Bab
4
Pagi.
Ingin sekali
kubenturkan kepalaku ke tembok ketika aku tahu bahwa itu semua hanyalah mimpi,
tidak. Lagipula apa ini? Tidur bersama? Fantasi menjijikan! Konyol! Bodoh! Apa
yang kupikirkan… tidak bisakah aku bersikap sedikit hormat padanya sebagai
seorang wanita? Meski itu hanya didalam mimpi, aku tidak ingin mengotori keping
keindahan itu dengan hasrat. Semua jadi lebih jelas sekarang, teman-teman yang
berwajah pudar itu pastilah hanya sosok-sosok figuran dalam mimpi, itu juga
yang menjelaskan bagaimana bentuk rumahku, kamarku, film, semuanya terasa
berbeda. Sakit. Rasanya sakit sekali merasakan mimpi yang tidak pernah bisa
terjadi di dunia nyata… padahal sejauh ini aku hanya bisa mengamatinya… pernah
sesekali aku menggodanya dengan lelucon-lelucon yang segaring Waffle Tango. Atau sekedar
merayunya dengan sebutan Teteh atau Mbak, agar rayuanku sedikit tersamarkan…
Yah, aku menyukainya. Maksudku aku menyukainya dengan caraku… dia hanya cantik,
itulah. Dan itu tidak cukup buatku untuk menyatakan bahwa aku sangat
menyukainya… sampai harus jujur padanya dan mengatakan itu semua, tidak. Lebih
baik aku tidak pernah bertemu dengannya jika dia tahu apa yang kurasakan.
Munafik. Pengecut. Kumaki diriku sendiri
yang jujur begitu tersiksa dengan ini tapi tidak ingin mengatakan padanya
secara jantan, seolah ingin kupendam semua itu dan menunggunya untuk meledak…
entah kapan, karena setiap kali pembicaraan berkembang kearah yang diinginkan segera kualihkan semua
itu dengan joke.
Mimpi.
Sebenarnya aku cukup banyak mempelajari hal ini dari sebuah buku psikoanalisis
karya Sigmund Freud. Dari apa yang kubaca aku tahu bahwa mimpi terbentuk dari
motivasi-motivasi yang sebelumnya dipikirkan oleh otak dan kemudian
diterjemahkan kembali ke dalam bentuk mimpi, yah mungkin saja apa yang terjadi
pada mimpi kemarin adalah suatu tindak lanjut pada apa yang kupikirkan sebelum
aku tidur… tunggu, sebelum tidur…? Yah, sebelum tidur aku memang merasa sangat resah dengan hal-hal
yang tidak jelas, sampai-sampai aku harus mengirimi Tisya sms dan mengatakan
bahwa aku sangat merindukannya… AH! Itu dia…
Apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa
aku harus mengirim sms itu? Ini pasti akan sangat memalukan… yang kutahu Tisya
bukanlah sosok yang mudah untuk dirayu… dia… dia pasti menertawakanku… lebih
gawatnya lagi bagaimana jika dia merasa bangga dengan itu? Tidaaaakk… aku harus
bagaimana sekarang…? Tapi tunggu, bukankah sampai detik ini smsku belum
terkirim juga? Entah kemana terbangnya pesan itu tapi dalam keadaanku yang
sekacau ini kuharap dia tahu meski hanya secuil perasaanku padanya malam itu…
aku sangat merindukannya.
Kuraih handphoneku dan kulihat memang
tidak ada laporan terkirimnya pesan itu… jam sudah menunjukan pukul 07.30 dan
aku harus kuliah sekarang… baiklah, saatnya aku pergi ke tempat itu… kamar
mandi.
Kupegang gagang sikat gigi dengan
mantap… kuperhatikan setiap bulu halus warna-warni berbentuk zigzag itu. Begitu
keren dan gagah. Mungkin karena aku sedang lebay
banyak hal kecil yang kuapresiasi begitu tinggi, seperti langit sore, udara
malam, suara jalanan dan sekarang aku tengah memandangi sikat gigi kebanggaanku
yang bertuliskan Komodo Junior. Sikat gigi yang keren… ada gambar
singanya. Kutuangkan pasta gigi secukupnya dan mulai kuayun keatas dan
kebawah... aku mulai berpikir mengapa kegiatan menyikat gigi ini tidak
dijadikan cabang olahraga dalam olimpiade saja? Sudahlah pikiran aneh… lambat
laun kupelankan ritme menyikatku… lebih tepatnya tanganku bergetar begitu hebat
sampai aku tidak sanggup menyikat gigi dengan mudah… lalu kurasakan pandanganku
memburam dan apa yang kulihat mulai tampak bergelombang… dari situ tetes demi
tetes air mataku berjatuhan, lambat laun semakin deras, kurasakan sesak itu
lagi… kuusahakan untuk menahan setiap isak suaraku agar tak ada yang mendengar,
entah mengapa mimpi tadi malam bisa membuatku sesakit ini… jika ada yang
melihatku dalam keadaan seperti ini pasti menganggapku sebagai orang yang
konyol… bersandar di tembok dengan keadaan telanjang, memegangi sikat gigi anak-anak
dengan mulut penuh busa dan menangis seperti seorang wanita… kubenamkan
kepalaku kedalam air… sekali… dua kali… aku tidak peduli… aku hanya ingin
menyingkirkan tangis ini. Aku membencinya. Karena meskipun kutahu Tuhanku yang
tengah melihatku sekarang, Tuhanku yang lebih mengerti keadaanku sekarang,
Tuhanku yang lebih dekat dari urat kerongkonganku ini mengetahui apa yang
kurasakan dan mampu membaca hatiku lebih baik dibanding diriku sendiri… aku
tahu bahwa Ia tidak terlalu menyukai orang yang berlarut-larut dalam
kesedihannya… aku harus berdiri. Kembali menjadi orang yang selalu ceria dan
menghibur siapapun yang tengah bersedih di hari ini. Dan kuputuskan di pagi ini
aku tidak akan mandi. Dingin.
Tisya
hanyalah salah satu ciptaanNya yang diberi hadiah keindahan. Tidak lebih dari
sekedar makhlukNya yang keberadaannya harus disyukuri dan
disadari betul bahwa kecantikan bukanlah miliknya sejati, bahwa apa yang kurasa
hanyalah hasrat yang apabila tidak mampu mengendalikannya justru akan menjadi
sesuatu yang fatal… bukankah aku punya mata dan dari situ aku bisa melihat,
bukankah tubuh ini memproduksi testosterone seperti seharusnya? Memproduksi
feromon seperti seharusnya? Dan dari semua itu aku bisa berpikir menggunakan
hatiku… mensyukuri adanya. Menjadikannya bagian dalam kisah hidupku yang tidak
semua tahu. Dia hanya lirik dalam sebuah lagu.
Tapi semua tampak terlalu mudah untuk
dikatakan bukan? Bagaimanapun yang kutahu, selama ini aku memang sedikit
tergila-gila padanya. Mengorek banyak hal tentangnya layaknya seorang ibu-ibu
yang penasaran dengan harga cabai di pasar, yah, butuh setengah tahun untuk
mengobservasi, butuh satu tahun lagi untuk melakukan pendekatan, dan entah
butuh berapa lama lagi untuk melakukan finishing
touch. Karena untuk orang sepertiku pacaran tidaklah penting. Aku
menganggapnya demikian karena kupikir semakin dekat kita secara fisik hanyalah
menambah hasrat negatif yang juga lebih besar… tanpa setan manusia sudah
memiliki nafsu, jadi mau apa lagi? Jarak bukan masalah. Komunikasi bukan
halangan. Karena yang paling penting adalah komitmen
dan kecocokan… selama kutahu bahwa orang itu adalah orang yang pantas, maka aku
rela untuk menunggu. Aku rela untuk bersabar dan mendukungnya dari jauh,
sementara aku sendiri mencoba untuk menjadi lebih super. Menjadikan sosok yang kusukai sebagai motivasi. Aku akan
menjadi lebih kuat dan tak takut akan rintangan apapun… karena sejatuh apapun
aku tahu bahwa semua itu pantas untuk didapatkan untuk menjadi sosok yang
pantas pula… dan aku bisa menikmati setiap jatuh bangun untuk usaha menjadi
orang sukses.
Kenyataan berkata lain… zaman pun sudah
berubah, aku lupa bahwa ada begitu banyak pria yang menyukai gadis ini, bukan
hal yang salah memang… terlebih pria satu ini memang lebih berani dan lebih
baik baginya, sosok yang sering ia temui di jejaring sosial dan mau bersusah payah
pergi dari kotanya menuju Bandung untuk menemuinya, suatu langkah pendekatan
yang klasik tapi efektif. Yah dari hubungannya ini kurasa Tisya mulai berubah,
tidak pernah mau membalas smsku lagi, tampak lebih dingin dan rasanya… apa yah?
Memang sikap perempuan yang single dan sudah tidak, sangat kentara
perbedaannya, kupikir mungkin Tisya hanya ingin menjaga hubungannya dengan pria
ini saja. Sosok yang mampu untuk mengutarakan isi hatinya dan berani menunjukan
keseriusannya. Bukan sosok sepertiku, sosok yang begitu naif, tolol, untuk
percaya bahwa takdir akan selalu berpihak padaku, untuk berpikir bahwa sabar
dan diam akan mendapatkan jalannya… tidak! Seharusnya aku tahu bahwa sabar
bukan berarti diam! Bukanlah sosok sepertiku yang memotivasi diri sendiri
dengan hal yang semu dan mimpi-mimpi fana, yang selalu percaya bahwa apa yang
kucapai nantinya hanya kugunakan untuk berbagi… bahwa aku tidak takut jatuh
karena aku akan lebih mensyukurinya ketika aku mampu untuk berbagi mimpi
dengannya… sebuah pemikiran fatal. Lihat aku sekarang, karena bagiku kini
rasanya sukses tidak sukses sudah tidak ada artinya bila aku tak punya
seseorang yang cukup pantas untuku berbagi.
Ah, omong kosong. Sejak awal aku memang
salah karena menjadikan ambisi pribadi sebagai alasan untuk mendapatkan
perempuan… lantas apa bedanya aku dengan pria-pria brengsek yang banyak
berkeliaran diluar sana, yang hanya bermodal sedikit pengorbanan untuk
menjalankan nafsunya? Bedanya mereka lebih mudah disukai karena biasanya pria
macam mereka lebih atraktif dan menarik. Mungkin ini adalah masa dimana para
perempuan menyukai pria yang sedikit liar, enerjik dan berkarakter… aku? Aku
hanyalah seorang aktor teater dan aku bersaksi bahwa aktingku didalam kehidupan
nyata jauh lebih baik daripada akting di panggungku… terlalu banyak watak yang
kulakoni dalam hidup sampai aku tak tahu siapa diriku sebenarnya…
Lihat sisi positifnya,
setidaknya aku tidak perlu berambisi untuk cepat-cepat membereskan kuliah,
karena bagaimanapun Tisya yang lebih tua dua tahun dariku itu jelas sudah
sarjana mendahuluiku. Aku bisa apa? Berpikir bahwa aku bisa menjadi seorang musisi
yang terkenal berbekal sedikit ilmu dari kampus seni yang kugeluti? Tidak.
Lebih baik aku berdoa agar penciptaan atas tubuh dan roh ini tidak akan menjadi
sia-sia.
Kusembunyikan semua kekesalan yang
kurasakan dibalik wajah yang berseri-seri… setelah berpamitan dengan orang
tuaku, menghabiskan sepotong roti bakar di tangan, langsung saja aku berjalan
menuju halte pemberhentian sebuah bis kota. Sebuah bus jurusan Dipati
ukur-Jatinangor. Kira-kira bus itulah yang menjadi
‘tungganganku’ selama perjalananku ke kampus nanti. Tapi tampaknya bus itu sedang
malas muncul cepat-cepat, jadi terpaksa aku harus lebih sabar menunggu
sekarang… kupandang langit biru, begitu cerah… rasanya seperti langit di film-film
kartun Jepang… kuhela segenggam nafas dan menghembuskannya ke arah langit yang
kupandangi… rasanya setiap beban dan masalah terbang bebas begitu saja… at least
aku cukup bersyukur masih bisa melihat tiang listrik yang berkilauan
diterjang sinar matahari pagi ini.
Kukumpulkan semangat di pagi ini,
disini. Di sebuah halte dekat sebuah taman di jalan Supratman, sambil mencoba
bersabar menunggu bis kucoba untuk mendengarkan musik dari handphone. Kuputar
beberapa lagu dari band rock legendaris favoritku U2, sebelum akhirnya musik
terhenti karena ada sms yang masuk. Mungkin itu adalah laporan
terkirim dari Tisya. Sayang tampaknya aku salah… itu bukan laporan… hanya sms
biasa saja…
Haii…
jadi kamu masih marah
sama
Indi…? Maafin atuh ih…
Pengirim
: Bango Tongtong
16/09/2010
08;18;12
Apa
ini? Bango tongtong? Huh, sudah lama aku melupakan orang ini… rasanya tidak
penting saja… sebuah ironi ketika seseorang yang dulu sangat penting bagiku,
sekarang begitu mudah untuk dilupakan… dan sekarang orang ini muncul begitu
saja setelah aku mulai menyukai Tisya… tapi… dengan keadaanku yang sekarang
rasanya tidak baik juga memutuskan tali silaturahmi dengan orang yang aku
benci, terlebih jika dia memang benar-benar merasa menyesal, yah aku memang
mudah memaafkan, tapi tidak pandai melupakan. Aku hanya ingin terus fokus
berjalan tanpa gangguan makhluk yang namanya wanita… ah itu dia datang… bus jurusan
Dipati Ukur-Jatinangor… semoga saja masih tersisa kursi yang kosong untuku.
Akhirnya
kutemukan salah satu kursi di dekat pintu belakang yang kosong, disampingku
terduduk seorang bapak yang tengah tertidur dengan kepala tersandar ke jendela…
tampaknya ia sangat mengantuk. Kuputuskan untuk tidak peduli dan membuka
resleting tasku. kupilih beberapa buku komik di dalamnya. Sebenarnya aku
sudah membaca semuanya, hanya saja rasanya aku tidak ingin hanya duduk terdiam
melihat pemandangan monoton selama didalam bis. Tidak berapa lama sampai
akhirnya kudengar suara pintu di belakangku terbuka…
begitu pintu terbuka kurasakan aroma yang tidak asing tercium, Eternity , ini adalah aroma parfum yang
jarang kutemui lagi, yah aku memang sudah berhenti memakai parfum dari kelas tiga SMA, awalnya
sih karena pada saat itu aku digilai oleh seorang anak perempuan dan
satu-satunya cara untuk membuat dia ilfeel
adalah dengan merubah penampilan… kuhentikan semua pemakaian parfum, gel
rambut, dan alat-alat kosmetika yang rasanya tidak cocok untuk dipakai seorang
lelaki… hasilnya? Aku berhasil putus dengannya dan pengeluaran bulananku pun
berkurang banyak… baguslah. Dan sejak saat itu pula aku sulit untuk mendapatkan
perhatian anak perempuan, bahkan selalu ditolak setiap kali aku mencoba
menyatakan cinta pada mereka.
Tapi
sudahlah itu hanya masa lalu, hanya cinta monyet biasa saja, alasanku
sebenarnya menghentikan pemakaian parfum hingga kini adalah aku takut aroma
parfum justru akan menghilangkan aroma khas ‘feromone’ yakni suatu zat hormon dari dalam tubuh yang
mengindikasikan daya tarik pada lawan jenis setiap kali zat itu diproduksi. Jadi
lebih baik begini saja. Lelaki ini. Ah, tapi mengapa aku harus tiba-tiba
memikirkan parfum ya? Terlebih aroma itu semakin kuat kurasakan, siapa gerangan
orang yang menggunakan parfum ini? Kututup buku komikku. Tampaknya
orang itu. Dia seorang perempuan, tampak celingukan mencari kursi yang kosong…
tampaknya ia akan menjadi satu-satunya perempuan yang berdiri di bus ini dan tahu
kenapa aku lebih suka naik bus ke kampus? Karena dengan
naik bus kita bisa memanfaatkan keadaan semacam ini untuk
berbuat baik, memang pada dasarnya 60 persen dari perbuatan itu hanya untuk
mencari perhatian orang sekitar, 20 persennya karena rasanya asyik jika dia
perempuan cantik, 20 persennya lagi adalah perasaan tidak tega melihat orang
lain berdiri sedang kita terduduk
santai
dan di zaman ini anak muda mana yang mau melakukan itu… tapi apapun itu aku
melakukan ini karena aku memang ingin dan suka untuk melakukan hal-hal semacam ini, masalah ini
adalah amal baik atau bukan, itu bukan urusanku. Jadi segera saja kucolek
tangan mungil yang memegangi besi dingin di bis itu.
“Pakai
kursi saya aja mbak…” kupanggil dia mbak, meski kulihat dia tampak lebih muda
dariku.
“Oh…”
hanya oh, yang dia katakan, tapi itu oh yang merdu dan dahsyat, karena ternyata
dari tadi aku hanya bisa melihatnya dari belakang dan tidak tahu kalau dia
cukup cantik…
“Euh…” hanya euh yang sanggup kukatakan, dan
entah apa motivasiku untuk menjawab ‘oh’ dengan ‘euh’ yang jelas meski dia
cantik dan senyumnya itu cute luar
biasa tapi dia bukan tipeku. Gadis pendek berambut pendek… dengan segera ia
ambil kursiku, syukurlah dia tampak senang sekarang, meski bapak-bapak yang
tertidur di sampingnya sedikit membuatku tidak tenang. Dan mau berdiri dimana
aku kini? Kucari pegangan yang mantap untukku berdiri, lalu
kuperhatikan semua orang tampak melihatku dengan tatapan aneh… mungkin karena
aku tampan, atau mungkin karena memang aku tidak mandi pagi ini sehingga mereka
tidak siap dengan kenyataan akan wujudku. Jadi kuputuskan untuk berdiri di
belakang perempuan tadi duduk saja, terlebih tempat itu dekat dengan pintu.
Ah
tidak. Mengapa perempuan tadi juga begitu sering melihat ke arahku? Hampir
setiap ada orang yang ingin turun dan berhenti, ia melihatku, seolah ingin tahu
aku hendak turun dimana… tapi ah sudahlah, mungkin hanya perasaanku, mungkin
dia tipikal perempuan yang senang pamer pesona, padahal bagiku dia biasa saja,
maksudku wajah semacam itu begitu pasaran, begitu sering kutemukan. Bahkan ada
juga teman SMP-ku yang wajahnya hampir mirip dengannya kalau
tidak salah namanya… ah pokoknya itu bukan wajah yang istimewa di mataku… ya
sudahlah aku turun disini saja, di jalan Buah Batu. Memang mengurusi pandangan
manusia itu tidak akan ada habisnya.
Akhirnya
sampai juga. Kampusku. Kampus biru. Kok mirip judul film ya? Kususuri lorong
demi lorong dan tangga demi tangga, maklum meski ini adalah kampus negeri, kita
belum punya lift. Jadi kubiarkan beban 70 kg setiap langkahnya itu untuk
mendaki setiap anak tangga di sebuah gedung bertuliskan JURUSAN TEATER, meski
pada kenyataannya huruf T yang kedua telah hilang dari tembok itu entah kemana,
mungkin karena ini kampus seni sehingga banyak proses kreatif disini.
Capek
juga, hahaha… tapi kenapa kelasku sepi yah? Kulihat hanya ada satu mahasiswa
disana… dia temanku, tengah memegang stick PS dan tampaknya dia tengah fokus
bermain game di laptop. Mahasiswa menyedihkan ini namanya Riko…
“Wey,
gi ngapain? Kok sepi? Mana anak-anak?”
“Hehehe
ga liat gua lagi maen Marvel Ultimate Alliance?, dosen dramaturgi kena epilepsi
bray, jadi tadi anak-anak cuma ngabsen doang… abis itu ga tau pada kemana…”
“Asiiikk…”
“Kok
asik? Dosen sakit asik… eh, tau ga kalau lu jarang belajar dramaturgi, entar
sekali waktu lu bikin novel, lu bingung sama struktur dramatik, mati lo!”
“Masa
sih? Bikin novel curhat aja kalau gitu… eh ente maen game apa sih kayanya seru
banget… ngikut maen dong…”
“Marvel
Ultimate Alliance!! Keren banget Mas bro, ada Captain America, Iron Man, Thor,
Spiderman… wah banyak deh!”
“Yang
maennya kaya game Power Ranger itu ya?”
“Iyah!”
“Yang
kalau aku main sudut pandang kameranya dilihat dari atas itu bukan?”
“Iyah!!”
“Yang kaya maenan anak-anak itu bukan?”
“lu
niat mau main ga sih?”
Akhirnya
setengah jam berlalu dan selama itu aku merasa kembali menjadi anak remaja SMA…
“Ko!!
Belakang ane ada musuh ko, pukulin!!”
“Sinih!
Guah beri… nih rasain rudal angetnya Iron Man!!”
“Ok.
Giliran bos Lukman sekarang… ane kasih nih… jurus rawarontek!!”
“Kok
rawarontek sih bray? Lu kata film silat Saur Sepuh apa? Aaahh boss penjahatnya
muncul, musti pake serangan combo nih…”
“Combo?
Combo apa…?
Eh...” tiba-tiba handphoneku berbunyi… menghentikan sementara keasyikanku
bermain game, sementara Riko masih antusias dengan gamenya…
“Man!
Cepet dicombo!! Raja penjahatnya ini jago gila ‘man!!”
“…”
aku terdiam.
“LUKMAAN…!!
Woi ga liat apa? Liat itu musuhnya keluarin senjata segede dosa gitu… masya
Allah… ‘man!! Cepet dicombo!!”
“…”
aku membeku. Sementara di layar laptop tampak Dr. Doom menghabisi Iron Man
dan Captain America.
“AAAHHH
SIAAALL …!! Gagal deh!!”
“Gagal…”
“Gara-gara
lu tuh, ga pake combo… gagal deh…”
“Smsku…”
“Hah?”
“Smsku
kemarin… ternyata gagal…”
“Haaahh??”
Message Report ;
Failed
Tisya Noviandinny
15/09/2010
21;05;44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar