Translate

Kamis, 21 Juni 2012

Serial Alam Lukman : Yellow Sky Bab 4

Bab 4­­­­­

Pagi.

      Ingin sekali kubenturkan kepalaku ke tembok ketika aku tahu bahwa itu semua hanyalah mimpi, tidak. Lagipula apa ini? Tidur bersama? Fantasi menjijikan! Konyol! Bodoh! Apa yang kupikirkan… tidak bisakah aku bersikap sedikit hormat padanya sebagai seorang wanita? Meski itu hanya didalam mimpi, aku tidak ingin mengotori keping keindahan itu dengan hasrat. Semua jadi lebih jelas sekarang, teman-teman yang berwajah pudar itu pastilah hanya sosok-sosok figuran dalam mimpi, itu juga yang menjelaskan bagaimana bentuk rumahku, kamarku, film, semuanya terasa berbeda. Sakit. Rasanya sakit sekali merasakan mimpi yang tidak pernah bisa terjadi di dunia nyata… padahal sejauh ini aku hanya bisa mengamatinya… pernah sesekali aku menggodanya dengan lelucon-lelucon yang segaring Waffle Tango. Atau sekedar merayunya dengan sebutan Teteh atau Mbak, agar rayuanku sedikit tersamarkan… Yah, aku menyukainya. Maksudku aku menyukainya dengan caraku… dia hanya cantik, itulah. Dan itu tidak cukup buatku untuk menyatakan bahwa aku sangat menyukainya… sampai harus jujur padanya dan mengatakan itu semua, tidak. Lebih baik aku tidak pernah bertemu dengannya jika dia tahu apa yang kurasakan.
        Munafik. Pengecut. Kumaki diriku sendiri yang jujur begitu tersiksa dengan ini tapi tidak ingin mengatakan padanya secara jantan, seolah ingin kupendam semua itu dan menunggunya untuk meledak… entah kapan, karena setiap kali pembicaraan berkembang  kearah yang diinginkan segera kualihkan semua itu dengan joke.
        Mimpi. Sebenarnya aku cukup banyak mempelajari hal ini dari sebuah buku psikoanalisis karya Sigmund Freud. Dari apa yang kubaca aku tahu bahwa mimpi terbentuk dari motivasi-motivasi yang sebelumnya dipikirkan oleh otak dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bentuk mimpi, yah mungkin saja apa yang terjadi pada mimpi kemarin adalah suatu tindak lanjut pada apa yang kupikirkan sebelum aku tidur… tunggu, sebelum tidur…? Yah, sebelum tidur  aku memang merasa sangat resah dengan hal-hal yang tidak jelas, sampai-sampai aku harus mengirimi Tisya sms dan mengatakan bahwa aku sangat merindukannya… AH! Itu dia…
        Apa yang kupikirkan sebenarnya? Mengapa aku harus mengirim sms itu? Ini pasti akan sangat memalukan… yang kutahu Tisya bukanlah sosok yang mudah untuk dirayu… dia… dia pasti menertawakanku… lebih gawatnya lagi bagaimana jika dia merasa bangga dengan itu? Tidaaaakk… aku harus bagaimana sekarang…? Tapi tunggu, bukankah sampai detik ini smsku belum terkirim juga? Entah kemana terbangnya pesan itu tapi dalam keadaanku yang sekacau ini kuharap dia tahu meski hanya secuil perasaanku padanya malam itu… aku sangat merindukannya.
        Kuraih handphoneku dan kulihat memang tidak ada laporan terkirimnya pesan itu… jam sudah menunjukan pukul 07.30 dan aku harus kuliah sekarang… baiklah, saatnya aku pergi ke tempat itu… kamar mandi.
        Kupegang gagang sikat gigi dengan mantap… kuperhatikan setiap bulu halus warna-warni berbentuk zigzag itu. Begitu keren dan gagah. Mungkin karena aku sedang lebay banyak hal kecil yang kuapresiasi begitu tinggi, seperti langit sore, udara malam, suara jalanan dan sekarang aku tengah memandangi sikat gigi kebanggaanku yang bertuliskan Komodo Junior. Sikat gigi yang keren… ada gambar singanya. Kutuangkan pasta gigi secukupnya dan mulai kuayun keatas dan kebawah... aku mulai berpikir mengapa kegiatan menyikat gigi ini tidak dijadikan cabang olahraga dalam olimpiade saja? Sudahlah pikiran aneh… lambat laun kupelankan ritme menyikatku… lebih tepatnya tanganku bergetar begitu hebat sampai aku tidak sanggup menyikat gigi dengan mudah… lalu kurasakan pandanganku memburam dan apa yang kulihat mulai tampak bergelombang… dari situ tetes demi tetes air mataku berjatuhan, lambat laun semakin deras, kurasakan sesak itu lagi… kuusahakan untuk menahan setiap isak suaraku agar tak ada yang mendengar, entah mengapa mimpi tadi malam bisa membuatku sesakit ini… jika ada yang melihatku dalam keadaan seperti ini pasti menganggapku sebagai orang yang konyol… bersandar di tembok dengan keadaan telanjang, memegangi sikat gigi anak-anak dengan mulut penuh busa dan menangis seperti seorang wanita… kubenamkan kepalaku kedalam air… sekali… dua kali… aku tidak peduli… aku hanya ingin menyingkirkan tangis ini. Aku membencinya. Karena meskipun kutahu Tuhanku yang tengah melihatku sekarang, Tuhanku yang lebih mengerti keadaanku sekarang, Tuhanku yang lebih dekat dari urat kerongkonganku ini mengetahui apa yang kurasakan dan mampu membaca hatiku lebih baik dibanding diriku sendiri… aku tahu bahwa Ia tidak terlalu menyukai orang yang berlarut-larut dalam kesedihannya… aku harus berdiri. Kembali menjadi orang yang selalu ceria dan menghibur siapapun yang tengah bersedih di hari ini. Dan kuputuskan di pagi ini aku tidak akan mandi. Dingin.
        Tisya hanyalah salah satu ciptaanNya yang diberi hadiah keindahan. Tidak lebih dari sekedar makhlukNya yang keberadaannya harus disyukuri dan disadari betul bahwa kecantikan bukanlah miliknya sejati, bahwa apa yang kurasa hanyalah hasrat yang apabila tidak mampu mengendalikannya justru akan menjadi sesuatu yang fatal… bukankah aku punya mata dan dari situ aku bisa melihat, bukankah tubuh ini memproduksi testosterone seperti seharusnya? Memproduksi feromon seperti seharusnya? Dan dari semua itu aku bisa berpikir menggunakan hatiku… mensyukuri adanya. Menjadikannya bagian dalam kisah hidupku yang tidak semua tahu. Dia hanya lirik dalam sebuah lagu.
        Tapi semua tampak terlalu mudah untuk dikatakan bukan? Bagaimanapun yang kutahu, selama ini aku memang sedikit tergila-gila padanya. Mengorek banyak hal tentangnya layaknya seorang ibu-ibu yang penasaran dengan harga cabai di pasar, yah, butuh setengah tahun untuk mengobservasi, butuh satu tahun lagi untuk melakukan pendekatan, dan entah butuh berapa lama lagi untuk melakukan finishing touch. Karena untuk orang sepertiku pacaran tidaklah penting. Aku menganggapnya demikian karena kupikir semakin dekat kita secara fisik hanyalah menambah hasrat negatif yang juga lebih besar… tanpa setan manusia sudah memiliki nafsu, jadi mau apa lagi? Jarak bukan masalah. Komunikasi bukan halangan. Karena yang paling penting adalah komitmen dan kecocokan… selama kutahu bahwa orang itu adalah orang yang pantas, maka aku rela untuk menunggu. Aku rela untuk bersabar dan mendukungnya dari jauh, sementara aku sendiri mencoba untuk menjadi lebih super. Menjadikan sosok yang kusukai sebagai motivasi. Aku akan menjadi lebih kuat dan tak takut akan rintangan apapun… karena sejatuh apapun aku tahu bahwa semua itu pantas untuk didapatkan untuk menjadi sosok yang pantas pula… dan aku bisa menikmati setiap jatuh bangun untuk usaha menjadi orang sukses.
        Kenyataan berkata lain… zaman pun sudah berubah, aku lupa bahwa ada begitu banyak pria yang menyukai gadis ini, bukan hal yang salah memang… terlebih pria satu ini memang lebih berani dan lebih baik baginya, sosok yang sering ia temui di jejaring sosial dan mau bersusah payah pergi dari kotanya menuju Bandung untuk menemuinya, suatu langkah pendekatan yang klasik tapi efektif. Yah dari hubungannya ini kurasa Tisya mulai berubah, tidak pernah mau membalas smsku lagi, tampak lebih dingin dan rasanya… apa yah? Memang sikap perempuan yang single dan sudah tidak, sangat kentara perbedaannya, kupikir mungkin Tisya hanya ingin menjaga hubungannya dengan pria ini saja. Sosok yang mampu untuk mengutarakan isi hatinya dan berani menunjukan keseriusannya. Bukan sosok sepertiku, sosok yang begitu naif, tolol, untuk percaya bahwa takdir akan selalu berpihak padaku, untuk berpikir bahwa sabar dan diam akan mendapatkan jalannya… tidak! Seharusnya aku tahu bahwa sabar bukan berarti diam! Bukanlah sosok sepertiku yang memotivasi diri sendiri dengan hal yang semu dan mimpi-mimpi fana, yang selalu percaya bahwa apa yang kucapai nantinya hanya kugunakan untuk berbagi… bahwa aku tidak takut jatuh karena aku akan lebih mensyukurinya ketika aku mampu untuk berbagi mimpi dengannya… sebuah pemikiran fatal. Lihat aku sekarang, karena bagiku kini rasanya sukses tidak sukses sudah tidak ada artinya bila aku tak punya seseorang yang cukup pantas untuku berbagi.
        Ah, omong kosong. Sejak awal aku memang salah karena menjadikan ambisi pribadi sebagai alasan untuk mendapatkan perempuan… lantas apa bedanya aku dengan pria-pria brengsek yang banyak berkeliaran diluar sana, yang hanya bermodal sedikit pengorbanan untuk menjalankan nafsunya? Bedanya mereka lebih mudah disukai karena biasanya pria macam mereka lebih atraktif dan menarik. Mungkin ini adalah masa dimana para perempuan menyukai pria yang sedikit liar, enerjik dan berkarakter… aku? Aku hanyalah seorang aktor teater dan aku bersaksi bahwa aktingku didalam kehidupan nyata jauh lebih baik daripada akting di panggungku… terlalu banyak watak yang kulakoni dalam hidup sampai aku tak tahu siapa diriku sebenarnya…
        Lihat sisi positifnya, setidaknya aku tidak perlu berambisi untuk cepat-cepat membereskan kuliah, karena bagaimanapun Tisya yang lebih tua dua tahun dariku itu jelas sudah sarjana mendahuluiku. Aku bisa apa? Berpikir bahwa aku bisa menjadi seorang musisi yang terkenal berbekal sedikit ilmu dari kampus seni yang kugeluti? Tidak. Lebih baik aku berdoa agar penciptaan atas tubuh dan roh ini tidak akan menjadi sia-sia.
        Kusembunyikan semua kekesalan yang kurasakan dibalik wajah yang berseri-seri… setelah berpamitan dengan orang tuaku, menghabiskan sepotong roti bakar di tangan, langsung saja aku berjalan menuju halte pemberhentian sebuah bis kota. Sebuah bus jurusan Dipati ukur-Jatinangor. Kira-kira bus itulah yang menjadi ‘tungganganku’ selama perjalananku ke kampus nanti. Tapi tampaknya bus itu sedang malas muncul cepat-cepat, jadi terpaksa aku harus lebih sabar menunggu sekarang… kupandang langit biru, begitu cerah… rasanya seperti langit di film-film kartun Jepang… kuhela segenggam nafas dan menghembuskannya ke arah langit yang kupandangi… rasanya setiap beban dan masalah terbang bebas begitu saja… at least  aku cukup bersyukur masih bisa melihat tiang listrik yang berkilauan diterjang sinar matahari pagi ini.
        Kukumpulkan semangat di pagi ini, disini. Di sebuah halte dekat sebuah taman di jalan Supratman, sambil mencoba bersabar menunggu bis kucoba untuk mendengarkan musik dari handphone. Kuputar beberapa lagu dari band rock legendaris favoritku U2, sebelum akhirnya musik terhenti karena ada sms yang masuk. Mungkin itu adalah laporan terkirim dari Tisya. Sayang tampaknya aku salah… itu bukan laporan… hanya sms biasa saja…

