yang sama yang mengobarkan semangat juang, api yang sama yang mengobarkan keinginan. Semua orang memiliki api ini. Tanpa api ini manusia tidak akan mampu melakukan perubahan. Tanpa api ini manusia tidak sempurna. Api dibutuhkan agar kita mau menjadi manusia yang lebih baik. Namun siapa saja yang tak bisa mengendalikan api dalam hatinya, niscaya dia akan terbakar oleh apinya sendiri. Ah, mungkin ini saatnya untuk mendinginkan api dalam hatiku dengan memasuki musholla. Bagaimanapun, mataku telah melihat sesuatu yang tak harus kulihat. Aku tahu betul, bahwa zamanku ini bukan zaman yang sama dengan yang ditawarkan film-film religi, ini adalah zaman dimana menonton televisi bisa menjadi dosa, ini adalah zaman dimana keburukan dan kebaikan bercampur aduk. Ini adalah zaman penuh propaganda. Ini adalah zaman dimana pergaulan bukanlah satu-satunya pembentuk akhlak, karena yang paling penting adalah penanaman pola pikir sejak dini. Aku sendiri bukan orang yang bisa menghindari dosa dengan mudah dengan lingkunganku yang absurd namun selama aku bisa membedakan baik dan buruk, maka aku akan mencoba berusaha. Pertanyaannya, jika pergaulan bebas ini begitu dipandang buruk, dari mana para anak muda ini menirunya? Budaya barat? Karena tidak mungkin jika kusebut ini berasal dari timur... dan sejauh ini film remaja amerika memberikan contoh seperti itu. Namun jika ini berasal dari barat, mengapa idiom gentleman attitude bisa lahir disana? Dan dari sana pula muncul istilah istilah duty over booty? Yang jelas, pergeseran pandangan seiring kemajuan zaman rupanya membawa kita pada banyak perubahan. Budaya telah lama ditinggalkan. Hari ini kita tengah berperang, perang ideologi. Dan aku adalah manusia yang hidup di zaman sesulit itu.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mengunjungi kediaman Utari. Meski begitu latihan berjalan seperti biasa dan hubungan kami kini hanya berkembang sebatas aktor dan kru-nya. Senior dan junior. Apa yang kami bicarakan pun hanya sebatas urusan pertunjukan saja. Profesional? Lima bulan kemudian dari saat itu Utari akhirnya dikabarkan lulus dengan nilai terbaik.