Bab 1
Sore.
Aku menyukainya. Maksudku, aku menyukai warna kuning keemasan
yang menyeruak di balik daun-daun pepohonan. Setiap butir cahaya itu seolah
menetes dan mewarnai jalan, gedung, pohon, tiang listrik dan seluruh
pandanganku diwarnai olehnya. Maka kucoba membuka tanganku, kuangkatnya hingga
mataku terlindung dari silaunya. Kubiarkan setiap butiran cahaya itu menembus
sela-sela jemariku, hangat rasanya. Meskipun hanya beberapa saat, aku merasa
begitu bersahabat dengan matahari. Setidaknya untuk saat ini, lantas kuturunkan
lenganku dan kututupnya dengan senyum.
“Aku
di jalan----------basah kuyup karena keringat.”
Ada beberapa hal yang kuingat tentang sore. Warnanya,
suasananya atau bahkan hembusan anginnya. Ada saat dimana sore terlihat dengan
awan putih menggembung tinggi dengan langit berhias warna kuning keemasan
seperti yang kulihat saat ini, ada juga sore dengan penampakan awan yang hitam,
kelam, lebih kelam dari rambut ikalku. Membuat suasana disekitarnya tampak
lebih mencekam dengan hembusan angin kencang dan suara guntur tanpa hujan.
Syukurlah bukan “sore” seperti itu yang kurasakan saat ini. Hari ini sore terasa
sangat indah.
“…aku
masih di jalan----------diantara debu dan asap kendaraan…”
Yah, sore memiliki banyak sekali warna. Putih, abu,
kuning ataupun hitam, yang mana setiap
gradasi warnanya akan selalu berbeda dan memiliki karakternya masing-masing.
Bisa jadi sangat cerah atau bahkan sangat gelap. Apapun itu, kupikir setiap
warna yang dituangkan pada langit sore memiliki kekuatan tersendiri. Setiap
warna senja selalu saja mampu untuk menyentuh setiap sisi emosionalku.
Entahlah, rasanya seperti kerinduan yang begitu dalam yang entah datang
darimana dan ditujukan untuk siapa. Mungkin rasa itu datang karena matahari
sebentar lagi akan pergi. Matahariku.
“…mungkin
hanya aku. Yang terlihat
seperti orang aneh
dengan kemeja longgar dan
kaos lusuh
berjalan diantara kemacetan
jalan raya.
Aku.
Yang
berjalan dengan sepatu butut merelakan
menyimpan uang ongkos untuk
naik kendaraan umum
untuk sekedar bisa berjalan
menghayati indahmu.
Sore…"
Sebenarnya ada
banyak orang yang bisa mengungkapkan dan menafsirkan kata “sore.” Maksudku,
tahu kan? Terkadang ada juga orang yang mengatakan sore dimulai pada pukul
14.00 dan diakhiri pada pukul 17.00. atau
ada juga yang mengatakan bahwa sore dimulai pada pukul 15.00 hingga
pukul 18.00 dan bahkan ada juga yang menyebutkan bahwa pukul 20.00 itu masih
sore… yah, aku memang tidak begitu perduli karena aku sendiri punya teori
berbeda. Aku membagi waktu sore menjadi dua bagian, yaitu sore fase pertama dan
sore fase kedua. Sore fase pertama yaitu pada saat matahari masih terasa cerah
di musim panas, itu terjadi sekitar pukul 13.30 sampai dengan pukul 15.00 pada
fase ini angin terasa sepoi-sepoi
bersahabat terutama bagiku yang tinggal di kota Bandung. Mungkin sedikit malas
untuk keluar rumah dan lebih memilih duduk santai membaca buku di teras
ditemani segelas es campur sambil sesekali berkhayal tentang masa depan. Atau
bisa juga pergi berjalan-jalan ke galeri seni rupa atau mengunjungi museum.
Mungkin terasa membosankan bagi sebagian orang, tapi itu bisa menumbuhkan
inspirasi dan semangat baru untuk menjalani hari. Bahkan kupikir image-ku tidak akan hancur karena
mengunjungi museum, loh, memang
kenapa? Jika kita membutuhkan tempat yang nyaman untuk sekedar terdiam tanpa
usikan dunia luar, kupikir itu semua sempurna untuk menjadi dunia baru kita.
Akui saja, terkadang aku suka juga dianggap sebagai tuan pemikir, meski kutahu
itu salah, karena aku adalah seorang pelamun dan bukan pemikir, tapi yah,
terkadang aku dianggap ‘kolot’ karena pembawaanku itu. Tapi bukankah yang
dianggap ‘kolot’ itu adalah jalan yang paling aman dalam menghadapi dunia saat
ini?
Sedikit rumit? Tidak juga, aku hanya ingin menjelaskan
sedikit bahwa penting sekali menghargai waktu. Dan apabila waktu luang kita
banyak kenapa tidak kita nikmati setiap detik saat sore kita untuk meresapi
hal-hal yang jarang orang lakukan. Lalu bagaimana dengan sore fase kedua? Sore
fase kedua sering pula disebut senja. Bagiku ini jauh lebih penting menikmati
saat-saat akhir matahari menemani kita. Cahaya semburat keemasan di balik
dedaunan pohon itu sangat berharga dan tidak selalu sama. Dan waktu akan terasa
lebih cepat berlalu dan perlahan warna keemasan itu akan tergantikan oleh
pekatnya malam.
terlalu
banyak omong kosong hingga
aku
terhanyut, nyaris saja sebuah mobil berlawanan
dari
arahku berjalan menyerempetku.
Keindahanmu
membius.
Sementara
sepatu bututku mulai menunjukan
rahangnya,
kupikir ini saatnya aku membelinya..
Sebuah
lem super...
Kubuka
resleting tas pinggang itu
dan
kuraih handphone,
jam
menunjukan pukul 16.35
aku
masuk fase kedua.
Sore.
Aku lupa
menjelaskan bahwa sore fase kedua itu terjadi pada pukul 15.30 sampai pukul
17.30, ini akan menjadi sebuah proses yang sangat cepat menyaksikan matahari
lambat laun pergi dan pada saat yang sama, aku yang tengah berjalan sendiri
saat ini mulai mencari-cari suatu bahan obrolan yang tepat bagi diriku sendiri.
Mengamati orang, pengamen, pengemis dan semua kisah hidup manusia yang tersaji
di jalan, mungkin aku seorang schizofrenia tingkat rendah karena
selalu mencoba berbicara dengan “diriku yang lain” ketika berjalan sendirian,
yah, katakan saja bahwa teman yang paling mengerti aku adalah diriku sendiri
dan musuh yang paling ditakuti ada dalam diri ini juga, jadi kuusahakan untuk
berkomunikasi dengan hati ketika aku berjalan sendirian karena itu mengasyikan.
Selain bisa melupakan jarak yang kutempuh semua kulakukan agar aku senantiasa
terbuka dan mampu mengenal diriku sendiri …haaah… tampaknya ini hal yang luar biasa membosankan yah?
Kulirik lagi
sepatu bututku. Kali ini dia tampak tersenyum, senyum yang sangat sinis.
Diantara jahitan benang yang sudah lepas kuusahakan agar jari kelingking kakiku
tidak ikut keluar karenanya. Kucoba untuk mengalihkan pandangan karena aku
takut bila terus memperhatikan kakiku, orang disekitarku akan tahu bahwa
sepatuku sedang mencoba untuk berbicara.
Kali ini aku
merindukan rumah, ternyata sulit juga meresapi saat sore hari dengan keadaan
sepatu seperti ini. Kupikirkan air dingin yang keluar dari botol beling yang
baru saja kukeluarkan dari lemari es, membuka bajuku, menghanduki tubuhku yang
basah karena keringat dan bermalas-malasan.
“…dan selamat datang di dunia nyata.
Rumah masih sangat jauh…”
Aku terpaksa
fokus pada sosok-sosok di sekitarku untuk mengalihkan semua pikiran itu. Aku
masih punya uang ongkos yang sengaja kusimpan tapi ini bukan jalur yang
biasanya angkot tumpanganku lalui.. yah, sengaja kupilih rute berbeda yang cukup
jauh untuk berjalan menghayati kilau cahaya keemasan nan indah di sore hari
yang… aaarrrghh!! Mungkin lain kali
jika aku ingin merenung dan berjalan-jalan aku harus pikirkan baik-baik berapa
uang yang kubawa, apa kabarnya sepatu yang kupakai... dan... sedang
apa bapak-bapak itu?
“…ditengah peluh keputusasaan...
kulihat
seorang bapak gemuk berkumis tebal
mungkin
namanya Mario Bross...
dihadapannya
seorang supir angkot dengan handuk
di
tangan… mencerca dan memakinya...”
Sesaat aku lupa
dengan hangatnya rumah, aku tak sengaja melihat seseorang yang dipastikan supir
angkot tengah memarahi seorang bapak gemuk yang meskipun aku tidak yakin bahwa
wajahnya mengingatkanku pada tokoh game masa
kanak-kanak dulu. Wajah supir angkot itu merah padam. Tampaknya dia marah
karena ada bagian mobilnya yang rusak karena terserempet motor yang dikendarai
Mario Bross, eh salah , maksudku bapak gemuk berkumis.
Banyak sekali orang yang mengerubunginya. Hanya melihat tanpa ikut andil
didalam percekcokan keduanya. Ah sudahlah
ini kan Bandung, kupikir semua akan berakhir dengan damai pada akhirnya.
Aku memutuskan untuk bersikap cuek tanpa mempedulikan apapun, yang paling penting
saat ini adalah pulang.
Tapi dasar,
mungkin karena aku tadi berharap bisa mengamati sebuah kisah hidup manusia di
jalan, sampai aku bisa melihat orang ini; seorang pria dengan pakaian seragam
minimarket sekitar, tubuhnya tinggi, berkulit
putih
bersih dan melihat gayanya berjalan, aku yakin ia telah diterima bekerja
sebagai…
“PLAAKK!!”
Pikiranku
teralih, tak perduli apa pekerjaannya tapi pasti ia tengah patah hati sekarang,
kulihat seorang wanita menampar pipinya yang sedikit berisi itu. Mungkin
pacarnya, mungkin.
Kulihat pria
tadi mengejar wanita itu dan mencoba menarik lengannya. Namun si wanita masih
membeku. Busyet, ingin rasanya hatiku
berkata bahwa ini adalah sebuah live drama…
“…sebuah
live drama…”
Yah, namanya
juga live, siaran langsung, rasanya
aku tidak bisa terus mengamati kejadian itu, lagipula aku harus pulang. Tapi ngomong-ngomong,
apakah yang kulihat ini seporsi keindahan?
Sebuah motor. Ah tidak, seorang lelaki
atau bisa kubilang itu pasti lelaki, meskipun tidak bisa dipastikan wajahnya seperti
apa karena tertutup helm. Motornya, tipikal motor gede berwarna hijau yang biasa digunakan para anak lelaki untuk
pamer. Tidak ada yang istimewa dengan motor gede
itu, kecuali wanita yang dibonceng di belakangnya.
Dia menoleh
padaku. Wanita itu, dia sangat menarik. Kaca helmnya dibiarkan terbuka
menampakan dua bola matanya yang bening berbinar, wajahnya tirus, kulitnya
putih mulus dengan hidung mancung lurus sedikit membulat di ujungnya. Bibirnya
merah tipis. Ia mengenakan jaket putih dengan sedikit bulu-bulu berwarna serupa
yang dibiarkan terbuka memperlihatkan sebagian tubuhnya yang tertutup kemben
ungu yang juga serupa dengan warna eyeliner
–nya, bagaimanapun ia tengah dibonceng oleh pria bermotor sport yang
notabene bagian belakangnya selalu tampak naik, jadi tidak bisa dihindarkan
apabila dada itu harus bersentuhan dengan punggung pria itu. Ditambah lagi
bagian pantat yang sedikit naik itu otomatis
memperlihatkan sedikit celana dalamnya…
“…ah. Ungu juga?”
“Cute…”
Tak sengaja
kata itu keluar dari mulutku. Lalu…
“BLEDUG!!”
“Asstaghfirullah…!!”
Sebuah batu
besar menyandung kakiku dan membuat aku tersungkur dengan posisi yang sulit
sekali untuk dibuat indah.
“WAKAKAKAKAKAKKK…!!!”
Tiba-tiba
sebuah tawa jahat muncul dari suatu tempat. Aku tak menyangka suara tawa
mengerikan itu ternyata berasal dari wanita cantik tadi. Dia tak sengaja
melihatku terjatuh sampai-sampai tertawanya tidak sanggup ia kendalikan,
sehingga tanpa sadar banyak pula orang yang
lebih
memperhatikannya ketimbang memperhatikanku yang tengah terjatuh.
Yah, secara
tidak langsung aku terselamatkan oleh suara
tawa itu, karena bagaimanapun tawa mengerikan itu telah mampu melepaskanku dari
pusat
perhatian. maka aku segera bangkit. Lampu hijau menyala dan
motor sport hijau itupun berlalu. Rumah tampaknya sudah cukup dekat. Kulirik sepatu
bututku itu, senyumnya manis sekali. Mungkin karena terjatuh tadi. Senyumnya kini
tampak sangat lebar.
kalau masal bahasa itu mah tergantung masing-masing orang, kalau untuk cerita (y)
BalasHapustingkatkan lagi