Translate

Jumat, 08 Juni 2012

Yellow sky by Alam Lukman


Bab  1

Sore.

        Aku menyukainya. Maksudku, aku menyukai warna kuning keemasan yang menyeruak di balik daun-daun pepohonan. Setiap butir cahaya itu seolah menetes dan mewarnai jalan, gedung, pohon, tiang listrik dan seluruh pandanganku diwarnai olehnya. Maka kucoba membuka tanganku, kuangkatnya hingga mataku terlindung dari silaunya. Kubiarkan setiap butiran cahaya itu menembus sela-sela jemariku, hangat rasanya. Meskipun hanya beberapa saat, aku merasa begitu bersahabat dengan matahari. Setidaknya untuk saat ini, lantas kuturunkan lenganku dan kututupnya dengan senyum.

“Aku di jalan----------basah kuyup karena keringat.”

        Ada beberapa hal yang kuingat tentang sore. Warnanya, suasananya atau bahkan hembusan anginnya. Ada saat dimana sore terlihat dengan awan putih menggembung tinggi dengan langit berhias warna kuning keemasan seperti yang kulihat saat ini, ada juga sore dengan penampakan awan yang hitam, kelam, lebih kelam dari rambut ikalku. Membuat suasana disekitarnya tampak lebih mencekam dengan hembusan angin kencang dan suara guntur tanpa hujan. Syukurlah bukan “sore” seperti itu yang kurasakan saat ini. Hari ini sore terasa sangat indah.

 …aku masih di jalan----------diantara debu dan asap kendaraan…”

        Yah, sore memiliki banyak sekali warna. Putih, abu, kuning  ataupun hitam, yang mana setiap gradasi warnanya akan selalu berbeda dan memiliki karakternya masing-masing. Bisa jadi sangat cerah atau bahkan sangat gelap. Apapun itu, kupikir setiap warna yang dituangkan pada langit sore memiliki kekuatan tersendiri. Setiap warna senja selalu saja mampu untuk menyentuh setiap sisi emosionalku. Entahlah, rasanya seperti kerinduan yang begitu dalam yang entah datang darimana dan ditujukan untuk siapa. Mungkin rasa itu datang karena matahari sebentar lagi akan pergi. Matahariku.
“…mungkin hanya aku. Yang terlihat
seperti orang aneh
dengan kemeja longgar dan kaos lusuh
berjalan diantara kemacetan jalan raya.
Aku.
Yang berjalan dengan sepatu butut merelakan
menyimpan uang ongkos untuk naik kendaraan umum
untuk sekedar bisa berjalan menghayati indahmu.
Sore…"

Sebenarnya ada banyak orang yang bisa mengungkapkan dan menafsirkan kata “sore.” Maksudku, tahu kan? Terkadang ada juga orang yang mengatakan sore dimulai pada pukul 14.00 dan diakhiri pada pukul 17.00. atau  ada juga yang mengatakan bahwa sore dimulai pada pukul 15.00 hingga pukul 18.00 dan bahkan ada juga yang menyebutkan bahwa pukul 20.00 itu masih sore… yah, aku memang tidak begitu perduli karena aku sendiri punya teori berbeda. Aku membagi waktu sore menjadi dua bagian, yaitu sore fase pertama dan sore fase kedua. Sore fase pertama yaitu pada saat matahari masih terasa cerah di musim panas, itu terjadi sekitar pukul 13.30 sampai dengan pukul 15.00 pada fase ini angin terasa  sepoi-sepoi bersahabat terutama bagiku yang tinggal di kota Bandung. Mungkin sedikit malas untuk keluar rumah dan lebih memilih duduk santai membaca buku di teras ditemani segelas es campur sambil sesekali berkhayal tentang masa depan. Atau bisa juga pergi berjalan-jalan ke galeri seni rupa atau mengunjungi museum. Mungkin terasa membosankan bagi sebagian orang, tapi itu bisa menumbuhkan inspirasi dan semangat baru untuk menjalani hari. Bahkan kupikir image-ku tidak akan hancur karena mengunjungi museum, loh, memang kenapa? Jika kita membutuhkan tempat yang nyaman untuk sekedar terdiam tanpa usikan dunia luar, kupikir itu semua sempurna untuk menjadi dunia baru kita. Akui saja, terkadang aku suka juga dianggap sebagai tuan pemikir, meski kutahu itu salah, karena aku adalah seorang pelamun dan bukan pemikir, tapi yah, terkadang aku dianggap ‘kolot’ karena pembawaanku itu. Tapi bukankah yang dianggap ‘kolot’ itu adalah jalan yang paling aman dalam menghadapi dunia saat ini?
        Sedikit rumit? Tidak juga, aku hanya ingin menjelaskan sedikit bahwa penting sekali menghargai waktu. Dan apabila waktu luang kita banyak kenapa tidak kita nikmati setiap detik saat sore kita untuk meresapi hal-hal yang jarang orang lakukan. Lalu bagaimana dengan sore fase kedua? Sore fase kedua sering pula disebut senja. Bagiku ini jauh lebih penting menikmati saat-saat akhir matahari menemani kita. Cahaya semburat keemasan di balik dedaunan pohon itu sangat berharga dan tidak selalu sama. Dan waktu akan terasa lebih cepat berlalu dan perlahan warna keemasan itu akan tergantikan oleh pekatnya malam.

terlalu banyak omong kosong hingga
aku terhanyut, nyaris saja sebuah mobil berlawanan
dari arahku berjalan menyerempetku.
Keindahanmu membius.
Sementara sepatu bututku mulai menunjukan
rahangnya, kupikir ini saatnya aku membelinya..
Sebuah lem super...
Kubuka resleting tas pinggang itu
dan kuraih handphone,
jam menunjukan pukul 16.35
aku masuk fase kedua.
Sore.
       
Aku lupa menjelaskan bahwa sore fase kedua itu terjadi pada pukul 15.30 sampai pukul 17.30, ini akan menjadi sebuah proses yang sangat cepat menyaksikan matahari lambat laun pergi dan pada saat yang sama, aku yang tengah berjalan sendiri saat ini mulai mencari-cari suatu bahan obrolan yang tepat bagi diriku sendiri. Mengamati orang, pengamen, pengemis dan semua kisah hidup manusia yang tersaji di jalan, mungkin aku seorang schizofrenia tingkat rendah karena selalu mencoba berbicara dengan “diriku yang lain” ketika berjalan sendirian, yah, katakan saja bahwa teman yang paling mengerti aku adalah diriku sendiri dan musuh yang paling ditakuti ada dalam diri ini juga, jadi kuusahakan untuk berkomunikasi dengan hati ketika aku berjalan sendirian karena itu mengasyikan. Selain bisa melupakan jarak yang kutempuh semua kulakukan agar aku senantiasa terbuka dan mampu mengenal diriku sendiri haaah… tampaknya ini hal yang luar biasa membosankan yah?
Kulirik lagi sepatu bututku. Kali ini dia tampak tersenyum, senyum yang sangat sinis. Diantara jahitan benang yang sudah lepas kuusahakan agar jari kelingking kakiku tidak ikut keluar karenanya. Kucoba untuk mengalihkan pandangan karena aku takut bila terus memperhatikan kakiku, orang disekitarku akan tahu bahwa sepatuku sedang mencoba untuk berbicara.
Kali ini aku merindukan rumah, ternyata sulit juga meresapi saat sore hari dengan keadaan sepatu seperti ini. Kupikirkan air dingin yang keluar dari botol beling yang baru saja kukeluarkan dari lemari es, membuka bajuku, menghanduki tubuhku yang basah karena keringat dan bermalas-malasan.

“…dan selamat datang di dunia nyata.
Rumah masih sangat jauh…”

Aku terpaksa fokus pada sosok-sosok di sekitarku untuk mengalihkan semua pikiran itu. Aku masih punya uang ongkos yang sengaja kusimpan tapi ini bukan jalur yang biasanya angkot tumpanganku lalui.. yah, sengaja kupilih rute berbeda yang cukup jauh untuk berjalan menghayati kilau cahaya keemasan nan indah di sore hari yang… aaarrrghh!! Mungkin lain kali jika aku ingin merenung dan berjalan-jalan aku harus pikirkan baik-baik berapa uang yang kubawa, apa kabarnya sepatu yang kupakai... dan... sedang apa bapak-bapak itu?

“…ditengah peluh keputusasaan...
kulihat seorang bapak gemuk berkumis tebal
mungkin namanya Mario Bross...
dihadapannya seorang supir angkot dengan handuk
di tangan… mencerca dan memakinya...

Sesaat aku lupa dengan hangatnya rumah, aku tak sengaja melihat seseorang yang dipastikan supir angkot tengah memarahi seorang bapak gemuk yang meskipun aku tidak yakin bahwa wajahnya mengingatkanku pada tokoh game masa kanak-kanak dulu. Wajah supir angkot itu merah padam. Tampaknya dia marah karena ada bagian mobilnya yang rusak karena terserempet motor yang dikendarai Mario Bross, eh salah , maksudku bapak gemuk berkumis. Banyak sekali orang yang mengerubunginya. Hanya melihat tanpa ikut andil didalam percekcokan keduanya. Ah sudahlah ini kan Bandung, kupikir semua akan berakhir dengan damai pada akhirnya. Aku memutuskan untuk bersikap cuek tanpa mempedulikan apapun, yang paling penting saat ini adalah pulang.
Tapi dasar, mungkin karena aku tadi berharap bisa mengamati sebuah kisah hidup manusia di jalan, sampai aku bisa melihat orang ini; seorang pria dengan pakaian seragam minimarket sekitar, tubuhnya tinggi, berkulit putih bersih dan melihat gayanya berjalan, aku yakin ia telah diterima bekerja sebagai…
“PLAAKK!!”
Pikiranku teralih, tak perduli apa pekerjaannya tapi pasti ia tengah patah hati sekarang, kulihat seorang wanita menampar pipinya yang sedikit berisi itu. Mungkin pacarnya,  mungkin.
Kulihat pria tadi mengejar wanita itu dan mencoba menarik lengannya. Namun si wanita masih membeku. Busyet, ingin rasanya hatiku berkata bahwa ini adalah sebuah live drama…
                        
“…sebuah live drama…”

Yah, namanya juga live, siaran langsung, rasanya aku tidak bisa terus mengamati kejadian itu, lagipula aku harus pulang. Tapi ngomong-ngomong, apakah yang kulihat ini seporsi keindahan?
Sebuah motor. Ah tidak, seorang lelaki atau bisa kubilang itu pasti lelaki, meskipun tidak bisa dipastikan wajahnya seperti apa karena tertutup helm. Motornya, tipikal motor gede berwarna hijau yang biasa digunakan para anak lelaki untuk pamer. Tidak ada yang istimewa dengan motor gede itu, kecuali wanita yang dibonceng di belakangnya.
Dia menoleh padaku. Wanita itu, dia sangat menarik. Kaca helmnya dibiarkan terbuka menampakan dua bola matanya yang bening berbinar, wajahnya tirus, kulitnya putih mulus dengan hidung mancung lurus sedikit membulat di ujungnya. Bibirnya merah tipis. Ia mengenakan jaket putih dengan sedikit bulu-bulu berwarna serupa yang dibiarkan terbuka memperlihatkan sebagian tubuhnya yang tertutup kemben ungu yang juga serupa dengan warna eyeliner –nya, bagaimanapun ia tengah dibonceng oleh pria bermotor sport yang notabene bagian belakangnya selalu tampak naik, jadi tidak bisa dihindarkan apabila dada itu harus bersentuhan dengan punggung pria itu. Ditambah lagi bagian pantat yang sedikit naik itu otomatis  memperlihatkan sedikit celana dalamnya…
“…ah. Ungu juga?”

“Cute…”
Tak sengaja kata itu keluar dari mulutku. Lalu…
“BLEDUG!!”
“Asstaghfirullah…!!”
Sebuah batu besar menyandung kakiku dan membuat aku tersungkur dengan posisi yang sulit sekali untuk dibuat indah.
“WAKAKAKAKAKAKKK…!!!
Tiba-tiba sebuah tawa jahat muncul dari suatu tempat. Aku tak menyangka suara tawa mengerikan itu ternyata berasal dari wanita cantik tadi. Dia tak sengaja melihatku terjatuh sampai-sampai tertawanya tidak sanggup ia kendalikan, sehingga tanpa sadar banyak pula orang yang lebih memperhatikannya ketimbang memperhatikanku yang tengah terjatuh.
Yah, secara tidak langsung aku terselamatkan oleh suara  tawa itu, karena bagaimanapun tawa mengerikan itu telah mampu melepaskanku dari pusat perhatian. maka aku segera bangkit. Lampu hijau menyala dan motor sport hijau itupun berlalu. Rumah tampaknya sudah cukup dekat. Kulirik sepatu bututku itu, senyumnya manis sekali. Mungkin karena terjatuh tadi. Senyumnya kini tampak  sangat lebar.

1 komentar:

  1. kalau masal bahasa itu mah tergantung masing-masing orang, kalau untuk cerita (y)
    tingkatkan lagi

    BalasHapus