Haii… jadi kamu masih marah
sama Indi…? Maafin atuh ih…

Pengirim : Bango Tongtong

16/09/2010
08;18;12

Apa ini? Bango tongtong? Huh, sudah lama aku melupakan orang ini… rasanya tidak penting saja… sebuah ironi ketika seseorang yang dulu sangat penting bagiku, sekarang begitu mudah untuk dilupakan… dan sekarang orang ini muncul begitu saja setelah aku mulai menyukai Tisya… tapi… dengan keadaanku yang sekarang rasanya tidak baik juga memutuskan tali silaturahmi dengan orang yang aku benci, terlebih jika dia memang benar-benar merasa menyesal, yah aku memang mudah memaafkan, tapi tidak pandai melupakan. Aku hanya ingin terus fokus berjalan tanpa gangguan makhluk yang namanya wanita… ah itu dia datang… bus jurusan Dipati Ukur-Jatinangor… semoga saja masih tersisa kursi yang kosong untuku.
Akhirnya kutemukan salah satu kursi di dekat pintu belakang yang kosong, disampingku terduduk seorang bapak yang tengah tertidur dengan kepala tersandar ke jendela… tampaknya ia sangat mengantuk. Kuputuskan untuk tidak peduli dan membuka resleting tasku. kupilih beberapa buku komik di dalamnya. Sebenarnya aku sudah membaca semuanya, hanya saja rasanya aku tidak ingin hanya duduk terdiam melihat pemandangan monoton selama didalam bis. Tidak berapa lama sampai akhirnya kudengar suara pintu di belakangku terbuka… begitu pintu terbuka kurasakan aroma yang tidak asing tercium, Eternity , ini adalah aroma parfum yang jarang kutemui lagi, yah aku memang sudah berhenti memakai parfum dari kelas tiga SMA, awalnya sih karena pada saat itu aku digilai oleh seorang anak perempuan dan satu-satunya cara untuk membuat dia ilfeel adalah dengan merubah penampilan… kuhentikan semua pemakaian parfum, gel rambut, dan alat-alat kosmetika yang rasanya tidak cocok untuk dipakai seorang lelaki… hasilnya? Aku berhasil putus dengannya dan pengeluaran bulananku pun berkurang banyak… baguslah. Dan sejak saat itu pula aku sulit untuk mendapatkan perhatian anak perempuan, bahkan selalu ditolak setiap kali aku mencoba menyatakan cinta pada mereka.
Tapi sudahlah itu hanya masa lalu, hanya cinta monyet biasa saja, alasanku sebenarnya menghentikan pemakaian parfum hingga kini adalah aku takut aroma parfum justru akan menghilangkan aroma khas ‘feromone’ yakni suatu zat hormon dari dalam tubuh yang mengindikasikan daya tarik pada lawan jenis setiap kali zat itu diproduksi. Jadi lebih baik begini saja. Lelaki ini. Ah, tapi mengapa aku harus tiba-tiba memikirkan parfum ya? Terlebih aroma itu semakin kuat kurasakan, siapa gerangan orang yang menggunakan parfum ini? Kututup buku komikku. Tampaknya orang itu. Dia seorang perempuan, tampak celingukan mencari kursi yang kosong… tampaknya ia akan menjadi satu-satunya perempuan yang berdiri di bus ini dan tahu kenapa aku lebih suka naik bus ke kampus? Karena dengan naik bus kita bisa memanfaatkan keadaan semacam ini untuk berbuat baik, memang pada dasarnya 60 persen dari perbuatan itu hanya untuk mencari perhatian orang sekitar, 20 persennya karena rasanya asyik jika dia perempuan cantik, 20 persennya lagi adalah perasaan tidak tega melihat orang lain berdiri sedang kita terduduk santai dan di zaman ini anak muda mana yang mau melakukan itu… tapi apapun itu aku melakukan ini karena aku memang ingin dan suka untuk  melakukan hal-hal semacam ini, masalah ini adalah amal baik atau bukan, itu bukan urusanku. Jadi segera saja kucolek tangan mungil yang memegangi besi dingin di bis itu.
“Pakai kursi saya aja mbak…” kupanggil dia mbak, meski kulihat dia tampak lebih muda dariku.
“Oh…” hanya oh, yang dia katakan, tapi itu oh yang merdu dan dahsyat, karena ternyata dari tadi aku hanya bisa melihatnya dari belakang dan tidak tahu kalau dia cukup cantik…
 “Euh…” hanya euh yang sanggup kukatakan, dan entah apa motivasiku untuk menjawab ‘oh’ dengan ‘euh’ yang jelas meski dia cantik dan senyumnya itu cute luar biasa tapi dia bukan tipeku. Gadis pendek berambut pendek… dengan segera ia ambil kursiku, syukurlah dia tampak senang sekarang, meski bapak-bapak yang tertidur di sampingnya sedikit membuatku tidak tenang. Dan mau berdiri dimana aku kini? Kucari pegangan yang mantap untukku berdiri, lalu kuperhatikan semua orang tampak melihatku dengan tatapan aneh… mungkin karena aku tampan, atau mungkin karena memang aku tidak mandi pagi ini sehingga mereka tidak siap dengan kenyataan akan wujudku. Jadi kuputuskan untuk berdiri di belakang perempuan tadi duduk saja, terlebih tempat itu dekat dengan pintu.
Ah tidak. Mengapa perempuan tadi juga begitu sering melihat ke arahku? Hampir setiap ada orang yang ingin turun dan berhenti, ia melihatku, seolah ingin tahu aku hendak turun dimana… tapi ah sudahlah, mungkin hanya perasaanku, mungkin dia tipikal perempuan yang senang pamer pesona, padahal bagiku dia biasa saja, maksudku wajah semacam itu begitu pasaran, begitu sering kutemukan. Bahkan ada juga teman SMP-ku yang wajahnya hampir mirip dengannya kalau tidak salah namanya… ah pokoknya itu bukan wajah yang istimewa di mataku… ya sudahlah aku turun disini saja, di jalan Buah Batu. Memang mengurusi pandangan manusia itu tidak akan ada habisnya.
Akhirnya sampai juga. Kampusku. Kampus biru. Kok mirip judul film ya? Kususuri lorong demi lorong dan tangga demi tangga, maklum meski ini adalah kampus negeri, kita belum punya lift. Jadi kubiarkan beban 70 kg setiap langkahnya itu untuk mendaki setiap anak tangga di sebuah gedung bertuliskan JURUSAN TEATER, meski pada kenyataannya huruf T yang kedua telah hilang dari tembok itu entah kemana, mungkin karena ini kampus seni sehingga banyak proses kreatif disini.
Capek juga, hahaha… tapi kenapa kelasku sepi yah? Kulihat hanya ada satu mahasiswa disana… dia temanku, tengah memegang stick PS dan tampaknya dia tengah fokus bermain game di laptop. Mahasiswa menyedihkan ini namanya Riko…
“Wey, gi ngapain? Kok sepi? Mana anak-anak?”
“Hehehe ga liat gua lagi maen Marvel Ultimate Alliance?, dosen dramaturgi kena epilepsi bray, jadi tadi anak-anak cuma ngabsen doang… abis itu ga tau pada kemana…”
“Asiiikk…”
“Kok asik? Dosen sakit asik… eh, tau ga kalau lu jarang belajar dramaturgi, entar sekali waktu lu bikin novel, lu bingung sama struktur dramatik, mati lo!”
“Masa sih? Bikin novel curhat aja kalau gitu… eh ente maen game apa sih kayanya seru banget… ngikut maen dong…”
“Marvel Ultimate Alliance!! Keren banget Mas bro, ada Captain America, Iron Man, Thor, Spiderman… wah banyak deh!”
“Yang maennya kaya game Power  Ranger itu ya?”
“Iyah!”
“Yang kalau aku main sudut pandang kameranya dilihat dari atas itu bukan?”
 “Iyah!!”
 “Yang kaya maenan anak-anak itu bukan?”
“lu niat mau main ga sih?”
Akhirnya setengah jam berlalu dan selama itu aku merasa kembali menjadi anak remaja SMA…
“Ko!! Belakang ane ada musuh ko, pukulin!!”
“Sinih! Guah beri… nih rasain rudal angetnya Iron Man!!”
“Ok. Giliran bos Lukman sekarang… ane kasih nih… jurus rawarontek!!”
“Kok rawarontek sih bray? Lu kata film silat Saur Sepuh apa? Aaahh boss penjahatnya muncul, musti pake serangan combo nih…”
“Combo? Combo apa…? Eh...” tiba-tiba handphoneku berbunyi… menghentikan sementara keasyikanku bermain game, sementara Riko masih antusias dengan gamenya…
“Man! Cepet dicombo!! Raja penjahatnya ini jago gila ‘man!!”
“…”  aku terdiam.
“LUKMAAN…!! Woi ga liat apa? Liat itu musuhnya keluarin senjata segede dosa gitu… masya Allah… ‘man!! Cepet dicombo!!”
“…” aku membeku. Sementara di layar laptop tampak Dr. Doom menghabisi Iron Man dan Captain America.
“AAAHHH SIAAALL …!! Gagal deh!!”
“Gagal…”
“Gara-gara lu tuh, ga pake combo… gagal deh…”
“Smsku…”
“Hah?”
“Smsku kemarin… ternyata gagal…”
“Haaahh??”

Message Report ; Failed

Tisya Noviandinny

15/09/2010
21;05;44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar