Bab 11.
(Bukan Flashback)
Api.
Kampus biru. Kampus bercat biru tepatnya. Kampusku,
sebuah universitas seni negeri di kawasan Bandung. Aku, dan kawanku Riko, saat
ini tengah asyik bermain game berjudul “Marvel Ultimate Alliance” di laptop, dengan menggunakan sepasang
stick playstation, kami bermain berdua layaknya bocah di teras perpustakaan
kampus.
“Ok, jadi siapa sebenarnya si ontohod ini?” tanyaku
seraya menunjuk salah satu tokoh yang berkepala tengkorak yang terbakar api dan
mengenakan jaket kulit keren dengan rantai di tangannya.
“Si ontohod pala lu onta... itu namanya si Ghost Rider.
Jurusnya keren bro... bisa mukulin musuh pake rantai berapi” Riko menjelaskan.
“Kalo ini nih sapa nih? Yang bawa palu kemana-mana ini?”
tanyaku lagi.
“Itu Thor. Pangeran viking dari Asgard... kalo yang itu
jurusnya bisa manggil badai petir...”
“Kayaknya si Thor ini anak jurusan artistik, kemana-mana
bawa palu... biar gampang bikin properti. Ah, kalo yang ini ane tahu ini siapa,
yang tangannya ada kawatnya tiga ini pasti namanya Vega, iya kan?”
“Bukan! Sebut aja dia Ujang, Ujang Pendi. Itu Wolverine!
Lu sebenernya mau main enggak sih, cepetan pilih mau main jadi siapa, banyak
nanya aja dari tadi” Riko pun mulai protes.
“Ok kalo gitu ane pilih si Hulek”
“Hulk!”
“Huluk!”
“Hulk!!”
“Ya itulah...”
Akhirnya kami berdua memulai permainan, di layar tampak
para monster menyerang dari berbagai sudut dan Hulk pun menghajar Spiderman...
“Woy! Yang mustinya lu hajar itu monsternya bukan guah!”
Riko tiba-tiba berteriak.
“Ane Hulk! Ane tak terkendali...”
“ARRRGGGHHH”
Di layar laptop, Spiderman pun membalas dengan
melemparkan kotak kayu ke arah Hulk.
“Kena lu onta!”
“Hulk marah!!”
Pada akhirnya game bertema petualangan itu pun berubah
menjadi game pertarungan. Para monster hanya bisa bengong melihat Hulk dan
Spiderman saling tonjok satu sama lain. Tak lama Riko menghentikan permainan
lalu menyuruhku untuk memilih tokoh yang lain.
“Kok diganti?” tanyaku
“Jangan jadi si Hulk deh, Hulk enggak bisa bedain mana
kawan mana lawan... pilih yang lain” jawab Riko. Aku pun segera mencari tokoh
lain yang tampaknya cocok untukku.
“Kalo yang cewek cakep itu siapa bro?”
“Sebut saja namanya Mawar, udah pilih aja, yang mana juga
sama aja asal jangan si Hulk!”
“Cewek itu...”
“Mana? Spider Woman, Black Cat, Mrs. Marvel atau Jean
Grey?”
“Yang ituuu......”
“Itu yang mana maksud lo? Oh, yang itu...”
Tak lama Riko pun mulai sadar bahwa sosok yang
kubicarakan bukanlah tokoh dalam game... sosok itu, tengah terduduk di taman
bersama para senior dengan tawa yang terbahak, tawa yang begitu natural.
Sejenak ia berdiri, mengangkat pinggiran celana jins hipsternya yang sedikit
melorot dan dari situ aku bisa mengetahui bahwa dia sosok wanita yang tinggi
semampai, dengan tubuh layaknya model, tidak begitu cantik tapi sangat menarik.
Penuh dengan daya tarik. Berbeda dengan tipe perempuan yang kusukai sebelumnya,
perempuan yang satu ini tampak menarik dari sisi yang berbeda. Dia tidak tampak
secentil Indi, tidak pula seanggun Tisya, namun aura kharismatiknya terasa
sangat kuat. Sosok ini tampak begitu liar, begitu apa adanya sekaligus
tampak... seksi.
“Namanya Utari. Gua sih manggilnya teteh...”
“Teh Utari...”
“Jangan mikir yang macem-macem! Itu senior kita...!”
“Tak apa, ane emang lagi doyan daun tua, eh daun matang
maksudnya... dia kelahiran tahun berapa emang?”
“Teh Utari? Kemungkinan doi kelahiran tahun 83,
sebutannya aja Lady Tiger, doi salah satu macan kampus disini dan memang
semenjak tahun 2003 doi sering banget pindah-pindah jurusan... itulah kenapa dia
masih belum lulus sampai sekarang, hampir semua bidang seni dia gelutin dan
aktingnya di panggung juga bisa dibilang sangat bagus”
“Multitalent artist...”
“Dia tujuh tahun lebih tua dari lu! Jadi baikan jangan
cari bahaya deh”
Seolah tahu tengah kubicarakan, Utari pun menatap ke
arahku, dia tersenyum, dia hisap rokok mentholnya dalam-dalam dan menghembuskan
asapnya ke arah langit. Mendapatkan tatapan itu aku mendadak jadi salah
tingkah, padahal aku sendiri sudah cukup terbiasa menghadapi perempuan cantik.
“Woy, mau lanjutin main gamenya enggak nih?” ajak Riko.
“Nanti lagi deh ko, ane lagi enggak mood...” ujarku.
“Woy stick PS gua nih, maen banting aja”
“Iyeh, sory sory... eh... ko, liat itu deh...”
“Liat apaan?”
“Itu orang gila apa seniman?” ujarku menunjuk seseorang
berpenampilan aneh yang memasuki kampusku.
“Mana? Oh itu... Hm... seniman kali...”
“Seniman? Masa seniman rambutnya gimbal ga jelas begitu,
bajunya compang camping, gak pake sendal, serius itu seniman?”
“Ini kampus seni, kalaupun dia orang gila beneran, itu
salah dia sendiri kenapa masuk kesini, kan kita jadi susah bedain... udah jadi
resiko tuh orang untuk dicap seniman”
“Ngaco lu ah! Lu ngomong gitu seolah seniman itu lebih
buruk dari orang gila, estetikanya dimana coba?”
“Menurut Profesor Doktor Riko Putra Pamungkas alias diri
gua sendiri, estetika itu merupakan sesuatu yang sesuai dengan tempatnya, tidak
peduli apakah itu sampah sekalipun jika penempatannya sesuai dengan tujuannya,
maka itu bisa disebut sebagai estetika...”
“Jadi menurut ente ni kampus cocok buat naro orang gila?”
“Yah macam lu gini lah, kayak sendirinya normal aja...”
“Yaelah ente ko, gitu amat ma ane...”
“Ngomong-ngomong kapan lu mau balikin inventaris pribadi
gue?”
“Inventaris? Inventaris apa?”
“Cewek simpenan gue lah... Mari Fujisawa!”
“Oh itu... soal itu... euh... heheheh...” aku mulai salah
tingkah, entah bagaimana aku harus menjelaskan pada Riko kalau kepingan DVD
favoritnya itu sudah dipatahkan temanku, Egi. Riko menatapku dengan sorot mata sinis
seraya menghela nafasnya.
“Haaaah... ya sudah anggap itu hutang, tapi jangan
coba-coba lu keluar dari kampus ini sebelum lu bayar...”
“Eh? Hutang apa maksud lu? Hutang dosa?”
“Ya pokoknya itu hutang... artinya lu terikat dengan gue
di kampus ini... jadi jangan coba-coba berkhianat...”
Aku menelan ludah. Di kampus ini, persaingan antar
mahasiswa sangat ketat. Suasana senioritas pun masih kuat dengan kemunculan
para alumni yang hilir mudik di kawasan kampus. Ada yang salah memang, dari
pola pendidikan, sistem keorganisasian sampai sistem pembentukan mental
mahasiswa melalui kegiatan OSPEK saat penerimaan mahasiswa baru. Tidak, yang
kumaksud bukan kegiatan OSPEK-nya, tapi hasilnya. Orang yang selesai menempuh
OSPEK secara otomatis akan diterima di HMJ (himpunan mahasiswa jurusan) memang
dimana-mana juga begitu. Tapi ini kampus seni. Dan kita mahasiswa jurusan
teater, tidak bisa membuat sebuah pertunjukan hanya dengan mengandalkan diri,
butuh kerjasama kolektif, butuh bantuan dari siapapun yang namanya teman. Butuh
sutradara, butuh tim artistik, butuh tim aktor dan pastinya butuh dana besar
untuk membayar mereka. Oleh karena itu kita diwajibkan saling membantu, tanpa
melihat bayaran, layaknya keluarga yang siap membantu kapan saja. Tapi hal itu
tidak akan dirasakan oleh orang diluar HMJ... mahasiswa yang tidak mengikuti
OSPEK akan dikucilkan dalam lingkungannya, itu sudah jadi resiko disini. Namun
masalahnya bukan itu, sistem pendidikan disini dibuat layaknya kompetisi, semua
mahasiswa pasti akan dan harus membuat pertunjukannya sendiri. Artinya,
hubungan yang tadinya berdasarkan pertemanan tanpa pamrih lambat laun akan
berubah menjadi persaingan, salah memilih partner hasilnya bisa fatal...
pengkhianatan seperti menunda-nunda latihan, berebut aktor, ketidakhadiran
disaat-saat akhir, bisa saja terjadi. Oleh karena itu, banyak mahasiswa yang
gugur di pertengahan masa-masa kuliahnya, bukan karena mata kuliah yang sulit,
melainkan karena senyuman teman-temannya yang direbut oleh sistem. Aku dan Riko
bukan mahasiswa yang aktif di organisasi, kami juga cenderung menjadi apatis.
Bukan karena tidak kritis, tapi sebaliknya, karena jiwa kritis kami tampak
tidak dibutuhkan, karena selalu ditentang disaat nilai-nilai akademis
dipertaruhkan untuk mengikuti rapat. Yang bisa kami lakukan hanyalah saling
mengandalkan dan percaya. Di kampus ini, Riko adalah partnerku.
“Heh ‘ko, ente tau gak dosanya minjemin film bokep?”
“Jangan ngomong gitu deh, dasar ga tau terima kasih!”
“Itu ibarat sistem MLM ‘ko, ente liat Mari Fujisawa
artinya dosa ente bintang satu, nah berhubung ente liatin lagi ke ane, dosa
ente bertambah jadi bintang dua...”
“Kok gue jadi nyesel gitu minjemin inventaris gue ke lu
ya?”
“Takut dosa?”
“Lebih karena gue jadi sebel ma lu sih...”
“Eits, santai... ane punya tehniknya biar dosa ente gak
jadi kaya multilevel marketing”
ujarku meyakinkan.
“Jangan pinjemin begituan lagi ma onta macem lu...”
“Nope. Lain
kali kalo ente bawa Mari Fujisawa, kita nontonnya barengan...” aku mengusulkan.
“Ya dosa juga kali...”
“Dosanya berjamaah...”
“Ogah! Heh ‘man, gua paling anti nonton begituan
barengan, masa iya gue habiskan masa imajinasi gue waktu gue ‘bangun’ dan
berubah jadi monster barengan lu? Jijik, geuleuh”
“Hahahahah”
“Ya udah kita ke musholla. Udah adzan dhuhur tuh.”
“Cie cie... ngajakin sholat berjamaah...”
“Lebih baik sholat berjamaah daripada dosa berjamaah,
lagian shalat itu kan penghalang kemungkaran, shalat itu membuat lu ngerasa
diawasi Allah dan malu berbuat dosa...”
“Siap ustadz Riko.”
“Gue ngajakin lu shalat pahala gue jadi bintang dua juga
kan? Kaya MLM juga kan...?”
“Oh iya dong...”
“Kalo gitu kita ajakin temen-temen kita yang lain, tuh si
Fajar, kita ajakin shalat dia...”
Aku dan Riko pun menghampiri seorang teman yang bernama
Fajar, saat itu dia tengah asyik membereskan tugas artistiknya, membuat
properti panggung.
“Jar... Mushalla yuk!”
“Ya... gue nitip absen aja dah...”
“Yaelah, lu kate kita mau kuliah, bisa nitip absen?”
“Allah juga tau banget kok gua seniman...”
Mendengar jawaban itu kami spontan tertawa sekaligus
miris.
“Santai ‘ko, niat ente udah dicatet kok. Itu yang
penting” ujarku. Lalu kami pun segera bergegas ke musholla, segala canda tawa
dihentikan sementara, lalu mengambil wudhu, mempersilakan imam dan memulai
shalat berjamaah. Air wudhu yang sejuk mengalir dari ubun-ubun menuju dahiku
lalu menetes membasahi sajadah. Bibirku yang masih basah mulai membaca
bacaan-bacaan shalat. Tak lama, imam pun memberikan instruksi untuk ruku, dan
layaknya sistem yang teratur kami para makmum mengikutinya. Aku tengah
melakukan ruku sekarang... membentuk tubuhku dengan sudut 90 derajat... waktu
berjalan lambat. Nafas ini terasa mengalun, setiap tetes demi tetes air yang
disertai iringan doa berjatuhan... celotehan demi celotehan dalam hati masih
saja muncul...
“Apa aku melakukan ini dengan baik?”
Aku bangkit dari ruku, seiring gerakan Imam dan makmum
yang lain... aku menatap kiblatku...
“Apakah aku melakukan ini hanya karena
dilihat oleh manusia yang lain?”
Kemudian sujud. Aku bersujud diatas sajadah. Gravitasi
terasa menarik tubuhku seluruhnya, waktu terasa terhenti. Ruangku terasa gelap.
Bahuku terasa berat. Aku merasa terpisah dari semesta... perasaan apa ini?
Seperti melayang tapi tak berpindah... seperti... ruang hampa udara... seolah
aku menemukan sandaran, seolah aku begitu tak berdaya, tak lagi memiliki
kekuatan apapun, hanya pasrah sepenuhnya...
“Ada yang aneh... saat ini aku melebur
dengan manusia yang lain bukan?”
“...”
“sekarang, dengan melakukan ini Aku telah
menjadi bagian dari mereka bukan?”
“...”
“Apa aku tengah diawasi?”
“...”
“Apa? Apa yang kurasakan ini?”
“...”
“Apa yang kulakukan dan apa yang
orang-orang ini lakukan?”
“...”
“Aku... aku ini siapa dan ada dimana?”
“...”
“Selama ini aku baru sadar bahwa aku tak
mengingat apapun tentang kapan aku mulai menjalani kehidupan.... kapan pertama
kali aku bernafas... aku tak mengingatnya... kapan pertama kali aku mulai
bicara dan berjalan... aku tak mengingatnya... kapan pertama kali aku mengenal
orang tuaku... kapan aku mulai bisa mengingat semua... mengapa aku bisa
meyakini semua kehidupan itu dengan segala kesadaran? Sementara aku tak tahu
sejak kapan ini dimulai... aku hanya larut didalam kehidupan dan sistem yang
disiapkan untukku, susah, senang, kemarahan atau kebahagiaan semua begitu
semu...”
Gerakan demi gerakan shalat kulakukan seiring sang imam
memberikan komandonya, dalam setiap gerakan, godaan yang mengganggu kekhusyuan
shalatku semakin terasa... setiap bacaan mengandung makna, setiap maknanya
secara otomatis dipikirkan dan setiap pemikiran menyerap dalam perasaan.
“Tapi...”
“Tapi perasaan ini... perasaan ini terasa
sangat familiar... terasa sangat kukenal, tapi apa? Seolah aku dibesarkan dan
tumbuh bersama perasaan ini... ini...”
“Ini adalah...”
“Maha hakekat!”
Imam mengucapkan salam. Selesai sudah tuntutan 4 rakaat
di waktu dzuhur.
______________________________________
Tak berapa lama aku dan Riko pun meninggalkan musholla, mengenakan
kembali sepatu kami, dan mulai menyusuri lorong-lorong kampus.
“Fiuh... abis ini kita enggak ada kelas lagi kan? Ane mau
langsung cabut dah...” ujarku.
“Iya sih, gua juga males nongkrong lama-lama disini.
Mendingan balik, terus mandi, B.A.B, tidur terus nonton Naruto...” jawab Riko.
“Haaah... ente ‘ga lagi bantuin siapa-siapa kan?”
“Bantu... bantu apa?”
“Bantuin senior yang lagi ujian... sekarang kan musimnya”
“Aduh males banget deh kalo gua musti bantuin, tugas kita
di semester ini aja numpuknya luar biasa... belum lagi ada kelas yang gua
tinggal lagi di semester lalu... ah pokoknya enggak deh!”
“Fiuh, sama, ane juga males. Belum lagi mereka biasanya kan
latian malem, masa ane musti bolak-balik Cikaso-Buah Batu buat bantuin ujian
orang, kalopun ane tungguin disini ampe malem itu kan buang waktunya banyak
banget. Mending kalo mereka bener latian, lah kalo cuman ngobrol terus ada yang
ga dateng, terus latihannya ga jadi misalnya... kan itu ngenes banget, yang
tinggal ngekos disini sih enak, lah ane? Udah pulang pake ongkos naik angkot
tiga kali rutenya puter-puter pula...”
“Lebih sebelnya lagi mereka suka maksa gitu minta
dibantuin, mereka bilang ini penting buat pengalaman kita... tapi di semester
segini sih, aduh repot banget lah, kita juga kan punya tugas pertunjukan kita
sendiri...” Riko menambahkan.
“Sebenernya ane ga masalah bantuin, asalkan ane bisa
milih sendiri siapa sutradaranya, kalau sutradara slengean, bermasalah, ane ga
mau, toh selama ini ane selalu tawarin diri untuk bantu tiap kali nemu
sutradara yang cocok... jangankan jadi aktor, buat konsumsi pun ane suka
sengaja bawa dari rumah untuk dibagiin disini...”
“Haha, tapi disini kita ga bisa milih-milih, mereka yang
tiba-tiba pilih kita kan?”
“Itulah makanya ane suka keluarin wajah ane yang melongo
ga jelas, jalannya dibikin loyo selesu mungkin, jadi kalo ada senior yang liat
ane, mereka ga akan berniat make ane buat bantuin mereka...”
“Hahahaha... Lukman Lukman... dasar lu tuh beneran ya,
aktor diluar panggung... hahahaha” Riko tiba-tiba tertawa.
“Eh... gini-gini, biar akting ane ga bagus-bagus amat,
seenggaknya ane lebih ngerti filosofi keaktoran ketimbang aktor profesional
sekalipun”
“Songong banget lu baru semester segini udah nantangin
aktor profesional...” tukas Riko.
“Sekarang ane nanya ma ente, menurut ente fungsinya
teater itu apa sih?”
“Ya... kalo kata gue pribadi sih teater itu passion, itu kebutuhan gue, menunjukan
kemampuan gue...”
“Hm, kalo gitu ane nanya lagi, ente tau gak kenapa guru
besar kita bilang teater itu bisa memanusiakan manusia?”
“Ya... itu karena... dengan teater kita bisa melatih diri
kita untuk berada dalam posisi apapun atau dalam peran apapun...”
“Hampir bener, tapi kurang tepat” jawabku.
“Terus apa dong?” Riko mulai menggaruk-garuk kepalanya.
“Hakekat dari teater adalah pertunjukan. Artinya, bahwa
syarat dari munculnya teater bukan karena harus ada aktor atau panggungnya,
tapi karena harus ada penontonnya...”
“Penonton?”
“Iya, penonton, sebagai penyaksi dari pertunjukan kita,
dan bener kata ente, di panggung kita melatih diri untuk memerankan siapa saja
dan membayangkan kita berada dalam posisi yang tak pernah kita alami
sebelumnya... tapi satu hal, yang tidak dimengerti oleh aktor profesional kita
bahwa... akting bukanlah pura-pura... akting justru telah dipraktekan semua
orang diluar panggung...”
“Maksud lo? Masa gua musti akting jadi orang lain di luar
panggung sih?” Riko masih tak mengerti maksudku.
“Hahaha. Ane kan tadi bilang, akting bukan pura-pura...
sekarang ane nanya lagi deh, cara ente ngobrol ma ane, ngomongin Mari Fujisawa,
ngajakin main game, dan sebagainya, kira-kira bisa disamain sama ente ngobrol
sama bapak ente di rumah ga?”
“Ya gak bisa disamain lah. Masa iya gua ngomongin Mari
Fujisawa sama babeh gue...” jawab Riko. Aku tersenyum
“Itu dia. Itulah akting. Peran ente sebagai temen ane,
partner ane, gak bisa disamain sama peran ente sebagai anak... sebagai mahasiswa
dari dosen-dosen ente atau sebagai pacar dari harim ente...”
“Ya juga ya... kok lu bisa mikir kesitu sih?”
“Hehehe iya dong, sekarang balik ke teori guru besar kita
soal teater bisa memanusiakan manusia...”
“Hubungannya dengan itu apa tuh?”
“Sama halnya dengan shalat. Tadi ente bilang karena ente
shalat, ente akan merasa diawasi dan malu berbuat dosa kan?”
“I... iya emang...”
“Sama dengan itu, ketika ente melakukan kesalahan dalam
adegan ente malu sama penonton kan?” ujarku lagi.
“Ja... jadi maksud lu...”
“Ya. Sama dengan itu, setiap kita berada diantara
orang-orang kita memposisikan diri kita agar membaur dengan mereka kan? Kita
berakting. Akting diambil dari kata act, artinya
aksi... bukan pura-pura. Kita tidak akan mau melanggar peraturan di jalan jika
disana ada polisi... dan kita akan melaksanakan tugas-tugas karena dosen
memintanya kan? Sekarang... jika benar begitu, apakah kita melakukan hal yang
sama terhadap Tuhan kita? Bukankah Dia maha penyaksi? Bukankah Tuhan tak hanya
melihat setiap tindakan namun juga apa yang tersembunyi didalam hati kita?
Bukankah itu artinya kita dituntut untuk berakting setiap saat?”
Riko terdiam.
“Dan semua hakekat itu, semua kesadaran itu, kesadaran
bahwa kita disaksikan........ hanya itu satu-satunya pembeda antara kita dan
binatang... karena tanpa kesadaran akan disaksikan, manusia hanya akan sama
seperti orang gila tadi, tak perduli dengan sekitarnya.”
“Memanusiakan manusia...” Riko bergumam, matanya
terbelalak seolah mendapat ilham, aku tersenyum karena ilham itu pun muncul
begitu saja.
“Dengan begitu kalo masih ada aktor yang masih pake
narkoba agar dia sanggup berakting total, kalo masih ada aja aktor yang
memproklamirkan dirinya atheis, kalo masih ada aja aktor yang slengean dalam
hidupnya... apa yang dia lakuin itu, itulah pura-pura... karena itu sama saja
dengan menipu diri”
“Tapi setau gue banyak seniman yang begitu, Shakespeare
aja demen ngeseks, demen isep opium
dan dari semua itu muncul naskah-naskah hebat...” tukas Riko.
“Jadi apa itu artinya?”
“Apa?”
“Artinya seorang Shakespeare pun membutuhkan pelarian!
Dari naskah-naskah hebat yang ente sebutin, semua itu Shakespeare buat dengan
mengorbankan sisi kemanusiaannya... dia membuat karya yang memusingkan
kepalanya, membuat perutnya mual, membuat dirinya terpuruk, stress, dan dia
lari ke arah kesenangan sesaat, untuk memulihkan dirinya... dari pikiran yang
tenang setelah nafsunya terlampiaskan, dari situlah dia bisa mulai berkarya”
“Terus itu artinya lu gak menampik bahwa seniman bisa
hebat dengan hal-hal seperti itu?” Riko bertanya lagi. Aku tersenyum
“Hm. Jangan salahkan karya hanya karena dosa
pembuatnya... karya tetaplah karya, yang salah kan pelarian seseorang ketika
stress saat berkarya, itulah makanya dosen kita pak Zai selalu bilang bahwa
seni tidak menjauhkan diri dari Tuhan, melainkan sebaliknya”
“Stress kan tidak bisa dihindari bray, dan
seniman-seniman itu kan hanya manusia biasa, salah atau benar sekarang kan
menjadi urusan yang subjektif.”
“Tentu saja ane ngerti itu... tapi ente harus inget bahwa
ketika ente kehilangan sandaran atas beban ente, akan selalu ada tempat untuk
ente bersujud kan? So, ga ada alasan untuk kesia-siaan”
“Tumben lu bijak”
“Ah, itu cuma kata-kata dari internet...”
Tak lama kami berjalan, kami menuju lahan parkir...
seperti biasa, aku akan meminta Riko untuk mengantarku sampai ke tempat
pemberhentian angkot dengan motor gedenya. Baru saja kami sampai di tempat itu,
seseorang tiba-tiba mendekati kami berdua...
“Hai... kalian berdua ada waktu enggak?” ujarnya.
Kami menoleh, mataku tiba-tiba berubah menjadi lensa autofocus pada tubuh indah yang
menghampiri kami. Perempuan itu, perempuan yang tingginya melebihiku, ah siapa
namanya?
“Teh Utari?” Riko memulai sapaan. Aku masih membeku.
“Begini, malam ini teteh mau latihan buat ujian
pemeranan, kalian mau bantuin teteh gak? Please...
bantuin dong, teteh pengen cepet-cepet lulus nih...” ujar Utari memohon.
Aku dan Riko terdiam sesaat dan saling pandang,
memikirkan jawaban yang kompak dan tepat dengan kondisi kami.
“Euh... teh, kebetulan kita juga kan lagi ujian...” jawab
Riko sedikit terhenti.
“Ok deh, kita bantu!” jawabku spontan. Riko melotot ke
arahku, kuangkat bahuku seraya tersenyum. Utari tampak gembira dengan
jawabanku.
“Tapi teh... kita enggak janji bisa...”
“Udah deh ko... kita kan udah kaya keluarga... kita harus
saling membantu dalam setiap kesulitan, bukan begitu teh Utari?” jawabku. Riko
menatapku tajam. Utari hanya tersenyum seraya mengangguk.
“Bener loh ya, teteh tunggu di ruang pertunjukan jam
delapan malam nanti!” ujar Utari dengan mata berbinar.
“Tapi teh... sa... saya...” Riko semakin panik.
“Siap teh, kalau teteh butuh bantuan seorang Lukman, itu
artinya Riko bakal ikut juga. Kita udah kayak satu paket” ujarku. Riko melotot
lagi ke arahku.
“Sip deh kalo gitu, teteh tunggu ya... harus datang
pokoknya...” jawab Utari seraya tersenyum dan berlalu. Sesaat setelah Utari
pergi Riko langsung mencekik leherku.
“Lu tuh ya!! Kenapa lu setuju buat bantuin? Kita kan lagi
banyak tugas Lukman!” ujar Riko dengan marah.
“I... iya, ane tau, lepasin... euh... tapi yang minta
bantuan itu kan Utari... ini... ini beda dengan yang lainnya” jawabku
beralasan.
“Beda apanya? Beda karena dia cewek yang lu incer gitu?”
“Ah... lets say...
booty over duty” ujarku seraya memicingkan
mataku.
“Setau gue istilahnya duty
over booty, artinya lebih penting
tugas dan kewajiban ketimbang cewek...” Riko menegaskan.
“Makanya mulai sekarang istilahnya ane balik jadi booty
over duty, hehehehe” aku mencoba membuat alasan.
“Dasar... cewek aja yang ada di pikiran lu!” ujar Riko
seraya melemparkan helm ke arahku.
“Ah... body macem gitu ko... yang bisa bikin ane
kejang-kejang... pinggulnya, kakinya, semuanya... 10/10 layak jalan...”
Riko memalingkan mukanya, enggan mendengar celotehku, dia
kemudikan motor gedenya membiarkan aku duduk dibelakangnya. Sejujurnya aku
tidak serius mengatakan bahwa aku menyukai Utari. Aku hanya secara kebetulan
sering melihatnya di area kampus, begitu pula dengan Utari, dia sering juga
menatap ke arahku. Hampir setiap hari kita berpapasan muka di kampus dan
menawarkan senyum tanpa tahu nama masing-masing. Dan sekarang aku punya
kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Hanya mengenalnya saja. Ya, hanya mengenal.
Jika dilihat dari sudut terdalam hatiku, Utari sama sekali bukan tipeku. Aku
bukan perokok dan aku tidak mungkin menyukai perempuan yang suka merokok, aku
akan lebih tertarik pada perempuan yang menjaga auratnya, jadi jelas Utari pun
tidak masuk kategori ini. Aku suka perempuan yang anggun, yang menjaga nada
bicaranya dan cara Utari tertawa bukan tipe perempuan idealku. Tapi secara
kasat mata... Utari memang menarik. Tatapannya yang menggoda, cara dia
memainkan asap rokok, kaos ketat yang menunjukan keindahan tubuhnya... Utari
bukan tipe perempuan montok dalam artian dia tidak seperti perempuan yang hanya
besar dada dan pantatnya saja. Tubuh Utari seperti model, tingginya melebihiku,
lehernya jenjang, kakinya lurus memanjang, pinggangnya kecil langsing dan
ukuran cup dadanya pun tampak sesuai... tidak terlalu besar dan tidak pula
kecil, tidak. Maksudku aku hanya betah melihatnya, itu saja. Tidak salah kan?
Aku kan lelaki, masih single pula. Ah. Tapi Tisya? Bukankah aku menyukainya
juga? Tapi Tisya sudah punya pacar... meskipun aku harus mengakui bahwa
keanggunannya yang dipadu dengan kecantikan itu tak bisa kuhalau dari pikiranku.
Apapun itu, aku hanya pria jomblo yang entah sanggup mendapatkan siapa. Utari?
Anggap saja hiburan sesaat untuk mataku. Aku kan seniman yang butuh pelarian...
haaahh...
_________________
Malam itu aku dan Riko kembali ke kampus, membantu Utari
dengan ujian akhir pemeranannya. Saat itu hampir tengah malam, kami baru
selesai latihan dan hendak beristirahat sejenak. Aku dan Riko memisahkan diri
dengan yang lain dan mencari tempat untuk duduk dan mengobrol, sementara yang
lain tengah menikmati berbagai macam konsumsi yang telah disediakan Utari.
“Gara-gara lu gua jadi ikut terjebak disini...” Riko
mulai mengeluh.
“Hahaha... udah... sekali-kali bantuin orang kenapa
sih...” ujarku.
“Gua bukan bantuin, ini sih pemaksaan..” jawab Riko lagi.
“Hey hey, ente lupa apa... yang maksa-maksa ane buat
ikutan OSPEK yang ngabisin persediaan duit ane buat setaun itu kan ente... jadi
ane mau ngikut sistem disini, bahwa orang yang habis OSPEK dan masuk Himpunan
Mahasiswa Jurusan itu harus saling bantu terutama waktu ujian akhir begini...
apa salahnya?”
“Mulai deh bahas OSPEK, kayaknya lu nyesel banget ikutan
OSPEK” ujar Riko.
“Lebih karena ane lebih butuh duitnya sih ketimbang
organisasi, maksud ane gini loh, urusan bantu membantu kan hukumnya wajib,
bukan hanya berlaku untuk anak HMJ doang. Mahasiswa non HMJ juga wajib membantu
dan dibantu dan semua itu harusnya tanpa paksaan dari sistem apapun... ane juga
gak mau paksa junior ane nanti kalo ane ujian. Yang mau bantu ane silahkan yang
enggak juga ga apa-apa, toh temen ane diluar kampus yang setia ma ane kan
banyak...” jawabku.
“Ya itu kan memang udah jadi sistem disini”
“Ya kalo gitu sistem ini sistem yang salah dan harus
diperbaiki”
“Kalo gitu ngapain lu ikutan OSPEK?”
“Karena harga diri. Ane ga suka orang-orang ngomongin
bahwa OSPEK di kampus ini butuh kekuatan dan orang-orang yang enggak ikutan OSPEK
adalah pengecut. Nope. Ane bukan
pengecut seperti yang mereka bilang...” jawabku tegas.
“Halah, tapi lu sendiri dibentak-bentak senior bisanya
cuman diem, ga lakuin apa ato ngomong apa gitu...” ujar Riko lagi.
“Hmph... ya, itu menyebalkan, karena sebelumnya ane
sendiri terlibat dengan berbagai macam organisasi, dari mulai aktivis
lingkungan, organisasi sosial, grup teater sampai beladiri... waktu SMA ane
juga ketua OSIS dan sering ngospek junior ane, pola-pola semacam dibentak,
dibangunkan mendadak sewaktu kemping, membuat sandiwara-sandiwara seperti sinetron,
bahkan dihajar untuk ketahanan tubuh gue waktu latihan karate, semua itu sudah
pernah ane rasain jadinya apa yang para senior lakuin ma ane waktu itu agak terasa
membosankan, ane selalu bisa menebak apa
yang sebenernya ada di pikiran mereka, ga peduli segalak apa mereka berakting”
“Ya mustinya lu belain temen sekelompok lu kek, atau apa
gitu yang bisa bagusin imej lu di mata senior” Riko berkata lagi.
“Pertanyaannya simpel, buat apa? Agar ane dibilang
kritis? Iya? Apa bersikap kritis di kegiatan itu menjamin ane bakal kritis di
akademis? Nope, buktinya orang
melakukan itu hanya untuk mencari perhatian, sedangkan ane justru menghindari
itu semua. Semakin banyak mata senior yang liat ane, bakal makin banyak pula
senior yang minta bantuan. Lebih baik ane keliatan bego didepan mereka daripada
ane direpotin. Pada kenyataannya semua itu tidak berpengaruh pada nilai-nilai
akademis. Seandainya ane harus cari perhatian, ane bakal caper cukup sama
dosen, bukan senior yang notabene kuliahnya aja acak-acakan... di kelas aja
otak mereka ga selevel ma ane, ngapain ane nanggepin mereka? Lagipula,
merendahkan diri di hadapan mereka adalah latihan akting ane yang sebenernya”
“Latihan akting?” Riko bertanya heran
“Yap. Itu adalah latihan agar kelak ane gak jadi sombong,
agar ane gak jadi sok hebat dan arogan... jujur aja ane udah cape sama
popularitas dan organisasi, ane cuma pengen jadi mahasiswa yang down to earth dan tidak mencolok”
“Dasar aneh, pernyataan lu dari tadi malah ngejelasin ke
gue kalo lu itu arogannya ga ketulungan” ujar Riko.
“Ya makanya ane bilang itu cuma latihan...”
“Iya deh iya, gua setuju, gua kesini kan buat belajar
bukan buat organisasi. Berbeda dengan kampus yang lain, disini, HMJ lebih besar
perannya ketimbang UKM... dan kita berdua punya reputasi yang gak begitu bagus
di HMJ”
“Ya makanya harus seimbang, dengan membantu ujian ni
cewek seenggaknya kita bisa kasih sesuatu buat mahasiswa disini... lagipula
Utari kan gak jelek-jelek amat, diantara para senior disini enggak sedikit juga
yang memang punya otak bermutu, Utari lama kuliah disini kan karena sering
pindah-pindah jurusan”
“Iya sih... eh liat itu si Yunita kan?”
“Mana?” mataku langsung mencari arah yang ditujukan Riko,
Yunita, seorang perempuan berwajah manis yang berpakaian seperti laki-laki,
setidaknya itu pandanganku mengenai tank
top.
“Hey kalian...” Yunita menyapa kami.
“Ada apa? Apa latihannya selesai?” aku bertanya.
“Kalian udah pada makan belum? Itu nasi kotaknya masih
ada” ujar Yunita menatap kami berdua. Aku dan Riko saling pandang sesaat untuk
memikirkan jawaban.
“Gimana ko, kita makan dulu?” tanyaku pada Riko.
“Ya udah. Gua juga laper, lu ngajakin ngobrol mulu” jawab
Riko.
Kami pun bergegas kembali ke ruang pertunjukan, disana
semua tampak berantakan. Botol-botol champagne
berbagai jenis, absolute vodka sampai
jack daniels disana sini, bekas kotak
makanan, lembaran-lembaran naskah, semuanya berserakan di lantai. Kuambil satu
buah nasi kotak. Disampingku, Riko mengikuti.
“Kalian makasih banget loh ya... mau bantuin” Utari tiba-tiba
memeluk kami berdua dari belakang. Sontak membuat kami berdua kaget.
“Euh... iya teh sama-sama... makan teh?” ujar Riko.
“Teh?” ujarku kebingungan melihat gelagat aneh Utari.
Utari tampak sempoyongan dan tubuhnya tiba-tiba roboh begitu saja. Tanganku
secara refleks menahan sebagian tubuhnya seraya terduduk.
“Utari!” aku berteriak panik, keceplosan. Aku lupa tidak
memanggilnya teteh. Seisi ruangan pun ikut panik, semua orang mengerubungi
kami. Perlahan Utari bangkit, seluruh tubuhnya beraroma alkohol. Ia hanya
tersenyum.
“Aku baik-baik aja... mungkin baekan aku pulang
sekarang...” ujar Utari seraya mencoba bangkit.
“Kalo gitu biar dianter...” seru Yunita.
“Enggak apa-apa kok, aku bisa sendiri...” Utari memegangi
bahuku kencang, menjadikannya pegangan untuk berdiri. Senior yang lain ikut
membantunya berjalan.
“Lukman!” tiba-tiba Yunita memanggilku, aku menoleh.
Yunita memberikanku isyarat agar aku bisa mengantar Utari, aku mengangguk,
kutinggalkan nasi kotak itu di meja. Para senior menepuk bahuku.
“Gua titip sobat baik gua ma elu...” ujar salah seorang
senior. Aku mengangguk.
“Pake motor gue!” ujar Riko melemparkan kunci motornya ke
arahku. Kutangkap kunci itu, seraya membopong Utari menuju lahan parkir. Di
lahan parkir barulah aku termenung cukup lama.
“Ada apa?” Utari bertanya heran.
“Enggak, enggak ada apa-apa” jawabku.
Aku termenung bukan tanpa alasan, didepanku motor gede
Riko siap untuk kugunakan, tapi... aku tak pernah menggunakan motor semacam ini
sebelumnya, aku bahkan tidak pernah mengendarai motor jenis bebek atau matic ke
kampus, di rumah, ayahku tidak mengijinkanku menyentuh motornya. Ayahku hanya
bisa bilang... “beli motor sendiri!” yang membuatku harus menjalani gaya hidup
yang prihatin. Aku belajar mengendarai motor pun itu dari teman. Dan sekarang,
aku harus menjalankan motor gede Riko?
Sudahlah bagaimana nanti saja. Aku tengah bersama Utari
sekarang, tidak mungkin aku harus mengakui ketidakmampuanku dihadapannya.
Segera kutumpangi motor sport itu, kubonceng Utari di belakang, kumasukan kunci.
Kutekan starter, dan mulai kugas sekencangnya. Tapi motor tidak melaju, hanya
mengeluarkan bising yang keras dan asap tebal. Motor itu diam di tempat. Ah,
sial. Kenapa ini? Kupaksakan gas sekencangnya, tapi motor masih membeku. Riko,
ada apa dengan motormu ini? Lalu kusadari Utari memelukku. Aku tak tahu harus
berbuat apa. Hingga Utari berbisik di telingaku.
“Kapan giginya mau kamu injak?”
Ah. Benar juga. Aku malu bercampur panik, kuinjak gigi
dan motor pun... terbang. Aku lupa untuk mengendurkan gas di tangan. Beruntung
Utari memelukku erat kalau tidak dia pasti terpental tadi. Aku semakin panik,
motor ini cukup berat dan jalannya seperti ular. Syukurlah ini tengah malam,
tepatnya sekitar jam 1 pagi, dengan begitu jalanan tidak begitu ramai.
“Dari sini kita belok atau lurus?” tanyaku pada Utari.
“Nanti ada jalan besar di sebelah kiri... kita masuk
kesitu” jawab Utari.
“Disini?”
“Ya. Kamu cari aja rumah no 24 D. Pagarnya hijau muda,
kita berhenti disitu...” jawab Utari lagi. Aroma alkohol dari mulutnya tercium
kuat di hidungku, mungkin karena dia sedang mabuk, dia tidak mengeluh sama
sekali dengan caraku berkendara. Padahal, aku menjalankan sepeda motor ini
dengan gerakan slolam...
“Ah, yang ini ya?” aku berhenti di depan sebuah rumah
besar dengan ciri-ciri yang disebutkan Utari tadi. Tampaknya ini adalah sebuah
tempat kos. Utari tak bergeming, dia masih saja terdiam... memelukku kencang.
Aku mulai canggung, terlebih sekarang aku bisa merasakan dadanya menempel di
punggungku.
“Teh? Kita... kita sampai nih...” aku menoleh ke
belakang, Utari tampaknya tertidur. Kugoyangkan bahuku untuk membangunkannya,
perlahan matanya terbuka. Kutatap matanya yang mulai menatap sayu, akhirnya ia
sadar bahwa kita sudah sampai. Ia turun dari motor, kumasukan motor ke dalam
halaman kosan tersebut. Utari menarik lenganku, menjadikannya sebagai pegangan,
aku semakin canggung. Ia mengajakku menaiki sebuah anak tangga. Dan akhirnya
kami berdua sampai di lantai paling atas, dimana disana terdapat sebuah kamar
dan halaman yang cukup besar untuk menjemur pakaian. Dari sini jalanan kota
Bandung yang mulai sepi bisa terlihat jelas, namun cahaya dari lampu jalanan
masih memberikan sajian yang cukup manis. Sejenak aku termenung dengan
pemandangan disini. Utari menarik lenganku lagi, angin tengah malam terasa
menusuk tulang.
“Kamu suka?” tanya Utari.
“Euh... yah, tempat ini keren” ujarku.
Utari tersenyum. Senyuman yang membuatku canggung. Sampai
akhirnya Utari menarik lenganku masuk ke kamarnya. Langsung saja kulepas tangan
itu, sesaat Utari tampak terkejut, namun kemudian ia tenang kembali, dan
terduduk di ranjang. Aku berdiri diluar pintu, kuusahakan agar mulutku bisa
tersenyum.
“Sekarang teteh istirahat ya. Saya mau permisi kembali ke
kampus...” ujarku sedikit gugup. Utari menatap mataku dengan tenang seraya
melepas ikat rambutnya.
“Jangan gitu dong, kamu baru jadi tamu disini, dan teteh
masih butuh bantuan kamu... ayo, sini masuk” jawab Utari, ia tampak begitu
percaya diri. Aku sendiri mulai berkeringat dingin, ini tengah malam dan
pikiranku mulai kacau karena mengantuk ditambah firasat-firasat aneh mulai
menghantui pikiran.
“Euh, maaf teh ini sudah hampir pagi, lihat tuh jam,
sudah hampir jam setengah dua kan? Hehehe... teteh istirahat saja, kapan-kapan
saya kunjungi teteh lagi” aku berbasa-basi menampik ajakannya. Tapi dasar
perempuan, Utari menatapku lagi, dengan tatapan yang lain. Bibirnya seperti
meleleh dan matanya berkaca-kaca. Ah, kenapa harus begini... aku paling lemah
dengan tangisan perempuan. Terutama perempuan yang kusukai. Bisikan-bisikan
dalam hati mulai muncul.
“Masuk saja dulu, mungkin dia sedang
butuh teman curhat”
“Euh... teh? Teteh baik-baik saja kan?” Utari masih terus
saja menangis.
“Teteh kenapa?” Utari tidak menjawab. Dia terus menangis.
Kucoba untuk memasukan kakiku kedalam kamar dan duduk diatas karpet.
“Kalau teteh punya masalah cerita saja, jangan pendam
kesedihan karena itu tidak baik...” ujarku seraya mengambil sebuah remote dan
mulai menyalakan televisi.
“Aku udah enggak sanggup Lukman...” akhirnya Utari mulai
bersuara. Aku berusaha untuk menjadi pendengar yang baik.
“Enggak sanggup sama apa?” aku bertanya.
“Semuanya” Utari lalu mencoba membuka jaket kulitnya dan
air mata Utari tampak mengalir lebih deras.... segera kuambil tissue yang
berada di atas meja, kusodorkan padanya untuk menyapu air mata itu. hingga
kemudian aku terkejut karena dibalik jaket kulit yang dia lepaskan itu Utari
hanya mengenakan bra hitamnya saja. Ah, kacau. Pikirku. Apa dia sengaja
melakukan itu dihadapanku atau memang hanya karena pengaruh alkohol aku tidak
tahu.
“Tapi suka kan?”
Aduh. Aku harus bagaimana. Aku mulai memalingkan muka.
Disisi lain aku ingin segera pergi dari tempat itu, namun disisi yang lain aku
penasaran dengan perkembangan apa yang akan terjadi selanjutnya jika aku
bertahan. Aku berharap Utari menceritakan kegelisahan yang membuatnya menangis.
Hingga akhirnya yang sanggup kulakukan hanya mengambil remote dan berpura-pura
mencari saluran televisi. Namun tak lama celana jins Utari pun terlempar ke
karpet. Sekarang barulah tubuhku kaku, tak bisa digerakan.
“Lukman...”
Aku terdiam, tak mau aku menggubrisnya.
“Luukmaaan...” Utari kembali memanggilku dengan suaranya
yang kini terdengar parau, dia mabuk keras. Pikirku. Biarkan saja dulu. Aku
berpura-pura tak mendengar dengan mengencangkan volume televisi. Suara isak
tangisnya masih bisa kudengar, tapi aku tidak mau terjebak. Aku takut jika ini mendekatkanku
pada hal yang lain.
“Lukman... please kamu harus tolong aku...”
Kata tolong yang ia ucapkan memaksaku untuk menoleh.
“Tiduri... aku... sekarang...”
Nah. Kan? Apa kubilang... pasti arahnya kesitu.
Kupalingkan mukaku lagi. Namun apa yang kulihat terlanjur menempel di ingatan. Tubuhnya
dan tatapan penuh hasrat yang dipenuhi tangis itu. Aku mulai gugup. Aku tidak
tahu apa yang tengah dialami Utari sampai ia tampak sekacau ini. Ia berbaring
di ranjang dan memintaku untuk menidurinya... apa? Mungkinkah dia hanya memintaku
untuk menyanyikan lagu Nina bobo begitu? Ayolah... ini Utari. Utari yang memintaku,
ini pasti lelucon. Siapa tahu ada kamera tersembunyi disekitar sini. Keringatku
menetes tak terkendali. Pikiranku kacau. Aku terdiam cukup lama sampai ajakan
itu tak terdengar lagi...
“Apa yang salah?”
Tentu ini salah. Seharusnya aku sudah pergi dari tadi.
“Terus kenapa kamu masih disini?”
Apa hal itu harus kujelaskan?
“Artinya kamu menginginkan itu juga kan?”
Diam kau. Ini berbeda dengan sebelumnya, ini tidak sama
dengan godaan menonton DVD Mari Fujisawa.
“Kalau begitu kenapa tidak menghadapi
kenyataan, gadis ini butuh kamu, jadi kamu harus menolongnya”
Dia tidak membutuhkanku, yang dia inginkan itu seks.
“Sama saja. Intinya dia butuh itu
sekarang”
Tidak, kau tidak mengerti. Ini tidak sama. Aku menyukai
para wanita dengan menaruh hormat. Benar bahwa gadis ini menarik secara
penampilan dan benar bahwa aku pun berhasrat melihatnya. Tapi gadis ini bukan
Mari Fujisawa yang hanya beraksi di layar kaca. Gadis ini ada. Dia dekat
denganku. Dan dia sedang mabuk. Apa yang kulakukan nanti bisa berpengaruh pada kehidupan
secara langsung. Dan tahukah kau bagaimana rasanya melihat gadis yang kau sukai
secara hasrat itu bertindak sejauh ini? Selama hubungan itu tidak sah, rasanya
menyakitkan.
“Rasa hanya bisa dihakimi jika kamu sudah
mencobanya... jadi coba saja dulu...”
Bagaimana aku bisa setega itu?
“Ini bukan kejahatan, gadis ini sendiri
yang memintanya”
Terus apa artinya aku dari siang tadi menceramahi Riko
tentang hakekat pemeranan? Tentang hakekat bahwa aku diawasi Tuhan? Bahwa seni
tidak menjauhkan kita dariNya melainkan membantu kita agar lebih bertakwa?
“Seks adalah bagian dari seni juga, maka
dari itu ada yang namanya kamasutra”
Itu bukan seni. Itu... itu... kesesatan...
“Shakespeare pun melakukannya”
Ayolah. Bisakah kau diam?
Lenganku bergetar. Bajuku basah oleh keringat, sejenak
aku menoleh ke arah Utari. Tampaknya Utari tertidur, matanya terpejam.
Syukurlah. Tapi tubuhnya... ah. Kupalingkan mukaku lagi.
“Kuberitahu satu hal, gadis ini tidak
sedang tidur, yang dia lakukan adalah menunggu...”
Diamlah. Aku sudah cukup dengan ini. Aku akan pergi
sekarang.
“Sekarang? Apa kamu tidak menginginkan
pengalaman baru?”
Aku akan mengalami ini setelah aku menikah nanti.
“Menikah? Nanti? Kapan? Dengan siapa?
Semua itu tidak pasti... jawaban yang pasti ada didekatmu sekarang... lihatlah,
itu ibarat roti bakpau putih empuk yang menunggu untuk dilahap.”
Tapi aku tidak mau melakukan ini. Resikonya terlalu
tinggi.
Sentuh saja tidak masalah kan? Ciuman
saja tidak akan membunuh... jilatan, gigitan, apapun itu tidak akan berpengaruh
banyak...
Ah. Aku... aku...
“Kau adalah pria normal yang tampan
dengan testosterone dan feromon yang kuat... ayolah, tunggu apa lagi? Paha
putih itu seperti paha ayam kalkun... tampaknya sangat lezat...”
Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Aku harus
bagaimana?
“Selalu ada saat pertama untuk apapun,
pilihannya hanyalah kau ingin mengawali ini secara lembut atau agresif?”
Aku? Aku... tentu saja lembut... aku... aku kan...
“Hentikan Lukman...”
Tiba-tiba aku mendengar suara itu, diikuti bayangan Riko
yang muncul dalam pikiranku, dan berkata;
“Udah gue bilang cewek ini berbahaya,
semakin dia pintar semakin besar bahayanya... kalo enggak begitu ngapain kita
menjaga shalat lima waktu kita jika malam ini kamu disini melakukannya?”
Ri... Riko ngapain kamu disini? Ceramahin ane lagi...
ujarku dalam hati, namun Riko tidak sendirian...
“Indi muncul di kehidupan Lukman biar
Lukman bisa belajar banyak tentang perempuan...”
Ah I... Indi? Kamu juga? Jangan ganggu aku... belajar
banyak kau bilang? Ya ya, sejak saat itu aku mulai belajar bahwa perempuan
sepertimu tidak layak kuhormati. Jadi jangan ganggu aku lagi. Ujarku pada
bayangan Indi yang muncul di hadapanku.
“Saya sudah ingatkan, tidak baik untuk
kamu mendekati perempuan yang bukan muhrim kamu...”
Syifana? Jadi begitu, apa itu alasannya kamu cepat-cepat
menikah? Meninggalkan saya dalam harap? Jawabku pada bayangan Syifana yang ikut-ikutan
angkat bicara. Ah, tentu saja sikapku terhadap perempuan sudah kuubah dari
dulu, semenjak aku membaca buku “Gentleman
Attitude” dan mengenal Syifana. Aku bahkan menolak untuk bersentuhan dengan
perempuan dan memperlakukan mereka dengan rasa hormat. Tapi malam ini...
Kawan-kawan, percayalah ini bukan hal yang mudah...
ujarku pada mereka, hingga muncul sosok lain yang berkata;
“Tisya bangga loh punya temen yang
pantang menyerah kayak kamu...”
Ah. Tisya... kamu kemana saja? Pergi saja sana, temui
pacarmu! Jika kamu setuju untuk membiarkanku tidak menyerah mengejar kamu
barulah aku bisa bangga. Ujarku lagi. Bayangan Tisya terasa lebih menyesakan.
Ia tersenyum seraya mengacak-acak rambutku. Kucoba untuk berdiri. Namun lututku
bergetar tak karuan, rasanya lututku itu lemas sekali. Dadaku terasa sangat
panas seolah ada api didalamnya. Tubuhku menegang, tak bisa bergerak ataupun
melangkah. Alamak. Tiba-tiba saja Utari membuka matanya. Dan menarik lenganku
kencang.
“Aku enggak tahan lagi, ayo kita lakukan sekarang!” ujar
Utari setengah berteriak dan menatapku dengan tatapan sayunya yang menggoda.
Aku terkejut. Mataku terbelalak menatapnya. Api di dadaku terasa semakin
membara. Rasanya aku ingin menjadi monster. Aku merasa semakin lemah, sudahlah
bagaimana nanti saja. Bayangan diriku yang lain muncul kembali dalam pikiranku
seraya berbisik;
“Jangan dengarkan ucapan teman-temanmu
itu. Ini saatnya makan bakpau...”
Aku mulai melangkah mendekati ranjang. Namun bayangan
kawan-kawanku itu kembali lagi, berkata seraya menepuk bahuku;
“Jangan kecewakan kami, tetaplah jadi
Lukman yang kami kenal”
Sekali lagi aku mengerti mengapa ini disebut perang. Terima
kasih kawan-kawan. Hampir saja aku kalah, kutepis lengan Utari dan menatapnya
penuh kebencian. Namun aku tak sanggup untuk marah... sehingga tatapan
kebencianku itu berubah menjadi tatapan kesedihan. Kuambil selimut dan menutupi
tubuh Utari yang tak tertutup. Utari menatapku kosong, aku berlagak tenang
meski jauh di dalam hatiku, diriku yang lain tengah menjerit histeris...
“Paha ayamnyaaaa!!!”
Aku mencoba tersenyum lalu menatap jam dinding. Hampir jam
3 pagi. Ini sudah cukup, pikirku. Aku akan kembali ke kampus sekarang. Namun
tampaknya Utari mengerti aku akan pergi, ia kembali menarik lenganku. Bibirnya
seolah hendak berbicara sesuatu untuk mencegahku, namun aku hanya bisa
tersenyum.
“Sekarang teh Utari istirahat aja. Jangan terlalu banyak
pikiran, anggap saya tidak mendengar kalimat apapun dari teteh, karena sekarang
teteh sedang tidak enak badan... minggu depan kita harus latihan lagi, jadi
tolong jaga kesehatan teteh baik-baik... saya harap teteh bisa lulus dan jadi
sarjana seni yang membanggakan...” ujarku seraya melepaskan lengan utari dengan
lembut. Utari tampak mencoba untuk tetap tenang lalu membalas senyumku. Dari
matanya air mata itu berjatuhan kembali namun kali ini ia menyapukan air matanya
sendiri tanpa menghentikan senyumannya. Kuanggukan kepalaku tanda bahwa aku
hendak berpamitan, hingga kemudian kututup pintu kamar itu. Dari balik pintu
suara tangisan Utari terdengar semakin kencang. Kuturuni anak tangga, mengambil
motor Riko dan meninggalkan tempat itu.
Sepanjang perjalanan ke kampus aku berpikir. Apa yang
kulakukan? Apa aku seseorang yang kejam karena telah meninggalkannya? Tidak,
yang kutinggalkan adalah dosanya. Apa aku seorang munafik? Tidak, seorang
munafik tidak akan memilih kebaikan meskipun hasratnya menolak. Aku hanya
seseorang yang masih belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, itu saja.
Lantas apakah aku seorang pengecut? Mungkin ya, karena aku cukup ketakutan
dengan kejadian tadi, namun untuk menolak ajakan hasrat dari sosok yang
kusukai... itu bukan pengecut, itu keberanian... ujarku menghibur diri, karena
jujur saja untuk mengingat-ingat keindahan tubuh itu saja aku sudah merinding, ternyata
melihatnya langsung berbeda dengan melihat aksi Mari Fujisawa, aku bergidik. Ditambah
lagi kondisiku yang belum tidur. Ah, aku harus fokus, kalau tidak, bisa
kecelakaan nanti. Kecelakaan motor maksudku. Di gerbang kampus, kudapati Yunita
tengah terdiam sambil melahap gorengan sisa konsumsi.
“Lama bener nganterinnya, ngapain aja?” tanya Yunita.
“Enggak, tadi ane nyari makanan dulu cuman enggak ada,
jadi agak lama, eh bagi gorengannya dong...” ujarku mengarang alasan seraya
mengambil satu buah gehu dari bungkusan di tangan Yunita.
“Mana keringetan begitu lagi... eh aku liat-liat...” Yunita
tiba-tiba menatapku aneh.
“Apa?” ujarku.
“Kamu keringetan begini keliatannya seksi juga, hari ini
bobonya di kosan aku aja gimana?” jawab Yunita.
Aku terdiam, memicingkan mataku dan menatapnya dalam. Ada
apa dengan gadis-gadis ini? Apakah ini memang sedang siklusnya atau feromonku
terlalu kuat untuk mereka? Tanpa menghiraukan ucapannya, kutancap gas motor
Riko kembali dan menyimpannya di lahan parkir. Dengan gaya slolam tentunya. Tak
lama kudengar adzan shubuh pertama berkumandang dari arah musholla. Dan begitu
aku menuju kesana, aku mendapati Riko sebagai muadzin kali ini. Haha, temanku
yang satu itu, dari dialah aku mengenal Mari Fujisawa namun siapa sangka bahwa
semua ucapan baiknyalah yang menghalangiku untuk berbuat dosa. Memang setiap
manusia pasti ada hitam ada pula putihnya. Bagaimanapun, yang namanya hasrat
tidak akan bisa terpuaskan seperti apapun cara melampiaskannya. Perempuan.
Berapa banyak perang yang harus dimulai karena alasan perempuan? Bahkan dalam
hikayat, pembunuhan pertama yang dilakukan manusia didasari oleh perebutan
perempuan. Apakah perempuan harus disalahkan? Tidak. Yang salah adalah lelaki
yang tak bisa mengendalikan hasratnya. Karena hasrat ini berasal dari api. Api
yang sama yang mengobarkan semangat juang, api yang sama yang mengobarkan
keinginan. Semua orang memiliki api ini. Tanpa api ini manusia tidak akan mampu
melakukan perubahan. Tanpa api ini manusia tidak sempurna. Api dibutuhkan agar
kita mau menjadi manusia yang lebih baik. Namun siapa saja yang tak bisa
mengendalikan api dalam hatinya, niscaya dia akan terbakar oleh apinya sendiri.
Ah, mungkin ini saatnya untuk mendinginkan api dalam hatiku dengan memasuki
musholla. Bagaimanapun, mataku telah melihat sesuatu yang tak harus kulihat.
Aku tahu betul, bahwa zamanku ini bukan zaman yang sama dengan yang ditawarkan
film-film religi, ini adalah zaman dimana menonton televisi bisa menjadi dosa,
ini adalah zaman dimana keburukan dan kebaikan bercampur aduk. Ini adalah zaman
penuh propaganda. Ini adalah zaman dimana pergaulan bukanlah satu-satunya
pembentuk akhlak, karena yang paling penting adalah penanaman pola pikir sejak
dini. Aku sendiri bukan orang yang bisa menghindari dosa dengan mudah dengan
lingkunganku yang absurd namun selama aku bisa membedakan baik dan buruk, maka
aku akan mencoba berusaha. Pertanyaannya, jika pergaulan bebas ini begitu
dipandang buruk, dari mana para anak muda ini menirunya? Budaya barat? Karena
tidak mungkin jika kusebut ini berasal dari timur... dan sejauh ini film remaja
amerika memberikan contoh seperti itu. Namun jika ini berasal dari barat,
mengapa idiom gentleman attitude bisa
lahir disana? Dan dari sana pula muncul istilah istilah duty over booty? Yang jelas, pergeseran pandangan seiring kemajuan
zaman rupanya membawa kita pada banyak perubahan. Budaya telah lama
ditinggalkan. Hari ini kita tengah berperang, perang ideologi. Dan aku adalah
manusia yang hidup di zaman sesulit itu.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi mengunjungi kediaman
Utari. Meski begitu latihan berjalan seperti biasa dan hubungan kami kini hanya
berkembang sebatas aktor dan kru-nya. Senior dan junior. Apa yang kami
bicarakan pun hanya sebatas urusan pertunjukan saja. Profesional? Lima bulan
kemudian dari saat itu Utari akhirnya dikabarkan lulus dengan nilai terbaik.
doyan bikin novel toh, mas alamlukman ini, hehe.
BalasHapusikutan NaNoWriMo enggak? mumpung baru hari pertama. siapa tahu aja masih kekejar. lumayan lo reward-nya kalau menang: sertifikat yang bisa diisi sendiri, hihi.
lengkapnya, main aja ke nanowrimo.org
maaf baru kebaca komennya.hehe. euh ini iseng sih,,dan belum selesai. nanowrimo apaan tuh? siap. tar ta kunjungi.
BalasHapus