Translate

Sabtu, 19 Oktober 2013

Serial Alam Lukman Yellowsky bab7

Bab 7

(Flashback Bag.2)
Tanah.

Fush… haah… fush… haah… aku terduduk dengan posisi bersila.  Beginikah rasanya bernafas? Kuhisap udara pengap kamar lalu menghembuskannya kembali. Mungkin ini adalah hal yang sederhana dan mungkin orang lain tidak begitu menganggapnya penting, tapi entah mengapa aku ingin menikmatinya seolah ini sangat berarti. Tentu saja, tanpa bernafas manusia bisa mati kan? Jadi biar aku melakukannya dengan penuh ketulusan hati. Bernafas… fush… haah… fush… haah… fush… begitu rileks… tenang, dalam hati aku merasakan seolah semesta raya berbicara padaku. Menyapaku dengan bahasa yang kumengerti namun sulit kuterjemahkan, seolah aku bisa merasakan seluruh jagat raya ini mencoba menenangkan hatiku yang tengah kalut. Tenanglah. Lukman. Semua baik-baik saja. Ya, semua baik-baik saja, tak ada yang harus kukhawatirkan. Menemukan arti untuk diri sendiri, berbagi dengan orang lain, menyebarkan cinta kasih, menemukan damai. Rasanya ingin aku bertanya pada Tuhan.  Tuhan, bolehkah aku mempertanyakan rencanaMu atas penciptaan umat manusia? Apakah benar kita manusia memanglah pantas atas semua karunia yang Kau beri? Maukah Engkau memaafkan seorang munafik sepertiku? Masih adakah gerbang maaf untuk kita semua sebagai hambaMu? Terkadang aku berpikir, bahwa apa yang kulakukan adalah semata karena pandangan manusia. Berbicara melalui karya hanya untuk mendapatkan pujian dan perhatian orang lain, beribadah hanya terasa seperti sebuah sistem dan tradisi saja, tanpa kusadari bahwa Engkau selalu melihatku. Meski kusadari bahwa Engkau mengisi segala dimensi dan ruang, lantas harus bagaimana aku kini? Tanpa setan mengerubungiku aku sudah memiliki nafsu… menginginkan bahagia tanpa tahu artinya. Engkau ciptakan aku dari tanah liat. Dan Engkau ciptakan setan dari api, sedang dalam tanah liat ini sendiri mungkin saja terkandung unsur air, api dan angin sebagai simbol dari sifat-sifatku sebagai manusia yang penuh hasrat dan juga kasih sayang. Manusia mungkin bisa lebih buruk dari setan, lebih sombong dari setan, tapi setan tidak akan bisa menjadi manusia… bertarung dan bertaruh dalam perang besar seumur hidup. Mencari jawaban atas sebuah pilihan. Hidup. Di dunia yang penuh kesemuan ini, hanya satu pintaku padaMu. Aku ingin mati dalam keadaan yang paling mulia. Aku ingin mati dalam keridhoanMu. Aku ingin mati setelah aku berarti. Karena, jika kupikirkan secara logis jika saja dalam hidup ini tidak ada istilah pahala ataupun dosa sekalipun sedangkan hidup ini sendiri begitu singkat dan sementara, aku tidak ingin hidup sebagai manusia yang sederhana. Terlahir, bersenang-senang, merasa sedih, tertawa… mencari cinta, bekerja, menikah, berkembang biak, lalu mati. Apakah itu benar-benar cara yang paling baik untuk hidup? Aku hanya tidak ingin menyia-nyiakan penciptaanMu atas aku. Maka izinkan aku untuk menjadi lebih dari sekedar itu, izinkanlah aku agar tidak menyesali waktu yang singkat ini. Izinkanlah aku merasakan bahagia seluas langitMu, sesederhana apapun yang kudapat dalam nafas yang kau beri. Aku ingin hidupku berarti. Sesingkat apapun nyawa yang kau beri. Tolong jangan buat aku merugi… ada tangis, ada resah, ada keluh di bumi ini, izinkan aku dengan caraMu bisa menghapus semua itu.
Cukup. Kuhentikan ratapanku. Jangan-jangan aku sudah terlalu sombong, tidak. Tuhanku lebih tahu apa yang aku butuhkan dan jika yang terbaik itu adalah menjadi manusia yang sederhana saja dan hidup normal, itu juga bukan hal yang buruk. Hanya saja entah mengapa aku menginginkan lebih… bukankah telah kukatakan bahwa aku adalah manusia yang penuh dengan hasrat? Jadi sebagai makhluk aku memang tidak bisa berbuat suatu apa. Haah… memang sejauh ini aku hanya bisa berkhayal, membayangkan setiap manusia berjalan bersama menuju damai yang sejahtera, berbakti pada orang tua, tetangga ramah, anak yang sholeh, istri yang shalehah dan penuh pengertian, berbuat baik kepada semua orang… mendapat senyuman dan langit yang indah… mungkinkah semua itu bisa kugapai nantinya? Lihatlah aku sekarang… masuk universitas negeri, dibiayai oleh uang rakyat hingga biaya kuliahku murah, dapat beasiswa pula… membanggakan? Jangan bangga dulu. Aku bukan mahasiswa yang baik, sering membolos, kuliah selalu melantur… jurusan seni teater pula. Sebuah jurusan yang harus kuperjuangkan industrinya agar bertahan eksistensinya… entah jadi apa aku nanti… entah bagaimana caraku mempertanggungjawabkannya kepada rakyat Indonesia atas biaya pendidikanku. Karya. Hanya itu. Hmm… sejauh ini aku punya berapa karya ya? 1… 2… 3… 4… duh, sudah malas aku menghitungnya. Hahaha aku kan jenius, kalau hanya karya sih… tapi tidak ada satupun karyaku yang terkenal dan diakui. Itu sih sama saja dengan omong kosong. Tapi setidaknya cuma itu hartaku satu-satunya, menemukan ide memang bukan hal baru untuku, tapi menyuarakan ide itu agar mampu dipahami itu baru sesuatu. Cara paling mudah agar karyaku bisa bicara dan bisa didengar itu apa ya? Hm, lakukan saja dulu. Aku percaya nanti juga ada yang mengapresiasi kok. Sukses itu kan pilihan, sukses itu proses, sukses itu perjuangan dan sukses itu prioritas… semangat!
Apa sih? Mengapa seperti menonton acara motivator saja ya? Fiuh, hanya saja ini terasa sakit. Ketika melihat ada banyak keresahan di televisi, melihat kebanyakan generasi muda yang entah kiblatnya kemana, anak-anak terlantar, perdagangan manusia, seks bebas… eit, itu untuk anak muda, buat para seniornya tidak ketinggalan ada korupsi dan masih banyak hal lain yang mungkin membuatku merasa sedikit miris. Terlalu banyak karya yang bicara tentang moral… tapi bumi masih saja berputar. Tak ada yang berubah. Kupikir ketika aku mencoba berbuat baik kepada orang lain, aku melakukannya bukan karena menganggap itu sebuah amal baik yang lantas dicatat oleh malaikat. Tapi karena aku egois. Karena aku merasa sakit. Merasa sakit jika ada yang sakit. Dan aku hanya akan membantu orang itu agar aku tak lagi merasa sakit. Bukan untuknya, melainkan untukku. Agar sakit di dadaku juga ikut reda. Terdengar seperti omong kosong bukan? Terserah. Karena sudah kubilang bahwa didunia ini mungkin hanya aku satu-satunya makhluk asing. Makhluk asing yang keren.
Generasi muda. Generasi penerus bangsa… katanya. Aku berbicara seolah aku sudah tua saja. Usiaku masih 20 tahun, tapi jangan tanya rencana mau sampai berapa. Memang jika melihat perkembangan generasi muda sekarang, begitu dekat dengan pengaruh budaya barat, loh? Memangnya kenapa dengan gaya hidup barat? Tidak apa-apa sih, asal cerdas dan mengerti apa itu identitas, tak jadi masalah. Yang jadi masalah mereka tidak mengerti apa yang mereka tiru, kebanyakan hanya mengambil bagian yang mereka sukai saja… drugs, minuman keras dan hubungan bebas. Jangan katakan bahwa budaya timur terlalu kuno untuk mereka, tapi jika mereka benar-benar jeli, gentleman attitude justru lahir juga di barat, bagaimana seorang pria harus memperlakukan seorang wanita. Seharusnya itu juga menjadi acuan bagi mereka. Tapi wanita jaman sekarang juga sulit, lihat saja cara mereka bicara, berpakaian, berjalan dan menjaga dirinya sendiri… maksudku terlalu banyak pergeseran pandangan disini. Dan pandanganku ini akan begitu mudah disebut kolot… padahal aku mungkin jauh lebih tahu tentang apa itu keren. Keren pada dasarnya adalah… apa ya? Biar kuperjelas. Keren itu adalah hal yang sulit dijelaskan dengan huruf, ilmu pengetahuan dan kata-kata verbal yang dimiliki oleh manusia, tapi bagiku, keren memiliki arti yang bermakna mencantumkan paradigma kharismatik atas suatu penciptaan karya yang bernilai dan memiliki sisi estetika yang harmonis. Lebih singkatnya keren itu… aku.
Hmmm… mungkin kata-kataku tadi membuat orang lain berpikir bahwa masa remajaku begitu kaku dan membosankan, tidak seperti film-film remaja murahan yang menularkan hal-hal yang tidak berkualitas namun justru disukai generasi  ini. Generasi galau. Sebenarnya aku lebih parah. Aku adalah korban dari televisi. Pada saat aku berusia 3 tahun dan anak-anak seusiaku lebih menyukai tontonan mendidik seperti Si Unyil, aku justru menonton drama Jepang berjudul Tokyo Love Story. Aku malah sampai hafal lagunya, walhasil, melihat anak perempuan tetangga sedikit manis aku langsung menciumnya… padahal kan, anak manis janganlah dicium sayang kalau dicium merahlah pipinya.
Rasanya berat. Mengenang masa muda yang penuh dengan kenakalan dan melihat wajah  yang kian merenta dan suram di cermin sekarang. Sudah berapa lama waktu meninggalkanku? Disaat orang lain berjalan begitu cepat, mengapa langkahku seolah tertancap di tanah begitu saja? Tidak. Mungkin yang terdiam bukan langkahku, melainkan pikiranku. Mungkin seiring waktu yang berjalan aku pun kian lama berubah menjadi robot. Kuliah, mengerjakan tugas, mencari proyek-proyek sampingan yang cukup untuk menambah isi dompet. Semuanya kulakukan tanpa menggunakan pikiran yang jelas, bahkan mungkin hanya asal kulakukan saja. Sama seperti robot. Sama seperti mereka, mereka yang begitu sibuk meluangkan waktunya untuk bekerja, terduduk di kantor, melakukan apa yang harus mereka kerjakan sebagai bagian dari suatu tanggung jawab. Mereka yang telah berhasil lolos dari begitu banyak seleksi untuk jabatan tinggi. Mereka yang senang berlomba, mereka yang bersaing, mereka yang begitu lapar. Karena rasa lapar itulah mereka menjadi begitu individualistis… membuat mereka buta… bahwa tanggung jawab mereka seharusnya bukan sekedar mencari nafkah untuk keluarganya… atau sekedar menjadi kebanggaan perusahaan… melainkan juga berarti bagi sesamanya. Termasuk berarti bagi mereka sendiri. Jika saja banyak dari mereka mengerti rasa sakit yang kuceritakan, tak akan ada korupsi di dunia ini. Mereka yang korupsi hanyalah para pengecut yang tidak percaya Tuhan. Atau mungkin mereka memang tidak takut Tuhan. Karena jika mereka ditanya tentang bagaimana mereka menghadapi akhirat nanti, mereka akan menjawab ; aku punya orang dalam.
Cukup. Omong kosong semuanya, toh pada mulanya orang-orang macam itu terlahir dari mahasiswa macam aku bukan? Haahh… tapi mengapa dunia ini begitu menggoda ya? Menggodaku dengan berbagai macam ambisi dan impian. Mungkin saja saat ini aku bisa berkata bahwa aku akan berjuang demi kemanusiaan tapi tunggu jika aku berhasil menjadi pejabat nanti. Jangan-jangan aku akan korupsi juga. Seperti yang kubilang tadi, jangan-jangan hidup yang sederhana dan biasa-biasa saja itu memang jauh lebih baik. Ah, sudahlah mungkin aku akan bahagia menjadi seorang karyawan. Loh karyawan macam apa? Seperti namanya ; karya-wan. Tentu aku ingin menjadi manusia yang tidak berhenti berkarya.
Masa muda… berlari-lari dipantai, ditemani perempuan cantik di musim panas yang indah dan langit biru cerah… itu bukan masa mudaku. Lagipula apa ini, aku kan memang masih muda! Usiaku baru 20 tahun! Kuulangi, 20 tahun! Mengapa seolah aku ini merasa tertinggal masaku saja? Haah… mungkin pemikiran-pemikiran berat yang membuat wajahku tampak suram dan kusut, aku terlihat lebih tua. Padahal aku ingin juga ditemani perempuan cantik, pergi ke pantai bermain layangan dan pesta api unggun malam-malam. Tapi kebanyakan teman seusiaku sudah menikah, rasanya aku sudah tertinggal. Loh di usia semuda itu? Yah pesta mereka berlebihan sampai membuat mereka harus menikah muda, padahal aku masih ingin senang-senang bersama! Tidakah mereka mengerti bahwa bermain layangan saja sudah cukup? Haah… lagi-lagi. Kalau bukan uang dan ambisi, ya wanita. Mungkin itu salah satu godaan dunia juga. Coba kuingat-ingat… Melda, Syifana, Tisya, Indi… tidak ada dari keempat nama perempuan yang kusukai itu adalah pacarku… dan mereka memutuskan untuk tidak memilihku sebagai pacar… ah, sebenarnya aku bukannya tidak laku lho. Banyak juga yang suka padaku, hanya saja mereka menyukaiku karena aku tampan… dan bukan berarti perempuan yang kusukai itu bisa begitu mudah menolak seorang aku. Kebanyakan dari mereka ragu untuk menjawab, mungkin hanya Syifana yang bisa menolakku dengan begitu tegas. Tapi penolakan yang dia berikan adalah penolakan yang paling indah yang pernah kuterima… bayangkan saja, ketika dia tahu perasaanku padanya, dia berkata bahwa di dunia ini aku adalah orang yang terlampau baik untuk dijadikan seorang pacar! Loh, apa artinya? Artinya dia tidak menyukaiku. Dasar, wanita selalu saja menggunakan bahasa yang rumit. Ya sudah, lebih baik kubalas sms Indi tadi. Siapa tahu dia bisa kuajak kencan. Persetan dengan pacarnya! Agamaku tidak mengenal batasan untuk istilah itu. Jadi biar kuketik sebuah sms yang sarat makna yang mampu menyentuh relung hatinya yang selalu resah mengingatku…

Heii juga…

______

SMP. Kelas tiga, saat itu aku masih belum terlalu mengenal Indi, aku masih sangat membencinya. Aku berpikir bahwa kita adalah saingan, entah bersaing dalam bidang apa, yang jelas aku tidak suka dia terlihat ‘lebih’ dariku. Oleh karena alasan itu juga aku mengincar kelas yang sama dengannya. Kelas 3A. Kelas yang entah bagaimana ceritanya dianggap sebagai kelas dengan murid-murid pilihan. Tentu saja aku pun terpilih untuk mengisi sebuah kelas. Kelas 3I. kelas yang entah bagaimana ceritanya selalu dianggap mendapatkan konotasi terburuk sebagai kelas terakhir. Banyak guru yang menyangkalnya dan berkata bahwa itu tidak benar, tapi lihat aku sekarang… tengah berjemur di lapangan beserta seluruh teman-teman kelasku. Ya, kita tengah dihukum karena salah seorang teman kita di kelas bersenandung ketika pelajaran dimulai. Yang bersenandung memang hanyalah satu orang, namun hukuman berlaku bagi semuanya. kesalahan satu orang, artinya kesalahan semua orang. Lalu  wali kelasku muncul dihadapan kami yang tengah dihukum. Wajahnya tampak masam, tapi aku berani taruh itu tidak semasam wajahku menatapnya.
“Kalian memang anak-anak brengsek!”
Tidak ada seorang anakpun yang membantahnya. Panas terik matahari membuat pikiran terasa beku.
“Memang benar. Tidak semua guru terlihat seperti guru. Bapak akui itu. Guru kalian mungkin terlihat seperti tukang beling, pemulung, atau apapun itu. Tapi lihat ilmunya dan tolong hormati!”
Semua anak terdiam.
“Ketika guru berbicara kalian ikut bicara, ketika guru mengajar kalian malah ribut seenaknya! Kalian sudah malas belajar hah? Pulang saja sana!”
Anak-anak masih terdiam.
“Kenapa sekarang diam? Apa kalian harus dijemur dulu baru kalian mau diam?”
Wali kelasku mendekat. Disiapkan tangan lebarnya. Semua anak mendapat bagian. Masing-masing satu buah tamparan. Tak ada yang melawan.
“Push up!!”
Lagi. Anak-anak mengikuti semua perintahnya tanpa kata.
“Tiga seri!”
Tiga seri artinya tiga puluh kali push up. Aku hanya bergumam dalam hati… brengsek, brengsek, brengsek…
Anak-anak pun kembali masuk kelas dengan muka merah. Semua kepanasan. Cukup sudah, akan kuakhiri semua ini… dengan pikiran semrawut aku keluar dari kelasku, segera menemui wali kelasku. Kutemui dia di ruang guru. Dengan tangan gemetar kucoba untuk mengetuk pintu ruang guru yang tengah terbuka… wali kelasku pun melihatku, anehnya aku sudah tidak melihat raut penuh kemarahan di wajahnya. Dengan lembut dia menyapaku…
“Lukman? Ada apa ‘man?”
Wali kelasku melambaikan tangannya dan menyuruhku untuk duduk di sebuah kursi di depan mejanya. Dikatupkan kedua lengannya seolah aku adalah seorang pasien dan dia adalah dokter. Aku pun duduk di hadapannya dengan perasaan seolah kemarahanku yang tadi terhambat dan memudar.
“Maaf ganggu pak… saya cuma mau nanya…”
“Hm?”
“Maaf pak, kalau boleh tahu, apa alasan saya harus ditempatkan di kelas 3I?”
Wali kelasku menatapku dalam. Seolah ingin mencoba membaca pikiranku.
“Kamu tidak suka dengan kelas kamu?”
“Bukan begitu pak, tapi…”
“Apa? Kamu punya musuh di kelas 3I? Kamu tidak cocok dengan teman-teman sekelas kamu?”
“Enggak gitu juga sih pak. Maksud saya anak-anak 3I pada dasarnya adalah anak-anak yang solid, sebagai teman juga mereka cukup baik… tapi…”
“Tapi apa? Apa karena tadi kamu saya hukum, kamu jadi tidak suka dengan kelas kamu sendiri?” 
“Maksud saya, saya hanya ingin tahu mengapa saya ditempatkan di kelas 3I, jika bapak melihat hasil raport saya maka bukankah saya seharusnya…”
“Seharusnya apa?”
“Seharusnya… saya ada di… kelas 3… A?”
Wali kelasku terdiam lagi. Dia sandarkan seluruh bagian punggungnya ke kursi. Lalu perlahan dia menatapku dan berkata…
“Menurut kamu 3A itu kelas yang bagaimana…?”
“Itu… itu adalah kelas yang isinya murid-murid yang pintar…”
“Terus kamu pikir, kamu murid yang pintar?”
Aku terdiam. Ditanya begini kepercayaan diriku malah menciut. Wali kelasku menarik nafas lalu melanjutkan kata-katanya.
“Memang kelas 3A adalah kelas yang muridnya dipilih langsung oleh kesepakatan sekolah berdasarkan prestasi atau bisa juga karena keaktifan didalam kelas maupun diluar kelas… begitu juga dengan kelas 3B, kelas 3B juga memiliki murid yang proaktif, dipilih berdasarkan prestasi mereka… tapi kamu jangan berpikir bahwa kelas yang lain adalah kelas yang berisi murid-murid yang tidak pintar…”
“Maksud bapak?”
“Jika semua anak pintar berkumpul di kelas 3A dan 3B saja maka kelas yang lain akan begitu mudah tersisihkan, oleh karena itu disetiap kelas akan selalu ada anak yang berprestasi agar komposisinya seimbang dan diharapkan mampu menjadi motivator bagi teman-teman kelasnya agar ikut berprestasi juga…”
“Jadi saya dipilih masuk kelas 3I karena…”
“Bukan karena apa-apa. Kamu dipilih secara acak…”
Cukup. Aku keluar dari ruangan itu dengan perasaan tidak puas, jelas-jelas aku adalah korban, aku adalah tumbal, aku adalah anak yang dimanfaatkan agar menjadi penyeimbang dari kelasku. Baik. Jika itu keinginan sekolah ini, akan kutunjukan bahwa kelasku tidak lebih buruk dari kelas yang lain, sebaliknya jika mereka menginginkan aku membawa perubahan pada kelas maka akan kuberikan perubahan itu… aku yang akan berubah. Hari ini aku menyatakan kudeta terhadap sistem dan aturan-aturan di sekolah ini.
Jam pelajaran terakhir, pelajaran seni musik. Guru muncul, kelas riuh. Namanya bapak Koswara. Guru yang satu ini memang tidak pernah marah ketika para murid seribut ini. Tidak pula akan menghukum para murid dengan siksaan fisik ketika murid-muridnya melakukan kesalahan… mungkin karena ia guru seni, sehingga hatinya cenderung lebih peka. Benarkah begitu? Tunggu hingga kuceritakan kebusukannya…
“Ok, sekarang absen dulu, mana absen?”
“Ini pak…” sekretaris kelas memberikan buku absen.
“Amir…”
“Hadir pak…”
“Saya enggak nanya kehadiran, sini kamu…”
“…” Amir bangkit dari kursi.
“Mana?” tiba-tiba pak Koswara menjulurkan telapak tangannya…
“Mana apanya pa?”
“Ya mana… delapan ribu lima ratus! Kamu belum beli buku paket karawitan dari saya kan?”
“Oh… itu pak, kebetulan saya sudah punya buku itu pak…”
“Loh punya gimana? Ini di catatan saya enggak ada nama kamu”
“Saya beli di jalan pak, saya dapetin buku itu di emperan jalan Cicadas… saya lihat sama, jadi saya beli disitu”
Pak Koswara menatap Amir dalam. Lalu ia bangkit dari kursinya.
“Saya ingetin buat semuanya, siapapun yang mencoba membeli buku selain dari saya, tidak akan mendapatkan nilai…!”
“Loh kok gitu pak?” Amir protes, disusul riuh suara kelas.
“Pokoknya itu sudah menjadi keputusan… siapa yang menginginkan nilai, harus beli buku dari saya”
“Ya sudah deh pak, saya beli lagi deh buku dari bapak…”
Beruntung Amir, dia selalu memiliki uang di sakunya, dengan begitu ia bisa membeli buku. Buku yang sudah ia miliki.
“Hehe… terima kasih Amir…” Pak Koswara tersenyum puas.
kelas semakin riuh, celetukan-celetukan mulai terdengar dari setiap sudut kelas…
“Wah si Amir jadi punya dua buku dong…!”
“Mubazir…!”
“Ya daripada ‘gak dapat nilai…”
“Hey… hey sudah…! jangan ribut, Lukman…? mana yang namanya Lukman? “
Aku bangkit. Kali ini giliran namaku yang dipanggil.
“Mana?” pak Koswara mengulurkan tangannya lagi.
Kukeluarkan uangku dari saku.
“Hanya seribu…? Lagi-lagi kamu cicil… hey, man. Kamu tahu gak, dulu waktu bapak seusia kamu, bapak ngorbanin uang jajan bapak cuma buat beli buku…”
“Itu uang ongkos saya pak…”
Pak Koswara terdiam.
“Duduk.”
Akupun kembali ke bangkuku. Lucu bukan? Tidak, itu adalah pembelajaran dalam buku bahasa Indonesia, salah satu materi mengenai majas ironi. Mungkin berbeda penempatannya. Tapi wajah pendidikan semacam ini memanglah terasa ironis.
“Baik, sekarang keluarkan seruling punya kalian…”
Semua anak mengeluarkan seruling bambunya masing-masing, akupun begitu. Seruling bambu ini dibandrol seharga lima ribu rupiah. aku melunasinya sewaktu aku masih kelas dua. Sekarang benda ini resmi miliku. Tapi tidak. Kalau tidak salah pak Koswara pernah berkata bahwa semua seruling ini harus dikembalikan sebelum ujian kelulusan nanti… Ah, untuk apa sebenarnya? Apakah semua ini hanya benda sewaan? Kalau begitu mungkinkah semua seruling ini akan dijual atau disewakan lagi? Apa itu yang menjelaskan mengapa warna serulingku tampak seperti seruling bekas? Glek. Lalu perlahan kuperhatikan seorang temanku yang duduk tidak begitu jauh dari bangkuku. Seruling bambu miliknya itu tampak sedikit berbeda. Batangnya lebih kecil, selain itu bambunya memiliki ukiran-ukiran yang indah… tak sempat lama aku menghayati karya seni itu, pak Koswara sudah menghampirinya.
“Beli dimana kamu seruling ini?”
“Di Gasibu[1] pak… soalnya seruling yang dari bapak sudah sumbang, jadi saya beli lagi… oh ya, kawan-kawan sekedar informasi, seruling yang di Gasibu selain lebih bagus, harganya cuma dua ribu lima ratus aja loh…!”
Tentu saja kabar seperti ini memicu respon dari murid yang lainnya.
“Apaaa??”
“Wah, yang bener?”
“Gasibu sebelah mananya?”
“Entar minggu aku beli juga deh…”
Melihat para murid begitu antusias dengan model seruling yang berbeda dari miliknya, pak Koswara pun mengambil sikap.
“Silahkan kalian beli alat musik apapun itu, dimanapun. Bapak dukung… tapi ingat, begitu kalian masuk kelas ini, cukup alat musik dari bapak saja yang boleh dibawa. Selain dari itu, enggak dapet nilai! Itu artinya kamu yang beli di Gasibu, mulai minggu depan kamu harus beli lagi seruling dari bapak!”
Para murid membeku. Terdiam bisu. Seolah semua keinginannya untuk membeli seruling yang baru menjadi tidak berarti lagi. Begitu juga dengan temanku yang memang membeli serulingnya di Gasibu… musnah sudah kebanggaannya pada seruling yang digenggamnya… dari bangkuku kupandangi seluruh isi kelas dan mengakhiri titik pandangku ke arah pak Koswara…
Orang ini…
___________

Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi, seluruh murid menyambutnya dengan riuh, kecuali aku. Semua ini terasa begitu monoton, tidak menarik. Sekolah, belajar, dihukum, pulang sekolah… semua itu terasa seperti rutinitas yang entah kulakukan untuk siapa dan untuk apa, aku tidak menemukan alasan mengapa aku harus sekolah. Jika hanya mengikuti ujian dan menerima ijazah saja, rasanya itu seperti omong kosong. Tapi baiklah, biar saja aku larut sampai aku tahu hikmah dari semua ini.
Kususuri jalan lebar diluar sekolah, sendirian, karena memang tak ada teman yang menyapaku. Di jalan Sumbawa kupilih satu buah angkot yang hendak mengantar. Baru beberapa meter angkot itu sudah berhenti, penumpang lain masuk. Tampaknya anak sekolahku juga, beberapa anak begitu ricuh dan ribut dan seorang anak lainnya… ah, lagi-lagi…
Entah mengapa aku tidak begitu merasa kaget ketika Indi memang salah satu dari mereka. Tapi memang ada sebuah rasa tertentu ketika aku berada di sekitarnya, seolah hatiku mencoba berbicara ; Dia lagi! Dia lagi! Lalu hidupku terasa lebih berbeda karenanya. Hanya itu. Aku tidak berkata bahwa ketika aku melihatnya aku bisa merasa senang, tapi benar bahwa ketika melihat orang itu ada sebuah sensasi yang menyelimutiku dan aku tidak mengerti itu apa. Indi duduk berseberangan denganku, tepat didepanku. membuat leherku sedikit pegal karena selalu kupaksakan untuk melihat arah yang lain. Anak-anak itu ribut sekali, aku sama sekali tidak merasa nyaman, rasanya seperti menjadi satu-satunya orang asing di negeri orang. Lalu kudengar sebuah bisikan, itu Indi, berbisik pada salah satu temannya. Dia… melihatku…
“Psstt… liat anak itu deh… rambutnya kelimis banget…”
“Iyah kaya orang tua aja…”
“Hahahaha…”
Sialan. Ternyata mereka tengah mengejekku, mengejek dengan bisikan yang masih terdengar oleh telingaku dan Indi adalah pelopornya, kekesalanku padanya rasanya menjadi beralasan sekarang, yah, memang benar aku menggunakan minyak rambut agar rambutku tampak rapi, mungkin diantara semua anak aku yang paling memiliki penampilan sesuai aturan, bagaimana caraku berpakaian, ukuran dan bentuk seragamku, bahkan terkadang aku masih menggunakan topi berlogo ‘tut wuri handayani’ jika aku merasa kepanasan, yang mana saat itu anak-anak sudah tidak pernah menggunakan topi semacam itu selain untuk upacara. Tapi baiklah, boleh jadi Indi mengejekku saat ini, tapi itu tidak membuktikan kalau ia lebih baik dariku, lihat saja rambutnya, tampaknya dia tak pernah mengurusnya, rambut panjang itu terlihat pecah dan kulihat jika rambut itu tersinari matahari dia akan tampak berwarna merah… tanda bahwa rambutnya kurang sehat.
Jalan Supratman. Aku turun disitu. Setelah menahan segala macam kekesalanku pada Indi selama aku didalam angkot tadi, akhirnya aku bisa keluar juga...

________________

Aku tidak bisa tidur, seolah kata-kata Indi tadi begitu menyakitkan sampai aku ingin membalasnya lebih. Tapi bagaimana caranya? Kunyalakan radio, kupasang sebuah kaset favoritku, album Robbie William, Sing When You’re Winning… aku memang berbeda dengan anak lainnya, selera musikku terkadang bukanlah trend pada masa itu. Tapi selama aku bisa menikmatinya aku bisa merasa cocok dengan musik apapun. tak lama aku mulai terlena oleh nada, aku terlelap.
Bangun pagi. Sholat shubuh. Lalu mandi, kutatap cermin… mungkin benar kata indi, potongan rambut semacam ini membuatku tampak tua, lalu kuperhatikan minyak rambutku, ini memang minyak rambut yang aman, terbuat dari bahan-bahan herbal yang tidak merusak rambut dan tidak menimbulkan panas… tapi jika aku harus mengubah tatanan rambutku aku tahu sesuatu yang bisa mengubahnya, itu adalah gel rambut. Hm, aku tahu di warung sebelah ada gel yang dijual dalam kemasan sachet. Aku akan membelinya, aku memang sering tidak rela ketika dipaksa membeli buku atau alat musik oleh sekolah, tapi untuk yang satu ini rasanya semua ini mudah saja… segera saja aku membelinya, gel rambut memang berbeda dengan minyak rambut yang fungsinya hanya membuat rambut tampak berkilau, gel mampu mengubah tatanan rambut sesuka hati kita dan mempertahankan bentuknya agar tetap sama. Resikonya, kulit kepala akan terasa gatal dan panas, ini juga akan menyebabkan debu dan partikel kotoran lainnya menempel dengan mudah di rambut. Ini juga yang kelak akan menyebabkan ketombe, uban yang tumbuh sebelum waktunya dan sejuta resiko jangka panjang lainnya yang akan segera kuambil pagi ini… tapi sudahlah kutuang saja gel itu ke tanganku. Pertama, pikirkan dulu akan kubentuk seperti apa rambutku ini, kuambil sebuah majalah, didalamnya ada gambar kelompok musisi rock  Jepang bernama X-Japan, mungkin kubentuk seperti ini saja, terlebih saat itu anak-anak SMP lebih terpaku pada band-band dari barat seperti Blink 182 atau Simple Plan, jadi mereka tidak akan tahu dari mana asal tatanan rambut ini, memang pada saat itu musik punk sangat menjamur. Sedangkan aku, aku memiliki kiblatku sendiri dalam musik. Pagi ini akan kutunjukan pada Indi dan semua anak SMP lainnya, apa yang disebut visual kei di Jepang sana. Dengan hati-hati kubentuk rambut depanku dengan poni yang tinggi. Ah, aku tidak bisa menyamai panjangnya rambut personil band itu, tapi tak apa, dengan begitu rambutku akan terlihat lebih variatif, kubentuk duri-duri kecil di sekitar rambutku sebelah kanan dan taraaa… tatanan rambut yang keren sudah jadi. Ada yang harus kutambahkan untuk mewujudkan tampilan visual kei, dan itu adalah…
Kususuri lorong sekolah, hendak menuju kelas… tak lama kudengar jeritan disana sini, para anak perempuan… mereka melihatku seperti melihat hantu, itu wajar saja… dengan bantuan make-up ibuku aku membuat kulitku seputih salju dan dengan celak hitam kuhitamkan mataku seperti para pasukan elit Persia pada jaman pertengahan yang jika dilihat sekilas mataku tampak seperti dihajar hansip.
Beberapa preman kelas berkumpul sepanjang lorong, mereka hanya tersenyum dan berteriak padaku
“Rock and roll brother…!!”
Aku hanya mengacungkan sebelah tanganku seraya terus melangkah tanpa menengok. Kulakukan itu karena aku merasa itu adalah gayaku yang paling keren.
Rasanya kepercayaan diriku meningkat. Meski ternyata ini sama sekali tidak membuat aku merasa sedikit lebih senang belajar di kelas. Para guru menatapku aneh, mereka hanya menatap, seolah tidak berani menegur. Mungkin perubahan wujudku ini terlalu mengejutkan bagi mereka sampai mereka bingung. Sementara itu  pelajaran dimulai dengan pelajaran Bahasa Inggris, gurunya bernama Ilyas, seperti biasa pak Ilyas akan bertanya tentang PR yang telah ditugaskan, dan PR itu akan dibahas bersama beberapa anak tertentu saja… loh, kenapa anak-anak tertentu? Karena biasanya pak Ilyas hanya akan menyuruh anak-anak tertentu untuk maju ke depan dan membahas pr itu untuk anak yang lainnya. Anak-anak tertentu ini merupakan anak spesial, mereka biasanya mendapat nilai dan perhatian lebih di kelas ini, terutama jika itu adalah bahasa inggris. Siapa mereka? Murid teladankah? Anak osiskah? Bukan, mereka hanya anak-anak yang secara langsung mengikuti les diluar jam sekolah bersama pak Ilyas, ya. Mereka. Aku jadi teringat, dulu aku juga sempat ditawari untuk mengikuti les oleh guru bahasa inggris yang lain, seorang guru yang baik, dia tertarik padaku karena setiap dia mengajar aku selalu mendapat nilai terbaik dan beliau menawarkanku untuk ikut les padanya, dengan gratis tentunya. Aku tidak pernah menanggapinya dengan positif, berulang kali beliau memaksaku untuk ikut hadir di lesnya, tapi aku tak pernah muncul. Beliau mengira kalau aku malu untuk hadir karena aku satu-satunya anak yang ikut les tanpa bayar, tapi sebenarnya tidak begitu. Aku hanya malas mengorbankan waktu tidur siangku hanya untuk mengikuti les diluar jam sekolah. Bagiku, les itu hanya diperuntukan untuk anak-anak yang merasa kesulitan pada pelajaran saja. Dan aku bukan bagian dari golongan itu. Tapi itu cerita tentang guru yang lain, bukan pak Ilyas, pak Ilyas akan menganggap kalau semua anak yang les padanya adalah anak yang spesial, tidak peduli seperti apa mereka belajar. Dan aku sebagai orang yang kesal dengan hal itu hanya bisa tertawa sinis setiap kali anak-anak spesialnya itu melakukan kesalahan…
Cukup dengan pelajaran, aku memang arogan dalam beberapa hal, tapi yang kukatakan memanglah benar. Semua yang ada di sekolah ini apapun itu tampak seperti omong kosong, mungkin benar kata wali kelasku bahwa aku masuk ke kelas ini memang dipilih secara acak, bukan sebagai penyeimbang kelas atau apapun itu. Jika benar begitu, maka untuk apa aku perduli lagi dengan prestasi? Bahkan dengan penampilanku yang tidak wajar sebagai siswa, tidak ada satupun guru yang mau menegurku, mereka tampak ragu… seolah aku ini tidak pantas untuk ditegur. Jadi baiklah… begitu bel istirahat berbunyi aku akan segera memperlihatkan penampilanku ini pada semua orang, semakin banyak orang yang melihat semakin bagus.
Sekali lagi para anak perempuan menjerit setiap kali aku melintasi lorong, kabar tentang aku yang merubah penampilanku ini memang sudah cukup santer terdengar di setiap penjuru kelas, hanya saja kabar yang kudengar menjadi sedikit berbeda, mereka menyebutku sebagai ‘hantu penghuni lorong…’ tak apa-apa, sebutan itu juga lumayan keren. Tapi dimana Indi? Mengapa disaat aku ingin melihatnya dia malah tidak ada? Sementara setiap tempat yang kupijak selalu ditinggalkan semua orang. Ya, semua anak yang melihatku berada di sekitarnya langsung menjauh, jika aku memasuki kantin, yang semula ramai tiba-tiba kosong… jika aku pergi ke lapangan maka setiap orang yang berada disana akan berhenti bermain… mengapa begini? Mengapa setiap orang menjauhiku seperti ini? Apakah  penampilanku memang seseram itu? Atau ada hal lain yang membuat mereka menjauh? Hhhhhhhhaaaah ya sudahlah… terserah. Jauhi saja aku, aku tidak butuh ditemani kok. Dengan langkah setengah melayang aku mencoba untuk duduk di sebuah bangku dekat tempat parkir sepeda para murid. Aku termenung disana, berpikir. Sebenarnya untuk apa kulakukan semua ini? Hanya karena Indi mengatai rambutku kelimis aku harus berubah seperti ini? Apa yang kuharapkan? Sebuah reaksi terkejutkah? Sejak kapan aku peduli pandangan orang? Indi, sejak kapan penilaiannya terasa begitu penting? Mungkin dia hanya menganggapku sebagai lelucon, tak apalah. Aku memang bodoh.
Selang beberapa menit aku terduduk disana, sebuah tangan mungil dengan satu cup es teh muncul di hadapan.
“Nih…”
Suara perempuan. Aku tak ingin menatap wajahnya, jadi kugerakan lenganku mengisyaratkan sebuah penolakan. Seolah tak terganggu dengan respon tidak ramahku perempuan ini malah duduk disampingku.
“Visual kei ya?”
Barulah aku menengok, akhirnya didunia ini ada juga yang mengerti apa yang kulakukan. Kutatap wajahnya, aku tersenyum. Aku merasa seolah aku tengah ditemukan.
“Aku masih belajar, sebenarnya aku tidak begitu mengerti teknik dalam visual kei, aku hanya…”
Belum selesai aku menjelaskan, anak perempuan itu malah tertawa, tertawa lepas selepas-lepasnya… membuat antusiasku untuk mempresentasikan gayaku ini terhambat. Tampaknya anak ini mentertawakanku.
“Hahahaha… tapi… kamu lucu… hahahahaha… visual kei? Hahaha”
Cukup, bahkan orang ini juga tidak mengerti apa yang kulakukan.
“Kalau cuma mau ketawain aku, kamu boleh pergi juga”
“Kamu enggak ngerti, sekali lihat aku juga udah tahu, yang kamu pakai itu… make-up perempuan kan?”
Ah. Itu memang benar, gawat, ternyata ada juga yang menyadarinya… yang kupakai ini memang make-up ibuku… tanpa menjawabnya, refleks saja kugunakan kedua telapak tanganku dan menggosokannya ke wajahku, berharap make-up ini bisa terhapus… namun bukannya terdiam, anak ini malah tertawa semakin menjadi jadi. Apakah aku memang selucu itu?
“Kenapa sih? Kamu pikir visual kei itu gampang apa? Segini juga aku udah usaha! Kalau kamu cuma bisa ketawa kaya gitu baikan kamu pergi deh…” kukatakan itu dengan nada setengah membentak.
Gadis itu tersenyum, mencoba berhenti mentertawaiku. Dikeluarkannya sebuah dompet, dan dari dompet itu ia keluarkan sebuah cermin bulat kecil.
“Nih lihat aja sendiri…”
Kuambil cermin itu, dan dari sana aku menyadari sesuatu, memang tampilanku sekarang jadi tidak seperti manusia pada umumnya, tapi mungkin perempuan itu benar jika dia harus tertawa. Masih ingat jika kukatakan mataku tadi tampak seperti dihajar hansip? Kali ini tidak lagi… mungkin karena tadi aku berusaha menghapusnya, dan foundation yang luntur disana sini membuat bulatan hitam di mataku lebih besar, lebih menyerupai beruang panda… beruang panda yang dihajar hansip…
“Ah.” Kututup mukaku dengan tangan. Rasanya aku malu sekali.
“Sebenernya aku lebih suka tatanan rambut dan penampilan kamu yang dulu… lebih rapi.”
“Aku tahu…” kujawab itu tanpa membuka tangan dari wajahku
“Lagian kamu kan cowok. Masa cowok nangis?”
“Siapa yang nangis…?! Aku cuma…”
“Oh… kirain nangis… ya sudah cuci muka sana biar cakep lagi!”
“Dasar… padahal aku udah seneng ada yang mengira kalau ini visual kei, tahunya kamu cuma mau ketawain…”
“Bukannya gitu, aku kan udah bilang aku suka gaya kamu yang biasa, lebih rapi…”
“Jadi orang jauhin aku karena…”
“Karena orang-orang takut sama kamu, mereka kira kamu anak stress... hahahaha eh, maaf”
Kamuuuuu...!!! ya sudah aku cuci muka dulu… gawat kalau ada yang melihat aku masih kaya gini…”
“Hahaha iya… yang bersih ya… hahahaha”
“Oh iya…”
“Apa…?”
“Lagi-lagi… terima kasih.”
“Oh? Yah, nyantei aja. Aku masuk kelas dulu ya, sebentar lagi istirahat beres soalnya. Kamu cuci muka aja sana”
Akhirnya anak perempuan itu pergi, Farah. Kulihat kaki mungilnya masih berjalan menapaki lorong-lorong kelas dan sekarang aku harus membersihkan semua ini sebelum Indi melihatku.
Bel tanda berakhirnya istirahat sudah berdentang mengisi seluruh penjuru sekolah, akhirnya aku harus kembali ke kelas, pikirku. Kugunakan kapas sebagai pembersih dan kain lengan baju seragamku sebagai handuk setelah selesai mencuci mukaku tadi, di depan kelas kudapati seorang bapak petugas dari ruang tata usaha tengah berdiri, orang itu menatapku seolah nyinyir.
“Lukman! Kamu ikut juga...!” seru bapak itu.
“Eh... oh... i.. iya...”
Sekitar tujuh orang anak dari kelasku dipanggil ke ruang tata usaha dan aku salah satunya. Kulihat ruang tata usaha begitu dipadati anak-anak dari berbagai kelas, untuk sementara anak-anak dari kelasku menunggu di luar. Aku mulai bertanya-tanya ada urusan apa kira-kira tata usaha memanggil kita? Jangan-jangan ada pembagian beasiswa prestasi untuk setiap kelas, pikirku. Dan tiba juga saatnya giliran dari kelompok kelasku yang masuk.
“Kalian tahu kenapa kalian dipanggil kesini?” pak Sofyan, petugas tata usaha menatap wajah kami bertujuh. Tak ada satu anakpun yang menjawab.
“Kalian yang dipanggil kesini adalah kalian yang sudah lebih dari tiga bulan belum bayar SPP, sekarang bapak tanya. Kalian pernah bicarakan ini dengan orangtua kalian...?”
Anak-anak membisu.
“Jawab...!!”
“Su... sudah pak, tapi orang tua saya lagi gak punya uang...”
Jawab Zaenal. Pak Sofyan menghela nafas dan kembali berbicara.
“Begini ya, sekolah kita ini kan sekolah swasta, jadi kita tidak bisa berdiri sendiri tanpa kerjasama semua pihak, baik itu orang tua siswa dan sekolah, keduanya harus saling mendukung, jadi setiap program pendidikan bisa berjalan berkesinambungan...”
Anak-anak tampaknya tidak mengerti. Sekali lagi pak Sofyan menghela nafas.
“Kalian jangan picik! Jangan maunya ikut belajarnya saja, bayar kewajibannya juga dong!”
Anak-anak membisu.
“Jika orang tua kalian cuma pengen kalian pintar saja tanpa harus membayar ya itu picik namanya...”
Anak-anak masih membisu.
“Hey kamu, Aji! Kamu Aji kan?”
Seorang anak bernama Aji mengangguk.
“Menurut kamu orang tua yang tidak memenuhi kewajibannya tapi hanya ingin memenuhi hak anaknya itu disebut apa namanya?”
Aji tidak menjawab.
“Heeey... hey, bapak tanya... kalau ada orang tua yang menginginkan anaknya bisa pintar, tapi tidak ingin membayar kewajibannya itu disebut apa?”
Tampak pak Sofyan semakin memojokan, dan tiba-tiba dia mengangkat telunjuknya seolah ingin mengungkapkan suatu teori.
“Itu picik namanya” tegas pak Sofyan. Semua anak terdiam,  hanya bisa menunduk dan tak punya apa-apa untuk membela diri. Lalu pak Sofyan tersenyum dan kembali menatap Aji.
“Jadi Aji, sekali lagi, menurut kamu orang tua macam itu disebut apa?” desak pak Sofyan.
“Itu... pi... picik pak...”
“Katakan itu pada orang tua kamu.”
Anak-anak semakin membeku, lidahnya kaku.
“Jadi kapan kalian mau bayar...?”
“Ya, harus bicara dulu sama orang tua pak...” seru Zaenal.
“Jadi sampai saat ini kamu belum bicara...?”
“Udah pak, tapi...”
“Pokoknya bapak dan sekolah ini tidak mau tahu, awal bulan depan semua bayaran SPP kalian harus sudah lunas...”
Anak-anak keluar dari ruangan itu dengan lemas, beberapa diantaranya kembali tersenyum. Seolah beban dan intimidasi itu berlalu dan menghilang, namun baru selangkah jarakku dari pintu tata usaha itu, kudengar suara pak Sofyan menggerutu...
“Kalau memang miskin kenapa harus sekolah disini sih...?”
Kurasa Aji mendengarnya juga, kurasakan nafasnya yang terisak. Aku tahu Aji bukan anak yang cengeng, dia biasa berkelahi di sekolah, badannya pun tinggi besar dan wajahnya yang hitam kasar menunjukan bahwa hidupnya keras. Tapi melihat ia dengan mata yang berkaca-kaca dan nafasnya yang terisak membuatku sedikit iba. Dengan nada yang bergetar ia mencoba berbicara padaku...
“Orang tuaku bukanlah orang tua yang picik...”
Kurangkul bahunya yang lebar selama perjalanan menuju kelas.
“Aku tahu ji. Aku tahu...” ujarku menenangkan.
Aku ingat betul. Bahwa mungkin benar, dalam hal ini aku memang jarang mengingatkan orang tuaku untuk membayar SPP, setiap kali ibuku berkata ‘nanti begitu ada uang ibu pasti bayar...’ maka itu sudah cukup bagiku, aku hanya tahu bahwa aku sekolah untuk orang tuaku, ini adalah keinginan mereka menyekolahkanku disini. Tapi lambat laun aku merasa jenuh juga, mungkin ada baiknya pak Sofyan sedikit kuperingatkan, bahwa ilmu yang sekolah ini berikan tidak semahal itu. Besok saja, kubunuh dia.

___________________

Waktunya aku pulang. Rasanya lelah sekali. Mengikuti pelajaran di sekolah ini selama satu hari saja terasa begitu melelahkan dan menyebalkan. tak ada yang menarik, baik itu aku sebagai anak yang baik, atau aku yang berandalan rasanya sama saja. Sekolah itu hanya menginginkan uangku saja.
Tidak seperti biasa, kali ini aku ditemani beberapa teman. Hanya kebetulan, satu perjalanan dan satu barisan. Di sekolah ini ada semacam pembagian pergaulan anak-anak yang mudah dilihat dari cara mereka mengatur blok-blok pergaulan mereka ketika menanti angkot atau sekedar tempat nongkrong begitu saja. Dimulai dari anak-anak skater dan sepeda BMX, biasanya tempat mereka berkumpul sehabis pulang adalah paling dekat dengan sekolah, biasanya mereka melakukan beberapa trik dan mencari perhatian dengan skateboard dan sepedanya sebelum akhirnya pulang dengan kendaraan masing-masing. Yang kedua gerombolan musisi muda, biasanya anak-anak ini mengatur jaraknya sedikit lebih jauh dari anak-anak bersepeda, gitar dengan berbagai macam usia dan kondisi ada di tangannya, suara yang cempreng ala anak SMP juga menjadi ciri khas tempat yang mereka pijak. Lalu ada juga gerombolan anak cafe, setahuku diantara mereka memang benar diam di sekitar cafe dekat sekolah, tapi tidak semua anak itu membeli sesuatu. Kadang ada juga yang hanya ikut duduk atau kalau ia memiliki sedikit uang dia akan memesan teh lemon hangat. Yang akan dia habiskan dalam satu abad. Keempat, gerombolan anak game. Disamping cafe yang tadi kusebut, ada sebuah warung game online yang biasa akan diserbu ketika sehabis sekolah, ada juga yang menyerbunya sebelum mereka ke sekolah dan pastinya mereka tidak ikut sekolah karenanya. Yang kelima gerombolan kutu buku. Buku yang kuucap disini bukan selalu mengenai buku pelajaran, terkadang itu adalah novel, terkadang itu adalah komik atau apapun itu. Ya, anak-anak ini biasanya berkumpul di sekitar tempat penyewaan buku bacaan. Sebenarnya aku suka komik, tapi melihat mereka yang sama-sama terbengong-bengong dan fokus ditempatnya masing-masing tanpa tegur sapa membuatku sedikit takut. Alasan aku tidak bergabung dengan mereka karena mereka seperti zombie. Jadi terpaksa aku bergabung dengan kelompok yang lain, kelompok yang juga memiliki bloknya sendiri. Kusebut blok ini sebagai blok kegelapan. Lokasinya paling jauh dari sekolah, paling jauh pula dari tempat anak-anak lainnya. Lebih tepatnya berada di sebuah gardu listrik dengan pagar besi yang terbuka, disamping luarnya ada toko yang selalu tertutup dan disitu ada dudukan memanjang yang biasanya kita gunakan sebagai tempat duduk selama menunggu angkot, biasanya kelompok ini tidak langsung memutuskan untuk pulang melainkan merokok terlebih dahulu, tentu merokok di sekolah itu dilarang, makanya mereka akan bersembunyi dibalik ilalang yang berada di sekitar belakang gardu listrik. Sementara aku duduk saja di teras toko. Menunggu. Mungkin bagi anak-anak SMP seperti mereka merokok dan minum minuman air keras itu keren dan menantang. Tapi bagiku itu hanya tidak ada kerjaan saja, mengisi waktu kosong mereka dengan hal konyol, seperti keinginan untuk diakui, menunjukan keberanian melanggar peraturan. Padahal manusia yang mengharapkan untuk diakui dengan cara yang kosong, tanpa bakat dan karya, tanpa kemauan dan merusak diri tidak ada keren-kerennya. Entah jadi apa mereka sekarang. Aku dan Dani, seorang temanku yang tidak merokok hanya terduduk diam. Dari jauh, kuperhatikan Indi yang juga baru pulang bersama teman-temannya, hingga akhirnya tangan Dani menepuk bahuku dan mengagetkanku.
“Woy! Kenapa? Ngeliatin si Indi terus...”
“Hm?”
“Malah bengong... kenapa? Suka ya sama si Indi?”
“Hah? Indi siapa? Eh, itu mobil keren banget ya...”
“Alah... mobil yang mana? Itu, yang dempulnya banyak itu...?”
“Eh, i... iyah... klasik ya...”
“Hehehe... mobil ga jalan gitu dibilang klasik... eh, kamu tahu gak, si Indi itu temennya adikku loh...”
“Loh? Terus apa hubungannya ma saya?”
“Hehehe... asal tahu aja, nih aku punya nomor handphonenya...”
Entah kenapa kata-kata Dani sedikit mengejutkan, jadi kuperhatikan saja nomor yang ia tunjukan itu dan kugunakan penglihatan ‘photograpic memory’ untuk menghafal nomor itu dalam sepersekian detik.
“Apaan sih? Nunjukin nomor handphone enggak penting, kayak artis aja...” ujarku, seraya masih memperhatikan baik-baik nomor itu.
“Yah, siapa tahu kamu tertarik... hehehe, abis cara mandang kamu lain sih...”
“Lain gimana? Udah deh Dan, kayaknya baikan aku pulang sekarang...”
“Pulang? Enggak nunggu anak-anak beres dulu?”
“Enggak... ! Sekalian bilang ke mereka, merokok itu enggak baik buat kesehatan!”
“Kok kamu buru-buru gitu... ya deh hati-hati di jalan...”
Langsung saja kuhentikan sebuah angkot dan meninggalkan Dani beserta ‘blok kegelapan’. Setelah cukup lama berada di dalam angkot, aku mulai berpikir... apa yang pertama kali harus kuucapkan pada Indi melalui SMS ya? Ah, SMS? Apa aku harus mengiriminya pesan? Bukankah sekarang aku punya nomer handphonenya? Aku punya nomor handphonenya! Aku punya nomor handphonenya!! AKU PUNYA NOMOR HANDPHONENYAAAAAAAAAA!!!!
Aku pulang. Kuhabiskan tiga gelas air dingin dan membanting tubuhku di ranjang. Banyak hal yang kupikirkan di rumah, PR yang banyak sekali jumlahnya, tagihan SPP, bagaimana gaya rambutku besok, cara paling baik untuk membunuh pak Sofyan...  dan terakhir... nomer handphone Indi yang masih ada dalam ingatanku. Ah lebih baik aku mencatatnya sebelum aku lupa.

___________________

Malam menunjukan sifatnya yang anggun dan dingin, penuh misteri. Malam ini aku akan menulis pesan pertamaku kepada orang yang selalu mengganggu pikiranku, menggerogoti perasaanku, mengganggu waktu belajarku dan merusak mimpi burukku. Tapi apa ya? Apa yang harus kutulis untuknya? Hm... kutatap handphone itu. Sebenarnya itu handphone kakak, diam-diam kuambil handphone ini dari kamarnya. Tunggu... di handphone ini kan ada aplikasi dimana kita bisa menggambar untuk kemudian dikirim? Aku tahu ini memang handphone yang keren, hampir semua orang memilikinya, memang masih monochrome dan belum fullcolour, bahkan ringtone atau nada deringnya yang masih monophonic itu bisa kita rancang sendiri seperti merancang sebuah midi pada alat musik! Selain itu chasing yang kuat dan tahan banting juga salah satu keunggulannya! Ah aku suka sekali handphone 3315!! Loh kok jadi promosi ya? Langsung saja kubuat sebuah gambar perempuan di handphoneku itu, dengan keahlianku itu bukan hal yang sulit, meski memang gambar perempuan yang kugambar masih tampak seperti karakter komik jepang, namun karena aku tidak bisa menggambar perempuan jadi kugambar saja wajah laki-laki tampan dengan bulu mata lentik dan rambut panjang... dan tara... jadilah gambar anak perempuan... tapi tunggu. Indi tidak seperti ini, rambutnya itu harus sedikit kubuat bercabang dan tak teratur... nah, ini baru Indi. Setelah kusimpan gambar itu sebagai pesan MMS, segera kupikirkan kata-kata yang akan kutulis di bawah gambar tersebut. Hm... apa ya? Tiba-tiba aku mulai terpikir sebuah lirik lagu if its hurting you dari Robbie William dan segera saja aku tulis disitu;

“You’ll meet the other men who will break your heart.”

Bukan kalimat yang buruk, bahkan terkesan seperti sebuah peringatan, hahaha baiklah langsung saja kukirim. Besok Indi pasti terheran-heran dengan semua ini, kira-kira apa yang akan dia katakan yah? Khukhukhu... aku hanya bisa memikirkan hal-hal jahat. Ah. Aku mengantuk. Sampai jumpa esok hari ide-ide jahatku... khukhukhu.

______________________

Pagi yang menyegarkan. Aku jadi malas bangun, tapi tampaknya aku tidak bisa bermalas-malasan saat ini. Bahkan untuk meminta lima menit tambahan untuk menikmati hangatnya selimut akan sulit untuku. Bagaimana tidak, pagi ini punggungku sudah ada yang menginjak-injak layaknya karpet saja.
“Hei bangun!!! Udah siang! Mana hape gue?”
“Euh...”
Kaki yang menginjak-injak punggungku itu tidak lain dan tidak bukan adalah kaki kakak perempuanku, Eza namanya. Tadi malam aku lupa mengembalikan handphone itu ke kamarnya. Ketahuan deh..
“Nih...” ujarku sambil memberikan handphone itu.
“Sini... ngapain sih pake pinjem-pinjem handphone... heh, anak seusia kamu itu belum butuh handphone tahu...!”
“Iya... iya...”
“Busyet pulsa gue!!! LUKMAAAAANNNN!!!”
Baik. Ini saatnya aku kabur.
Pagi yang cerah. Air yang dingin. Dan aku yang mengantuk. Kutapaki lorong itu di pagi ini, kali ini tidak ada lagi anak perempuan yang menjerit, tentu saja, kali ini aku kembali ke penampilanku yang dulu. Penampilanku yang rapi. Tidak sengaja kulihat seseorang hendak berpapasan denganku. Dia adalah pak Sofyan. Kutawarkan senyum pagi untuknya.
“Selamat pagi pak.”
Pak Sofyan tidak menggubrisku, aku sih tersenyum saja. Dan akhirnya sampai juga. Kelasku, kelas 3I, sedikit saja aku bercerita lagi tentang kelas yang satu ini, kelas ini tidak seperti kelas yang lainnya, kelas ini berada di ujung lorong yang gelap dan minim cahaya matahari, dan satu-satunya sumber cahaya bagi kami adalah sebuah jendela yang menghadap pada tong sampah. Dimana pada waktu tertentu aromanya akan terasa menyengat karena panas. Beruntung pada saat ini udara pagi masih bersahabat, sehingga yang kucium hanyalah aroma kayu. Haaahhh... syukurlah. Kelas Indi bagaimana ya? Ah bukankah kelas 3A bukan kelas yang baik juga secara penempatannya? Maksudku, memang didekat kelas itu ada sebuah taman yang cukup menghibur penglihatan, cahaya matahari yang cukup, dekat dengan ruang guru... tapi lihat juga sisi yang lain... di sisi yang lain, kelas 3A yang letaknya sedikit berada lebih tinggi itu juga menghadap ke toilet anak laki-laki! Dan dari kelas itu mereka bisa melihat toilet laki-laki! Dimana bagian atas tempat toiletnya sedikit berlubang... tidak! Jangan-jangan selama ini Indi selalu melihat dan mengawasiku di toilet dari kelasnya!!! Arrrrggghhhh!!! Tiba-tiba jeritanku ketika melamun disambut pula dengan jeritan anak-anak perempuan di kelasku, tampaknya ada sesuatu yang terjadi di kelas dan sesuatu itu adalah... Richard, Chris dan Anda. Mereka adalah tiga orang preman di kelasku dan tahu apa yang mereka lakukan? Mereka menggunakan celak di matanya, juga menggunakan make-up yang tebal... pfff!!! Di satu sisi aku merasa terharu karena untuk pertama kalinya gayaku yang kemarin justru menjadi trendsetter, tapi di satu sisi aku ingin tertawa karena seharusnya mereka tahu kalau aku saja kapok melakukan itu... itu terlihat konyol... bwahahahahaha!!
Pelajaran pertama, biologi. Wali kelasku sendiri yang mengajar. Beberapa anak laki-laki masih mengerubungi ketiga orang tadi sambil sesekali memuji gayanya. Mereka bilang itu rock and roll. Yah, pada saat itu mereka belum bisa mengungkapkan hal seperti visual kei ataupun gothic. Yang jelas mereka tampak bodoh. Tiba-tiba saja wali kelasku berteriak dan mengagetkan seluruh isi kelas termasuk aku. Matanya merah. Dia menunjuk ketiga anak laki-laki tadi.
“Kesini kalian!!”
Richard tersentak, begitu juga dengan Chris dan Anda... ketiganya tiba-tiba berubah pucat.
“Ngapain wajah kamu di ‘gini-gini’?!”
Tidak ada yang menjawab. Dan...
PLAAAK!!! PLAAK!! PLAAK!! Sebuah tamparan mendarat di pipi mereka bertiga.
“Ini apa? Mata kamu jadi hitam kaya gini?!” tanya wali kelasku lagi.
“Itu... itu...  eyeliner pak...”
“Apa? kamu pakai eyeliner?”
PLAAAK!! PLAAKKK!!! PLAAAKKK!!! Sekali lagi sebuah tamparan...
“Cuci!! Sampai bersih!!” bentak wali kelasku.
“I...iya... ba.. baik pak...”
Tidak ada lagi kegagahan dari ketiga anak itu, tamparan wali kelasku membuat mereka menciut. Aku jadi merasa berdosa. Hingga muncul satu pertanyaan... mengapa kemarin tidak ada seorang guru pun yang berani menegurku? Padahal aku terang-terangan menunjukan itu bahkan dengan gaya yang lebih ekstrim, apakah jika hari ini aku masih menggunakan gaya yang sama aku akan kena tampar juga? Atau guru-guru itu memang ragu karena mereka tahu bahwa aku tidak akan mengulanginya? Apa ini? Lalu ada seseorang yang entah dengki padaku atau bagaimana yang kemudian berceloteh...
“Pak... kemarin juga Lukman pakai make-up sama celak pak!”
Wali kelasku terdiam. Sedang aku hanya menatap anak yang berkata tadi dengan wajah seolah aku keheranan dan tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Lalu wali kelasku menghirup nafas...
“Kamu jangan samain kamu sama Lukman! Lukman itu orang baik, lihat pakaiannya! Pakaiannya aja rapih, gak kaya kamu! Koreksi diri kamu sendiri!” bela wali kelasku. Disambut meriah seisi kelas.
“Huuu... culuunnn... cupu ah cupu!”
Aku tersenyum puas. Puas sekali, entah apa yang ada di pikiran wali kelasku, tapi aku senang karena di sekolah ini tidak ada yang tahu isi pikiran seorang bocah yang mereka bilang culun ini... tidak ada yang tahu, bahwa hari ini aku akan membunuh seseorang...
Bel istirahat berbunyi. Aku segera bersiap-siap. Kukeluarkan sesuatu dari tasku, dan itu adalah... sebuah tang. Hanya tang biasa yang bisa digunakan untuk memotong kawat setebal 4 mm. Segera saja kusimpan tang itu di saku celanaku dan mengendap-endap... tempat yang akan kutuju sedikit sulit karena pengawasannya cukup ketat. Tapi ini bukan masalah, karena aku sudah banyak belajar mengenai ninja di buku-buku jadi urusan menyusup aku adalah ahlinya.
Dan akhirnya sampai juga. Beruntung tidak ada siapapun disini. Di tempat parkir motor para guru ini. Sekarang saatnya aku mencari motor pak Sofyan... ah, dimana ya? Oh itu dia! Yang perlu kulakukan sekarang hanyalah memutus kabel remnya dengan tang ini. Dan apabila pak Sofyan berhasil mengetahui bahwa motornya ini telah diputus kabel remnya, setidaknya dia tahu bahwa ada seseorang yang mengincar nyawanya. Dan apabila ini tidak diketahui maka rencanaku untuk mencelakainya akan berhasil, jika dia selamat, paling tidak dia akan terluka dan apabila tidak selamat maka semua berakhir layaknya sebuah kecelakaan... khukhukhukhu. Baik, biar kabel rem ini kupotong saja.
Ah. Aku hanya tinggal memutus kabel rem itu saja bukan? Seharusnya ini bukan hal yang sulit, tapi kenapa? Tiba-tiba aku merasa seolah aku tidak perlu melakukannya... tapi kenapa? Bukankah orang seperti pak Sofyan lebih baik mati saja? Tapi mengapa aku tidak bisa melakukannya? Tiba-tiba berbagai macam bayangan mulai muncul di kepalaku, aku mulai melihat bagaimana kecelakaan motor itu terjadi, pak Sofyan terpental begitu jauh dari motornya, semua orang di sekitar jalan itu mulai panik... sekitar 30 meter pak Sofyan terpental setelah motornya menabrak sebuah mobil truk. lalu apa itu? mengapa pak sofyan membawa tahu? Hm... tahu putih... apa dia baru saja pulang dari pasar... tahu putih itu berserakan... bernoda darah keluar dari kepalanya... ah. Itu bukan tahu, itu otaknya! Aku menelan ludah. Jika semua itu terjadi dan semua itu salahku, aku harus bagaimana? Kuyakin pak Sofyan juga memiliki keluarga, dan bagaimana keluarganya nanti? Mereka pasti sedih bukan? Lalu aku berpikir, bukankah di agamaku juga dijelaskan barang siapa yang membunuh manusia lainnya atas nama dendam maka ia akan menanggung seluruh dosa dari orang yang dibunuhnya bukan? Ah. Tidak, itu artinya segala kesalahan yang pak Sofyan lakukan selama di bumi ini akan dilimpahkan kepadaku... mengapa? Semua ini mulai membuatku dilemma. Sebenarnya siapa yang salah? Bukankah benar bahwa ini sekolah swasta dimana sekolah ini sangat bergantung dari penghasilan orangtua murid-muridnya? Bahwa benar di negara ini tidak ada pendidikan yang murah? Dan semua ini salah siapa? Lalu kutemukan sebuah jawaban yang mengejutkan ; ini adalah salahku. Aku yang terlalu bodoh sampai tidak diterima masuk SMP negeri. Loh bukankah aku telah menjalani testing dan lain sebagainya? Ya. Dan sayangnya itu tidak cukup. Pendidikan terasa seperti permainan keberuntungan saja. Jika saja aku berhasil masuk SMP negeri, mungkin kesempatanku meraih beasiswa akan lebih besar. Salahku sendiri yang terjebak di sekolah menyebalkan ini. Salahku, semua adalah salahku. Dan segala yang terjadi di sekolah ini. Apa yang menyebabkan orang-orang seperti pak Sofyan dan orang lainnya yang sangat mementingkan uang adalah tanggung jawabku. Tanggung jawabku sebagai penerus mereka. Tanggung jawabku agar kelak hal semacam ini tidak terjadi lagi. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan dari sekarang adalah memenuhi keinginan orang tuaku, belajar semampuku dan aku berjanji, jika aku lulus nanti aku tidak akan mau menginjakan kakiku di sekolah ini sampai akhirnya aku bisa menjadi seseorang yang dibanggakan. Satu-satunya hal yang bisa kugunakan untuk membalas dendam. Aku akan menjadi lebih dari sekedar ini. Aku. Akan membuktikan pada orang-orang bodoh yang selalu merendahkanku, menginjak harga diriku bahwa aku tidak sia-sia mereka perlakukan seperti itu. Bahwa kelak aku akan sangat berterima kasih karena dengan hinaan mereka, aku akan lebih kuat, aku akan lebih super, bahwa aku akan tetap berjuang dan tidak takut untuk memulai. Ya. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Bahkan jika itu adalah hal yang menyebalkan sekalipun.
Sekarang aku lebih tenang, kusimpan lagi tang tadi di saku celanaku. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku. Gawat, jangan-jangan itu pak Sofyan. Aku menoleh, dan kudapati Dani melihatku dengan tatapan masam.
“Eh kamu Dan? Ada apa kok tiba-tiba kamu disini...”
“Yang ada apa itu kamu... heh, yang kemarin kirim MMS ke si Indi itu kamu bukan?”
“MMS apa? Jangan ngaco ah!”
“Kemarin katanya ada orang ngirim MMS ke handphonenya, si Indi sendiri yang nanyain...”
“EEEEHHH... terus hubungannya sama saya? Saya kan enggak tahu nomor handphonenya... kamu sendiri tahu kan aku enggak mau terima nomor handphone itu...”
“Huuuffftt... jadi bener bukan kamu? Tadinya kupikir kamu bisa ingat nomor itu tanpa harus menyimpannya... ya sudahlah...”
“Eh...? hehehe masa iya aku bisa kayak gitu... hehehe”
Akhirnya aku dan Dani berjalan kembali ke kelas, dan selama melewati lorong-lorong kelas Dani tidak berhenti membicarakan MMS yang kemarin kukirimkan pada Indi.
“Kemarin si Indi kayaknya keganggu sama MMS itu...”
“Keganggu gimana?”
“Katanya ada orang yang mengiriminya MMS bergambar hantu ke handphonenya, sambil ngingetin kalau nanti dia bakalan ketemu sama orang yang suka menghancurkan hati manusia...”
Aku terdiam dan berbicara dalam hati... mengapa MMS iseng yang romantis itu malah disikapi sebagai sesuatu yang horror seperti ini...? Terlebih dia katakan gambar itu sebagai gambar hantu... padahal aku sudah berusaha agar wajah perempuan itu bisa secantik dirinya...
“Oh iya Dan...” tiba-tiba aku mulai penasaran pada apa yang dikatakan Dani.
“Apa?”
“Kamu bilang si Indi sendiri yang ngomong kaya gitu, memangnya hubungan kalian kaya gimana sih?”
“Hehe... kenapa? kamu cemburu...?”
“Cemburu? Enak aja, emangnya sinetron remaja apa?”
“Hehe... Lukman cemburu, Lukman cemburu... hei kawan-kawan Lukman bisa cemburu juga loh...” ujar Dani sambil berjalan tak karuan sepanjang lorong.
“Apaan sih? Jangan norak gitu ah...”
“Enggak, kebetulan Indi itu temen adikku, si Ucup, hampir tiap malem Indi telephone ke rumahku...”
Aku terdiam. Rupanya mereka sudah cukup dekat. Akhirnya kita berdua masuk kelas. Saat itu speaker kelas yang terhubung langsung dengan radio sekolah tengah berbunyi.
Ya, semoga Lukman di kelas 3 I bisa menikmati lagu ini... without you dari 3 doors down...” begitulah yang terucap di radio itu.
Aku langsung menatap Dani...
“Namaku disebut Dan...!”
“Emh... biasa aja kali, aku juga sering dikirimin lagu...”
“Adeuuuh... yang baru dikirimin lagu...” riuh seisi kelas.
“Hahaha... Lukman gitu, udah biasa...” ujarku seraya tertawa bangga.
“Cuih...” Dani tampak sedikit tidak senang...
“Sirik kamu Dan...? Hehehehe...”
Aku terdiam, berusaha mendengarkan lagu itu secara seksama. Lalu aku mulai sadar bahwa ini memang lagu yang keren, tapi untuk ukuran anak SMP, memangnya mereka mengerti? Aku? Bagiku, kamus bahasa inggris itu sudah menempel di otak. Jadi ini mudah saja. Tapi... untuk mengirimiku lagu percintaan dengan lirik yang berat seperti ini rasanya mengerikan. Tapi ah sudahlah, mungkin hanya asal kirim saja, mungkin pengirimnya adalah Mulyadi temanku semasa SD yang sekolah di SMP yang sama denganku (kujelaskan lagi agar tidak lupa), kupikir ini memang selera musiknya.
Bel usai istirahat sekolah berbunyi. Seiring berhentinya lagu itu di radio sekolah. Akhirnya semua anak masuk kelas dan terduduk di bangkunya masing-masing. Beberapa anak yang masuk kelas menatapku sambil tertawa cekikikan. Aku tak perduli, aku sudah kebal dengan tertawaan dan ejekan semacam itu.

____________________________

Pulang sekolah. Suasana sedikit lebih ramai dari biasanya, semua murid yang pulang dan berpapasan denganku tiba-tiba menyapaku dengan senyum. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba semua orang menjadi ramah begini? Beberapa malah menaruh lengannya di bahuku seolah kita adalah teman dekat saja... ah, sebenarnya aku bahkan tidak bisa mengingat nama mereka tapi mengapa mereka seolah begitu akrab denganku? Lalu salah seorang dari mereka bertanya ;
“Jadi udah sampai mana perkembangannya...?”
“ Perkembangan apa? PR? Phytagoras itu ya?”
“Malah ngomongin PR... maksud aku itu tuh...”
“Itu apa?”
“Aaah... jangan pura-pura... hayo, udah sejauh apa perkembangan hubungan kamu sama si itu tuuuh...”
Tiba-tiba wajahku memerah, entah apa maksudnya tapi aku merasa malu... jangan-jangan orang-orang memang sudah tahu bahwa aku menyukai seseorang di sekolah ini, jangan-jangan perilakuku begitu mudah dibaca sampai semua orang tahu...
“Sama... sama siapa maksudnya?”
“Aduh... udah deh ngaku, maksud kita ya sama bidadari kamu itu”
“Ah... enggak, sebenarnya kita... kita enggak saling kenal...”
“Adeuh... tapi kalian saling suka kan?”
“Masa iya sih? Enggak lah... apaan sih kalian tiba-tiba kaya gini”
“Emh, tadi ada yang kirim lagu enggak tersentuh tuh?”
“Kirim lagu?”
Tiba-tiba aku ingat kalau tadi pada saat istirahat ada seseorang mengirimkan sebuah lagu untuku. Tadinya aku mengira kalau itu adalah kiriman dari temanku, Mulyadi. Tapi tampaknya bukan dia.
“Malahan di request lagunya sampai dibilangin kalau kamu adalah satu-satunya anak yang bikin dia semangat di sekolah...” ujar temanku lagi. Sontak ini membuatku kaget.
“Itu enggak mungkin, enggak mungkin dia suka sama aku, kelas kita kan jauh, dia itu anak kelas 3A sedang aku hanya anak dari kelas 3I!”
Temanku terdiam, tampak heran.
“Ngaco kamu. Siapa yang lagi ngomongin anak kelas 3A? Kita kan lagi ngomongin anak kelas 3 C!”
Kali ini aku yang heran.
“3C?”
“Iya 3C... si Farah... dia barusan kirim lagu buat kamu... masa kamu enggak tahu...”
“Fa... Farah?”
Sepotong nama itu terucap. Aku sama sekali tidak bisa berpikir apapun. Terlebih sosok itu telah berdiri di hadapanku, Farah... dia menatapku seraya tersenyum... angin musim panas tiba-tiba bertiup sangat kencang, meniup separuh poni pada rambut pendeknya dan menggugurkan dedaunan kering... aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, wajahku terasa panas seolah seluruh darahku mengalir ke atas... bahkan sentuhan angin yang sejuk itu sama sekali tidak membuat wajahku terasa lebih dingin... aku membeku dengan perasaan yang memanas.
“Eh tuh orangnya dateng... aku pergi dulu ya...” temanku segera pergi seolah ingin membiarkanku berdua dengan Farah... ah, apa ini mau kemana kalian? Jangan tinggalkan aku... ah baiklah.
“Hai...” kira-kira hanya kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
“Kamu suka lagunya?” Farah memulai pembicaraan
“Ah... aku sudah lupa... hahahaha” aku tertawa garing.
Farah terdiam. Tapi dia masih tersenyum, wajahnya yang putih tampak memucat dan membuat bibir itu lebih merah dari sebelumnya.
“Lukman...” tiba-tiba Farah mendekat.
“Ah, Farah... kayanya baikan kamu cepet pulang deh...” jawabku sedikit panik.
“Aku...” suara Farah mulai bergetar...
“Ah... yah, aku tahu itu kamu, hahahahaha...” tertawaku semakin tidak jelas dan tidak beralasan...
“Sebenernya... aku...”
“Sebenernya kamu pengen pulang kan? Ya udah cepet pulang sana... nanti enggak kebagian angkot loh...” ujarku.
“Tapi aku...”
“...”
“Aku...”
“...”
“Aku suka kamu...”
Deg. Deg. Deg. Deg. Apa yang dia katakan? Menyukaiku? Sesungguhnya ini bukan pertama kalinya aku menerima pernyataan suka seorang anak perempuan... dulu ada banyak anak perempuan menyatakan hal serupa  kepadaku melalui surat... ada juga seorang anak perempuan berwajah mengerikan mengirimi pesan serupa melalui temanku. Tapi jika bertatap muka dan mengatakan hal ini secara langsung padaku... ya, ini memang pertama kalinya. Dan aku tidak tahu harus berkata apa. Ini diluar pemikiran dan kebiasaanku. Aku masih anak SMP. Masih imut-imut. Masih sangat lucu. Tidak ada alasan untuk menjawab dengan sesuatu yang aneh-aneh layaknya sinetron remaja. Tapi ini Farah, Farah bukanlah gadis yang bisa dikatakan dibawah standarku, aku tahu Farah memang cantik dan punya wajah yang lucu, bahkan kulitnya pun lebih putih dari Indi. Yang berbeda hanya tinggi badannya saja, jika harus kubandingkan dengan Indi yang tingginya setara denganku, tinggi Farah hanya sebahuku saja. Selain itu, Farah berambut pendek dan menurutku rambut pendek itu kurang menarik. Tapi selain itu semua Farah memang anak yang cantik dan baik pula. Jadi, harus bagaimana aku sekarang?
“Hah?”
 entah kenapa tiba-tiba saja aku ingin berpura-pura tuli. Dan berpura-pura tak mendengar apa yang dia ucapkan.
“Masa harus diulang sih?” ujar Farah.
Kali ini Farah yang tampak bingung.
“Apa?” ujarku. Menambah kebingungan.
“Apanya yang apa?”
“Apanya yang harus diulang...?”
“Hah?”
“Tadi... kamu bilang harus diulang...”
“Apa?”
“Tadi...”
“Tadi apa?”
“Tadi yang kamu omongin...”
“Apa?”
“Apanya yang apa?”
“Aku...”
“Aku apa?”
“...”
“...”
“Aku... suka kamu...”
“HAH??”
Baik. Sekali lagi aku mengatakan hah? Dan berpura-pura tuli setiap kali ia berkata menyukaiku. Kali ini Farah terdiam, seolah semua ini tidak menarik lagi. Matanya mulai berkaca-kaca, pipinya yang putih kini seolah terbakar dan matang. Kali ini dia mendekatiku, raut wajahnya berubah. Dikeluarkannya buku paket biologi. Dia gulung buku itu, dia angkat lalu perlahan dia ayunkan. Sementara semua masih bergerak secara slowmotion di mataku, buku setebal itu... bagaimana bisa dia menggulung buku setebal itu hanya dengan satu tangan?
PLAAAAAAAAKKKKKKKKK!!! Buku itu mendarat tepat di wajah.  Farah marah. Memukulku tepat di wajah. Rasanya pipiku mati rasah. Untung tidak berdarah. Sedang aku masih merasa tak bersalah. Dan Farah tampak hilang arah. Farah sangat resah. Kurasa semua mulai berubah. Farah. Kau memang parah. Ah. Ah. Ahhhhhhhhhhh.
“Aku mau pulang!” hanya itu yang dia ucapkan. Aku membeku. Kita berdua tahu apa yang terjadi. Tapi begitu sulit untuk mengakuinya. Terlebih untukku. Bagiku bukan hal yang mudah untuk menjawab sesuatu yang tidak ingin kujawab. Bukan saja karena itu adalah pernyataan suka yang tidak bisa kupahami, melainkan bahwa saat itu aku tengah dilanda sesuatu yang juga tidak bisa aku mengerti, sesuatu yang memang sudah sewajarnya, sesuatu yang mereka bilang cinta monyet namun aku akui bahwa perasaan itu ada. Sesuatu yang mereka bilang ‘ababil’ namun aku akui bahwa itu memang benar-benar terjadi. Reaksi kimia. Respon akan keindahan. Respon atas sebuah hasrat. Jawaban atas pertanyaan bahwa aku adalah anak laki-laki normal. Maafkan aku, tapi aku sudah terlanjur menyukai anak perempuan lain. Indi. Dan hingga saat ini aku sendiri tidak mengerti mengapa, dan karena alasanku menyukai gadis ini tidak begitu jelas... antara perasaan benci yang mendalam yang pada akhirnya membuatku selalu memikirkannya, suatu perasaan sedih, kalut, kacau bercampur senang, gembira, terpesona, bahagia dan kemarahan yang begitu menjadi, kekesalan dan penolakan atas kenyataan bahwa aku menyukainya. Maka jika harus aku bertanya. Apa yang bisa aku lakukan ketika semua perasaan yang saling bertolak belakang itu justru kurasakan di waktu yang sama, saat aku melihatnya. Aku melihat Indi dengan perasaan yang tersiksa. Aku merasakan sedih, senang dan marah atas alasan yang tidak kumengerti ketika melihatnya. Dan begitu minimnya alasanku untuk mengerti hingga aku tidak ingin mengakui bahwa itu adalah perasaan yang tulus. Aku mencintai sekaligus membencinya.
Farah telah lama menghilang. Dia sudah pulang, namun jejak bayangnya masih ada. Aku hanya duduk termenung disebuah teras toko yang selalu tertutup itu. Sendiri. Mengambil sebuah buku dan mencoreti halaman akhirnya dengan gambar. Dari kejauhan kulihat Indi dan teman-temannya muncul. Aku menatapnya. Dan ia pun menatap ke arahku. Aku tak tahu apa yang dia lihat adalah aku, aku hanya tahu bahwa aku tengah menatap seseorang yang kusukai. Dari jauh, aku menatapnya dengan pedih.


[1] Sebuah tempat olahraga di bandung yang ramai dengan pedagang jika hari minggu tiba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar