Bab
7
(Flashback Bag.2)
Tanah.
Fush…
haah… fush… haah… aku terduduk dengan posisi bersila. Beginikah rasanya bernafas? Kuhisap udara
pengap kamar lalu menghembuskannya kembali. Mungkin ini adalah hal yang
sederhana dan mungkin orang lain tidak begitu menganggapnya penting, tapi entah
mengapa aku ingin menikmatinya seolah ini sangat berarti. Tentu saja, tanpa
bernafas manusia bisa mati kan? Jadi biar aku melakukannya dengan penuh
ketulusan hati. Bernafas… fush… haah… fush… haah… fush… begitu rileks… tenang,
dalam hati aku merasakan seolah semesta raya berbicara padaku. Menyapaku dengan
bahasa yang kumengerti namun sulit kuterjemahkan, seolah aku bisa merasakan
seluruh jagat raya ini mencoba menenangkan hatiku yang tengah kalut. Tenanglah.
Lukman. Semua baik-baik saja. Ya, semua baik-baik saja, tak ada yang harus
kukhawatirkan. Menemukan arti untuk diri sendiri, berbagi dengan orang lain,
menyebarkan cinta kasih, menemukan damai. Rasanya ingin aku bertanya pada
Tuhan. Tuhan, bolehkah aku
mempertanyakan rencanaMu atas penciptaan umat manusia? Apakah benar kita
manusia memanglah pantas atas semua karunia yang Kau beri? Maukah Engkau
memaafkan seorang munafik sepertiku? Masih adakah gerbang maaf untuk kita semua
sebagai hambaMu? Terkadang aku berpikir, bahwa apa yang kulakukan adalah semata
karena pandangan manusia. Berbicara melalui karya hanya untuk mendapatkan
pujian dan perhatian orang lain, beribadah hanya terasa seperti sebuah sistem
dan tradisi saja, tanpa kusadari bahwa Engkau selalu melihatku. Meski kusadari
bahwa Engkau mengisi segala dimensi dan ruang, lantas harus bagaimana aku kini?
Tanpa setan mengerubungiku aku sudah memiliki nafsu… menginginkan bahagia tanpa
tahu artinya. Engkau ciptakan aku dari tanah liat. Dan Engkau ciptakan setan
dari api, sedang dalam tanah liat ini sendiri mungkin
saja terkandung
unsur air, api dan angin sebagai simbol dari sifat-sifatku sebagai manusia yang
penuh hasrat dan juga kasih sayang. Manusia mungkin bisa lebih buruk dari
setan, lebih sombong dari setan, tapi setan tidak akan bisa menjadi manusia…
bertarung dan bertaruh dalam perang besar seumur hidup. Mencari jawaban atas
sebuah pilihan. Hidup. Di dunia yang penuh kesemuan ini, hanya satu pintaku
padaMu. Aku ingin mati dalam keadaan yang paling mulia.
Aku ingin mati dalam keridhoanMu. Aku ingin mati setelah aku berarti. Karena,
jika kupikirkan secara logis jika saja dalam hidup ini tidak ada istilah pahala
ataupun dosa sekalipun sedangkan hidup ini sendiri begitu singkat dan
sementara, aku tidak ingin hidup sebagai manusia yang sederhana. Terlahir,
bersenang-senang, merasa sedih, tertawa… mencari cinta, bekerja, menikah,
berkembang biak, lalu mati. Apakah itu benar-benar cara yang paling baik untuk
hidup? Aku hanya tidak ingin menyia-nyiakan penciptaanMu atas
aku. Maka izinkan aku untuk menjadi lebih dari sekedar itu, izinkanlah aku agar
tidak menyesali waktu yang singkat ini. Izinkanlah aku merasakan bahagia seluas
langitMu, sesederhana apapun yang kudapat dalam nafas yang kau beri. Aku ingin
hidupku berarti. Sesingkat apapun nyawa yang kau beri. Tolong jangan buat aku
merugi… ada tangis, ada resah, ada keluh di bumi ini, izinkan aku dengan caraMu
bisa menghapus semua itu.
Cukup.
Kuhentikan ratapanku. Jangan-jangan aku sudah terlalu sombong, tidak. Tuhanku
lebih tahu apa yang aku butuhkan dan jika yang terbaik itu adalah menjadi
manusia yang sederhana saja dan hidup normal, itu juga bukan hal yang buruk.
Hanya saja entah mengapa aku menginginkan lebih… bukankah telah kukatakan bahwa
aku adalah manusia yang penuh dengan hasrat? Jadi sebagai makhluk aku memang
tidak bisa berbuat suatu apa. Haah… memang sejauh ini aku hanya bisa berkhayal,
membayangkan setiap manusia berjalan bersama menuju damai yang sejahtera,
berbakti pada orang tua, tetangga ramah, anak yang sholeh, istri yang shalehah
dan penuh pengertian, berbuat baik kepada semua orang… mendapat senyuman dan
langit yang indah… mungkinkah semua itu bisa kugapai nantinya? Lihatlah aku
sekarang… masuk universitas negeri, dibiayai oleh uang rakyat hingga biaya
kuliahku murah, dapat beasiswa pula… membanggakan? Jangan bangga dulu. Aku
bukan mahasiswa yang baik, sering membolos, kuliah selalu melantur… jurusan
seni teater pula. Sebuah jurusan yang harus kuperjuangkan industrinya agar
bertahan eksistensinya… entah jadi apa aku nanti… entah bagaimana caraku
mempertanggungjawabkannya kepada rakyat Indonesia atas biaya pendidikanku.
Karya. Hanya itu. Hmm… sejauh ini aku punya berapa karya ya? 1… 2… 3… 4… duh,
sudah malas aku menghitungnya. Hahaha aku kan jenius, kalau hanya karya sih…
tapi tidak ada satupun karyaku yang terkenal dan diakui. Itu sih sama saja
dengan omong kosong. Tapi setidaknya cuma itu hartaku satu-satunya, menemukan
ide memang bukan hal baru untuku, tapi menyuarakan ide itu agar mampu dipahami
itu baru sesuatu. Cara paling mudah agar karyaku bisa bicara dan bisa didengar
itu apa ya? Hm, lakukan saja dulu. Aku percaya nanti juga ada yang
mengapresiasi kok. Sukses itu kan pilihan, sukses itu proses, sukses itu
perjuangan dan sukses itu prioritas… semangat!
Apa
sih? Mengapa seperti menonton acara motivator saja ya? Fiuh, hanya saja ini
terasa sakit. Ketika melihat ada banyak keresahan di televisi, melihat
kebanyakan generasi muda yang entah kiblatnya kemana, anak-anak terlantar,
perdagangan manusia, seks bebas… eit, itu untuk anak muda, buat para seniornya
tidak ketinggalan ada korupsi dan masih banyak hal lain yang mungkin membuatku merasa
sedikit
miris. Terlalu banyak karya yang bicara tentang moral… tapi bumi masih saja
berputar. Tak ada yang berubah. Kupikir ketika aku mencoba berbuat baik kepada
orang lain, aku melakukannya bukan karena menganggap itu sebuah amal baik yang
lantas dicatat oleh malaikat. Tapi karena aku egois. Karena aku merasa sakit.
Merasa sakit jika ada yang sakit. Dan aku hanya akan membantu orang itu agar aku
tak lagi merasa sakit. Bukan untuknya, melainkan untukku. Agar sakit
di dadaku juga ikut reda. Terdengar seperti omong kosong bukan? Terserah.
Karena sudah kubilang bahwa didunia ini mungkin hanya aku satu-satunya makhluk
asing. Makhluk asing yang keren.
Generasi
muda. Generasi penerus bangsa… katanya. Aku berbicara seolah aku sudah tua
saja. Usiaku masih 20 tahun, tapi jangan tanya rencana mau sampai
berapa. Memang jika melihat perkembangan generasi muda sekarang,
begitu dekat dengan pengaruh budaya barat, loh? Memangnya kenapa dengan gaya
hidup barat? Tidak apa-apa sih, asal cerdas dan mengerti apa itu identitas, tak
jadi masalah. Yang jadi masalah mereka tidak mengerti apa yang mereka tiru,
kebanyakan hanya mengambil bagian yang mereka sukai saja… drugs, minuman keras
dan hubungan bebas. Jangan katakan bahwa budaya timur terlalu kuno untuk
mereka, tapi jika mereka benar-benar jeli, gentleman
attitude justru lahir juga di barat, bagaimana seorang pria harus
memperlakukan seorang wanita. Seharusnya itu juga menjadi acuan bagi mereka.
Tapi wanita jaman sekarang juga sulit, lihat saja cara mereka bicara,
berpakaian, berjalan dan menjaga dirinya sendiri… maksudku terlalu banyak
pergeseran pandangan disini. Dan pandanganku ini akan begitu mudah disebut
kolot… padahal aku mungkin jauh lebih tahu tentang apa itu keren. Keren pada
dasarnya adalah… apa ya? Biar kuperjelas. Keren itu adalah hal yang sulit
dijelaskan dengan huruf, ilmu pengetahuan dan kata-kata verbal yang dimiliki
oleh manusia, tapi bagiku, keren memiliki arti yang bermakna mencantumkan
paradigma kharismatik atas suatu penciptaan karya yang bernilai dan memiliki
sisi estetika yang harmonis. Lebih singkatnya keren itu… aku.
Hmmm…
mungkin kata-kataku tadi membuat orang lain berpikir bahwa masa remajaku begitu
kaku dan membosankan, tidak seperti film-film remaja murahan yang menularkan
hal-hal yang tidak berkualitas namun justru disukai generasi ini. Generasi galau. Sebenarnya aku lebih
parah. Aku adalah korban dari televisi. Pada saat aku berusia 3 tahun dan
anak-anak seusiaku lebih menyukai tontonan mendidik seperti Si Unyil, aku
justru menonton drama Jepang berjudul Tokyo Love Story. Aku malah sampai hafal
lagunya, walhasil, melihat anak perempuan tetangga sedikit manis aku langsung
menciumnya… padahal kan, anak manis janganlah dicium sayang kalau dicium
merahlah pipinya.
Rasanya
berat. Mengenang masa muda yang penuh dengan kenakalan dan melihat wajah yang kian merenta dan suram di cermin
sekarang. Sudah berapa lama waktu meninggalkanku? Disaat orang lain berjalan
begitu cepat, mengapa langkahku seolah tertancap di tanah begitu saja? Tidak.
Mungkin yang terdiam bukan langkahku, melainkan pikiranku. Mungkin seiring
waktu yang berjalan aku pun kian lama berubah menjadi robot. Kuliah, mengerjakan
tugas, mencari proyek-proyek sampingan yang cukup untuk menambah isi dompet.
Semuanya kulakukan tanpa menggunakan pikiran yang jelas, bahkan mungkin hanya
asal kulakukan saja. Sama seperti robot. Sama seperti mereka, mereka yang
begitu sibuk meluangkan waktunya untuk bekerja, terduduk di kantor, melakukan
apa yang harus mereka kerjakan sebagai bagian dari suatu tanggung jawab. Mereka
yang telah berhasil lolos dari begitu banyak seleksi untuk jabatan tinggi.
Mereka yang senang berlomba, mereka yang bersaing, mereka yang begitu lapar.
Karena rasa lapar itulah mereka menjadi begitu individualistis… membuat mereka
buta… bahwa tanggung jawab mereka seharusnya bukan sekedar mencari nafkah untuk
keluarganya… atau sekedar menjadi kebanggaan perusahaan… melainkan juga berarti
bagi sesamanya. Termasuk berarti bagi mereka sendiri. Jika saja
banyak dari mereka mengerti rasa sakit yang kuceritakan, tak akan ada korupsi
di dunia ini. Mereka yang korupsi hanyalah para pengecut yang tidak percaya
Tuhan. Atau mungkin mereka memang tidak takut Tuhan. Karena jika mereka ditanya
tentang bagaimana mereka menghadapi akhirat nanti, mereka akan menjawab ; aku
punya orang dalam.
Cukup.
Omong kosong semuanya, toh pada mulanya orang-orang macam itu terlahir dari
mahasiswa macam aku bukan? Haahh… tapi mengapa dunia ini begitu menggoda ya?
Menggodaku dengan berbagai macam ambisi dan impian. Mungkin saja saat ini aku
bisa berkata bahwa aku akan berjuang demi kemanusiaan tapi tunggu jika aku
berhasil menjadi pejabat nanti. Jangan-jangan aku akan korupsi juga. Seperti
yang kubilang tadi, jangan-jangan hidup yang sederhana dan biasa-biasa saja itu
memang jauh lebih baik. Ah, sudahlah mungkin aku akan bahagia menjadi seorang
karyawan. Loh karyawan macam apa? Seperti namanya ; karya-wan. Tentu aku ingin
menjadi manusia yang tidak berhenti berkarya.
Masa
muda… berlari-lari dipantai, ditemani perempuan cantik di musim panas yang
indah dan langit biru cerah… itu bukan masa mudaku. Lagipula apa ini, aku kan memang
masih muda! Usiaku baru 20
tahun! Kuulangi, 20 tahun! Mengapa seolah aku
ini merasa tertinggal masaku saja? Haah… mungkin pemikiran-pemikiran berat yang
membuat wajahku tampak suram dan kusut, aku terlihat lebih tua. Padahal aku
ingin juga ditemani perempuan cantik, pergi ke pantai bermain layangan dan
pesta api unggun malam-malam. Tapi kebanyakan teman seusiaku sudah menikah,
rasanya aku sudah tertinggal. Loh di usia semuda itu? Yah pesta mereka
berlebihan sampai membuat mereka harus menikah muda, padahal aku masih ingin
senang-senang bersama! Tidakah mereka mengerti bahwa bermain layangan saja
sudah cukup? Haah… lagi-lagi. Kalau bukan uang dan ambisi, ya wanita. Mungkin
itu salah satu godaan dunia juga. Coba kuingat-ingat… Melda, Syifana, Tisya,
Indi… tidak ada dari keempat nama perempuan yang kusukai itu adalah pacarku…
dan mereka memutuskan untuk tidak memilihku sebagai pacar… ah, sebenarnya aku
bukannya tidak laku lho. Banyak juga yang suka padaku, hanya saja mereka
menyukaiku karena aku tampan… dan bukan berarti perempuan yang kusukai itu bisa
begitu mudah menolak seorang aku. Kebanyakan dari mereka ragu untuk menjawab,
mungkin hanya Syifana yang bisa menolakku dengan begitu tegas.
Tapi penolakan yang dia berikan adalah penolakan yang paling indah yang pernah
kuterima… bayangkan saja, ketika dia tahu perasaanku padanya, dia berkata bahwa
di dunia ini aku adalah orang yang terlampau baik untuk dijadikan seorang
pacar! Loh, apa artinya? Artinya dia tidak menyukaiku. Dasar, wanita selalu
saja menggunakan bahasa yang rumit. Ya sudah, lebih baik kubalas sms Indi tadi.
Siapa tahu dia bisa kuajak kencan. Persetan dengan pacarnya! Agamaku tidak
mengenal batasan untuk istilah itu. Jadi biar kuketik sebuah sms yang sarat
makna yang mampu menyentuh relung hatinya yang selalu resah mengingatku…
Heii juga…
______
SMP.
Kelas tiga, saat itu aku masih belum terlalu mengenal Indi, aku masih sangat
membencinya. Aku berpikir bahwa kita adalah saingan, entah bersaing dalam
bidang apa, yang jelas aku tidak suka dia terlihat ‘lebih’ dariku. Oleh karena
alasan itu juga aku mengincar kelas yang sama dengannya. Kelas 3A. Kelas yang
entah bagaimana ceritanya dianggap sebagai kelas dengan murid-murid pilihan. Tentu
saja aku pun terpilih untuk mengisi sebuah kelas. Kelas 3I. kelas yang entah
bagaimana ceritanya selalu dianggap mendapatkan konotasi terburuk sebagai kelas
terakhir. Banyak guru yang menyangkalnya dan berkata bahwa itu tidak benar,
tapi lihat aku sekarang… tengah berjemur di lapangan beserta seluruh
teman-teman kelasku. Ya, kita tengah dihukum karena salah seorang teman kita di
kelas bersenandung ketika pelajaran dimulai. Yang bersenandung memang hanyalah
satu orang, namun hukuman berlaku bagi semuanya. kesalahan satu orang, artinya kesalahan
semua orang. Lalu wali kelasku muncul
dihadapan kami yang tengah dihukum. Wajahnya tampak masam, tapi aku berani
taruh itu tidak semasam wajahku menatapnya.
“Kalian
memang anak-anak brengsek!”
Tidak
ada seorang anakpun yang membantahnya. Panas terik matahari membuat pikiran
terasa beku.
“Memang
benar. Tidak semua guru terlihat seperti guru. Bapak akui itu. Guru kalian
mungkin terlihat seperti tukang beling, pemulung, atau apapun itu. Tapi lihat
ilmunya dan tolong hormati!”
Semua
anak terdiam.
“Ketika
guru berbicara kalian ikut bicara, ketika guru mengajar kalian malah ribut
seenaknya! Kalian sudah malas belajar hah? Pulang saja sana!”
Anak-anak
masih terdiam.
“Kenapa
sekarang diam? Apa kalian harus dijemur dulu baru kalian mau diam?”
Wali
kelasku mendekat. Disiapkan tangan lebarnya. Semua anak mendapat bagian.
Masing-masing satu buah tamparan. Tak ada yang melawan.
“Push
up!!”
Lagi.
Anak-anak mengikuti semua perintahnya tanpa kata.
“Tiga
seri!”
Tiga
seri artinya tiga puluh kali push up. Aku hanya bergumam dalam hati… brengsek,
brengsek, brengsek…
Anak-anak
pun kembali masuk kelas dengan muka merah. Semua kepanasan. Cukup sudah, akan
kuakhiri semua ini… dengan pikiran semrawut aku keluar dari kelasku, segera
menemui wali kelasku. Kutemui dia di ruang guru. Dengan tangan gemetar kucoba
untuk mengetuk pintu ruang guru yang tengah terbuka… wali kelasku pun
melihatku, anehnya aku sudah tidak melihat raut penuh kemarahan di wajahnya.
Dengan lembut dia menyapaku…
“Lukman?
Ada apa ‘man?”
Wali
kelasku melambaikan tangannya dan menyuruhku untuk duduk di sebuah kursi di
depan mejanya. Dikatupkan kedua lengannya seolah aku adalah seorang pasien dan
dia adalah dokter. Aku pun duduk di hadapannya dengan perasaan seolah
kemarahanku yang tadi terhambat dan memudar.
“Maaf
ganggu pak… saya cuma mau nanya…”
“Hm?”
“Maaf
pak, kalau boleh tahu, apa alasan saya harus ditempatkan di kelas 3I?”
Wali
kelasku menatapku dalam. Seolah ingin mencoba membaca pikiranku.
“Kamu
tidak suka dengan kelas kamu?”
“Bukan
begitu pak, tapi…”
“Apa?
Kamu punya musuh di kelas 3I? Kamu tidak cocok dengan teman-teman sekelas
kamu?”
“Enggak
gitu juga sih pak. Maksud saya anak-anak 3I pada dasarnya adalah anak-anak yang
solid, sebagai teman juga mereka cukup baik… tapi…”
“Tapi
apa? Apa karena tadi kamu saya hukum, kamu jadi tidak suka dengan kelas kamu
sendiri?”
“Maksud
saya, saya hanya ingin tahu mengapa saya ditempatkan di kelas 3I, jika bapak
melihat hasil raport saya maka bukankah saya seharusnya…”
“Seharusnya
apa?”
“Seharusnya…
saya ada di… kelas 3… A?”
Wali
kelasku terdiam lagi. Dia sandarkan seluruh bagian punggungnya ke kursi. Lalu
perlahan dia menatapku dan berkata…
“Menurut
kamu 3A itu kelas yang bagaimana…?”
“Itu…
itu adalah kelas yang isinya murid-murid yang pintar…”
“Terus
kamu pikir, kamu murid yang pintar?”
Aku
terdiam. Ditanya begini kepercayaan diriku malah menciut. Wali kelasku menarik
nafas lalu melanjutkan kata-katanya.
“Memang
kelas 3A adalah kelas yang muridnya dipilih langsung oleh kesepakatan sekolah
berdasarkan prestasi atau bisa juga karena keaktifan didalam kelas maupun
diluar kelas… begitu juga dengan kelas 3B, kelas 3B juga memiliki murid yang
proaktif, dipilih berdasarkan prestasi mereka… tapi kamu jangan berpikir bahwa
kelas yang lain adalah kelas yang berisi murid-murid yang tidak pintar…”
“Maksud
bapak?”
“Jika
semua anak pintar berkumpul di kelas 3A dan 3B saja maka kelas yang lain akan
begitu mudah tersisihkan, oleh karena itu disetiap kelas akan selalu ada anak
yang berprestasi agar komposisinya seimbang dan diharapkan mampu menjadi
motivator bagi teman-teman kelasnya agar ikut berprestasi juga…”
“Jadi
saya dipilih masuk kelas 3I karena…”
“Bukan
karena apa-apa. Kamu dipilih secara acak…”
Cukup.
Aku keluar dari ruangan itu dengan perasaan tidak puas, jelas-jelas aku adalah
korban, aku adalah tumbal, aku adalah anak yang dimanfaatkan agar menjadi
penyeimbang dari kelasku. Baik. Jika itu keinginan sekolah ini, akan kutunjukan
bahwa kelasku tidak lebih buruk dari kelas yang lain, sebaliknya jika mereka
menginginkan aku membawa perubahan pada kelas maka akan kuberikan perubahan
itu… aku yang akan berubah. Hari ini aku menyatakan kudeta terhadap sistem dan
aturan-aturan di sekolah ini.
Jam
pelajaran terakhir, pelajaran seni musik. Guru muncul, kelas riuh. Namanya
bapak Koswara. Guru yang satu ini memang tidak pernah marah ketika para murid
seribut ini. Tidak pula akan menghukum para murid dengan siksaan fisik ketika
murid-muridnya melakukan kesalahan… mungkin karena ia guru seni, sehingga
hatinya cenderung lebih peka. Benarkah begitu? Tunggu hingga kuceritakan
kebusukannya…
“Ok,
sekarang absen dulu, mana absen?”
“Ini
pak…” sekretaris kelas memberikan buku absen.
“Amir…”
“Hadir
pak…”
“Saya
enggak nanya kehadiran, sini kamu…”
“…”
Amir bangkit dari kursi.
“Mana?”
tiba-tiba pak Koswara menjulurkan telapak tangannya…
“Mana
apanya pa?”
“Ya
mana… delapan ribu lima ratus! Kamu belum beli buku paket karawitan dari saya
kan?”
“Oh…
itu pak, kebetulan saya sudah punya buku itu pak…”
“Loh
punya gimana? Ini di catatan saya enggak ada nama kamu”
“Saya
beli di jalan pak, saya dapetin buku itu di emperan jalan Cicadas… saya lihat
sama, jadi saya beli disitu”
Pak
Koswara menatap Amir dalam. Lalu ia bangkit dari kursinya.
“Saya
ingetin buat semuanya, siapapun yang mencoba membeli buku selain dari saya,
tidak akan mendapatkan nilai…!”
“Loh
kok gitu pak?” Amir protes, disusul riuh suara kelas.
“Pokoknya
itu sudah menjadi keputusan… siapa yang menginginkan nilai, harus beli buku
dari saya”
“Ya
sudah deh pak, saya beli lagi deh buku dari bapak…”
Beruntung
Amir, dia selalu memiliki uang di sakunya, dengan begitu ia bisa membeli buku.
Buku yang sudah ia miliki.
“Hehe…
terima kasih Amir…” Pak Koswara tersenyum puas.
kelas
semakin riuh, celetukan-celetukan mulai terdengar dari setiap sudut kelas…
“Wah
si Amir jadi punya dua buku dong…!”
“Mubazir…!”
“Ya
daripada ‘gak dapat nilai…”
“Hey…
hey sudah…! jangan ribut, Lukman…? mana yang namanya Lukman? “
Aku
bangkit. Kali ini giliran namaku yang dipanggil.
“Mana?”
pak Koswara mengulurkan tangannya lagi.
Kukeluarkan
uangku dari saku.
“Hanya
seribu…? Lagi-lagi kamu cicil… hey, man. Kamu tahu gak, dulu waktu bapak seusia
kamu, bapak ngorbanin uang jajan bapak cuma buat beli buku…”
“Itu
uang ongkos saya pak…”
Pak
Koswara terdiam.
“Duduk.”
Akupun
kembali ke bangkuku. Lucu bukan? Tidak, itu adalah pembelajaran dalam buku
bahasa Indonesia, salah satu materi mengenai majas ironi. Mungkin berbeda
penempatannya. Tapi wajah pendidikan semacam ini memanglah terasa ironis.
“Baik,
sekarang keluarkan seruling punya kalian…”
Semua
anak mengeluarkan seruling bambunya masing-masing, akupun begitu. Seruling
bambu ini dibandrol seharga lima ribu rupiah. aku melunasinya sewaktu aku masih
kelas dua. Sekarang benda ini resmi miliku. Tapi tidak. Kalau tidak salah pak
Koswara pernah berkata bahwa semua seruling ini harus dikembalikan sebelum
ujian kelulusan nanti… Ah, untuk apa sebenarnya? Apakah semua ini hanya benda
sewaan? Kalau begitu mungkinkah semua seruling ini akan dijual atau disewakan
lagi? Apa itu yang menjelaskan mengapa warna serulingku tampak seperti seruling
bekas? Glek. Lalu perlahan kuperhatikan seorang temanku yang duduk tidak begitu
jauh dari bangkuku. Seruling bambu miliknya itu tampak sedikit berbeda.
Batangnya lebih kecil, selain itu bambunya memiliki ukiran-ukiran yang indah…
tak sempat lama aku menghayati karya seni itu, pak Koswara sudah
menghampirinya.
“Beli
dimana kamu seruling ini?”
“Di
Gasibu[1]
pak… soalnya seruling yang dari bapak sudah sumbang, jadi saya beli lagi… oh
ya, kawan-kawan sekedar informasi, seruling yang di Gasibu selain lebih bagus,
harganya cuma dua ribu lima ratus aja loh…!”
Tentu
saja kabar seperti ini memicu respon dari murid yang lainnya.
“Apaaa??”
“Wah,
yang bener?”
“Gasibu
sebelah mananya?”
“Entar
minggu aku beli juga deh…”
Melihat
para murid begitu antusias dengan model seruling yang berbeda dari miliknya,
pak Koswara pun mengambil sikap.
“Silahkan
kalian beli alat musik apapun itu, dimanapun. Bapak dukung… tapi ingat, begitu
kalian masuk kelas ini, cukup alat musik dari bapak saja yang boleh dibawa.
Selain dari itu, enggak dapet nilai! Itu artinya kamu yang beli di Gasibu,
mulai minggu depan kamu harus beli lagi seruling dari bapak!”
Para
murid membeku. Terdiam bisu. Seolah semua keinginannya untuk membeli seruling
yang baru menjadi tidak berarti lagi. Begitu juga dengan temanku yang memang
membeli serulingnya di Gasibu… musnah sudah kebanggaannya pada seruling yang
digenggamnya… dari bangkuku kupandangi seluruh isi kelas dan mengakhiri titik
pandangku ke arah pak Koswara…
Orang
ini…
___________
Bel
tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, seluruh murid menyambutnya dengan riuh,
kecuali aku. Semua ini terasa begitu monoton, tidak menarik. Sekolah, belajar,
dihukum, pulang sekolah… semua itu terasa seperti rutinitas yang
entah kulakukan untuk siapa dan untuk apa, aku tidak menemukan alasan mengapa
aku harus sekolah. Jika hanya mengikuti ujian dan menerima ijazah saja, rasanya
itu seperti omong kosong. Tapi baiklah, biar saja aku larut sampai aku tahu
hikmah dari semua ini.
Kususuri
jalan lebar diluar sekolah, sendirian, karena memang tak ada teman yang
menyapaku. Di jalan Sumbawa kupilih satu buah angkot yang hendak mengantar.
Baru beberapa meter angkot itu sudah berhenti, penumpang lain masuk. Tampaknya
anak sekolahku juga, beberapa anak begitu ricuh dan ribut dan
seorang anak lainnya… ah, lagi-lagi…
Entah
mengapa aku tidak begitu merasa kaget ketika Indi memang salah satu dari
mereka. Tapi memang ada sebuah rasa tertentu ketika aku berada di sekitarnya,
seolah hatiku mencoba berbicara ; Dia lagi! Dia lagi! Lalu hidupku terasa lebih
berbeda karenanya. Hanya itu. Aku tidak berkata bahwa ketika aku melihatnya aku
bisa merasa senang, tapi benar bahwa ketika melihat orang itu ada sebuah
sensasi yang menyelimutiku dan aku tidak mengerti itu apa. Indi duduk berseberangan
denganku, tepat didepanku. membuat leherku sedikit pegal karena selalu
kupaksakan untuk melihat arah yang lain. Anak-anak itu ribut sekali, aku sama
sekali tidak merasa nyaman, rasanya seperti menjadi satu-satunya orang asing di
negeri orang. Lalu kudengar sebuah bisikan, itu Indi, berbisik pada salah satu
temannya. Dia… melihatku…
“Psstt…
liat anak itu deh… rambutnya kelimis banget…”
“Iyah
kaya orang tua aja…”
“Hahahaha…”
Sialan.
Ternyata mereka tengah mengejekku, mengejek dengan bisikan
yang masih terdengar oleh telingaku dan Indi adalah pelopornya, kekesalanku
padanya rasanya menjadi beralasan sekarang, yah, memang benar aku menggunakan
minyak rambut agar rambutku tampak rapi, mungkin diantara semua anak aku yang
paling memiliki penampilan sesuai aturan, bagaimana caraku berpakaian, ukuran
dan bentuk seragamku, bahkan terkadang aku masih menggunakan topi berlogo ‘tut
wuri handayani’ jika aku merasa kepanasan, yang mana saat itu anak-anak sudah
tidak pernah menggunakan topi semacam itu selain untuk upacara. Tapi baiklah,
boleh jadi Indi mengejekku saat ini, tapi itu tidak membuktikan kalau ia
lebih baik dariku, lihat saja rambutnya, tampaknya dia tak pernah mengurusnya,
rambut panjang itu terlihat pecah dan kulihat jika rambut itu tersinari
matahari dia akan tampak berwarna merah… tanda bahwa rambutnya kurang sehat.
Jalan
Supratman. Aku turun disitu. Setelah menahan segala macam kekesalanku pada Indi
selama aku didalam angkot tadi, akhirnya aku bisa keluar juga...
________________
Aku
tidak bisa tidur, seolah kata-kata Indi tadi begitu menyakitkan sampai aku
ingin membalasnya lebih. Tapi bagaimana caranya? Kunyalakan radio, kupasang
sebuah kaset favoritku, album Robbie
William, Sing When You’re Winning… aku memang berbeda dengan anak lainnya,
selera musikku terkadang bukanlah trend pada masa itu. Tapi
selama aku bisa menikmatinya aku bisa merasa cocok dengan musik apapun. tak lama aku mulai terlena oleh nada,
aku terlelap.
Bangun
pagi. Sholat shubuh. Lalu mandi, kutatap cermin… mungkin benar kata indi,
potongan rambut semacam ini membuatku tampak tua, lalu kuperhatikan minyak
rambutku, ini memang minyak rambut yang aman, terbuat dari bahan-bahan herbal
yang tidak merusak rambut dan tidak menimbulkan panas… tapi jika aku harus
mengubah tatanan rambutku aku tahu sesuatu yang bisa mengubahnya, itu adalah
gel rambut. Hm, aku tahu di warung sebelah ada gel yang dijual dalam kemasan
sachet. Aku akan membelinya, aku memang sering tidak rela ketika dipaksa
membeli buku atau alat musik oleh sekolah, tapi untuk yang satu ini rasanya
semua ini mudah saja… segera saja aku membelinya, gel rambut memang berbeda
dengan minyak rambut yang fungsinya hanya membuat rambut tampak berkilau, gel
mampu mengubah tatanan rambut sesuka hati kita dan mempertahankan bentuknya
agar tetap sama. Resikonya, kulit kepala akan terasa gatal
dan panas, ini juga akan menyebabkan debu dan partikel kotoran lainnya menempel
dengan mudah di rambut.
Ini
juga yang kelak akan menyebabkan ketombe, uban yang tumbuh sebelum waktunya dan
sejuta resiko jangka panjang lainnya yang akan segera kuambil pagi ini… tapi
sudahlah kutuang saja gel itu ke tanganku. Pertama, pikirkan dulu akan kubentuk
seperti apa rambutku ini, kuambil sebuah majalah, didalamnya ada gambar kelompok
musisi rock Jepang bernama X-Japan, mungkin kubentuk seperti ini
saja, terlebih saat itu anak-anak SMP lebih terpaku pada band-band dari barat
seperti Blink 182 atau Simple Plan, jadi mereka tidak
akan tahu dari mana asal tatanan rambut ini, memang pada saat itu musik punk
sangat menjamur. Sedangkan aku, aku memiliki kiblatku sendiri dalam musik. Pagi
ini akan kutunjukan pada Indi dan semua anak SMP lainnya, apa yang disebut visual kei di Jepang sana. Dengan
hati-hati kubentuk rambut depanku dengan poni yang tinggi. Ah, aku tidak bisa
menyamai panjangnya rambut personil band itu, tapi tak apa, dengan begitu
rambutku akan terlihat lebih variatif, kubentuk duri-duri kecil di sekitar
rambutku sebelah kanan dan taraaa… tatanan rambut yang keren sudah jadi. Ada
yang harus kutambahkan untuk mewujudkan tampilan visual kei, dan itu adalah…
Kususuri
lorong sekolah, hendak menuju kelas… tak lama kudengar jeritan disana sini,
para anak perempuan… mereka melihatku seperti melihat hantu, itu wajar saja…
dengan bantuan make-up ibuku aku membuat kulitku seputih salju dan dengan celak
hitam kuhitamkan mataku seperti para pasukan elit Persia pada jaman pertengahan
yang jika dilihat sekilas mataku tampak seperti dihajar hansip.
Beberapa
preman kelas berkumpul sepanjang lorong, mereka hanya tersenyum dan berteriak
padaku
“Rock
and roll brother…!!”
Aku
hanya mengacungkan sebelah tanganku seraya terus melangkah tanpa menengok.
Kulakukan itu karena aku merasa itu adalah gayaku yang paling keren.
Rasanya
kepercayaan diriku meningkat. Meski ternyata ini sama sekali tidak membuat aku
merasa sedikit lebih senang belajar di kelas. Para guru menatapku aneh, mereka
hanya menatap, seolah tidak berani menegur. Mungkin perubahan wujudku ini
terlalu mengejutkan bagi mereka sampai mereka bingung. Sementara itu pelajaran dimulai dengan pelajaran Bahasa
Inggris, gurunya bernama Ilyas, seperti biasa pak Ilyas akan bertanya tentang PR yang telah
ditugaskan, dan PR itu akan dibahas bersama beberapa anak tertentu saja…
loh, kenapa anak-anak tertentu? Karena biasanya pak Ilyas hanya akan menyuruh
anak-anak tertentu untuk maju ke depan dan membahas pr itu untuk anak yang
lainnya. Anak-anak tertentu ini merupakan anak spesial, mereka biasanya
mendapat nilai dan perhatian lebih di kelas ini, terutama jika itu adalah bahasa inggris. Siapa
mereka? Murid teladankah? Anak osiskah? Bukan, mereka hanya anak-anak yang
secara langsung mengikuti les diluar jam sekolah bersama pak Ilyas, ya.
Mereka. Aku jadi teringat, dulu aku juga sempat ditawari
untuk mengikuti les oleh guru bahasa inggris yang lain, seorang guru yang baik,
dia tertarik padaku karena setiap dia mengajar aku selalu
mendapat nilai terbaik dan beliau menawarkanku untuk ikut les padanya, dengan
gratis tentunya. Aku tidak pernah menanggapinya dengan positif, berulang kali
beliau memaksaku untuk ikut hadir di lesnya, tapi aku tak pernah muncul. Beliau
mengira kalau aku malu untuk hadir karena aku satu-satunya anak yang ikut les
tanpa bayar, tapi sebenarnya tidak begitu. Aku hanya malas mengorbankan waktu
tidur siangku hanya untuk mengikuti les diluar jam sekolah. Bagiku, les itu
hanya diperuntukan untuk anak-anak yang merasa kesulitan pada pelajaran saja.
Dan aku bukan bagian dari golongan itu. Tapi itu cerita tentang guru yang lain,
bukan pak Ilyas, pak Ilyas akan menganggap kalau semua anak yang les padanya
adalah anak yang spesial, tidak peduli seperti apa mereka belajar. Dan aku
sebagai orang yang kesal dengan hal itu hanya bisa tertawa sinis setiap kali
anak-anak spesialnya itu melakukan kesalahan…
Cukup
dengan pelajaran, aku memang arogan dalam beberapa hal, tapi yang kukatakan
memanglah benar. Semua yang ada di sekolah ini apapun itu tampak seperti omong
kosong, mungkin benar kata wali kelasku bahwa aku masuk ke kelas ini memang
dipilih secara acak, bukan sebagai penyeimbang kelas atau apapun itu. Jika
benar begitu, maka untuk apa aku perduli lagi dengan prestasi? Bahkan dengan
penampilanku yang tidak wajar sebagai siswa, tidak ada satupun guru yang mau
menegurku, mereka tampak ragu… seolah aku ini tidak pantas untuk ditegur. Jadi baiklah…
begitu bel istirahat berbunyi aku akan segera memperlihatkan penampilanku ini
pada semua orang, semakin banyak orang yang melihat semakin bagus.
Sekali
lagi para anak perempuan menjerit setiap kali aku melintasi lorong, kabar
tentang aku yang merubah penampilanku ini memang sudah cukup santer terdengar
di setiap penjuru kelas, hanya saja kabar yang kudengar menjadi sedikit
berbeda, mereka menyebutku sebagai ‘hantu penghuni lorong…’ tak apa-apa,
sebutan itu juga lumayan keren. Tapi dimana Indi? Mengapa disaat aku ingin
melihatnya dia malah tidak ada? Sementara setiap tempat yang kupijak selalu
ditinggalkan semua orang. Ya, semua anak yang melihatku berada di sekitarnya
langsung menjauh, jika aku memasuki kantin, yang semula ramai tiba-tiba kosong…
jika aku pergi ke lapangan maka setiap orang yang berada disana akan berhenti
bermain… mengapa begini? Mengapa setiap orang menjauhiku seperti ini? Apakah penampilanku memang seseram itu? Atau ada hal
lain yang membuat mereka menjauh? Hhhhhhhhaaaah ya sudahlah… terserah. Jauhi
saja aku, aku tidak butuh ditemani kok. Dengan langkah setengah melayang aku
mencoba untuk duduk di sebuah bangku dekat tempat parkir sepeda para murid. Aku
termenung disana, berpikir. Sebenarnya untuk apa kulakukan semua ini? Hanya
karena Indi mengatai rambutku kelimis aku harus berubah seperti ini? Apa yang
kuharapkan? Sebuah reaksi terkejutkah? Sejak kapan aku peduli pandangan orang?
Indi, sejak kapan penilaiannya terasa begitu penting? Mungkin dia hanya
menganggapku sebagai lelucon, tak apalah. Aku memang bodoh.
Selang
beberapa menit aku terduduk disana, sebuah tangan mungil dengan satu cup es teh
muncul di hadapan.
“Nih…”
Suara
perempuan. Aku tak ingin menatap wajahnya, jadi kugerakan lenganku
mengisyaratkan sebuah penolakan. Seolah tak terganggu dengan respon tidak
ramahku perempuan ini malah duduk disampingku.
“Visual
kei ya?”
Barulah
aku menengok, akhirnya didunia ini ada juga yang mengerti apa yang kulakukan.
Kutatap wajahnya, aku tersenyum. Aku merasa seolah aku tengah ditemukan.
“Aku
masih belajar, sebenarnya aku tidak begitu mengerti teknik dalam
visual kei, aku hanya…”
Belum
selesai aku menjelaskan, anak perempuan itu malah tertawa, tertawa lepas
selepas-lepasnya… membuat antusiasku untuk mempresentasikan gayaku ini
terhambat. Tampaknya anak ini mentertawakanku.
“Hahahaha…
tapi… kamu lucu… hahahahaha… visual kei? Hahaha”
Cukup,
bahkan orang ini juga tidak mengerti apa yang kulakukan.
“Kalau
cuma mau ketawain aku, kamu boleh pergi juga”
“Kamu
enggak ngerti, sekali lihat aku juga udah tahu, yang kamu pakai itu… make-up
perempuan kan?”
Ah.
Itu memang benar, gawat, ternyata ada juga yang menyadarinya… yang kupakai ini
memang make-up ibuku… tanpa menjawabnya, refleks saja kugunakan kedua telapak
tanganku dan menggosokannya ke wajahku, berharap make-up ini bisa terhapus…
namun bukannya terdiam, anak ini malah tertawa semakin menjadi jadi. Apakah aku
memang selucu itu?
“Kenapa
sih? Kamu pikir visual kei itu gampang apa? Segini juga aku udah usaha! Kalau
kamu cuma bisa ketawa kaya gitu baikan kamu pergi deh…” kukatakan itu dengan
nada setengah membentak.
Gadis
itu tersenyum, mencoba berhenti mentertawaiku. Dikeluarkannya sebuah dompet, dan
dari dompet itu ia keluarkan sebuah cermin bulat kecil.
“Nih
lihat aja sendiri…”
Kuambil
cermin itu, dan dari sana aku menyadari sesuatu, memang tampilanku sekarang
jadi tidak seperti manusia pada umumnya, tapi mungkin perempuan itu benar jika
dia harus tertawa. Masih ingat jika kukatakan mataku tadi tampak seperti
dihajar hansip? Kali ini tidak lagi… mungkin karena tadi aku berusaha
menghapusnya, dan foundation yang luntur disana sini membuat bulatan hitam di
mataku lebih besar, lebih menyerupai beruang panda… beruang panda yang dihajar
hansip…
“Ah.”
Kututup mukaku dengan tangan. Rasanya aku malu sekali.
“Sebenernya
aku lebih suka tatanan rambut dan penampilan kamu yang dulu… lebih rapi.”
“Aku
tahu…” kujawab itu tanpa membuka tangan dari wajahku
“Lagian
kamu kan cowok. Masa cowok nangis?”
“Siapa
yang nangis…?! Aku cuma…”
“Oh…
kirain nangis… ya sudah cuci muka sana biar cakep lagi!”
“Dasar…
padahal aku udah seneng ada yang mengira kalau ini visual kei, tahunya kamu
cuma mau ketawain…”
“Bukannya
gitu, aku kan udah bilang aku suka gaya kamu yang biasa, lebih rapi…”
“Jadi
orang jauhin aku karena…”
“Karena
orang-orang takut sama kamu, mereka kira kamu anak stress... hahahaha eh,
maaf”
“Kamuuuuu...!!!
ya
sudah aku cuci muka dulu… gawat kalau ada yang melihat aku masih kaya gini…”
“Hahaha
iya… yang bersih ya… hahahaha”
“Oh
iya…”
“Apa…?”
“Lagi-lagi…
terima kasih.”
“Oh?
Yah, nyantei aja. Aku masuk kelas dulu ya, sebentar lagi istirahat beres
soalnya. Kamu cuci muka aja sana”
Akhirnya
anak perempuan itu pergi, Farah. Kulihat kaki mungilnya masih berjalan menapaki
lorong-lorong kelas dan sekarang aku harus membersihkan semua ini sebelum Indi
melihatku.
Bel tanda berakhirnya istirahat sudah berdentang mengisi
seluruh penjuru sekolah, akhirnya aku harus kembali ke kelas, pikirku.
Kugunakan kapas sebagai pembersih dan kain lengan baju seragamku sebagai handuk
setelah selesai mencuci mukaku tadi, di depan kelas kudapati seorang bapak
petugas dari ruang tata usaha tengah berdiri, orang itu menatapku seolah
nyinyir.
“Lukman! Kamu ikut juga...!” seru bapak itu.
“Eh... oh... i.. iya...”
Sekitar tujuh orang anak dari kelasku dipanggil ke ruang
tata usaha dan aku salah satunya. Kulihat ruang tata usaha begitu dipadati
anak-anak dari berbagai kelas, untuk sementara anak-anak dari kelasku menunggu
di luar. Aku mulai bertanya-tanya ada urusan apa kira-kira tata usaha memanggil
kita? Jangan-jangan ada pembagian beasiswa prestasi untuk setiap kelas,
pikirku. Dan tiba juga saatnya giliran dari kelompok kelasku yang masuk.
“Kalian tahu kenapa kalian dipanggil kesini?” pak Sofyan,
petugas tata usaha menatap wajah kami bertujuh. Tak ada satu anakpun yang
menjawab.
“Kalian yang dipanggil kesini adalah kalian yang sudah
lebih dari tiga bulan belum bayar SPP, sekarang bapak tanya. Kalian pernah
bicarakan ini dengan orangtua kalian...?”
Anak-anak membisu.
“Jawab...!!”
“Su... sudah pak, tapi orang tua saya lagi gak punya
uang...”
Jawab Zaenal. Pak Sofyan menghela nafas dan kembali
berbicara.
“Begini ya, sekolah kita ini kan sekolah swasta, jadi kita
tidak bisa berdiri sendiri tanpa kerjasama semua pihak, baik itu orang tua
siswa dan sekolah, keduanya harus saling mendukung, jadi setiap program
pendidikan bisa berjalan berkesinambungan...”
Anak-anak tampaknya tidak mengerti. Sekali lagi pak
Sofyan menghela nafas.
“Kalian jangan picik! Jangan maunya ikut belajarnya saja,
bayar kewajibannya juga dong!”
Anak-anak membisu.
“Jika orang tua kalian cuma pengen kalian pintar saja
tanpa harus membayar ya itu picik namanya...”
Anak-anak masih membisu.
“Hey kamu, Aji! Kamu Aji kan?”
Seorang anak bernama Aji mengangguk.
“Menurut kamu orang tua yang tidak memenuhi kewajibannya
tapi hanya ingin memenuhi hak anaknya itu disebut apa namanya?”
Aji tidak menjawab.
“Heeey... hey, bapak tanya... kalau ada orang tua yang
menginginkan anaknya bisa pintar, tapi tidak ingin membayar kewajibannya itu
disebut apa?”
Tampak pak Sofyan semakin memojokan, dan tiba-tiba dia
mengangkat telunjuknya seolah ingin mengungkapkan suatu teori.
“Itu picik namanya” tegas pak Sofyan. Semua anak terdiam,
hanya bisa menunduk dan tak punya
apa-apa untuk membela diri. Lalu pak Sofyan tersenyum dan kembali menatap Aji.
“Jadi Aji, sekali lagi, menurut kamu orang tua macam itu
disebut apa?” desak pak Sofyan.
“Itu... pi... picik pak...”
“Katakan itu pada orang tua kamu.”
Anak-anak semakin membeku, lidahnya kaku.
“Jadi kapan kalian mau bayar...?”
“Ya, harus bicara dulu sama orang tua pak...” seru
Zaenal.
“Jadi sampai saat ini kamu belum bicara...?”
“Udah pak, tapi...”
“Pokoknya bapak dan sekolah ini tidak mau tahu, awal
bulan depan semua bayaran SPP kalian harus sudah lunas...”
Anak-anak keluar dari ruangan itu dengan lemas, beberapa
diantaranya kembali tersenyum. Seolah beban dan intimidasi itu berlalu dan
menghilang, namun baru selangkah jarakku dari pintu tata usaha itu, kudengar
suara pak Sofyan menggerutu...
“Kalau memang miskin kenapa harus sekolah disini sih...?”
Kurasa Aji mendengarnya juga, kurasakan nafasnya yang
terisak. Aku tahu Aji bukan anak yang cengeng, dia biasa berkelahi di sekolah,
badannya pun tinggi besar dan wajahnya yang hitam kasar menunjukan bahwa
hidupnya keras. Tapi melihat ia dengan mata yang berkaca-kaca dan nafasnya yang
terisak membuatku sedikit iba. Dengan nada yang bergetar ia mencoba berbicara
padaku...
“Orang tuaku bukanlah orang tua yang picik...”
Kurangkul bahunya yang lebar selama perjalanan menuju
kelas.
“Aku tahu ji. Aku tahu...” ujarku menenangkan.
Aku ingat betul. Bahwa mungkin benar, dalam hal ini aku
memang jarang mengingatkan orang tuaku untuk membayar SPP, setiap kali ibuku
berkata ‘nanti begitu ada uang ibu pasti bayar...’ maka itu sudah cukup bagiku,
aku hanya tahu bahwa aku sekolah untuk orang tuaku, ini adalah keinginan mereka
menyekolahkanku disini. Tapi lambat laun aku merasa jenuh juga, mungkin ada baiknya
pak Sofyan sedikit kuperingatkan, bahwa ilmu yang sekolah ini berikan tidak
semahal itu. Besok saja, kubunuh dia.
___________________
Waktunya aku pulang. Rasanya lelah sekali. Mengikuti
pelajaran di sekolah ini selama satu hari saja terasa begitu melelahkan dan
menyebalkan. tak ada yang menarik, baik itu aku sebagai anak yang baik, atau
aku yang berandalan rasanya sama saja. Sekolah itu hanya menginginkan uangku
saja.
Tidak seperti biasa, kali ini aku ditemani beberapa
teman. Hanya kebetulan, satu perjalanan dan satu barisan. Di sekolah ini ada
semacam pembagian pergaulan anak-anak yang mudah dilihat dari cara mereka
mengatur blok-blok pergaulan mereka ketika menanti angkot atau sekedar tempat
nongkrong begitu saja. Dimulai dari anak-anak skater dan sepeda BMX, biasanya
tempat mereka berkumpul sehabis pulang adalah paling dekat dengan sekolah,
biasanya mereka melakukan beberapa trik dan mencari perhatian dengan skateboard
dan sepedanya sebelum akhirnya pulang dengan kendaraan masing-masing. Yang
kedua gerombolan musisi muda, biasanya anak-anak ini mengatur jaraknya sedikit
lebih jauh dari anak-anak bersepeda, gitar dengan berbagai macam usia dan
kondisi ada di tangannya, suara yang cempreng ala anak SMP juga menjadi ciri
khas tempat yang mereka pijak. Lalu ada juga gerombolan anak cafe, setahuku
diantara mereka memang benar diam di sekitar cafe dekat sekolah, tapi tidak
semua anak itu membeli sesuatu. Kadang ada juga yang hanya ikut duduk atau
kalau ia memiliki sedikit uang dia akan memesan teh lemon hangat. Yang akan dia
habiskan dalam satu abad. Keempat, gerombolan anak game. Disamping cafe yang
tadi kusebut, ada sebuah warung game online yang biasa akan diserbu ketika
sehabis sekolah, ada juga yang menyerbunya sebelum mereka ke sekolah dan
pastinya mereka tidak ikut sekolah karenanya. Yang kelima gerombolan kutu buku.
Buku yang kuucap disini bukan selalu mengenai buku pelajaran, terkadang itu
adalah novel, terkadang itu adalah komik atau apapun itu. Ya, anak-anak ini
biasanya berkumpul di sekitar tempat penyewaan buku bacaan. Sebenarnya aku suka
komik, tapi melihat mereka yang sama-sama terbengong-bengong dan fokus
ditempatnya masing-masing tanpa tegur sapa membuatku sedikit takut. Alasan aku
tidak bergabung dengan mereka karena mereka seperti zombie. Jadi terpaksa aku
bergabung dengan kelompok yang lain, kelompok yang juga memiliki bloknya
sendiri. Kusebut blok ini sebagai blok kegelapan. Lokasinya paling jauh dari
sekolah, paling jauh pula dari tempat anak-anak lainnya. Lebih tepatnya berada
di sebuah gardu listrik dengan pagar besi yang terbuka, disamping luarnya ada
toko yang selalu tertutup dan disitu ada dudukan memanjang yang biasanya kita
gunakan sebagai tempat duduk selama menunggu angkot, biasanya kelompok ini
tidak langsung memutuskan untuk pulang melainkan merokok terlebih dahulu, tentu
merokok di sekolah itu dilarang, makanya mereka akan bersembunyi dibalik
ilalang yang berada di sekitar belakang gardu listrik. Sementara aku duduk saja
di teras toko. Menunggu. Mungkin bagi anak-anak SMP seperti mereka merokok dan
minum minuman air keras itu keren dan menantang. Tapi bagiku itu hanya tidak
ada kerjaan saja, mengisi waktu kosong mereka dengan hal konyol, seperti
keinginan untuk diakui, menunjukan keberanian melanggar peraturan. Padahal
manusia yang mengharapkan untuk diakui dengan cara yang kosong, tanpa bakat dan
karya, tanpa kemauan dan merusak diri tidak ada keren-kerennya. Entah jadi apa
mereka sekarang. Aku dan Dani, seorang temanku yang tidak merokok hanya
terduduk diam. Dari jauh, kuperhatikan Indi yang juga baru pulang bersama
teman-temannya, hingga akhirnya tangan Dani menepuk bahuku dan mengagetkanku.
“Woy! Kenapa? Ngeliatin si Indi terus...”
“Hm?”
“Malah bengong... kenapa? Suka ya sama si Indi?”
“Hah? Indi siapa? Eh, itu mobil keren banget ya...”
“Alah... mobil yang mana? Itu, yang dempulnya banyak itu...?”
“Eh, i... iyah... klasik ya...”
“Hehehe... mobil ga jalan gitu dibilang klasik... eh, kamu
tahu gak, si Indi itu temennya adikku loh...”
“Loh? Terus apa hubungannya ma saya?”
“Hehehe... asal tahu aja, nih aku punya nomor
handphonenya...”
Entah kenapa kata-kata Dani sedikit mengejutkan, jadi
kuperhatikan saja nomor yang ia tunjukan itu dan kugunakan penglihatan ‘photograpic memory’ untuk menghafal
nomor itu dalam sepersekian detik.
“Apaan sih? Nunjukin nomor handphone enggak penting,
kayak artis aja...” ujarku, seraya masih memperhatikan baik-baik nomor itu.
“Yah, siapa tahu kamu tertarik... hehehe, abis cara
mandang kamu lain sih...”
“Lain gimana? Udah deh Dan, kayaknya baikan aku pulang
sekarang...”
“Pulang? Enggak nunggu anak-anak beres dulu?”
“Enggak... ! Sekalian bilang ke mereka, merokok itu
enggak baik buat kesehatan!”
“Kok kamu buru-buru gitu... ya deh hati-hati di jalan...”
Langsung saja kuhentikan sebuah angkot dan meninggalkan
Dani beserta ‘blok kegelapan’. Setelah cukup lama berada di dalam angkot, aku
mulai berpikir... apa yang pertama kali harus kuucapkan pada Indi melalui SMS
ya? Ah, SMS? Apa aku harus mengiriminya pesan? Bukankah sekarang aku punya
nomer handphonenya? Aku punya nomor handphonenya! Aku punya nomor
handphonenya!! AKU PUNYA NOMOR HANDPHONENYAAAAAAAAAA!!!!
Aku pulang. Kuhabiskan tiga gelas air dingin dan
membanting tubuhku di ranjang. Banyak hal yang kupikirkan di rumah, PR yang banyak
sekali jumlahnya, tagihan SPP, bagaimana gaya rambutku besok, cara paling baik
untuk membunuh pak Sofyan... dan
terakhir... nomer handphone Indi yang masih ada dalam ingatanku. Ah lebih baik
aku mencatatnya sebelum aku lupa.
___________________
Malam menunjukan sifatnya yang anggun dan dingin, penuh
misteri. Malam ini aku akan menulis pesan pertamaku kepada orang yang selalu
mengganggu pikiranku, menggerogoti perasaanku, mengganggu waktu belajarku dan
merusak mimpi burukku. Tapi apa ya? Apa yang harus kutulis untuknya? Hm...
kutatap handphone itu. Sebenarnya itu handphone kakak, diam-diam kuambil
handphone ini dari kamarnya. Tunggu... di handphone ini kan ada aplikasi dimana
kita bisa menggambar untuk kemudian dikirim? Aku tahu ini memang handphone yang
keren, hampir semua orang memilikinya, memang masih monochrome dan belum fullcolour, bahkan ringtone atau nada
deringnya yang masih monophonic itu bisa kita rancang sendiri seperti merancang
sebuah midi pada alat musik! Selain itu chasing yang kuat dan tahan banting
juga salah satu keunggulannya! Ah aku suka sekali handphone 3315!! Loh kok jadi
promosi ya? Langsung saja kubuat sebuah gambar perempuan di handphoneku itu,
dengan keahlianku itu bukan hal yang sulit, meski memang gambar perempuan yang kugambar
masih tampak seperti karakter komik jepang, namun karena aku tidak bisa
menggambar perempuan jadi kugambar saja wajah laki-laki tampan dengan bulu mata
lentik dan rambut panjang... dan tara... jadilah gambar anak perempuan... tapi
tunggu. Indi tidak seperti ini, rambutnya itu harus sedikit kubuat bercabang
dan tak teratur... nah, ini baru Indi. Setelah kusimpan gambar itu sebagai
pesan MMS, segera kupikirkan kata-kata yang akan kutulis di bawah gambar
tersebut. Hm... apa ya? Tiba-tiba aku mulai terpikir sebuah lirik lagu if its hurting you dari Robbie William
dan segera saja aku tulis disitu;
“You’ll meet the other men who will break your heart.”
Bukan kalimat yang buruk, bahkan terkesan seperti sebuah
peringatan, hahaha baiklah langsung saja kukirim. Besok Indi pasti
terheran-heran dengan semua ini, kira-kira apa yang akan dia katakan yah?
Khukhukhu... aku hanya bisa memikirkan hal-hal jahat. Ah. Aku mengantuk. Sampai
jumpa esok hari ide-ide jahatku... khukhukhu.
______________________
Pagi yang menyegarkan. Aku jadi malas bangun, tapi
tampaknya aku tidak bisa bermalas-malasan saat ini. Bahkan untuk meminta lima
menit tambahan untuk menikmati hangatnya selimut akan sulit untuku. Bagaimana
tidak, pagi ini punggungku sudah ada yang menginjak-injak layaknya karpet saja.
“Hei bangun!!! Udah siang! Mana hape gue?”
“Euh...”
Kaki yang menginjak-injak punggungku itu tidak lain dan
tidak bukan adalah kaki kakak perempuanku, Eza namanya. Tadi malam aku lupa
mengembalikan handphone itu ke kamarnya. Ketahuan deh..
“Nih...” ujarku sambil memberikan handphone itu.
“Sini... ngapain sih pake pinjem-pinjem handphone... heh,
anak seusia kamu itu belum butuh handphone tahu...!”
“Iya... iya...”
“Busyet pulsa gue!!! LUKMAAAAANNNN!!!”
Baik. Ini saatnya aku kabur.
Pagi yang cerah. Air yang dingin. Dan aku yang mengantuk.
Kutapaki lorong itu di pagi ini, kali ini tidak ada lagi anak perempuan yang
menjerit, tentu saja, kali ini aku kembali ke penampilanku yang dulu. Penampilanku
yang rapi. Tidak sengaja kulihat seseorang hendak berpapasan denganku. Dia
adalah pak Sofyan. Kutawarkan senyum pagi untuknya.
“Selamat pagi pak.”
Pak Sofyan tidak menggubrisku, aku sih tersenyum saja.
Dan akhirnya sampai juga. Kelasku, kelas 3I, sedikit saja aku bercerita lagi
tentang kelas yang satu ini, kelas ini tidak seperti kelas yang lainnya, kelas
ini berada di ujung lorong yang gelap dan minim cahaya matahari, dan
satu-satunya sumber cahaya bagi kami adalah sebuah jendela yang menghadap pada
tong sampah. Dimana pada waktu tertentu aromanya akan terasa menyengat karena
panas. Beruntung pada saat ini udara pagi masih bersahabat, sehingga yang
kucium hanyalah aroma kayu. Haaahhh... syukurlah. Kelas Indi bagaimana ya? Ah
bukankah kelas 3A bukan kelas yang baik juga secara penempatannya? Maksudku,
memang didekat kelas itu ada sebuah taman yang cukup menghibur penglihatan,
cahaya matahari yang cukup, dekat dengan ruang guru... tapi lihat juga sisi
yang lain... di sisi yang lain, kelas 3A yang letaknya sedikit berada lebih
tinggi itu juga menghadap ke toilet anak laki-laki! Dan dari kelas itu mereka
bisa melihat toilet laki-laki! Dimana bagian atas tempat toiletnya sedikit
berlubang... tidak! Jangan-jangan selama ini Indi selalu melihat dan
mengawasiku di toilet dari kelasnya!!! Arrrrggghhhh!!! Tiba-tiba jeritanku
ketika melamun disambut pula dengan jeritan anak-anak perempuan di kelasku,
tampaknya ada sesuatu yang terjadi di kelas dan sesuatu itu adalah... Richard,
Chris dan Anda. Mereka adalah tiga orang preman di kelasku dan tahu apa yang
mereka lakukan? Mereka menggunakan celak di matanya, juga menggunakan make-up
yang tebal... pfff!!! Di satu sisi aku merasa terharu karena untuk pertama
kalinya gayaku yang kemarin justru menjadi trendsetter, tapi di satu sisi aku
ingin tertawa karena seharusnya mereka tahu kalau aku saja kapok melakukan
itu... itu terlihat konyol... bwahahahahaha!!
Pelajaran pertama, biologi. Wali kelasku sendiri yang mengajar.
Beberapa anak laki-laki masih mengerubungi ketiga orang tadi sambil sesekali
memuji gayanya. Mereka bilang itu rock and roll. Yah, pada saat itu mereka
belum bisa mengungkapkan hal seperti visual kei ataupun gothic. Yang jelas
mereka tampak bodoh. Tiba-tiba saja wali kelasku berteriak dan mengagetkan
seluruh isi kelas termasuk aku. Matanya merah. Dia menunjuk ketiga anak
laki-laki tadi.
“Kesini kalian!!”
Richard tersentak, begitu juga dengan Chris dan Anda...
ketiganya tiba-tiba berubah pucat.
“Ngapain wajah kamu di ‘gini-gini’?!”
Tidak ada yang menjawab. Dan...
PLAAAK!!! PLAAK!! PLAAK!! Sebuah tamparan mendarat di
pipi mereka bertiga.
“Ini apa? Mata kamu jadi hitam kaya gini?!” tanya wali
kelasku lagi.
“Itu... itu...
eyeliner pak...”
“Apa? kamu pakai eyeliner?”
PLAAAK!! PLAAKKK!!! PLAAAKKK!!! Sekali lagi sebuah
tamparan...
“Cuci!! Sampai bersih!!” bentak wali kelasku.
“I...iya... ba.. baik pak...”
Tidak ada lagi kegagahan dari ketiga anak itu, tamparan
wali kelasku membuat mereka menciut. Aku jadi merasa berdosa. Hingga muncul
satu pertanyaan... mengapa kemarin tidak ada seorang guru pun yang berani
menegurku? Padahal aku terang-terangan menunjukan itu bahkan dengan gaya yang
lebih ekstrim, apakah jika hari ini aku masih menggunakan gaya yang sama aku
akan kena tampar juga? Atau guru-guru itu memang ragu karena mereka tahu bahwa
aku tidak akan mengulanginya? Apa ini? Lalu ada seseorang yang entah dengki
padaku atau bagaimana yang kemudian berceloteh...
“Pak... kemarin juga Lukman pakai make-up sama celak
pak!”
Wali kelasku terdiam. Sedang aku hanya menatap anak yang
berkata tadi dengan wajah seolah aku keheranan dan tidak mengerti apa yang dia
ucapkan. Lalu wali kelasku menghirup nafas...
“Kamu jangan samain kamu sama Lukman! Lukman itu orang
baik, lihat pakaiannya! Pakaiannya aja rapih, gak kaya kamu! Koreksi diri kamu
sendiri!” bela wali kelasku. Disambut meriah seisi kelas.
“Huuu... culuunnn... cupu ah cupu!”
Aku tersenyum puas. Puas sekali, entah apa yang ada di
pikiran wali kelasku, tapi aku senang karena di sekolah ini tidak ada yang tahu
isi pikiran seorang bocah yang mereka bilang culun ini... tidak ada yang tahu,
bahwa hari ini aku akan membunuh seseorang...
Bel istirahat berbunyi. Aku segera bersiap-siap.
Kukeluarkan sesuatu dari tasku, dan itu adalah... sebuah tang. Hanya tang biasa
yang bisa digunakan untuk memotong kawat setebal 4 mm. Segera saja kusimpan
tang itu di saku celanaku dan mengendap-endap... tempat yang akan kutuju
sedikit sulit karena pengawasannya cukup ketat. Tapi ini bukan masalah, karena
aku sudah banyak belajar mengenai ninja di buku-buku jadi urusan menyusup aku
adalah ahlinya.
Dan akhirnya sampai juga. Beruntung tidak ada siapapun
disini. Di tempat parkir motor para guru ini. Sekarang saatnya aku mencari
motor pak Sofyan... ah, dimana ya? Oh itu dia! Yang perlu kulakukan sekarang
hanyalah memutus kabel remnya dengan tang ini. Dan apabila pak Sofyan berhasil
mengetahui bahwa motornya ini telah diputus kabel remnya, setidaknya dia tahu
bahwa ada seseorang yang mengincar nyawanya. Dan apabila ini tidak diketahui
maka rencanaku untuk mencelakainya akan berhasil, jika dia selamat, paling
tidak dia akan terluka dan apabila tidak selamat maka semua berakhir layaknya
sebuah kecelakaan... khukhukhukhu. Baik, biar kabel rem ini kupotong saja.
Ah. Aku hanya tinggal memutus kabel rem itu saja bukan?
Seharusnya ini bukan hal yang sulit, tapi kenapa? Tiba-tiba aku merasa seolah
aku tidak perlu melakukannya... tapi kenapa? Bukankah orang seperti pak Sofyan
lebih baik mati saja? Tapi mengapa aku tidak bisa melakukannya? Tiba-tiba
berbagai macam bayangan mulai muncul di kepalaku, aku mulai melihat bagaimana
kecelakaan motor itu terjadi, pak Sofyan terpental begitu jauh dari motornya,
semua orang di sekitar jalan itu mulai panik... sekitar 30 meter pak Sofyan
terpental setelah motornya menabrak sebuah mobil truk. lalu apa itu? mengapa
pak sofyan membawa tahu? Hm... tahu putih... apa dia baru saja pulang dari
pasar... tahu putih itu berserakan... bernoda darah keluar dari kepalanya...
ah. Itu bukan tahu, itu otaknya! Aku menelan ludah. Jika semua itu terjadi dan
semua itu salahku, aku harus bagaimana? Kuyakin pak Sofyan juga memiliki
keluarga, dan bagaimana keluarganya nanti? Mereka pasti sedih bukan? Lalu aku
berpikir, bukankah di agamaku juga dijelaskan barang siapa yang membunuh
manusia lainnya atas nama dendam maka ia akan menanggung seluruh dosa dari
orang yang dibunuhnya bukan? Ah. Tidak, itu artinya segala kesalahan yang pak
Sofyan lakukan selama di bumi ini akan dilimpahkan kepadaku... mengapa? Semua
ini mulai membuatku dilemma. Sebenarnya siapa yang salah? Bukankah benar bahwa
ini sekolah swasta dimana sekolah ini sangat bergantung dari penghasilan
orangtua murid-muridnya? Bahwa benar di negara ini tidak ada pendidikan yang
murah? Dan semua ini salah siapa? Lalu kutemukan sebuah jawaban yang
mengejutkan ; ini adalah salahku. Aku yang terlalu bodoh sampai tidak diterima
masuk SMP negeri. Loh bukankah aku telah menjalani testing dan lain sebagainya?
Ya. Dan sayangnya itu tidak cukup. Pendidikan terasa seperti permainan keberuntungan
saja. Jika saja aku berhasil masuk SMP negeri, mungkin kesempatanku meraih
beasiswa akan lebih besar. Salahku sendiri yang terjebak di sekolah menyebalkan
ini. Salahku, semua adalah salahku. Dan segala yang terjadi di sekolah ini. Apa
yang menyebabkan orang-orang seperti pak Sofyan dan orang lainnya yang sangat
mementingkan uang adalah tanggung jawabku. Tanggung jawabku sebagai penerus
mereka. Tanggung jawabku agar kelak hal semacam ini tidak terjadi lagi.
Satu-satunya hal yang bisa kulakukan dari sekarang adalah memenuhi keinginan
orang tuaku, belajar semampuku dan aku berjanji, jika aku lulus nanti aku tidak
akan mau menginjakan kakiku di sekolah ini sampai akhirnya aku bisa menjadi
seseorang yang dibanggakan. Satu-satunya hal yang bisa kugunakan untuk membalas
dendam. Aku akan menjadi lebih dari sekedar ini. Aku. Akan membuktikan pada
orang-orang bodoh yang selalu merendahkanku, menginjak harga diriku bahwa aku
tidak sia-sia mereka perlakukan seperti itu. Bahwa kelak aku akan sangat
berterima kasih karena dengan hinaan mereka, aku akan lebih kuat, aku akan
lebih super, bahwa aku akan tetap
berjuang dan tidak takut untuk memulai. Ya. Tidak ada yang sia-sia di dunia
ini. Bahkan jika itu adalah hal yang menyebalkan sekalipun.
Sekarang aku lebih tenang, kusimpan lagi tang tadi di
saku celanaku. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Gawat, jangan-jangan itu pak
Sofyan. Aku menoleh, dan kudapati Dani melihatku dengan tatapan masam.
“Eh kamu Dan? Ada apa kok tiba-tiba kamu disini...”
“Yang ada apa itu kamu... heh, yang kemarin kirim MMS ke si
Indi itu kamu bukan?”
“MMS apa? Jangan ngaco ah!”
“Kemarin katanya ada orang ngirim MMS ke handphonenya, si
Indi sendiri yang nanyain...”
“EEEEHHH... terus hubungannya sama saya? Saya kan enggak
tahu nomor handphonenya... kamu sendiri tahu kan aku enggak mau terima nomor
handphone itu...”
“Huuuffftt... jadi bener bukan kamu? Tadinya kupikir kamu
bisa ingat nomor itu tanpa harus menyimpannya... ya sudahlah...”
“Eh...? hehehe masa iya aku bisa kayak gitu... hehehe”
Akhirnya aku dan Dani berjalan kembali ke kelas, dan
selama melewati lorong-lorong kelas Dani tidak berhenti membicarakan MMS yang
kemarin kukirimkan pada Indi.
“Kemarin si Indi kayaknya keganggu sama MMS itu...”
“Keganggu gimana?”
“Katanya ada orang yang mengiriminya MMS bergambar hantu
ke handphonenya, sambil ngingetin kalau nanti dia bakalan ketemu sama orang
yang suka menghancurkan hati manusia...”
Aku terdiam dan berbicara dalam hati... mengapa MMS iseng
yang romantis itu malah disikapi sebagai sesuatu yang horror seperti ini...?
Terlebih dia katakan gambar itu sebagai gambar hantu... padahal aku sudah
berusaha agar wajah perempuan itu bisa secantik dirinya...
“Oh iya Dan...” tiba-tiba aku mulai penasaran pada apa
yang dikatakan Dani.
“Apa?”
“Kamu bilang si Indi sendiri yang ngomong kaya gitu,
memangnya hubungan kalian kaya gimana sih?”
“Hehe... kenapa? kamu cemburu...?”
“Cemburu? Enak aja, emangnya sinetron remaja apa?”
“Hehe... Lukman cemburu, Lukman cemburu... hei
kawan-kawan Lukman bisa cemburu juga loh...” ujar Dani sambil berjalan tak
karuan sepanjang lorong.
“Apaan sih? Jangan norak gitu ah...”
“Enggak, kebetulan Indi itu temen adikku, si Ucup, hampir
tiap malem Indi telephone ke rumahku...”
Aku terdiam. Rupanya mereka sudah cukup dekat. Akhirnya
kita berdua masuk kelas. Saat itu speaker kelas yang terhubung langsung dengan
radio sekolah tengah berbunyi.
“Ya, semoga Lukman
di kelas 3 I bisa menikmati lagu ini... without you dari 3 doors down...”
begitulah yang terucap di radio itu.
Aku langsung menatap Dani...
“Namaku disebut Dan...!”
“Emh... biasa aja kali, aku juga sering dikirimin
lagu...”
“Adeuuuh... yang baru dikirimin lagu...” riuh seisi kelas.
“Hahaha... Lukman gitu, udah biasa...” ujarku seraya
tertawa bangga.
“Cuih...” Dani tampak sedikit tidak senang...
“Sirik kamu Dan...? Hehehehe...”
Aku terdiam, berusaha mendengarkan lagu itu secara
seksama. Lalu aku mulai sadar bahwa ini memang lagu yang keren, tapi untuk
ukuran anak SMP, memangnya mereka mengerti? Aku? Bagiku, kamus bahasa inggris
itu sudah menempel di otak. Jadi ini mudah saja. Tapi... untuk mengirimiku lagu
percintaan dengan lirik yang berat seperti ini rasanya mengerikan. Tapi ah
sudahlah, mungkin hanya asal kirim saja, mungkin pengirimnya adalah Mulyadi
temanku semasa SD yang sekolah di SMP yang sama denganku (kujelaskan lagi agar
tidak lupa), kupikir ini memang selera musiknya.
Bel usai istirahat sekolah berbunyi. Seiring berhentinya
lagu itu di radio sekolah. Akhirnya semua anak masuk kelas dan terduduk di
bangkunya masing-masing. Beberapa anak yang masuk kelas menatapku sambil
tertawa cekikikan. Aku tak perduli, aku sudah kebal dengan tertawaan dan ejekan
semacam itu.
____________________________
Pulang sekolah. Suasana sedikit lebih ramai dari
biasanya, semua murid yang pulang dan berpapasan denganku tiba-tiba menyapaku
dengan senyum. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba semua orang menjadi ramah begini?
Beberapa malah menaruh lengannya di bahuku seolah kita adalah teman dekat
saja... ah, sebenarnya aku bahkan tidak bisa mengingat nama mereka tapi mengapa
mereka seolah begitu akrab denganku? Lalu salah seorang dari mereka bertanya ;
“Jadi udah sampai mana perkembangannya...?”
“ Perkembangan apa? PR? Phytagoras itu ya?”
“Malah ngomongin PR... maksud aku itu tuh...”
“Itu apa?”
“Aaah... jangan pura-pura... hayo, udah sejauh apa
perkembangan hubungan kamu sama si itu tuuuh...”
Tiba-tiba wajahku memerah, entah apa maksudnya tapi aku
merasa malu... jangan-jangan orang-orang memang sudah tahu bahwa aku menyukai
seseorang di sekolah ini, jangan-jangan perilakuku begitu mudah dibaca sampai
semua orang tahu...
“Sama... sama siapa maksudnya?”
“Aduh... udah deh ngaku, maksud kita ya sama bidadari
kamu itu”
“Ah... enggak, sebenarnya kita... kita enggak saling
kenal...”
“Adeuh... tapi kalian saling suka kan?”
“Masa iya sih? Enggak lah... apaan sih kalian tiba-tiba
kaya gini”
“Emh, tadi ada yang kirim lagu enggak tersentuh tuh?”
“Kirim lagu?”
Tiba-tiba aku ingat kalau tadi pada saat istirahat ada
seseorang mengirimkan sebuah lagu untuku. Tadinya aku mengira kalau itu adalah
kiriman dari temanku, Mulyadi. Tapi tampaknya bukan dia.
“Malahan di request lagunya sampai dibilangin kalau kamu
adalah satu-satunya anak yang bikin dia semangat di sekolah...” ujar temanku
lagi. Sontak ini membuatku kaget.
“Itu enggak mungkin, enggak mungkin dia suka sama aku,
kelas kita kan jauh, dia itu anak kelas 3A sedang aku hanya anak dari kelas
3I!”
Temanku terdiam, tampak heran.
“Ngaco kamu. Siapa yang lagi ngomongin anak kelas 3A?
Kita kan lagi ngomongin anak kelas 3 C!”
Kali ini aku yang heran.
“3C?”
“Iya 3C... si Farah... dia barusan kirim lagu buat
kamu... masa kamu enggak tahu...”
“Fa... Farah?”
Sepotong nama itu terucap. Aku sama sekali tidak bisa
berpikir apapun. Terlebih sosok itu telah berdiri di hadapanku, Farah... dia
menatapku seraya tersenyum... angin musim panas tiba-tiba bertiup sangat
kencang, meniup separuh poni pada rambut pendeknya dan menggugurkan dedaunan
kering... aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, wajahku terasa panas
seolah seluruh darahku mengalir ke atas... bahkan sentuhan angin yang sejuk itu
sama sekali tidak membuat wajahku terasa lebih dingin... aku membeku dengan
perasaan yang memanas.
“Eh tuh orangnya dateng... aku pergi dulu ya...” temanku
segera pergi seolah ingin membiarkanku berdua dengan Farah... ah, apa ini mau
kemana kalian? Jangan tinggalkan aku... ah baiklah.
“Hai...” kira-kira hanya kata itu yang bisa keluar dari
mulutku.
“Kamu suka lagunya?” Farah memulai pembicaraan
“Ah... aku sudah lupa... hahahaha” aku tertawa garing.
Farah terdiam. Tapi dia masih tersenyum, wajahnya yang
putih tampak memucat dan membuat bibir itu lebih merah dari sebelumnya.
“Lukman...” tiba-tiba Farah mendekat.
“Ah, Farah... kayanya baikan kamu cepet pulang deh...”
jawabku sedikit panik.
“Aku...” suara Farah mulai bergetar...
“Ah... yah, aku tahu itu kamu, hahahahaha...” tertawaku
semakin tidak jelas dan tidak beralasan...
“Sebenernya... aku...”
“Sebenernya kamu pengen pulang kan? Ya udah cepet pulang
sana... nanti enggak kebagian angkot loh...” ujarku.
“Tapi aku...”
“...”
“Aku...”
“...”
“Aku suka kamu...”
Deg. Deg. Deg. Deg. Apa yang dia katakan? Menyukaiku?
Sesungguhnya ini bukan pertama kalinya aku menerima pernyataan suka seorang
anak perempuan... dulu ada banyak anak perempuan menyatakan hal serupa kepadaku melalui surat... ada juga seorang
anak perempuan berwajah mengerikan mengirimi pesan serupa melalui temanku. Tapi
jika bertatap muka dan mengatakan hal ini secara langsung padaku... ya, ini
memang pertama kalinya. Dan aku tidak tahu harus berkata apa. Ini diluar
pemikiran dan kebiasaanku. Aku masih anak SMP. Masih imut-imut. Masih sangat
lucu. Tidak ada alasan untuk menjawab dengan sesuatu yang aneh-aneh layaknya
sinetron remaja. Tapi ini Farah, Farah bukanlah gadis yang bisa dikatakan
dibawah standarku, aku tahu Farah memang cantik dan punya wajah yang lucu,
bahkan kulitnya pun lebih putih dari Indi. Yang berbeda hanya tinggi badannya
saja, jika harus kubandingkan dengan Indi yang tingginya setara denganku,
tinggi Farah hanya sebahuku saja. Selain itu, Farah berambut pendek dan
menurutku rambut pendek itu kurang menarik. Tapi selain itu semua Farah memang
anak yang cantik dan baik pula. Jadi, harus bagaimana aku sekarang?
“Hah?”
entah kenapa
tiba-tiba saja aku ingin berpura-pura tuli. Dan berpura-pura tak mendengar apa
yang dia ucapkan.
“Masa harus diulang sih?” ujar Farah.
Kali ini Farah yang tampak bingung.
“Apa?” ujarku. Menambah kebingungan.
“Apanya yang apa?”
“Apanya yang harus diulang...?”
“Hah?”
“Tadi... kamu bilang harus diulang...”
“Apa?”
“Tadi...”
“Tadi apa?”
“Tadi yang kamu omongin...”
“Apa?”
“Apanya yang apa?”
“Aku...”
“Aku apa?”
“...”
“...”
“Aku... suka kamu...”
“HAH??”
Baik. Sekali lagi aku mengatakan hah? Dan berpura-pura tuli setiap
kali ia berkata menyukaiku. Kali ini Farah terdiam, seolah semua ini tidak
menarik lagi. Matanya mulai berkaca-kaca, pipinya yang putih kini seolah
terbakar dan matang. Kali ini dia mendekatiku, raut wajahnya berubah.
Dikeluarkannya buku paket biologi. Dia gulung buku itu, dia angkat lalu
perlahan dia ayunkan. Sementara semua masih bergerak secara slowmotion di mataku, buku setebal itu... bagaimana bisa dia
menggulung buku setebal itu hanya dengan satu tangan?
PLAAAAAAAAKKKKKKKKK!!! Buku itu mendarat tepat di wajah. Farah marah. Memukulku tepat di wajah. Rasanya
pipiku mati rasah. Untung tidak berdarah. Sedang aku masih merasa tak bersalah.
Dan Farah tampak hilang arah. Farah sangat resah. Kurasa semua mulai berubah.
Farah. Kau memang parah. Ah. Ah. Ahhhhhhhhhhh.
“Aku mau pulang!” hanya itu yang dia ucapkan. Aku
membeku. Kita berdua tahu apa yang terjadi. Tapi begitu sulit untuk
mengakuinya. Terlebih untukku. Bagiku bukan hal yang mudah untuk menjawab
sesuatu yang tidak ingin kujawab. Bukan saja karena itu adalah pernyataan suka
yang tidak bisa kupahami, melainkan bahwa saat itu aku tengah dilanda sesuatu
yang juga tidak bisa aku mengerti, sesuatu yang memang sudah sewajarnya,
sesuatu yang mereka bilang cinta monyet namun aku akui bahwa perasaan itu ada.
Sesuatu yang mereka bilang ‘ababil’ namun aku akui bahwa itu memang benar-benar
terjadi. Reaksi kimia. Respon akan keindahan. Respon atas sebuah hasrat.
Jawaban atas pertanyaan bahwa aku adalah anak laki-laki normal. Maafkan aku,
tapi aku sudah terlanjur menyukai anak perempuan lain. Indi. Dan hingga saat
ini aku sendiri tidak mengerti mengapa, dan karena alasanku menyukai gadis ini
tidak begitu jelas... antara perasaan benci yang mendalam yang pada akhirnya
membuatku selalu memikirkannya, suatu perasaan sedih, kalut, kacau bercampur
senang, gembira, terpesona, bahagia dan kemarahan yang begitu menjadi,
kekesalan dan penolakan atas kenyataan bahwa aku menyukainya. Maka jika harus aku
bertanya. Apa yang bisa aku lakukan ketika semua perasaan yang saling bertolak
belakang itu justru kurasakan di waktu yang sama, saat aku melihatnya. Aku
melihat Indi dengan perasaan yang tersiksa. Aku merasakan sedih, senang dan
marah atas alasan yang tidak kumengerti ketika melihatnya. Dan begitu minimnya
alasanku untuk mengerti hingga aku tidak ingin mengakui bahwa itu adalah
perasaan yang tulus. Aku mencintai sekaligus membencinya.
Farah telah lama menghilang. Dia sudah pulang, namun
jejak bayangnya masih ada. Aku hanya duduk termenung disebuah teras toko yang
selalu tertutup itu. Sendiri. Mengambil sebuah buku dan mencoreti halaman
akhirnya dengan gambar. Dari kejauhan kulihat Indi dan teman-temannya muncul.
Aku menatapnya. Dan ia pun menatap ke arahku. Aku tak tahu apa yang dia lihat
adalah aku, aku hanya tahu bahwa aku tengah menatap seseorang yang kusukai. Dari
jauh, aku menatapnya dengan pedih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar