Bab
3
Mimpi.
Aku tidak begitu ingat mengapa aku disini, tepatnya di
PUSDAI, atau dikenal juga sebagai Pusat Dakwah Islam, Bandung. Disini aku
tengah bersama beberapa kawan, mungkin sekitar lima orang, empat orang pria dan
satu orang perempuan. Kali ini kita berada disini untuk sebuah kegiatan, aku
tidak begitu yakin tapi disini tampak seperti ada sebuah bazaar kecil
yang banyak menawarkan produk-produk seperti buku, makanan ringan, mainan
anak-anak, bahkan pakaian. Yah di saat malam seperti ini berkumpul dengan teman
dekat ditemani berbagai jajanan kuliner khas Bandung rasanya cukup asyik juga.
Kita duduk di sebuah teras dan satu orang teman yang berjenis kelamin pria
menepuk bahuku, wajahnya yang tampak pudar karena kegelapan malam itu mencoba
menyapaku.
“Gimana? Peralatan gambar disini murah-murah kan?”
“Yah, lumayanlah daripada beli di tempat lain...”
“Tuh bener kan, kita harus rajin kumpul-kumpul kaya gini, eh
Tis, gimana kalau kita jadwalin satu hari buat main ke manaa gitu, biar gak
bosen..” ujarnya pada seorang temanku yang lain, kali ini temanku yang seorang
perempuan itu pun menjawab;
“Yah, boleh deh, gimana kalo ke Ciwidey terus kita ngegambar
gitu disana?” ujar perempuan berkerudung itu.
“Ciwidey yah? Kita ke Kawah putih atau... menurut
lu asikan kita kemana, ‘man?” kali ini pria itu bertanya padaku.
Aku membeku. Aku terpana melihat perempuan tadi. Ya, aku
mengenalnya dan luar biasanya aku masih bisa melihat cahaya wajahnya
meski berada dalam kegelapan malam.
“Lukman?”
“Ah...! yah Ciwidey yah? Cimanggu kan?” jawabku
sekenanya.
“Cimanggu? Mau ngapain kamu? Gambar bikini?”
Perempuan itu tertawa, yang lain juga begitu. Aku merasa
sangat kikuk, entahlah tapi terkadang aku selalu merasa salah tingkah bila
dekat dengan perempuan ini. Perempuan yang mampu membuatku melupakan perempuan
yang sebelumnya. Sosok yang tampak seperti kakak-------—karena dua
tahun lebih tua dariku, tapi disisi lain terasa sangat nyambung, terasa sangat
pas dan sangat indah. Setiap keping pancaran wajahnya membuat hasratku menggebu,
membuat semangatku berkobar namun disisi lain justru membuat seluruh syarafku
lemah bila saat dekat dengannya. Aku menolak bila harus mengakui bahwa aku
tengah jatuh cinta, lebih tepatnya aku tidak ingin mengatakan bahwa itu adalah
cinta. Aku hanya tahu bahwa ini hanyalah bagian dari nafsu dan hasrat, sesuatu
yang mungkin hanya membuatku sakit bila tidak mendapatkannya, sesuatu yang membuatku
sangat takut, seakan aku adalah sesuatu yang sangat buruk dan baru
mengetahui definisi dari keindahan untuk pertama kalinya.
Tisya Noviandinny. Begitulah namanya, begitu biasa dan
begitu mudah dianalisa bahwa ia lahir di bulan November. Sejauh ini aku selalu
mengamatinya, menganalisa setiap data yang kupunya tentangnya. Yang kupunya
saat itu hanyalah sebuah nomor handphone, alamat e-mail, alamat rumah dan
tempat tanggal lahirnya. Yah, kudapatkan itu semua dari biodata yang ia
serahkan pada sebuah komunitas hobi dimana aku juga aktif didalamnya. Ada
sesuatu yang unik, kuperhatikan nomer handphonenya diakhiri dengan angka 13,
dan nickname pada alamat e-mailnya sendiri adalah Tisya13, kupikir pasti ada
sesuatu dan setelah kuamati dia memang lahir pada tanggal 13. tapi aku masih
belum puas, butuh lebih dari itu untuk membuat ia ‘mengspesialkan’ angka itu,
maka segera saja kutanyakan langsung padanya. Lalu ia menjawab dengan penuh
antusias, dia berkata bahwa sebenarnya ada dua angka yang ia suka yaitu 13 dan
angka 9, dia berkata bahwa selain hal yang disebutkan diatas, ternyata nomer
rekening, nomer rumah, nomer absen dan banyak hal lainnya memiliki keterkaitan
dengan angka itu. Lalu ia menambahkan bahwa Tuhan sebenarnya menyukai angka ganjil. Lantas kutanyakan apa
filosofi pribadinya tentang angka itu dan bagaimana tanggapannya tentang orang
yang beranggapan bahwa angka 13 adalah simbol kesialan, lalu ia menjawab bahwa
memang ada beberapa orang yang beranggapan demikian, tapi baginya angka
tersebut memiliki filosofi bahwa dalam sebuah jam, angka tersebut adalah simbol
dari angka satu, yang mana artinya dalam seiring arah waktu berjalan ia akan
tetap menjadi nomer satu. Aku terhenyak mendengarnya, lantas kukatakan pada diriku
sendiri bahwa; orang ini-------dia punya karakter. Tapi
selain alasan itu aku tidak punya alasan lain untuk menyukainya, meski aku tahu
bahwa untuk menyukai seseorang tidak membutuhkan alasan. Dia hanya cantik. Itu
saja.
Aku tidak begitu ingat detailnya tapi ini sudah saatnya kita
pulang, di persimpangan jalan Suci kita berpisah, empat orang temanku yang
berwajah pudar melambaikan tangan tanda hendak lekas pergi. Yang tersisa disini
hanyalah aku dan… Tisya. Tisya tersenyum, lantas dari senyumnya itu ia memegang
tanganku dan membuat seolah ia tengah membantuku menyeberangi jalan. Entahlah,
disini semua terasa sangat aneh, Tisya yang kulihat disini tidak terasa seperti
seseorang yang tengah kupuja, namun ia tampak seperti seseorang yang sangat dekat,
lebih dekat dari pacar, ia tampak seperti… keluarga. Tapi yang lebih aneh dari
semua itu adalah aku sama sekali tidak peduli. Yang kutahu ini adalah saat yang
bisa kuingat tentangnya.
“Yuk …”
“Yuk apa?”
“Yuk kita pulang...”
“Pulang...? ah iya, rumahku di Cikaso Barat, deket
dari Supratman... kita...”
“Aku tahu...”
“Kamu…”
“Aku ke tempatmu yah? Boleh kan?”
“Eh..?” aku terkejut, baru kali ini ia menyatakan bahwa ia
ingin berkunjung ke rumahku.
Semua terasa begitu singkat, dan kita
berdua pun
akhirnya sampai. Ini rumahku dan tampaknya disini jauh lebih rapi dari
sebelumnya. Kurasakan nuansa hangat ketika memasuki rumah itu, lalu datanglah
kedua orang tuaku, ibuku dengan sigap menyambut Tisya dengan keramahan dan
kelembutannya, sedang ayahku yang tengah mengenakan jaket kulit hanya tersenyum
seadanya, meski aku tahu dia pasti bangga melihatku tengah bersama wanita
cantik ini.
“Gaya banget, mau pada kemana?” tanyaku.
“Ini.. si Bapak ngajakin jalan-jalan…”
“Oh yah.. hati-hati deh...jangan lupa bawa oleh-oleh”
“Oleh-oleh? Emangnya jalan-jalannya keluar kota? Eh punten nya
Tisya, ditinggal dulu sebentar sama Ibu ga apa-apa?”
“Eh, teu sawios ‘Bu, mangga.”
“Ya sudah atuh, Lukman, kalau mau makan entar
makan sama Tisya juga yah..”
“Yah.. gampanglah,” ujarku pada Ibu, memastikan bahwa semua
akan baik-baik saja meskipun aku yang seorang laki-laki ini harus ditinggal
bersama seorang perempuan dalam satu rumah.
Semua berjalan begitu cepat dari mulai memasak bersama, makan
bersama, menonton DVD, hingga akhirnya perempuan itu mencoba naik ke atas
ranjangku sambil mencoba untuk tetap menikmati kisah “Cintaku
Ditolak Mertua” diperankan oleh Raffi Ahmad dan Olga Syahputra. Oh, yang benar
saja... masa Tisya suka sinetron begini? Sedang aku sendiri hanya terduduk
diatas karpet sambil menikmati mie instant yang tadi sempat dimasak. Tidak begitu lama sampai kulihat Tisya sudah
terlelap.
Baru kali ini kulihat wajah itu tertidur. Begitu tenang. Mungkin ia kelelahan, pikirku. Ya sudah,
lagipula ini sudah malam biar nanti saja kujelaskan bahwa aku tidak berani
membangunkannya, walaupun sebenarnya aku hanya tidak ingin dia pulang terlalu
cepat, terlepas dari kecemasanku bahwa rumahnya yang di jalan Cibaduyut itu
cukup jauh dari sini.
Melihat ia tertidur begitu saja ternyata membuatku ingin
tidur juga.
Lalu
seolah aku ini tidak peduli akan batasan gender dan tanpa merasakan aroma
pesona dosa dibaliknya, aku dengan leluasanya membaringkan tubuhku di
sampingnya.
Yah,
sudah kukatakan saat ini aku merasakan Tisya begitu dekat, lebih dekat dari
seorang teman ataupun pacar, dia sudah tampak seperti saudara, meskipun bukan
berarti aku membenarkan bahwa antara saudara laki-laki dan perempuan dewasa
bisa bebas tidur bersama. Tapi entahlah semua terjadi begitu saja. Tidak.
Maksudku, tidak ada yang terjadi diantara kita berdua. Aku hanya mencoba
berbaring disampingnya dan sebelum aku berhasil menutup kedua mataku Tisya
sudah terbangun dalam keadaan panik…
“Lukman...! aku harus pulang... sekarang!”
“Tapi ini udah malem sa, Cibaduyut itu jauh. Liat tuh jam,
udah jam satu, kamu tidur aja disini, tar shubuh aku antar kamu pulang...”
“Tapi ini udah shubuh…!”
“Iya, jam satu itu memang bisa dibilang shubuh juga, tapi
masih kemaleman… gak takut ada preman Cikaso apa?”
“Ini udah shubuh Lukman!!”
“Keukeuh banget sih! Udah deh, pokonya aku ga ijinin kamu
pulang sekarang!!”
“Ini udah shubuh Lukman, cepet wudhu sana!!”
“Eh?” rasanya suara Tisya berubah, aku kenal suara itu dan
kulihat lambat laun wajahnya pun berubah, menjadi lebih bulat, semakin lama
semakin jelas. Itu Ibuku. Ia mencoba membangunkanku dari mimpi paling indah
sekaligus paling buruk ketika diketahui itu adalah mimpi. Tidak ada Tisya,
tidak ada semalam bersama Tisya. Itu semua mimpi, dan karena begitu rapi sekali
mimpi tersebut semua jadi terasa lebih menyakitkan, pikiranku kacau balau,
campur aduk, penyesalan berbaur rasa aneh di pikiran, memaksaku segera bangkit
mengambil air wudhu. Saatnya aku berurusan dengan Tuhan dan dunia nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar