Bab 8
(Flashback Bag.3)
Logam.
Aku
pulang. Seperti biasa ibuku menyambut hangat dan seperti biasa aku harus
menyembunyikan segala yang kurasakan di sekolah. Menjadi anak yang baik. Semua
yang berkaitan dengan pak Sofyan, hal-hal yang membuatku marah, tentang Farah,
Indi... semua harus sirna ketika aku menghadapi ibu. Beliau hanya cukup tahu
bahwa aku selalu lulus di setiap latihan ujian yang diberikan sekolah. Dan yang
ibuku tidak tahu adalah bahwa di kelas itu aku satu-satunya murid yang lulus.
Dan ini sudah saatnya aku makan. Kuambil piring dan mengisinya dengan nasi.
Memilih beberapa lauk pauk, lalu membawa semuanya kedalam kamar. Kuputar sebuah
lagu dari U2, berjudul Stuck In The
Moment. Haaahh... lega rasanya.
Malam
menjemputku dengan hangat. Aku berbaring di ranjang dengan langit-langit kamar
sebagai satu-satunya arah yang kulihat.
Ingatan kejadian siang tadi membuatku tidak sanggup memejamkan mata.
Farah berkata dia menyukaiku. Tapi aku baru saja memulai rencanaku mendekati
Indi. Sebenarnya ini tidak rumit, aku tidak perlu memberikan respon apapun pada
Farah, di sisi lain aku juga tidak memiliki rencana lebih jauh dengan Indi.
Mengenalnya secara perlahan itu sudah cukup, memperhatikannya dari jauh tanpa
harus mengusiknya. Dengan begitu aku tidak perlu mengatakan padanya hal-hal konyol
seperti yang dilakukan Farah padaku. Ah, tapi bukan berarti ini tidak
mengganggu pikiranku. Perlahan aku bangkit, kulihat jam, sudah jam setengah 12
malam. Aku keluar dari kamar, melangkah ke ruang tengah rumahku. Suara
dengkuran terdengar disana-sini. Kumatikan televisi bergambar runyam tanpa
penonton. Lalu mengendap-endap memasuki sebuah kamar. Kamar kakakku. Benar
dugaan, Eza sudah tidak sadarkan diri. Perlahan namun pasti, kuambil handphone
yang tersembunyi dibalik bantalnya. Kututup pintu dan kembali ke kamar. Ok,
misi selesai.
Akhirnya
aku mendapatkan handphone ini lagi. Baik, salah sendiri sudah membuatku tidak
bisa tidur malam ini, jadi biar kuganggu Indi sekali lagi... tapi... apa ini?
Tertulis di handphone ini 1 pesan diterima? Hmm... tampaknya ada SMS yang masuk
dan kakakku Eza belum sempat membacanya... haruskah aku membukanya? Siapa tahu
saja kan itu adalah SMS dari Indi, balasan dari MMS-ku kemarin malam... tapi
jika benar begitu aku harus bagaimana? Ah, tapi mungkin saja itu adalah SMS dari
orang lain, mungkin itu teman kakak. Haaah... membuatku penasaran saja.
Kuhitung jumlah kancingku. Kubuka. Tidak. Kubuka. Tidak. Kubuka. Tidak. Kubuka.
Tidak... tidak? ah, sudahlah kubuka saja...
Kulihat
nomor itu... 081572034814. Tidak salah lagi, ini nomor handphone Indi.
Bagaimana ini? Rasanya jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya... ah,
kubaca...
Siapa ini? Tolong
jangan bikin indi bingung
.......
Pengirim ;
081572034814
29/04/2005
21;55;26
Dia
menanyakan siapa aku... Indi bertanya siapa aku... entahlah, meski ini tidak
seberapa penting, tapi mengetahui dia ingin tahu identitasku rasanya sangat
indah, ini adalah kali pertama dia bertanya padaku, meski dengan cara seperti
ini... tapi aku suka. Aku suka mengetahui dia tengah penasaran... harus
kubalas... harus kubalas...
apalah arti dari sebuah nama? Aku hanya
partikel kecil dari dunia yang kau
lihat...
namun bahkan planet yang kita injak ini juga
berasal dari sebuah debu bukan? Aku hanya
seseorang yang ingin menjadi penting untukmu.
layaknya tanah yang kau pijak saat ini.
Ah.
Apakah itu terlalu berlebihan untuk anak kelas 3 SMP? Tidak, kuyakin orang
dewasa juga tidak akan mampu membuat rayuan menjijikan semacam itu, hehehe...
tapi aku yakin kalau kali ini kata-kataku ini jauh lebih menyentuh ketimbang
pesan MMS yang kukirim pertama kali... ah, sudahlah... langsung saja kukirim.
Fiuh. Sekarang aku lebih tenang, hari bertambah larut. Besok sekolah pagi dan
aku harus tidur...
Pagi
yang cerah, udara yang menyegarkan... sinar matahari hangat keluar dari
sela-sela jendela, suara kicau burung yang menari-nari diatas kawat-kawat tiang
listrik ikut menghantar hari. Semua orang di rumahku tampak begitu sibuk dan
riuh, tampaknya mereka semua bersemangat sekali pagi ini. Kakakku Eza masih
meracau menanyakan dimana handphonenya kepada ibu. Tapi ibuku tampak tidak
begitu perduli, beliau lebih fokus mempersiapkan sarapan. Ah. Pagi yang indah.
Disini, selimut terasa begitu lembut dan hangat. Seolah aku ingin menghabiskan
waktuku selamanya
disini_________________________________________________________________________
sial. Aku kesiangan.
Kubanting
bantal gulingku dan menghempas selimut itu. Ini sudah jam 7 pagi dan seharusnya
aku sudah ada di sekolah sekarang. Langsung saja aku bangkit dari ranjang,
namun tiba-tiba kurasakan aku menginjak sesuatu. Ah apa ini? Ternyata sebuah
handphone... oh aku ingat sekarang, aku belum mengembalikan handphone ini ke
kamar Eza, biar kukembalikan sekarang saja... tapi... kulihat ada SMS masuk...
dan itu dari Indi...
Sebenernya indi juga
tahu nama kamu lukman,
tapi lukman yang
mana indi enggak tahu
indi juga enggak
ngerti maksud sms kamu itu apa
Pengirim ;
081572034814
30/04/2005
05;30;12
Apa?
Apa aku tidak salah baca...? Indi tahu siapa namaku yang sesungguhnya? Tapi
siapa? Siapa yang memberitahu Indi? Aku terpaku. Segera kuhapus semua SMS dari
Indi dan memberikan Handphone itu pada Kakakku.
“Eh...
ini dia, dari tadi dicariin! Lain kali bilang-bilang dong kalau ngambil
handphone!”
“...”
(aku terdiam)
“EEH
malah nyelonong gitu aja, bukannya minta maaf...”
“Eza!
Udah jangan gangguin Lukman, nanti makin telat lagi...” ibuku mengingatkan.
“Abisnya
Mah... abisnya... dia...”
“Udaah...!!”
timpal ibuku.
“...”
Aku
langsung beranjak ke kamar mandi dengan pikiran kosong, bagaimana ini, apa yang
harus kulakukan jika Indi telah benar-benar tahu siapa aku, pengirim MMS iseng
itu... sejauh ini yang ia tahu hanya namaku, tapi dia tidak tahu siapa aku dan
seperti apa rupaku. Baru selesai aku menyikat gigi, ide baru langsung muncul
dan membuatku keluar dari kamar mandi.
“Mah!”
“Ya
nak?”
“Hari
ini Lukman enggak mau masuk sekolah!”
“...”
“Kalo
bisa besok lusa Lukman pengen pindah sekolah ‘Mah!”
“...”
Hari
ini. Pukul 07.30 dan aku masih disini, membanjiri tubuhku dengan keringat. Di
sekolah busuk ini, ah, masih tersisa 12 putaran lagi. Semua ini karena Indi.
Kalau dia tidak membuatku insomnia tadi malam, aku tidak perlu menjalani
hukuman konyol ini... lari 25 putaran lapangan sekolah karena telat, lagipula
mengapa ibuku tidak mengijinkan aku untuk bolos saja sih? Ah, sudahlah.
Lelah
juga, seluruh pakaian seragamku basah oleh keringat sekarang, andai saja ada
yang mau memberi aku... ah... bukankah itu... Farah... melihat ke arahku,
mungkin dari tadi dia melihatku dari kelasnya, tapi apa yang digenggamnya itu?
Aku tahu benda itu, sesuatu yang sangat kuinginkan... minuman isotonik... dan
sebagai pemuja rahasiaku di sekolah ini, aku sudah bisa menduga kalau dia akan...
Farah
tersenyum, kubalas senyum itu dengan penuh harap. Akhirnya Farah mulai membuka
tutup botol minuman isotonik itu, ah ini dia... pasti sangat menyegarkan...
lalu dia meminumnya! Dia meminumnya begitu saja dihadapanku yang tengah
dehidrasi! Entah makhluk jenis apa dia, tapi dia sanggup menghabiskan satu botol
minuman itu sekaligus. Tak bersisa. Dan kulihat tetes terakhir dari minuman itu
lolos dari bibirnya dan mengalir melalui leher menuju pakaian seragamnya... dan
dengan sebelah lengannya ia basuh tetesan air itu seraya melirik ke arahku...
“Aaaahh...” hanya desahan itu yang ia sisakan untuku, lalu ia pergi. Glek. Aku
menelan liurku sendiri. Dasar raja tega. Akhirnya aku kembali ke kelas,
menghadapi berbagai cercaan dan ejekan teman sekelas. Dan begitu aku duduk,
guruku langsung berdiri dan keluar kelas, ternyata jam pelajarannya telah
selesai... setelah itu kelas mulai riuh
kembali. Tiba-tiba Dani temanku itu mulai mendekati bangkuku seraya berkata;
“Ada
sesuatu yang pengen aku omongin...”
“Nanti
aja, sekarang aku pengen tidur...” ujarku seraya terus terlelap.
Bel
istirahat berbunyi, Dani membangunkanku. Dicoleknya lenganku yang kujadikan
bantal sandaran kepalaku di meja.
“Hei...
Lukman... Lukman... udah istirahat nih... bangun”
“Males
ah... ngantuk banget ‘Dan... kamu jajan sendiri aja sana...”
“bukannya
gitu, ada yang mau kuomongin nih... soal si Indi...”
“Anggap
aja aku denger...”
“Kemarin
Indi nanyain dan nunjukin nomor handphone pengirim MMS waktu itu dan waktu
kulihat ternyata nomor itu... ‘Man masih dengerin kan?”
“HOAHM...
ya lanjutin aja... ngantuk banget sumpah”
“Kulanjut
nih ya... jadi waktu kuliat ternyata itu nomor yang aku kenal... itu nomor
handphone kakakmu... tapi karena enggak mungkin si teteh Eza yang ngirim MMS,
jadi kubilang saja MMS itu dari kamu...”
“...”
“Lukman?
Kamu masih dengerin kan? Aku minta maaf sebelumnya soalnya aku juga tahu kalau
kamu diem-diem suka sama dia...”
“Terus...?”
“Kamu
enggak marah kan?”
“Ngapain
aku marah?”
“Sukur
deh... fiouh... jadi kubilang aja kalau kamu sebenernya udah lama suka sama
Indi, kubilang kalau kamu enggak bisa makan, enggak bisa tidur cuma karena
mikirin dia... hehe, sebetulnya aku ngarang sih, tapi dengan begitu kamu bisa
tenang sekarang...”
“...”
“Kamu
enggak marah kan?”
“...”
“Lukman?”
“...”
Segera
saja aku bangkit dari tidurku, kutarik kerah baju Dani sekuat tenaga.
“JADI
DIA TAHU SIAPA AKU KARENA KAMU YANG BILANG KE DIA?”
“I...
iya ‘man, tapi tolong jangan marah... ini buat kamu juga...”
“Diem
disini, jangan kemana-mana!!!”
“Ka...
kamu mau ngapain ‘man?”
“Aku
cuma mau bilang...”
Kuangkat
sebuah bangku kayu di kelas...
“TERIMA
KASIH...!!!” kulempar bangku kayu itu ke arah Dani, Dani berhasil mengelak dan
berlari keluar kelas...
“So...
sory man... aku enggak punya maksud buat...”
“AKU
BUNUH KAMU.........!!!!!!”
Kukejar
ia menuju lorong seraya membawa satu buah bangku kayu lagi, setiap kali ia
mencoba menjelaskan, kulemparkan satu buah bangku kayu ke arahnya. Tidak ada
bangku kayu maka tong sampah pun jadi, akhirnya kulempar setiap tong sampah
yang kutemui disepanjang lorong itu beserta isinya ke arah Dani. Dani masih
panik dan berlari. Ya, Dani tidak sepertiku yang berbadan besar, meski ia
bertubuh tinggi, dengan tubuh sekurus itu ia selalu saja sanggup untuk bergerak
lincah kesana kemari. Keadaan lorong kelas tampak sangat kacau... semua sampah
berserakan karena aksi kami berdua, sebelum akhirnya aku terjatuh karena
didorong oleh seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapanku. Orang itu bertubuh
besar, dan dibelakangnya teman-temannya mengikutinya.
Aku
kenal orang ini, dulu dia pernah menghalangiku untuk keluar dari pintu kelas
Farah sewaktu aku kelas 2 dulu. Dia adalah salah satu preman kelas di sekolah
ini. Dan entah apa alasannya mendorongku sebegitu keras sampai aku tersungkur
seperti ini. Dani menoleh, ia berhenti berlari. Orang bertubuh besar itu
melihatku dengan tatapan nyinyir...
“Lagi-lagi
kamu... bukannya aku udah peringatin kamu sebelumnya?” ujar orang itu.
Kudongakan
kepalaku. menatapnya dengan kosong, kemudian bangkit seraya mencoba menyapu
debu-debu di celanaku dengan kedua lengan. Baru saja aku hendak mendekati Dani
kembali, lengan besar orang itu kembali menahan bahuku.
“Saya
belum selesai bicara...”
“Hm?
Apa ada perlu?” aku mencoba berbicara dingin.
“Hehehe,
kamu bahkan enggak perduli dengan siapa kamu bicara ya? Bukannya udah saya
ingetin, siapapun enggak saya ijinin bikin Farah menangis sampai seperti
ini...”
Entah
mengapa mendengar nama Farah diucapkan, aku langsung naik darah... kuhempas
lengan itu dari bahuku. Seraya menatapnya dengan tajam...
“Jadi
kamu ini siapanya Farah?” tanyaku geram...
“Hehe...
saya memang bukan kakaknya tapi kamu boleh anggap saya sebagai orang yang
paling mengerti Farah... yah, hanya sekedar teman yang...”
Belum
selesai dia berbicara, aku sudah lebih dulu memotong kata-kata itu dengan
mengirim tinju ke wajahnya.
“Maka
dari itu. Lebih baik kamu enggak sok perhatian!”
Entah
apa maksud dari perkataanku itu. Tapi aku benar-benar mengatakannya. Aku
melakukan itu seolah aku adalah jagoan dalam film-film kartun remaja.
Orang
itu tersungkur, Dani yang tadinya selalu lari kini malah mendekat seraya
menepuk bahuku seolah peduli.
“Kamu
enggak apa-apa ‘Man?”
Aku
terdiam. Semua anak keluar kelas, lorong kelas menjadi riuh, orang bertubuh
besar itu bangkit dan menatapku dengan tatapan kesal.
“Awas!
Liat aja kamu nanti!” ancam orang itu seraya pergi berlalu diikuti
teman-temannya.
Anak-anak
yang tidak sempat melihat kejadiannya terus meracau sekenanya, seolah apa yang
terjadi tadi begitu penting.
“Kamu
liat kejadiannya enggak?” ujar salah satunya
“Tadi
si Lukman baru aja ngehajar bos kelas 3-C!!”
“Wah
yang bener? Terus terus?” yang lain ikut penasaran.
“Yah
waktu si bos kelas 3-C itu ngeluarin jurus Naga meliuk-liuk mencari makan, si
Lukman ngehalau jurus itu pake jurus...”
“Jurus...
jurus apa?”
“Euh
itu... itu jurus... ah iya, jurus badai topan di bulan mei... itu nama
jurusnya”
“Oh...
terus... semua bangku sama tong sampah yang berserakan ini kenapa?”
“Ah iya,
itu pasti akibat langsung dari jurusnya!”
“Hmmm...
ngeri juga ya...”
“Ya
sudah. Lebih baik kita masuk kelas lagi, kita kan belum beres kerjain PR!”
Tokoh-tokoh
figuran. Begitulah pikirku mengenai orang-orang tadi, aku kembali ke kelas
dengan perasaan kosong. Berulang kali Dani meminta maaf padaku tentang Indi,
tapi aku tidak menghiraukannya, kali ini yang menjadi keresahanku justru
kata-kata orang bertubuh besar tadi yang menyebutkan bahwa Farah tengah
menangis... dan karena orang tadi menuduhku sebagai pemicunya, pikiranku jadi
semakin tak karuan.
Waktu
berlalu. Kelas dan pelajarannya sudah lama usai. Seperti biasa aku berjalan
pulang dengan lunglai dan seperti biasa, sendirian. Sekarang aku sadar bahwa
aku selalu iri pada Indi. Dia selalu menciptakan lingkungan seolah dia magnet
bagi para sahabatnya, tidak sepertiku yang selalu menolak setiap ajakan dan
tawaran orang-orang yang mendekat. Bahkan jika itu ajakan untuk berteman.
Sebenarnya aku bukan seorang introvert, dalam
sudut hatiku yang terdalam aku pun ingin diperhatikan, aku ingin mendominasi setiap
percakapan, dikenal semua orang meski aku tidak selalu mengenalnya. Aku ingin
menjadi sosok seperti itu. Tapi apa? Kenyataannya tak ada seorangpun yang
menyadari keberadaanku. Ada dan tidak adanya aku sama sekali tidak penting, itu
karena aku sendiri yang memilih untuk menjadi seperti ini. Tidak dikenal, tidak
disadari dan aku bisa merasa damai. Tapi_______________entah mengapa tidak membuatku
bahagia.
Sejenak
aku mulai sadar dengan langkahku, ternyata di hadapanku Indi dan kawan-kawannya
tengah berkumpul. Sayang aku tidak sempat lagi untuk merasa malu. Itu karena
aku sedang tidak berada dalam mood itu. Jadi tanpa perasaan dan kebekuan yang
pasti, aku melintas begitu saja. Dan
tepat dugaan, dari respon yang kulihat dari Indi dan kawan-kawannya, jelas terasa
bahwa kabar tentang aku yang diam-diam menyukai Indi itu sudah tersebar luas.
Dani. Andai saja dia tidak ikut campur.
Anak-anak
perempuan kelas 3-A itu terus berceloteh kepada Indi tentangku. Dan mereka
berisik sekali.
“AAAAAAADDDDDEEEEEEEUUUUUUUUUHHHHHHH...”
“Lukmaan...
ini Indinya udah ada... kok enggak disapa?”
“Cieee.........
cieee....”
“Lukman...........
sombong ni ye...”
“Katanya
sssssssuuuuuukkkkkkkaaaaaaaa!!!!!!!”
Sial.
Kupercepat gerak langkahku. Aku adalah seorang pria keren, cool, pikirku. Dan
aku akan berlaku sedingin ini, sejutek
ini untuk menghadapi mereka. Terlebih Indi sama sekali tidak berucap sepatah
katapun saat melihatku, jadi lebih baik begini saja. Tetap tenang dan menjadi
pria yang kalem. Dan jika saat ini wajahku tampak merah anggap saja itu tak ada
hubungannya.
Tiba-tiba
aku tersentak. Ada sesuatu yang membuat aku terhenti dan itu adalah... Farah.
Meski sebenarnya aku hanya melihat bagian punggungnya saja, tapi aku yakin bahwa
gadis yang berjalan dihadapanku itu adalah Farah. Itu karena aku tahu betul
bagaimana cara kaki-kaki mungil itu biasa melangkah, atau bagaimana cara angin
musim panas yang menyambutnya dengan guguran daun-daun kering... selain juga
karena aku bisa melihat tasnya yang memiliki sulaman berbentuk huruf
bertuliskan Farah. Sekarang aku yakin itu pasti dia.
Sejenak
aku menoleh ke belakang, kulihat Indi dengan tatapan sinis. Entah apa yang
kupikirkan, tapi tiba-tiba aku ingin memanggil nama itu...
“Farah!!”
ini kali pertama aku memanggilnya seperti ini.
Farah
tidak menggubris. Dia terus saja berjalan.
“Farah...!!”
aku memanggilnya lagi, kali ini dengan setengah berteriak... tapi Farah terus
berlalu. Aneh, apa ada sesuatu yang menyumbat telinganya ya? Sekali lagi, kali
ini aku benar-benar berteriak...
“FAARAAAHHH!!!!”
Setelah
kusadari bahwa Farah tampak mempercepat gerak langkahnya, barulah aku tahu ada
sesuatu... sesuatu yang membuatnya tidak ingin bertemu denganku. Tapi akupun
tidak mau berhenti, jadi kukejar saja, sayangnya Farah juga sedikit berlari
sekarang... dan... BRRUUK!! Farah terjatuh.
“Aduuuuuhh...”
Farah meringis.
Tadinya
aku ingin tertawa, tapi aku tidak tega. Ah, tapi sekarang Farah menoleh, dia
menatapku... tapi ada apa dengan tatapan itu? Itu tatapan kekesalan, dan air
matanya mulai berlinang... ingin sekali aku membantunya berdiri tapi Farah
sudah lebih dulu bangkit. Jadi tidak ada cara lain selain mengejarnya lagi
sekuat tenaga... dan akhirnya aku bisa meraihnya. Kutarik lengannya dengan
kasar, itu karena aku tidak pernah tahu bagaimana cara memegang lengan
perempuan sebelumnya... Farah tampak terkejut.
“Dari
tadi aku panggil, kenapa enggak mau nunggu sih?” ujarku. Farah malah
memalingkan wajah.
“Kamu
mau apa?” Farah bertanya dengan nada dingin.
Aku
bingung bagaimana menjawabnya. Aku tidak punya motivasi. Farah menepis
tanganku, mencoba untuk menjauh.
“Lepas!
Aku mau pulang!”
“Tunggu...
Farah...”
“Ada
apa? Kalau ada perlu, cepet beresin sekarang.”
“Please, bisa kita duduk dulu disana?”
ujarku seraya menunjuk sebuah dudukan pada sebuah toko yang selalu tertutup.
Ya, itu tempat nongkrong favoritku dan anak-anak yang kusebut ‘blok kegelapan’
dan untunglah mereka sedang tidak ada disini. Farah menurut, akhirnya dia mau
juga kuminta untuk duduk.
“Kamu
mau apa sih?”
“Sebentar...”
ujarku seraya mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku.
“Apa
itu?” tampaknya Farah pun penasaran, sama seperti pembaca.
“Ini
es teh” jawabku.
“Maksud
saya itu buat apa?”
“Euh...
maaf apa aku boleh...??” lalu aku sedikit berjongkok dihadapannya, posisi
dudukku dengan Farah kini tampak seperti tukang semir sepatu dan kliennya.
“E...
eh kamu mau apa?” Farah tampak panik.
“Udah
diem...”
Perlahan
kubuka sepatu dan kaos kaki itu... (hm... kira-kira sebau apa itu ya?)
“Kaki
kamu wangi...”
“Iiih
kok dibuka sih? Kamu mau ngapain sebenernya??”
Lalu
kuambil sebotol es teh yang tadi kusiapkan dan dengan perlahan kualirkan pada
luka di kakinya saat ia terjatuh tadi.
“Saya
buka sepatu kamu supaya sepatu kamu enggak kebasahan...”
Farah
tampak merenung. Tak lama ia bertanya...
“Terus
kenapa...?
“Eh?”
“Kenapa
kamu pake es teh?”
“Oh
itu, kebetulan aku baca komik Detective Conan dan disitu dituliskan bahwa es
teh mengandung zat tannin...”
“Tannin?”
“Iya,
tannin... itu adalah obat pertolongan pertama bagi seseorang yang terkena
gigitan ular laut...”
“Tapi
aku kan enggak digigit ular laut...!!!”
“Hehehe...
iya emang, tapi yang namanya luka tetap harus dibersihin... dan karena yang aku
punya cuma es teh, jadi aku pake es teh ini aja...”
“Dasar...”
“Hehehe...”
Farah
tampak lebih tenang sekarang. Tapi aku belum selesai, kukeluarkan lagi sesuatu
yang lain dari dalam tas.
“Apa
lagi ini?” tanya Farah.
“Ini
kapas. Ini sisa yang kupakai untuk bersihin sisa make-up tempo hari...”
Tiba-tiba
Farah tertawa, tampaknya ia teringat bagaimana konyolnya wajahku saat
menggunakan make-up saat itu.
“Udah
jangan ketawa!” hardikku.
“Abisnya
kamu lucu!”
Lalu
kututup luka itu dengan kapas dan merekatkannya dengan selotip hitam yang biasa
kubawa untuk... untuk... jailin orang.
“Sip.
Beres sudah. Sekarang kaki kamu enggak akan pendarahan lagi!” ujarku.
“Enak
aja pendarahan! Emangnya aku kecelakaan apa?”
Setelah
mengenakan sepatunya kembali, Farah pun bangkit.
“Gimana?”
“Euh...
agak keliatan aneh sih... tapi makasih lho ya...”
“Hehe...
santai aja lagi... anggap aja sebagai balasan dari es teh yang dulu kamu kasih...”
Farah
tampak bingung, mungkin dia berpikir, seandainya dia memberikan aku minuman
isotonik waktu itu, apakah aku akan menyiram lukanya dengan air yang sama?
Haha, tentu saja tidak. Itu kan kebetulan saja aku membeli es teh di kantin.
“Ya
udah. Apa saya udah boleh pulang sekarang?” Farah bertanya.
“Euh
sebenarnya...”
“Apa?”
Farah menatapku dengan tatapan aneh... lama-lama aku bisa ge-er juga.
“Euh...
itu ada yang pengen aku omongin... sebenarnya...”
“Kalau
soal omonganku waktu itu, kamu lupain aja”
“EH?”
“Saya
pikir saya udah kebanyakan nonton sinetron remaja sampai-sampai waktu itu saya
bilang kalo saya suka sama Lukman, tapi mungkin saya enggak akan siap buat
pacaran...”
“EEHH??”
“Apalagi
sekarang udah kelas 3, saya harus fokus sama ujian...”
“EEEHHH???”
“Jadi
masalah ucapan saya itu tolong Lukman lupain aja...”
Aku
terdiam. Entah harus berkata apa lagi. Mendengar Farah berkata seperti itu aku
merasa seolah aku telah ditolak. Padahal aku tidak menyimpan perasaan yang
aneh-aneh pada Farah, hanya saja mengetahui bahwa Farah telah berubah dan
berkata tidak menyukaiku lagi membuatku
merasa kehilangan sesuatu yang penting. Lalu daun-daun berguguran melintasi mataku.
Farah berlalu dengan langkah mungilnya. Namun sejenak dia berhenti dan menoleh
padaku.
“Mungkin
lebih baik kalau sekarang kita fokus dengan ujian dan lulus. Jadi Lukman juga,
semangat ya!”
Hanya
itu yang dia katakan.
Hanya
kata itu yang aku inginkan.
“Thanks”
jawabku pelan dan tak terdengar. Farah berlalu begitu saja. Dan tempat itu
terasa lebih sepi sekarang, Indi dan kelompoknya pun sudah lama pulang, hanya
aku yang entah mengapa ingin tinggal lebih lama. Merenungi bayang-bayang sambil
mencoreti halaman akhir bukuku dengan gambar.
Ini
pagi yang indah, aku terbangun dan menghirup udara pagi ini dengan penuh
apresiasi tinggi, entah apa yang membuatku sesemangat ini. Aku loncat dari
tempat tidur, mengambil handuk dan pergi mandi. Hingga akhirnya semua orang
berkumpul di meja makan untuk sarapan, tiba-tiba Ibu bertanya padaku
“Lukman,
kemarin kamu bilang kamu pengen pindah sekolah... bisa kamu ceritain sebenernya
ada masalah apa di sekolah kamu?”
“Enggak
ada Mah, beneran. Lukman cuma ngerasa bosan sama suasana sekolah, teman-teman
Lukman juga udah terlalu banyak disana, jadi Lukman pengennya punya temen baru
dan lingkungan baru”
“Kalau
cuma itu, kan kamu bisa dapetin itu semua kalau kamu lulus dan masuk SMA
nanti... jadi sementara ini kamu belajar aja dulu yang rajin.”
“Siap.
Pokoknya Lukman pasti bakal dapat nilai tertinggi buat ujian sekarang...”
“Yah
Ibu harap kamu bisa masuk SMA negeri nanti.”
“Ya
udah Mah, sekarang Lukman pergi sekolah dulu...”
“Buru-buru
amat, udah beres makannya? Coba cek dulu ada yang ketinggalan enggak?”
“Oh
ya hampir lupa...” ujarku.
“Tuh
kan... apa Mama bilang...”
Akupun
bergegas masuk ke kamarku kembali, bukan untuk mengambil sesuatu, tapi untuk...
bercermin. Ok, ternyata pagi ini aku terlihat sangat tampan, aku memang sedikit
membubuhkan bedak putih pada wajahku ini, hanya sedikit, tapi efeknya sangat
jelas. Aku lebih terlihat tampan sekarang.
Aku
berjalan dengan penuh semangat, kupilih sebuah angkutan kota dengan kursi depan
yang kosong. Dan yap, aku mendapatkannya. Akhirnya aku bisa duduk di bangku
paling depan, rasanya nyaman sekali karena aku mendapat porsi duduk yang lebih
luas dan eksklusif. Sayang itu tidak berjalan terlalu lama karena entah mengapa
tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang tidak enak, seolah aku tengah diawasi,
punggungku terasa hangat, firasatku pun tidak karuan... dan benar dugaan ada
seseorang yang melihatku dari arah belakang... aku bisa melihatnya dari kaca
spion yang biasa digunakan supir untuk melihat penumpangnya.
Tidak
salah lagi, itu Indi. Dia tengah menatap tajam ke arahku, dari gelagatnya
tampaknya dia sudah berada di angkot ini lebih dulu sebelum aku. Kutatap cermin
spion sebelah kiri, ok. Tak ada yang harus kutakutkan, karena... aku masih
tampan. Sebentar lagi dan aku akan sampai di sekolah, jadi aku berhenti disini
saja. Dan ups, Indi ikut turun bersamaku. Tentu saja, kita kan sekolah di
tempat yang sama dan semoga saja kita tidak mengalami kontak mata saat ini.
Rasanya
punggungku ini lebih panas sekarang, meskipun aku berusaha untuk tidak menoleh,
tapi tetap saja mengetahui Indi hanya berjarak 3 meter dibelakangku, membuatku
merasa canggung. Aku bahkan sanggup mendengar suara langkahnya, langkah itu
semakin lama terdengar lebih dekat... lebih cepat dan... ya. Indi menyusulku,
dengan setengah berlari ia melewatiku begitu saja, aku berpura-pura cuek, tapi
diluar dugaan, tepat dihadapanku dia menoleh dan menatapku dengan tatapan
tajam. Tatapan macam apa itu? Seperti menantangku saja. Dia pikir dia itu
cantik apa? Aku pun tidak mau kalah, kubalas tatapannya dengan beku. Kucoba
untuk mempercepat langkahku dan Indi pun begitu, entah apa yang kita berdua
lakukan sebenarnya tapi lambat laun akan ada orang yang sadar bahwa kita tengah
beradu cepat dalam berjalan. Yah, bukankah ini sudah cukup membuktikan
kekonyolan kita sebagai anak SMP? Akhirnya aku masuk gerbang setelah Indi, aku
terpaksa mengalah. Jalan kita terpisah dalam cabang lorong. Ia menuju kelasnya
dan aku menuju kelasku.
Di
kelas, para guru mengingatkan para murid untuk bersemangat belajar untuk
mempersiapkan ujian, tapi dalam pikiranku hanya ada Indi. Rasanya aku ingin
membuktikan sesuatu padanya, tapi apa? Seolah aku ingin menunjukan bahwa aku
adalah anak laki-laki yang keren, bahwa selama ini dia tidak tahu seberapa
hebatnya aku dan aku ingin menunjukannya dengan cara apapun. Semangatku memang
meluap-luap tapi tak tentu arah. Kuakhiri pelajaran di kelas dengan mendapatkan
sejumlah nilai anjlok dalam beberapa mata pelajaran. Aku tidak mau menyalahkan
Indi karena hal itu. Tapi kalau bukan dia, terus aku harus salahkan siapa? Aku
sendiri telah melakukan kesalahan dengan menyukainya, padahal di sekolah ini...
meski aku bukan anak yang populer, tapi aku baru sadar bahwa sebenarnya teman
perempuanku cukup banyak. Hanya saja aku kacau. Aku selalu kikuk setiap mereka
mencoba mendekat. Lantas kenapa perasaanku terjebak pada sosok yang tidak dekat
denganku? Sosok yang justru tidak mengenalku ini... Indi, kenapa harus dia?
Entahlah, urusan hati dan perasaan ini memang tampaknya bukan urusanku saja. Bukan
milikku saja.
Jam
sekolah berakhir. Di tanganku kini tengah kugenggam sebuah pamflet. Aku
mendapatkannya dari petugas mading, Farah. Pamflet itu bertuliskan sebuah acara
perlombaan. Lomba menggambar. Ya, Farah memberikan ini padaku pasti karena ia
ingin aku mengikuti lomba ini. Dia tahu aku senang menggambar, tentu saja. Aku
harus mengikuti lomba ini, agar jika aku menang nanti Indi akan sedikit
memberikan perhatiannya. Agar ia tahu, bahwa aku adalah seorang bocah jenius
yang keren.
Aku
pulang dengan pikiran-pikiran aneh bercampur khayalan jika aku memenangkan
perlombaan itu. Terbayang olehku seandainya Indi mengetahuinya, dan pihak
sekolah mengumumkannya dalam upacara, lalu Indi pun mulai simpati padaku dan
akhirnya menyukaiku juga... hahahaha... bagus juga. Kubaringkan diri di tempat
tidur dan berpikir. Ya, aku harus menang perlombaan ini. Di rumah, kakakku Eza
tampak meracau dengan handphonenya...
“Halo?.......
Ya, siapa ini?....... Lah... kok nanya balik?”
“...”
“Ya kamu
yang siapa... situ yang nelpon kok jadi saya yang harus jawab saya siapa...”
Eza
hanya bergerak mondar-mandir dari satu kamar ke ruangan lainnya, suaranya yang
mengisi seluruh rumah membuatku merasa bahwa kakakku ini anak yang labil. Dasar
anak kuliahan, mentang-mentang bisa membeli handphone sendiri dia sudah merasa
paling hebat apa? Ya ya ya, handphone itu memang dia beli dengan hasil
keringatnya sendiri, lebih tepatnya dari gaji ia mengajar privat matematika
pada anak-anak tetangga. Suaranya itu semakin menggangguku saja. Tidak bisakah
aku sedikit berkhayal di siang yang damai?
“KAMU
ITU NYEBELIN YA?.... SAYA BILANG SITU YANG SIAPA?... JANGAN SOK PAKE NANYA SAYA
INI SIAPA... HALO? HALOOO?... APA?... SAYA INI APA?... SAYA INI SIAPANYA
LUKMAN?... OOOH... GITU YA? OOOHHH...”
Mendengar
namaku disebut aku langsung bangkit. Gawat. Siapa yang menelpon kakakku
sebenarnya? Jangan-jangan itu... belum selesai kecurigaanku pada sosok yang
berbicara dengan kakakku, ia sudah memanggilku lebih dulu...
“LUUKKKMAAAAANNNNN!!!”
Aku langsung
menghampiri. Eza langsung menyerahkan handphone itu.
“JELASIN
KE TEMEN KAMU ITU KALAU HANDPHONE ITU PUNYA GUE!”
Aku
langsung menyambar handphonenya dan mencari tahu siapa yang membuat kakakku
semarah itu.
“Halo
Assallamualaikum...” ujarku pelan.
“Walaikumsallam...
euh... ini Lukman?”
Suara
perempuan.
“Ya.
Ini siapa ya?”
“Saya...
saya Indi.”
Indi.
Ini Indi. Orang yang tengah berbicara denganku ini adalah Indi... dan ini
adalah suaranyaaaaa... sesaat tubuhku terasa melayang ke udara dan nafasku
tertahan karenanya.
“Oh...”
hanya itu yang bisa kuucapkan.
“Lukman?”
“Eh...
iya? Ya? Ya ada apa Indi? Eh... maksud saya... saya... eh ya... kenapa?”
Aku
mulai kikuk. Tapi indi hanya berbicara singkat;
“Yang
tadi siapa?”
“Yang
tadi itu...” aku menoleh ke arah kakakku, dan sambil melotot ia terus
mengingatkan;
“BILANG
KE DIA KALAU HANDPHONE ITU PUNYA GUE!”
“Siapa?”
Indi mendesak.
“Itu
ka... kakak”
“Bohong”
“CEPET
JELASIN KE DIA KALAU HANDPHONE ITU PUNYA GUE!”
“Beneran...
itu kakak...”
“Bohong”
Ampun.
Apa ini? Baru kali ini kita saling bicara dan semua itu dibuka dengan sebuah kesangsian...
apa ini? Apa dia cemburu pada kakakku?
Kakakku memang perempuan, tapi seharusnya ia bisa merasakan perbedaan usia
lewat suaranya...
“Saya
enggak bohong, itu kakak saya, kalau enggak percaya liat aja sendiri... eh...”
“Gimana
bisa liat... pasti pacarnya ya?”
Sensasi ini... sensasi dicemburui seperti
ini...
“Euh...
saya... saya... saya enggak punya pacar”
“Bohong”
“...”
“Pacarnya
kan?”
“Bukan...!!”
“Bohong”
“...”
“Hehehe...
iya deh iya, siapapun itu pokoknya Indi cuma mau ngomong lain kali kalau ketemu
Indi jangan jutek gitu yah... pake senyum sedikit kenapa? Lagian kamu duluan
kan yang hubungi Indi, harusnya kamu...”
Suara
Indi tiba-tiba terhenti.
“Ya?”
aku mencoba melanjutkan.
“Harusnya...
harusnya... kamu enggak sejutek itu...”
“Oh...
i... iya...”
“Janji
ya, kalau ketemu Indi kamu bakalan senyum...”
“Ah...
i... iya...”
“Kamu
juga musti tanggung jawab karena udah ganggu waktu tidur saya karena kamu udah MMS
Indi tengah malam”
“Oh...
ma... masalah itu... sebenernya itu...”
“Ya
udah sekarang Indi tutup dulu ya, sayang pulsa, hehehe”
“Ah...
i... iya”
Tuut
tuut tuut
Handphone
mati. Tubuhku terasa lemas, dada ini serasa ditarik ke atas, perasaan apa
ini...? padahal ini pertama kalinya aku bisa mengobrol dengannya, selancar ini,
sedekat ini... rasanya aneh. Seolah hari ini, esok dan seterusnya akan berjalan
dengan indah, aku... aku merasa begitu dekat. Meski ini bukan pertama kalinya
aku tertarik pada anak perempuan, tapi ini adalah pertama kalinya aku merasa
begitu dekat dengan sosok yang kusukai, seolah kita berada dalam satu bagian
yang sama. Satu dimensi dan ruang yang sama. Jantung berdebar. Senyum melebar.
Dan Eza yang melotot.
Pagi
hari. Seperti biasa, seperti pagi-pagi sebelumnya. Hanya saja kali ini aku bisa
mensyukuri hal-hal indah seperti kicau burung, cahaya matahari, sarapan dan
kehangatan keluarga. Seolah aku bisa merasakan bahwa semua ini adalah bagian
dari karunia. Kukatakan dengan tegas pada diriku bahwa aku tengah jatuh cinta,
bocah sepertiku. Tidak perduli apakah itu hanya omong kosong atau hanya respon
kimia. Yang aku tahu bahwa perasaan ini bisa membantuku melihat segala sesuatu
dari sudut yang terindah. Setelah selesai dengan sarapan, kusiapkan diriku
untuk mandi dan membereskan hal lainnya sebelum aku pergi.
Angkot.
Sarana transportasi yang merakyat. Begitu down
to earth. Warna hijau dan kuningnya begitu selaras, kubaca dengan seksama
tulisan itu; jurusan Stasiun-Halte Sadang Serang. Ah, tulisan yang begitu indah
dan bermakna. Lalu suara sopir yang merdu menyadarkanku akan tujuan.
“Woi,
‘dek! jadi naik enggak?”
Aku
pun merespon kalimat itu dengan menaiki angkot tersebut. Kupikir aku lebay sekali pagi ini, tapi tak apa. Karena aku sedang jatuh
cinta. Dan entah bagaimana suratan takdir terasa begitu memihakku. Bagaimana
tidak? Di angkot hijau ini aku merasakan pesonanya lagi. Indi. Dia disini,
duduk berseberangan denganku. Dan karena ini masih pagi, angkot ini masih sepi
penumpang... lebih tepatnya hanya ada kita berdua disini. Ok, bertiga dengan sopir.
aku bingung harus berbuat apa. Setelah percakapanku dengannya di telephone kemarin, kupikir seharusnya
kita sudah bisa mencoba untuk mengobrol. Tapi tidak, aku malu. Aku tidak bisa
membuka pembicaraan... lagipula apa yang harus kubicarakan? Indi melirik ke
arahku, aku mencoba untuk tidak menatapnya. Kupikir dia pasti tahu aku ada
disini. Tapi kenapa dia diam saja? Kulihat yang ia lakukan hanya
menyibakan sebagian rambutnya yang masih basah, dan dengan jari
jemarinya ia seolah tengah mencoba menyisirnya... hanya itu. Bahkan sebuah
senyuman saja tidak ia berikan. Ah, lagipula mengapa aku harus perduli sih?
Sudahlah. Leherku pegal karena terus kupaksakan melihat ke arah lain. Dan
akhirnya... akhirnya... aku sampai. Aku dan Indi sampai. Sekolah. Dan untuk
menuju kesana aku harus melakukan kode etik berkendara melalui angkot, sebuah
kata sandi yang bisa membuat sang sopir menghentikan lajunya.
“Ki....”
“Riii....”
Apa
ini? Aku dan Indi barusan mengatakan kata itu secara bersamaan... membuatku
canggung saja. Kupikir dia juga pasti begitu. Tidak ada istilah “ladies first” disini. Jadi aku duluan
saja. Aku turun terlebih dahulu dan segera kuserahkan uang ongkosku pada sang
supir angkot. Aku berjalan dengan tergesa-gesa, menyadari ada sosok dewi di
belakangku. Entah harus bagaimana sekarang. Kukatakan bahwa aku tidak akan
mengacuhkannya begitu saja kemarin. Dia berkata bahwa dia tak ingin aku
acuhkan... kuhirup nafas dalam-dalam... 1... 2... 3... ok, ini dia... aku
menoleh...
Kulihat
matanya dengan tenang. Jaraknya hanya lima meter dibelakangku, Indi pun melirik
ke arahku. Mungkin sedikit kaku tapi kucoba untuk melambaikan tangan... lalu
aku tersenyum. Dan dengan tenang, Indi membalas senyuman itu. Hanya itu. Hanya
itu yang bisa kulakukan. Aku kembali berjalan dengan dingin. Baru kali ini aku
melihat bagaimana Indi tersenyum padaku. Secara langsung. Dan rasanya WAW...
Kususuri
lagi lorong kelasku yang gelap. Di pertengahan lorong aku berpapasan dengan pak
Sofyan... karena suasana hatiku sedang bagus, kulontarkan salamku dengan penuh
semangat...
“Assallamuallaikum
Pak!”
“Ya,
Walaikumsallam...”
Pak
Sofyan masih ketus seperti biasanya. Tapi tak apa, mungkin sudah sifatnya, setidaknya
kali ini dia menjawab salamku.
Pelajaran
pertama matematika. Guru yang mengajar sekarang adalah pak Joko. Terkenal killer, seolah-olah dibalik pakaiannya tertera tulisan : awas, pengajar galak! Tapi
itu tidak merubah suasana hatiku yang tengah jatuh cinta. Hal pertama yang guru
ini lakukan adalah memeriksa PR dan sebagai siswa yang luar biasa aku pun
mengacungkan tanganku.
“Pak!”
“Ya?
Apa ada pertanyaan Lukman?”
“Apa
saya sudah boleh keluar sekarang?”
“...”
“...”
“Maksud
kamu?”
“Saya
belum mengerjakan PR hari ini dan sebagai hukuman saya akan lari 30 putaran
pak...” ujarku penuh semangat.
Pak
Joko hanya bisa menghela nafas, ia simpan buku dan kapurnya. Beliau buka
kacamatanya, menatapku dengan tatapan sedih. Aku menelan ludah.
“Lukman...”
suara pak Joko terdengar parau...
“Euh...
ya pak?”
“Akhir-akhir
ini nilai kamu menurun. Kamu juga sering terlambat. Padahal bapak sangat
berharap banyak sama kamu. Setidaknya di kelas ini...”
Pak
Joko mengalihkan pandangannya ke seluruh ruangan kelas.
“Kamu
adalah satu-satunya murid bapak di kelas ini yang selalu lulus setiap latihan
ujian... tapi sekarang, kamu malah lebih memilih dihukum dan lari 30 putaran
ketimbang mengerjakan PR kamu...”
“Sa...
saya pantas dihukum pak...” jawabku, kali ini dengan nada bersalah. Dan merasa
benar-benar bersalah.
“Tidak
Lukman. Kali ini bapak enggak bisa hukum kamu lagi. Kamu cukup pikirkan ini
baik-baik. Kamu sudah kelas 3. Sebentar lagi ujian kelulusan. Tidak ada waktu
buat lari 30 putaran. Kamu harus serius, bukan buat bapak tapi buat kamu. Kalau
memang ada sesuatu yang tidak kamu mengerti coba kamu tanyakan... bapak enggak
butuh lari 30 putaran kamu... bapak enggak butuh PR kamu... yang bapak mau,
kamu bisa lulus...”
“I...
iya pak... maafkan saya pak...”
Aku
terduduk kembali. Hampir aku menangis. Pak Joko benar, tidak sepantasnya aku
melakukan hal-hal bodoh. Hal-hal bodoh. Jatuh cinta disaat yang tidak tepat.
Seharusnya Indi menjadi motivasi, bukan sesuatu yang menghambat pikiranku
seperti ini.
“Sekarang
ayo kita bahas PR... buat Lukman, kamu duduk baik-baik saja disana dan
perhatikan!” ujar pak Joko tegas.
Aku
terdiam lunglai. Entah kemana semangat jatuh cintaku tadi.
“Oh
ya, selain Lukman apa ada disini yang belum mengerjakan PR-nya juga?”
Lalu
perlahan semua anak di kelas mengacungkan tangannya.
“Euh...”
Aku
hanya bisa mengatupkan telapak tanganku ke wajah. Dan pak Joko menghirup
nafasnya dalam-dalam...
“LARI!!
35 PUTARAAAAANNNN!!!!! SEMUAANYAAAAAA!!!!”
Pak
Joko mengaum. Semua anak keluar kelas, bersiap menjalani hukuman... sekarang
aku tahu, bukan Indi penyebab kebobrokanku akhir-akhir ini... tapi lingkunganku...
tapi tak apa, karena entah mengapa mengetahui bahwa seluruh anak dikelasku akan
berlari 35 putaran bersamaku, membuat semangat jatuh cintaku ini kembali mengalir...
kupikir semua teman-teman sekelasku pun
begitu. Mereka menyambut hukuman ini dengan senyuman dan gelak tawa. Mungkin
karena sudah terbiasa... ah, hari ini hari yang sangat indah...
Waktunya
istirahat. Setelah sempat berolahraga dan menjadi gunjingan para guru di jam
pertama tadi, akhirnya aku bisa beristirahat. Kali ini aku tidak akan mendekam
di kelas saja. Mungkin ada baiknya aku keluar, mencari minuman... di kantin aku
bertemu dengan Nadine, teman semasa SD yang juga sekolah disini dan juga teman
dari Indi.
“Eh
ada Lukman...”
“Hai...”
aku
hanya bisa menjawab dengan hai, terlebih karena aku jarang berbicara dengan
Nadine selama aku sekolah disini.
“Tadi
pelajaran apa ‘man?”
“Tumben
nanya...”
“Emangnya
kenapa? Enggak boleh? Kali aja kan jadwal kita ada yang sama, jadi aku bisa
tahu guru yang ngajar aku sekarang itu ada atau enggak...”
“Oh...
tadi aku belajar itu... Penjaskes!”
Kujawab
begitu karena kupikir dari tadi yang kulakukan hanya berlari dan melakukan
latihan fisik lainnya di setiap jam pelajaran.
“Oh
pantes aja...”
“Pantes
aja apa?”
“Pantes
aja ada aroma kuah bakso disini” jawab Nadine.
“Haha
pasti maksudnya kuah bercuka...” aku mencoba tertawa skeptis.
“Oh
ya, tadi si Indi nanyain...”
“Indi?”
“Katanya
kalau ketemu Lukman tolong bilangin kalau Indi bakalan dukung Lukman di lomba menggambar
nanti...”
“Oh
ya?”
“Beneran.
Hm. Kayaknya aku bakalan punya 2 temen yang terlibat percintaan deh...kayak di
film meteor garden... ”
“Meteor
ganjen! Udahlah enggak usah sok tahu
gitu. Titip makasih aja, udah mau dukung aku. Ok?”
“Ciee...”
Kutinggalkan
Nadine begitu saja. Hm. Rupanya Indi sudah tahu tentang lomba menggambar itu.
Ya sudah, semoga dia mendoakanku agar aku bisa menang nanti. Lalu tak lama aku
meninggalkan kantin, seorang anak perempuan muncul. Yang kutahu namanya Susi,
anak kelas 3D, tidak pernah kuceritakan, karena kita sama sekali tidak saling
kenal. Lalu Susi tersenyum. Secara refleks aku membalas senyum itu.
“Semangat
menggambarnya ya...” ujarnya.
“Ah...
i... iya...”
Lalu
ia berlalu. Aku merasa aneh... kulihat mading, ternyata ada nama para peserta
lomba disitu. Termasuk namaku. Mungkin Susi mengetahui tentang ini dari mading
ini. Tapi...
“Lukmaaaaaaaann!!”
Seseorang
yang lain memanggil... perempuan, namanya Winda dari kelas 3B. Sama dengan
Susi, akupun tidak mengenalnya akrab.
“Semangat
ya...”
“Ah
iya, makasih... hehehe”
Lalu
ia berlalu. Tiba saatnya menuju lorong. Disana sudah ada Nina. Si penjual
spagheti.
“Nih!”
ujarnya seraya menyodorkan satu cup spagheti buatannya. Dulu sewaktu aku kelas
2, aku sempat menolak spagheti ini karena gengsi. Sekarang tidak lagi. Biar
kuambil dan kulahap saja.
“Buatku?
Makasih loh ya...”
“Aku
sendiri yang bikin, satunya sepuluh ribu...”
“Oh
enggak jadi deh kalo gitu...”
“Ih,
udah aku murahin juga. Gratis deh. Buat Lukman. Biar menggambarnya lancar...”
“Hehehe,
aku becanda. Aku pasti beli kok. Cuma kalo emang kamu ngasih gratis ya
baiklah... hehehe makasih loh ya”
Nina
tersenyum. Tidak seperti waktu itu, kali ini ia tidak terlihat canggung dan
kikuk. Selain Nina, seorang anak lain bernama Reka... Lengkapnya Reka
Purwantisari... (ciee nama lengkap) juga muncul. Perlu diketahui, Reka yang
berwajah manis ini adalah salah satu teman perempuan yang sangat dekat denganku
di sekolah ini, dia juga mengenal Melda. Sosok yang kusukai sewaktu SD.
(sewaktu SD loh ya, bukan SMP) Reka Purwantisari, tubuhnya mungkin mungil, ia
boleh jadi pendiam, tapi dia adalah temanku yang sangat baik dan rambutnya yang
berkepang ekor kuda itu terlihat sangat manis. Tidak seperti yang lain yang
memberikan semangat, ia hanya melewat begitu saja.
Aku
merasa popularitasku bertambah. Meski kutahu bahwa dalam beberapa hal, siapapun
pasti mudah mengenaliku, tapi aku tidak yakin kalau semua orang mau menjadi
temanku. Aku masuk kelas. Kulihat Dani, ia tampak murung.
“Woy
‘Dan! Mau spagheti enggak...? dapet ngasih Nina nih”
“Eh...
mau dong mau... tapi kamu enggak lagi marah kan?”
“Marah
apa sih ‘Dan... udah sini. Kita makan bareng...”
“Asiik...”
Tampaknya
Dani masih merasa tidak enak gara-gara kejadian waktu itu. Padahal saat ini,
aku ingin berterima kasih karena mungkin karena dia, aku bisa lebih dekat dengan
Indi dan bisa mencoba mengenalnya. Spagheti habis, jam istirahat berakhir.
Waktu
berlalu. Kucoba untuk lebih serius menghadapi pelajaran dan mulai memperbaiki
kesan burukku selama ini. Setidaknya dalam mata pelajaran sejarah, aku tidak
pernah mau mengalah. Guru sejarahku adalah ibu Wati. Juga terkenal galak, tapi
disini beliau adalah guru yang paling dekat denganku. Kusebut seperti itu
karena beliau sering membicarakan hal-hal positif tentangku ke kelas lain. Bagian ini yang aku suka.
Jam
pelajaran berakhir. Kulihat Farah sudah ada di depan pintu kelasku. Dia
melihatku dan melambaikan tangannya, hm. Itu artinya dia menungguku. Semua anak
keluar kelas, beberapa ada yang meracau dan menggoda ketika melihatku bersama
Farah. Tapi baik aku dan Farah tidak menggubrisnya.
“Hai...”
Farah menyapaku.
“Hai.
Jadi gimana?” ujarku seraya tersenyum.
“Aku
udah ngomong ke bagian Wakasek. Nanti kamu sama peserta lomba lainnya, besok
pagi bareng dari sini menuju sekolah Bakti Taruna. Besok hari minggu, jadi
enggak masalah...”
“Ok.
Kalo begitu, kamu doain aja...”
“Pastinya
dong... kalah atau menang aku pasti dukung kamu”
“Sory
loh ya, tapi aku bukan orang yang gampang buat dikalahin”
“Huu
sombong. Mentang-mentang bisa gambar...”
“Karyaku
adalah hakekat seni yang sesungguhnya...”
“Hahaha...
dasar”
Sementara
aku berjalan pulang bersama Farah, aku melihat Indi dan kawanannya sekitar 8
meter di depanku. Lalu tiba-tiba Farah menoleh...
“Ya
udah ya, pokoknya besok jangan sampai telat... jaga kesehatan, jangan lupa
sarapan sebelum pergi dan jangan lupa bawa peralatan gambarnya...! ya udah aku
pulang duluan ya, dadaaa...”
“Eh
kamu mau kemana... ??? kenapa kita enggak .........................................................
bareng aja sih...?”
Farah
berlari. Tidak menggubrisku. Indi dan kawanannya melihatku tajam. Haaah... para
anak perempuan. Rasanya kakiku berat untuk menghampirinya.
Beberapa
teman Indi meracau sekenanya.
“Hei,
sapa dong sapa...”
“Eh...
itu orangnya dateng kesini...”
Aku
mengerti maksud mereka. Dan apa yang mereka lihat dariku. Aku tidak akan salah
tingkah lagi. Kucoba untuk terbiasa. Kulambaikan tangan pada Indi seraya
berkata...
“Konnichiwa...”
Disusul
dengan respon norak para siswi SMP.
“CIEEEE...”
“Eh
dia ngomong apaan sih tadi?”
Aku
memang sedikit menguasai dasar-dasar bahasa jepang... jadi kukatakan saja,
karena aku kurang begitu nyaman melihat lagak para anak perempuan ini. Meski
dihadapanku Indi cenderung lebih pasif. Lalu aku pulang. Begitu saja.
Di
rumah, Eza memperlihatkan handphonenya padaku. Aku langsung menyambarnya.
“Tadi
temen kamu SMS lagi, kenapa sih enggak dibilangin aja kalo itu hape gue?”
Gawat.
Jangan-jangan tadi Indi mengirimiku pesan dan Eza yang membacanya... segera
kubuka SMS itu dan benar saja, itu dari Indi...
Iiihh... lukman. Kenapa sih kamu
enggak bilang kalo
kamu ikutan lomba gambar?
kan aku juga pengen dukung kamu...
Pengirim : 081572034814
07/05/2004
11;12;43
Haah...
lantas kenapa juga aku harus memberitahunya tentang lomba itu? Memang benar aku
mengikuti lomba ini untuk menarik perhatiannya, tapi itu nanti... kalau aku
benar-benar menang. Karena dengan
menerima dukungannya saat ini, rasanya pikiranku jadi terbebani... rasanya aku
tidak tertarik dengan kemenangan lagi, karena aku telah mendapatkan
kemenanganku melalui perhatiannya. Segera saja kuserahkan handphone itu ke
tangan pemiliknya. Eza.
Lalu
tiba-tiba Eza bertanya;
“Jadi
kamu ikutan lomba ya?”
“Hmmm...”
jawabku.
“Emang
kamu bisa gambar?”
“Hmm...mmm”
aku mengangguk.
“Palingan
juga kamu bisanya gambar poster kampanye bebas polio”
“Hmm...
mm” aku menggeleng.
Mungkin
kesal dengan jawaban yang kuberikan, Eza pun langsung menjambak rambutku dan
menarik kepalaku ke belakang...
“Kalo
gitu semangat dikit... biar menang...”
Sedikit
aneh jika yang mengatakan hal itu adalah Eza. Seperti yang kita tahu bahwa jika
ada anak perempuan di sebuah rumah dan ia memiliki adik laki-laki yang memiliki
jarak usia yang cukup jauh... (usiaku berbeda 5 tahun dengan Eza) biasanya sang
kakak akan selalu meremehkan apa yang dilakukan si adik. Tidak mendukungnya
seperti yang Eza lakukan saat ini. Tapi sudahlah lagipula aku pasti menang
besok.
Esok
hari. Meskipun ini hari Minggu, aku tetap harus pergi ke sekolah pagi ini. Aku
dan peserta lomba lainnya diharuskan untuk berkumpul terlebih dahulu di
sekolahku sebelum akhirnya kita harus pergi lagi menuju lokasi lomba yang ditentukan,
yaitu sekolah Bakti Taruna. Sebuah sekolah swasta elit yang kebetulan
mengundang beberapa sekolah dari segala penjuru untuk mengikuti lomba yang
mereka adakan. Ada berbagai macam lomba, ada olimpiade matematika, cerdas
cermat, lomba debat, pidato bahasa asing, story telling dan lomba menggambar.
Untuk lomba menggambar, sekolahku mengirim dua orang, yaitu aku dan Prayoga.
Anak kelas 3H. Aku tidak peduli dengan sisanya yang jelas kali ini aku akan
mempersiapkan peralatan menggambarku secara matang.
Telah
kusiapkan; serutan pensil, penggaris, penggaris segitiga, jangka, tipe-x, busur derajat, gunting dan terakhir...
kompas. Ini berguna jika nanti aku tersesat. Tersesat di kota Bandung...
Sedang
peralatan lainnya mungkin tidak begitu penting, hanya pensil berbagai ukuran,
drawing pen, pewarna dan penghapus. Ok, aku siap sekarang...
Ibuku
yang telah kuberitahu tentang hal ini juga telah menyiapkan semuanya dengan
baik. Sarapan, pakaian, semuanya. Setelah selesai dengan semua itu aku pun
berangkat.
Pertama-tama
seluruh murid yang mengikuti lomba dikumpulkan di salah satu taman di sekolah
seraya menunggu peserta lain yang belum datang. Guru yang akan menemani kita
adalah pak Ilyas, yang kebetulan memiliki mobil dengan kapasitas yang cukup
luas, sekolah kami tidak memiliki kendaraan khusus, jadi mobil pak Ilyas lah
yang bisa kami manfaatkan. Setelah semua peserta telah lengkap, pak Ilyas
beserta siswa yang lainnya pun segera berangkat. Menuju sekolah Bakti Taruna.
Kami
pun sampai. Ternyata jarak sekolah itu tidak begitu jauh dari sekolah kami.
Tapi jangan ditanya seberapa jauh perbedaannya. Sangat berbeda. Sekolah itu
lebih menyerupai gedung bioskop. Tempat parkirnya yang luas itu terisi penuh
dengan mobil, berbeda jauh dengan sekolahku yang kebanyakan dipadati sepeda
motor para guru. Didalamnya terdapat sebuah lapangan yang sedikit lebih besar
dari lapangan sekolahku. Kucoba untuk menatap siswa-siswi disana... mereka
tidak terlihat seperti siswa SMP, mereka lebih terlihat seperti para aktor
sinetron remaja. Wajah mereka cemerlang dan kebanyakan dari mereka bermata
sipit. Pakaian seragam yang mereka gunakan berbeda dengan seragam SMP pada
umumnya, kaos kaki dan sepatu yang mereka kenakan juga beraneka ragam, tidak
seperti sekolahku yang hanya mewajibkan kaos kaki warna putih dan sepatu kain hitam
bertali. Ah, tempat apa ini? Kenapa aku tidak betah berada disini?
Tak
berapa lama para peserta dari berbagai sekolah
dikumpulkan, dan pada akhirnya mereka dipecah menjadi beberapa kelompok
sesuai dengan lomba yang mereka ikuti. Aku dan Prayoga diarahkan pada sebuah
kelas yang nantinya akan menjadi tempat kami menguji keahlian menggambar, lalu
setiap peserta di kelas itu diberikan semacam kartu dan baju peserta untuk
kemudian kami pakai, kami diberi waktu sekitar 20 menit untuk persiapan sebelum
lomba benar-benar dimulai. Dan nantinya setiap peserta harus mengisi tempat duduk
yang telah disiapkan sesuai nomor peserta yang tertera pada kartu.
Akhirnya
aku dan Prayoga meninggalkan kelas itu untuk mulai mengganti pakaian dengan
pakaian yang telah disediakan. Di ruang ganti Prayoga berbisik padaku;
“Gimana
persiapannya? Udah siap semua?”
“Udah
siap dong... kamu sendiri gimana?”
“Belum
sama sekali. Blank. Enggak ada konsep
sama sekali”
Haha.
Rasakan saja. Yah, meskipun aku dan Prayoga bersekolah di sekolah yang sama,
disini kita adalah rival dan lawan. Aku, dengan cara apapun harus bisa
mengalahkan Prayoga... meski begitu sejujurnya aku datang kemari juga sama
seperti Prayoga, tanpa konsep dan perencanaan tentang apa yang akan kugambar
nanti. Aku hanya berkata bahwa aku telah siap menggambar dengan peralatan yang
kubawa bukan berarti bahwa aku telah siap dengan kondisi dan strategi. Tapi
sudahlah. Bagaimana nanti saja, lagipula seorang jenius sepertiku tidak
membutuhkan konsep. Improvisasi saja.
Akhirnya
aku kembali ke kelas, kulihat nomor tempat dudukku yang tertera pada kartu. Ah
aku dapat kursi paling belakang. Di meja sudah tersedia kertas HVS 100 gsm.
Dari kursi ini, aku bisa melihat Prayoga yang mendapatkan tempat duduk yang
jaraknya dua baris di depanku. Bel tanda dimulainya perlombaan pun akhirnya
telah dibunyikan. Baiklah. Kita mulai sekarang.
Pertama
kukeluarkan senjataku. Pensil 5H. Kubuat sketsa kasar design character. Yah, tampaknya aku akan menggambar sosok manusia
saja. Kugambar sosok laki-laki yang berbadan cukup besar, berambut ikal dan
mengenakan pakaian yang mungkin hanya ada dalam khayalku saja. Laki-laki itu
tampak sedikit dingin dan angkuh, namun apa yang dipegangnya adalah sesuatu
yang tampak berat. Ia tengah membawa sebuah buku kecil yang tampak sangat tua
dan lusuh. Dan cover dari buku itu bertuliskan ; Guide To Be A Better Man...
dan tepat didepan pria itu kugambarkan sebuah cermin yang berhias ukiran-ukiran
yang terbuat dari dedaunan dan bunga berduri yang pada akhirnya menopang cermin
itu untuk berdiri dan dari cermin itu terlihat wajah pria tadi, hanya saja kali
ini wajah itu kubuat tersenyum hangat dan tampak bersahaja... kubuat efek-efek
dedaunan berjatuhan di sekitarnya. Caranya? Kupotong beberapa kertas dari buku
tulisku dengan gunting yang sudah kuduga bisa berguna jika aku bawa, kupotong
dengan bentuk menyerupai dedaunan lalu dedaunan kertas itu kuarsir sepenuhnya
menggunakan pensil 3B, setelah itu dengan hati-hati kutempelkan dedaunan itu
dengan posisi bagian hitam disebelah atas kertas. Lalu perlahan kugunakan
penghapus putih andalanku untuk sedikit menghapus bagian arsiran pada dedaunan
kertas tadi. Setelah selesai, kutarik semua dedaunan kertas itu dari HVS dan
hasilnya? Seolah ada dedaunan bercahaya yang berjatuhan di sekitar karakter
yang kugambar.
See? Bahkan tanpa konsep
apapun seorang jenius sepertiku bisa melakukan ini dengan baik. Improvisasiku
berjalan sukses. Lalu tak lama aku mulai merasa bahwa ada yang memperhatikanku.
Dan ternyata itu adalah peserta lain yang kebetulan duduk tak jauh di
sampingku. Wajahnya tampak terkagum-kagum melihat gambarku. Lalu aku menawarkan
senyum padanya dan ia pun berkata;
“Keren!!
Keren banget gambarnya... dahsyat!”
“Thanks.
Biasa aja kok. Ini juga belum beres hehehe...”
“Dibandingin
gambar saya, gambar mas lebih keren...”
“Ah...
kamu bisa aja. Mana coba liat karyanya...”
“Hehehe
masih jelek mas... nih...”
Lalu
kulihat apa yang telah anak ini gambar... sebenarnya kalau boleh aku bilang
karyanya ini tidak buruk. Ia menggambar sebuah pohon rindang dimana di pohon
itu banyak buah apel yang menyembul keluar, lalu dibawah pohon tersebut ada
anak laki-laki yang tengah berlari seraya tertawa membawa buah apel. Dan di
belakangnya seorang anak perempuan tengah mengejarnya... karyanya itu sangat
cute.
“Siapa
bilang jelek? Ini bagus kok...”
“Tapi
masih enggak sebagus punya mas...”
“Jangan
panggil mas dong, panggil Lukman aja... oh iya kita belum kenalan... kamu kelas
tiga juga kan? Dari sekolah mana?”
“Oh
iya, saya Satrio mas Lukman. Saya dari SMPN 1 Klaten. Saya masih kelas satu...”
“Ow.
Dari Klaten, jauh juga ya... hehehe”
Ternyata
dia masih kelas satu, pikirku. Lalu seiring berjalannya waktu aku mulai
penasaran dengan karya peserta lainnya, aku pun berusaha untuk mengintip
karya-karya orang lain... dan aku mulai tertarik pada salah satu peserta yang
dari tadi begitu ribut selama lomba berlangsung... peserta yang satu ini terus
menerus meracau tanpa henti, entah apa yang ia gambar...
“CIACIACIA...
INI DIA NAGA KEADILAN DARI SELATAN... MATANYA MENGELUARKAN LASER... WATHCIUU...
HANCURKAN SEMUANYA... ADA TANK MUNCUL... TEMBAK... JDER...!! JDER...!! AAA...
DITOLONG ULTRAMAN... KELUAR GODZILLA DARI DALAM TANAH... PERTEMPURAN YANG SERU
SEKALI... SUPERMAN MELAYANG-LAYANG... KENA LASER... CHIUU... MATI! SUPERMANNYA
MATI... DIHIDUPKAN LAGI PAKE DRAGONBALL... HUAHAHAHAHA...”
Astaga.
Tadi sekilas aku bisa melihat kertas yang ia gambar. Entah apakah itu gambar
abstrak atau apa... yang jelas setiap goresan penanya membuat sebagian kertas
itu robek dan ringsek... sungguh benar-benar imajinasi yang tak dapat
kutandingi. Sementara aku tengah celingukan
melihat sekelilingku, Prayoga menoleh ke arahku. Dan kulihat ia tersenyum...
sial. Aku tahu betul jenis senyuman ini. Ini adalah senyuman diatas awan... tampaknya
Prayoga telah berbohong padaku ketika ia mengatakan bahwa ia datang tanpa
persiapan, dengan senyum seperti itu dia pasti merencanakan sesuatu! Entah apa
yang tengah ia lakukan dengan gambarnya... tapi itu pastilah teknik
rahasianya... dan kulihat ia begitu percaya diri, oh iya... itu... pasti itu...
Kulihat
ia tidak menggunakan drawing pen dan sejenisnya, melainkan kuas... dan aku tahu
itu bukan kuas untuk menggambar, itu adalah kuas jenis fude, kuas yang biasa dipakai menulis kaligrafi Cina dan
huruf-huruf Jepang... perlahan dia mencelupkan kuas itu pada tinta cina, tinta
ini tidak akan menembus kertas meskipun digoreskan dengan tebal dan yang
kulihat ia menggunakan tinta cina warna merah... lalu... loh?
Kuas
itu tidak ia goreskan pada kertas! Melainkan dibiarkan menggantung di jari
jemarinya!! Lalu perlahan tinta merah yang terkumpul pada kuas itu menetes pada
kertas dan... sial! Aku tahu teknik ini, ini adalah teknik rahasia para manga-ka, atau lebih tepatnya para
penulis komik Jepang dalam membuat efek tetesan darah!! Ya, darah!! Tinta merah
yang menetes dengan sendirinya akan membentuk rupa tetesan darah!! Ia pasti
tengah membuat gambar bertemakan darah... sesuatu yang gore dan kelam... sesuatu tentang pembunuhan berantai dan
sejenisnya, sesuatu yang sadis pasti ada dalam karyanya. Lalu ia kembali
menoleh padaku, dan tersenyum seperti para psikopat di film-film...!!
Tidak.
Aku juga tidak mau kalah. Akan kukeluarkan seluruh kemampuanku. Untuk
menebalkan outline, pertama kugunakan drawing pen dengan ketebalan 0.1 mm dan
untuk goresan akhir kugunakan... ya. Alatku ini juga bukan untuk menggambar.
Ini adalah sebuah bolpoint yang biasa digunakan untuk menulis kaligrafi tulisan
arab, dengan ini, semua goresan tanganku akan terlihat perbedaan tebal
tipisnya, tergantung seberapa besar penekanan yang kuberikan pada jari. Selesai
sudah. Tinggal colouring, atau pewarnaan. Apa? bukankah aku tidak pernah
menggunakan pewarna sebelumnya? Tapi aku tidak ingin kalah oleh Prayoga, dia
sendiri telah membubuhkan warna merah pada karyanya... karena itu...
Kukeluarkan
semua pewarna yang kupunya. Ada spidol, stabillo, pensil warna, cat air, cat
timbul, crayon dan juga tipe-x.
Pertama
kububuhkan warna hijau agar menyerupai suasana hutan, dan agar terkesan sedikit
alami, beberapa aksen pada pakaian karakter kuwarnai dengan warna coklat, lalu
jingga dan untuk kulitnya aku memilih kuning pucat. Ah, kenapa laki-laki ini
jadi terlihat seperti terkena penyakit kuning? Lalu terbersit pikiranku dengan
tema yang dipilih Prayoga. Jika ia benar memilih tema bloody gore dalam karyanya, mungkin aku bisa mencobanya juga dalam
karyaku. Begini saja, biar kubuat hutan ini sedikit gelap dengan warna merah...
lalu agar terkesan gothic, warna
tanah akan kubuat hitam legam. Agar terlihat berbeda kutambahkan cahaya-cahaya
biru cerah, pink dan ungu dari langit seolah karakter pria tersebut mendapat
hidayah Tuhan... agar tampak seperti cahaya sungguhan kugunakan stabillo,
sebagai efek tambahan, cat air yang mengering kuhancurkan dan kutempel pada
kertas dengan mencampurkannya dengan tipe-x, lalu kuukir cerminnya dengan cat
timbul, lalu kulapisi setiap warna dengan crayon warna-warni... lalu setelah
ini aku akan... aku akan...
Bel
berbunyi. Waktu habis.
Seluruh
peserta pun diperintahkan untuk segera mengumpulkan karyanya, hanya aku yang
entah mengapa terus menggigil ketika melihat karyaku sendiri...
AAAAAAAARRRRRRRRRRRRGGGGGGHHH
APA YANG SUDAH KUGAMBAR INI.....!!!!!!???????
Karyaku.
Karya masterpieceku... jadi terlihat mengerikan... lalu anak disampingku itu,
Satrio... ia berkata...
“Kok
gambarnya jadi kaya jajanan pasar mas?”
Sedang
aku hanya bisa tertawa depresi...
“Ha-ha...
ha-ha... ha---...”
Prayoga
tersenyum ramah.
“Woy,
cepet kumpulin, waktunya udah beres tuh...” ujarnya.
Akhirnya
dengan pasrah kukumpulkan karyaku itu. Sengaja kusimpan di tumpukan paling
bawah. Tapi setelah itu aku langsung meminta Prayoga untuk memperlihatkan
karyanya padaku. Lalu dia menunjukan karyanya yang berada di tumpukan paling
atas dari semua karya yang dikumpulkan. Dan itu adalah gambar...
Bunga
mawar. Hanya bunga mawar. Tak ada darah. Tak ada pembunuhan. Tak ada gambar
yang terlihat mengerikan disini selain gambarku tadi...
“Bunga?
Jadi yang tadi kamu gambar itu bunga?” ujarku keheranan.
“Ya
bunga. Soalnya aku cuma bisa gambar itu.”
“Jadi
bukan gambar pembunuhan?”
“Ya
bukanlah...”
“Terus
tadi... tetesin tinta merah ke kertas itu buat apa?”
“Ya
biar gampang aku ratain waktu warnain kelopaknya...”
“Jadi
itu bukan teknik rahasia?”
“Ya
itu teknik rahasia aku buat bikin kelopak bunga...”
“Jadi
enggak ada gambar sayatan pedang samurai?”
“Ya
enggak ada lah...”
“Darah
yang muncrat?”
“Yang
aku gambar itu bunga mawar Lukman...”
“Bukan
gambar psikopat yang lagi makan otak sambil siul-siul?”
“Bukan!”
“Bukan
gambar suster khitanan massal yang bawa-bawa silet?”
“Bukan!”
“Kenapa
kamu enggak gambar orang nodongin pistol Smith and Wesson ke mulutnya sendiri
aja sih?”
“Kamu
itu kenapa sih ‘man? Aku kan udah bilang aku cuma bisa gambar bunga aja! Udah deh
ah..”
Tampaknya
Prayoga sedikit kesal menjawab ocehanku, tapi aku lebih kesal lagi. Kesal pada
diri sendiri. Akhirnya dalam hidupku ini aku bisa merasakan kekalahan. Dan
semua sikap aroganku ini telah
mendapatkan balasan. Tak ada lagi yang bisa kusombongkan, karena
kesombongan inilah yang membuatku jatuh.
Rasanya
aku lelah. Aku ingin tertidur, terlupa dan tak mau tahu apa yang terjadi hari
ini, tapi tidak bisa. Aku keluar kelas dengan perasaan kecewa. Kuhabiskan paket
konsumsi yang dibagikan panitia dengan penuh kemarahan. Jika ada yang melihat
bagaimana caraku makan, mereka pasti berpikir kalau aku sangat kelaparan.
Kubiarkan pipiku mengembung karena makanan. Apa lagi sekarang? Meskipun siapa pemenangnya baru bisa diumumkan seminggu
lagi, tapi aku sudah tahu bahwa aku akan kalah.
__________________________________________
Waktu
berlalu... 2 bulan lamanya.
Saatnya
ujian kelulusan. Loh? Bagaimana dengan pengumuman lomba? Sebenarnya hal itu tak
perlu kuceritakan. Ya, aku kalah. Namaku tidak diumumkan pada saat upacara.
Sedangkan Prayoga menjadi juara harapan pada lomba tersebut. Tapi tak apa,
karena kini aku sudah mendapatkan sesuatu yang lebih baik, yaitu perhatiannya.
Ya, semenjak kekalahanku itu aku dan Indi semakin dekat dan lebih sering
berkomunikasi. Meskipun aku masih saja harus menggunakan handphone kakakku... dan karena perhatian Indi yang terkadang berlebih...
(khas anak perempuan SMP yang baru puber... kata-kata basi seperti; apa kamu
sudah makan? Istirahat yang cukup! Jangan lupa pakai jaketnya sekarang musim
hujan... Indi enggak mau kamu sakit! Semangat! ) tidak perduli apakah itu omong
kosong, sok perhatian, atau perhatian teman biasa saja... tapi untuk anak
pendiam sepertiku aku merasa sangat terpengaruh. Dan akhirnya bulan lalu aku
memenangkan sebuah lomba lain... lomba story
telling, yang meskipun tidak ada hubungannya dengan menggambar, tapi aku
akan melakukan apapun itu untuk membuktikan pada Indi bahwa aku pantas untuk
diperhatikan, sehingga kali ini aku bisa merasakan Indi sebagai motivasiku. Dan
ujian kelulusan ini adalah ajang pembuktianku yang lain untuknya...
Seperti
pada musim ujian umumnya, semua orang akan berubah menjadi sangat baik hati
sekarang. Kerjasama adalah kuncinya. Kerjasama busuk. Tapi sebagai anak yang
egois, aku memang selalu jadi musuh bersama... sebenarnya bukan karena aku yang
idealis, tapi karena aku takut jika aku
ketahuan memberikan contekan, terlebih pada ujian nasional seperti ini... jadi
maaf saja. Karena selama ini aku pun tak pernah menyontek pada siapapun. Lebih
baik jawabanku salah, pikirku.
________________________________________
3
minggu berlalu. Ujian pun berakhir, skorku tidak terlalu bagus tapi tidak
terlalu jelek juga sih, Yaa... jelek lah. Ini adalah saat-saat yang paling
tidak kuinginkan selama aku mengenal Indi. Ini adalah... hari perpisahan.
Perpisahan
diadakan di aula sekolah. Acaranya sendiri diisi dengan penampilan beberapa
pertunjukan Band teman-temanku, yang sayangnya aku kurang menyukainya. Semua
tampak membosankan. Hanya Indi yang mengenakan kebaya merahnya saja yang tampak
istimewa. Sisanya, tidak penting sama sekali. Dan seperti halnya perpisahan,
diakhir acara para murid dan guru berkumpul bersalaman, berpelukan lalu
menangis... bahkan pak Sofyan juga bisa menangis disini. Di sisa waktu
terakhir, Ajeng menarik lenganku. Kali ini tidak untuk menyiksaku, karena
hutangku padanya selama ini sudah kubayar lunas. Ia memelukku. Aku tidak sempat
untuk menghindar... jadi... ya sudahlah.
Disampingnya,
Lia Julianeu yang hobi nonton bola terutama liga Italia juga menyambutku.
Tadinya aku hendak memasrahkan tubuhku lagi tapi nyatanya Lia hanya mengatupkan
kedua lengannya dan untuk bersalaman pun ia tak berani menyentuh lenganku.
Semua
begitu larut... Teman-teman... Tangisan dan tawa pecah begitu saja. Semua ini
akan kutinggalkan... tak ada lagi lari 30 putaran, jalan bebek menuruni tangga,
kisah hantu penghuni lorong, perkelahian antar preman kelas, blok kegelapan dan
komik “Lukman Di Luar Angkasa...” semua itu hanya akan jadi masa lalu. Di
sekolah ini satu-satunya yang tak ingin
kutinggalkan hanyalah Indi dan juga...
Farah...
kemana anak itu? Kenapa disaat sepenting ini aku tidak menemukannya? Tepat
ketika semua siswa mulai bersiap untuk pulang, hanya aku yang berlari kembali
menelusuri lorong... setiap kelas kujajaki. Tapi tidak ada. Dia... entah harus
bagaimana aku harus berterima kasih padanya... kenapa? Kenapa dia malah
menghilang sekarang? Tampaknya dari tadi pun dia memang tidak datang... Farah.
Rasanya
menyebalkan, tanpa Farah disini aku merasa tidak lengkap... di tengah
perjalanan pulang kutemui Dani, seraya hendak menunggu angkot, Indi dan Nadine
pun muncul... disanalah aku dan Dani hendak mengucapkan perpisahan, meski aku
tak ingin kehilangan Indi begitu saja, tapi waktu terus berjalan...
“Jadi
Lukman rencananya mau masuk SMA mana?”
“Pengennya
sih masuk SMAN 14 atau SMAN 20, biar lebih deket dari rumah...”
“Wah
sama dong, saya juga pengennya bisa nerusin sekolah disana...” jawab Indi.
“Oh
ya?”
Semua
berlalu. Indi dan Nadine pun pulang lebih dulu. Hanya aku dan Dani yang
menikmati langit mendung di teras toko. Sore ini langit begitu gelap, gerimis
disusul hujan membasahi bumi yang kupijak. Dani tampak murung, lalu ia bertanya
padaku:
“Man,
kamu tahu ‘ga kalau anak-anak yang tidak lulus semuanya berasal dari kelas 3A
dan 3B...?”
“Ah,
yang penting Ajeng, Lia, Iyam, Nadine sama Indi lulus...”
“Yee...
bukannya gitu, tapi kalau dipikir-pikir nih ya, di kelas kita kan... ya kamu
tahulah anak-anaknya kaya gimana... tapi kok bisa sih anak kelas kita bisa
lulus semua, padahal kan anak kelas 3A dan 3B itu kan terkenal muridnya
pintar-pintar...”
Aku
hanya bisa tersenyum.
“Dan...”
“Apa?”
“Menurut
kamu anak kelas kita yang paling enggak banget dalam pelajaran, kalau kita
pertandingkan ilmunya sama anak paling enggak banget di kelas 3A, siapa yang
bakal jadi pemenang?”
“Anak
kelas 3A lah... seenggaknya mereka jarang dihukum kayak kita... asupannya jelas
dan selalu dibanggakan guru-guru kan?”
“Itu
bener banget.”
“Maksud
kamu?”
“Kamu
tahu tentang adanya ujian susulan enggak?”
“Oh,
kebijakan pemerintah itu ya?”
“Menurut
kamu, kalau ada ujian susulan anak kelas mana yang bakalan bisa lebih bertahan
dan lulus pada ujian itu...?”
“Ya
anak kelas 3... oh. Jadi maksud kamu...??”
“Yap.
Sejak awal ujian ini adalah omong kosong, bersyukurlah karena kelas kita
diselamatkan... dan saya enggak tahu apakah kesombongan atau justru
kepintaranlah yang membuat beberapa anak itu dikorbankan, yang saya tahu bahwa
anak-anak itu lebih hebat dari kita berdua...”
Dani
hanya tercengang. Entah apa teoriku itu benar, tapi aku tahu betul sejauh apa
kemampuanku dan kawan-kawanku di kelas... bukan meremehkan, tapi ini adalah
sebuah cerminan dari sistem. Sistem yang tak kumengerti. Sistem yang tak perlu
kumengerti.
Hujan
bertambah deras.
Aku dan
Dani pulang dengan sisa-sisa masa lalu yang akan kita tinggalkan selamanya...
_________________________________________
16 september 2010.
Indi
masih belum juga membalas SMS-ku. Aku hanya membalas kata “Hei..” itu dengan
“Hei juga..” apa hal itu tidak menarik untuk dibalas yah? Meskipun terkesan
tidak penting, tapi jika itu berkaitan dengan sosok yang berperan besar bagi
kita, terkadang SMS tidak penting itulah yang kita nantikan...
Tapi
sudahlah. Mungkin kita tak bisa meneruskan ini... hubungan aneh ini, kita sudah
bukan anak SMP lagi... biarlah ini berakhir sekarang... tapi, rasanya sesak di
dadaku ini kumat... mungkin kurang tidur, semoga. Karena urusan perasaan ini semakin
lama terasa seperti omong kosong, aku mengenal Indi sudah cukup lama. Dulu aku
yakin bahwa meskipun Indi sudah memiliki pacar, aku tidak akan menyerah untuk meraihnya.
Dan selama itu aku tidak akan jatuh cinta pada siapapun lagi. Tapi seperti yang
kubilang, kenyataan berkata lain... ketika Indi mulai tidak meresponku lagi,
Tisya muncul dan menghadirkan nuansa baru... kabar buruknya? Baik Indi dan
Tisya sudah memiliki seseorang di hatinya. Bagi mereka, mungkin aku hanya
tempat singgah sementara... hanya tempat dimana mereka bisa melemparkan
keisengan dan godaan disaat kekasih mereka jauh dan tak tergapai. Tapi
terkadang aku tak perduli, itu karena dalam hidupku aku tidak mengakui adanya
status pacar...
Kuambil
sebuah gitar. Lagu yang akan kunyanyikan kali ini berjudul “puji-pujian alam.”
Hanya itu yang bisa kuberikan. Karya. Sesuatu yang kecil, sesuatu yang tidak
ada label harganya sama sekali, sesuatu yang tidak penting, tidak perlu, begitu
picisan dan hanya aku yang sanggup memberikannya untuk mereka. Sesuatu yang
tidak bisa mereka beli, tidak bisa mereka rasakan, sesuatu yang bahkan
kekasihnya tak bisa lakukan. Dalam petik senar gitar semua larut dalam doa, sebuah
cerita untuk pendengar setiaku. Pemilik alam semesta beserta isinya. Dalam
kamar, dalam hati yang sejak awal bukan milikku. BersamaNya aku tak pernah sendiri.
Handphone
berbunyi. Menghentikan permainan gitarku... Bango tong-tong itu menghubungi,
kutarik nafas perlahan... dan...
“Halo
Assallamualaikum...”
“Walaikum
sallam...”
“Indi?”
“...”
“...”
“...”
“...”
“...”
“...”
“Maafin
aku Lukman... aku...”
“...”
“...”
“...”
“...”
(kuhirup
lagi nafasku dalam-dalam)
“Enggak
apa-apa Indi, yang dulu itu lupain aja, kamu boleh kok hubungi aku asalkan kamu
benar-benar butuh...”
“Tapi...”
Tuut.
Tuut. Tuut.
Kututup
handphone itu lalu Kubantingkan ke kasur, mencoba mengelola nafas... fuush
haah... fuush haah... aku sadar betul, ketika kukatakan pada Indi untuk
menghubungiku jika ia benar-benar membutuhkanku itu sama artinya menyuruhnya
untuk tidak pernah menghubungiku lagi... setidaknya aku selalu menghormati Indi
yang telah membawaku pada perubahan yang begitu besar, dan jika ia memang bukan
bagian dari ceritaku lagi, maka biarkan saja. Meski begitu aku tidak ingin
mengatakan bahwa aku memutuskan silaturahmi, karena aku yakin kita masih
terhubung dengan cara yang lain. Di waktu yang lain.
Semoga.
Aku bisa membiarkan cerita itu berlalu begitu saja.
This story dedicated for :
-Aldi
Mulyadi. Temen SD yang maaf banget karena sewaktu di SMP saya pernah membuat
kamu sangat marah.
-Dini.
Temen SD
-Awaludin
Ramdani. Orang yang mengajarkan saya percaya diri dan cara-cara menggoda cewek,
meski norak tapi efektif. Nama Bango Tong-tong sebenarnya terinspirasi dari
julukan yang Udin berikan pada semua orang.
-Nina.
Thanks for the gift. Maaf karena sudah menolak spaghetti buatanmu. Dalam hati
sebenarnya saya kepengen banget.
-Iyam,
Nurhayati, Lia Julianeu, Dameyanti, Ajeng and The Gank.
-Reka
Purwantisari, maaf enggak bisa ceritain kamu terlalu banyak karena bakalan
panjang banget.
-11
anak Cikaso pengikut Alam Lukman, maaf enggak bisa diceritain, karena ceritanya
bisa melenceng ke arah petualangan dan aksi.
-Yogi.
Sejujurnya gambarmu enggak bagus-bagus amat. Tapi kok bisa ya?
-semua
teman dekat yang tidak bisa diceritakan. Percaya deh peran kalian di dunia
nyata itu gede banget... jadi jangan pundung.
-semua
siswa 3I yang meniru perbuatan saya ketika menggunakan wax dan celak, maaf
karena membuat kalian dihukum.
-sosok
misterius yang menyatakan cinta dan memberi saya minum sewaktu saya benar-benar
haus. Maaf enggak bisa dijawab, waktu itu saya masih kecil dan enggak ngeh..
-Bango
Tong-tong. Meskipun cerita yang saya buat banyak ngaconya, tapi selama kamu
membaca ini saya sangat merasa dihargai. Thanks karena telah menjadi sumber
inspirasi, membangun karakter saya dan membuat saya harus menceritakan kamu
sampai sebanyak ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar