Translate

Jumat, 08 Juni 2012

Yellowsky Bab 3 by Alam Lukman

Bab 3

Mimpi.

        Aku tidak begitu ingat mengapa aku disini, tepatnya di PUSDAI, atau dikenal juga sebagai Pusat Dakwah Islam, Bandung. Disini aku tengah bersama beberapa kawan, mungkin sekitar lima orang, empat orang pria dan satu orang perempuan. Kali ini kita berada disini untuk sebuah kegiatan, aku tidak begitu yakin tapi disini tampak seperti ada sebuah bazaar kecil yang banyak menawarkan produk-produk seperti buku, makanan ringan, mainan anak-anak, bahkan pakaian. Yah di saat malam seperti ini berkumpul dengan teman dekat ditemani berbagai jajanan kuliner khas Bandung rasanya cukup asyik juga. Kita duduk di sebuah teras dan satu orang teman yang berjenis kelamin pria menepuk bahuku, wajahnya yang tampak pudar karena kegelapan malam itu mencoba menyapaku.
        “Gimana? Peralatan gambar disini murah-murah kan?”
        “Yah, lumayanlah daripada beli di tempat lain...”
        “Tuh bener kan, kita harus rajin kumpul-kumpul kaya gini, eh Tis, gimana kalau kita jadwalin satu hari buat main ke manaa gitu, biar gak bosen..” ujarnya pada seorang temanku yang lain, kali ini temanku yang seorang perempuan itu pun menjawab;
        “Yah, boleh deh, gimana kalo ke Ciwidey terus kita ngegambar gitu disana?” ujar perempuan berkerudung itu.
        “Ciwidey yah? Kita ke Kawah putih atau... menurut lu asikan kita kemana, ‘man?” kali ini pria itu bertanya padaku.
        Aku membeku. Aku terpana melihat perempuan tadi. Ya, aku mengenalnya dan luar biasanya aku masih bisa melihat cahaya  wajahnya  meski berada dalam kegelapan malam.
        “Lukman?”
        “Ah...! yah Ciwidey yah? Cimanggu kan?” jawabku sekenanya.
        “Cimanggu? Mau ngapain kamu? Gambar bikini?”
        Perempuan itu tertawa, yang lain juga begitu. Aku merasa sangat kikuk, entahlah tapi terkadang aku selalu merasa salah tingkah bila dekat dengan perempuan ini. Perempuan yang mampu membuatku melupakan perempuan yang sebelumnya. Sosok yang tampak seperti kakak-------—karena dua tahun lebih tua dariku, tapi disisi lain terasa sangat nyambung, terasa sangat pas dan sangat indah. Setiap keping pancaran wajahnya membuat hasratku menggebu, membuat semangatku berkobar namun disisi lain justru membuat seluruh syarafku lemah bila saat dekat dengannya. Aku menolak bila harus mengakui bahwa aku tengah jatuh cinta, lebih tepatnya aku tidak ingin mengatakan bahwa itu adalah cinta. Aku hanya tahu bahwa ini hanyalah bagian dari nafsu dan hasrat, sesuatu yang mungkin hanya membuatku sakit bila tidak mendapatkannya, sesuatu yang membuatku sangat takut, seakan aku adalah sesuatu yang sangat buruk dan baru mengetahui definisi dari keindahan untuk pertama kalinya.
        Tisya Noviandinny. Begitulah namanya, begitu biasa dan begitu mudah dianalisa bahwa ia lahir di bulan November. Sejauh ini aku selalu mengamatinya, menganalisa setiap data yang kupunya tentangnya. Yang kupunya saat itu hanyalah sebuah nomor handphone, alamat e-mail, alamat rumah dan tempat tanggal lahirnya. Yah, kudapatkan itu semua dari biodata yang ia serahkan pada sebuah komunitas hobi dimana aku juga aktif didalamnya. Ada sesuatu yang unik, kuperhatikan nomer handphonenya diakhiri dengan angka 13, dan nickname pada alamat e-mailnya sendiri adalah Tisya13, kupikir pasti ada sesuatu dan setelah kuamati dia memang lahir pada tanggal 13. tapi aku masih belum puas, butuh lebih dari itu untuk membuat ia ‘mengspesialkan’ angka itu, maka segera saja kutanyakan langsung padanya. Lalu ia menjawab dengan penuh antusias, dia berkata bahwa sebenarnya ada dua angka yang ia suka yaitu 13 dan angka 9, dia berkata bahwa selain hal yang disebutkan diatas, ternyata nomer rekening, nomer rumah, nomer absen dan banyak hal lainnya memiliki keterkaitan dengan angka itu. Lalu ia menambahkan bahwa Tuhan sebenarnya  menyukai angka ganjil. Lantas kutanyakan apa filosofi pribadinya tentang angka itu dan bagaimana tanggapannya tentang orang yang beranggapan bahwa angka 13 adalah simbol kesialan, lalu ia menjawab bahwa memang ada beberapa orang yang beranggapan demikian, tapi baginya angka tersebut memiliki filosofi bahwa dalam sebuah jam, angka tersebut adalah simbol dari angka satu, yang mana artinya dalam seiring arah waktu berjalan ia akan tetap menjadi nomer satu. Aku terhenyak mendengarnya, lantas kukatakan pada diriku sendiri bahwa; orang ini-------dia punya karakter. Tapi selain alasan itu aku tidak punya alasan lain untuk menyukainya, meski aku tahu bahwa untuk menyukai seseorang tidak membutuhkan alasan. Dia hanya cantik. Itu saja.
        Aku tidak begitu ingat detailnya tapi ini sudah saatnya kita pulang, di persimpangan jalan Suci kita berpisah, empat orang temanku yang berwajah pudar melambaikan tangan tanda hendak lekas pergi. Yang tersisa disini hanyalah aku dan… Tisya. Tisya tersenyum, lantas dari senyumnya itu ia memegang tanganku dan membuat seolah ia tengah membantuku menyeberangi jalan. Entahlah, disini semua terasa sangat aneh, Tisya yang kulihat disini tidak terasa seperti seseorang yang tengah kupuja, namun ia tampak seperti seseorang yang sangat dekat, lebih dekat dari pacar, ia tampak seperti… keluarga. Tapi yang lebih aneh dari semua itu adalah aku sama sekali tidak peduli. Yang kutahu ini adalah saat yang bisa kuingat tentangnya.
        “Yuk …”
        “Yuk apa?”
        “Yuk kita pulang...”
        “Pulang...? ah iya, rumahku di Cikaso Barat, deket dari Supratman... kita...
        “Aku tahu...
        “Kamu…”
        “Aku ke tempatmu yah? Boleh kan?”
        “Eh..?” aku terkejut, baru kali ini ia menyatakan bahwa ia ingin berkunjung ke rumahku.
        Semua terasa begitu singkat, dan kita berdua pun akhirnya sampai. Ini rumahku dan tampaknya disini jauh lebih rapi dari sebelumnya. Kurasakan nuansa hangat ketika memasuki rumah itu, lalu datanglah kedua orang tuaku, ibuku dengan sigap menyambut Tisya dengan keramahan dan kelembutannya, sedang ayahku yang tengah mengenakan jaket kulit hanya tersenyum seadanya, meski aku tahu dia pasti bangga melihatku tengah bersama wanita cantik ini.
        “Gaya banget, mau pada kemana?” tanyaku.
        “Ini.. si Bapak ngajakin jalan-jalan…”
        “Oh yah.. hati-hati deh...jangan lupa bawa oleh-oleh
        Oleh-oleh? Emangnya jalan-jalannya keluar kota? Eh punten nya Tisya, ditinggal dulu sebentar sama Ibu ga apa-apa?”
        “Eh, teu sawios ‘Bu, mangga.”
         “Ya sudah atuh, Lukman, kalau mau makan entar makan sama Tisya juga yah..”
        “Yah.. gampanglah,” ujarku pada Ibu, memastikan bahwa semua akan baik-baik saja meskipun aku yang seorang laki-laki ini harus ditinggal bersama seorang perempuan dalam satu rumah.
        Semua berjalan begitu cepat dari mulai memasak bersama, makan bersama, menonton DVD, hingga akhirnya perempuan itu mencoba naik ke atas ranjangku sambil mencoba untuk tetap menikmati kisah “Cintaku Ditolak Mertua” diperankan oleh Raffi Ahmad dan Olga Syahputra. Oh, yang benar saja... masa Tisya suka sinetron begini? Sedang aku sendiri hanya terduduk diatas karpet sambil menikmati mie instant yang tadi sempat dimasak.  Tidak begitu lama sampai kulihat Tisya sudah terlelap.
        Baru kali ini kulihat wajah itu tertidur. Begitu tenang.  Mungkin ia kelelahan, pikirku. Ya sudah, lagipula ini sudah malam biar nanti saja kujelaskan bahwa aku tidak berani membangunkannya, walaupun sebenarnya aku hanya tidak ingin dia pulang terlalu cepat, terlepas dari kecemasanku bahwa rumahnya yang di jalan Cibaduyut itu cukup jauh dari sini.
        Melihat ia tertidur begitu saja ternyata membuatku ingin tidur juga. Lalu seolah aku ini tidak peduli akan batasan gender dan tanpa merasakan aroma pesona dosa dibaliknya, aku dengan leluasanya membaringkan tubuhku di sampingnya. Yah, sudah kukatakan saat ini aku merasakan Tisya begitu dekat, lebih dekat dari seorang teman ataupun pacar, dia sudah tampak seperti saudara, meskipun bukan berarti aku membenarkan bahwa antara saudara laki-laki dan perempuan dewasa bisa bebas tidur bersama. Tapi entahlah semua terjadi begitu saja. Tidak. Maksudku, tidak ada yang terjadi diantara kita berdua. Aku hanya mencoba berbaring disampingnya dan sebelum aku berhasil menutup kedua mataku Tisya sudah terbangun dalam keadaan panik…
        “Lukman...! aku harus pulang... sekarang!”
        “Tapi ini udah malem sa, Cibaduyut itu jauh. Liat tuh jam, udah jam satu, kamu tidur aja disini, tar shubuh aku antar kamu pulang...”
        “Tapi ini udah shubuh…!”
        “Iya, jam satu itu memang bisa dibilang shubuh juga, tapi masih kemaleman… gak takut ada preman Cikaso apa?”
        “Ini udah shubuh Lukman!!”
        “Keukeuh banget sih! Udah deh, pokonya aku ga ijinin kamu pulang sekarang!!”
        “Ini udah shubuh Lukman, cepet wudhu sana!!”
        “Eh?” rasanya suara Tisya berubah, aku kenal suara itu dan kulihat lambat laun wajahnya pun berubah, menjadi lebih bulat, semakin lama semakin jelas. Itu Ibuku. Ia mencoba membangunkanku dari mimpi paling indah sekaligus paling buruk ketika diketahui itu adalah mimpi. Tidak ada Tisya, tidak ada semalam bersama Tisya. Itu semua mimpi, dan karena begitu rapi sekali mimpi tersebut semua jadi terasa lebih menyakitkan, pikiranku kacau balau, campur aduk, penyesalan berbaur rasa aneh di pikiran, memaksaku segera bangkit mengambil air wudhu. Saatnya aku berurusan dengan Tuhan dan dunia nyata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar